"Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu
lalu Khidir melubanginya. Musa berkata: 'Mengapa kamu melubangi
perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?
Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.' Dia
(Khidir) berkata: 'Bukankah aku telah berkata: 'Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.' Musa berkata:
'Janganlah kamu menghukum aku kerana kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.'
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa
dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata:
'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan kerana dia
membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu
yang mungkar.' Khidir berkata: 'Bukankah sudah kukatakan
kepadamu, bahawa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?'
Musa berkata: 'Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu,
sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.' Maka
keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk
suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu,
tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian
keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir
roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: 'Jikalau
kamu mau, nescaya kamu mengambil upah untuk itu.' Khidir berkata:
'Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan
memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan
orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merosakkan bahtera itu, kerana di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua
orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahawa
dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan
kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti
bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya
itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya).
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu,
dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua,
sedang ayahnya seseorang yang soleh, maka Tuhanmu menghendaki
supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemahuanku sendiri. Demikian itu adalah
tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.'" (QS. al-Kahfi: 71-82)
Hamba soleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya
bahawa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia
memberitahunya bahawa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru
di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan
menganggap bahawa usaha melubangi perahu mereka merupakan suatu
bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan,
yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya
peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu-
perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang
rosak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan
tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga
orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahawa
terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru
membawa rahmat yang besar bagi mereka kerana Allah s.w.t akan
memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat
menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak
masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran
seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahawa nikmat terkadang
membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang
membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik ternyata justru di balik
itu terdapat keburukan.
Mula-mula Nabi Allah s.w.t Musa menentang dan mempersoalkan
tindakan hamba Allah s.w.t tersebut, kemudian ia menjadi mengerti
ketika hamba Allah s.w.t itu menyingkapkan kepadanya maksud dari
tindakannya dan rahmat Allah s.w.t yang besar yang tersembunyi dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui pembantunya dan menemaninya
untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan
yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal: yaitu ia tidak
merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat kerana di sana terdapat
ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami
oleh manusia kerana di balik itu terdapat rahmat Allah s.w.t yang
tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah
pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa
mengetahui bahawa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana
ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan
dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang
tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau
dapat kita cerna dengan logik biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental
yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan
ilmu para nabi yang Allah s.w.t wahyukan kepada mereka.
Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik
ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Majoriti kaum sufi
berpendapat bahawa hamba Allah s.w.t ini dari wali-wali Allah s.w.t.
Allah s.w.t telah memberinya sebahagian ilmu laduni kepadanya tanpa
sebab-sebab tertentu. Sebahagian ulama berpendapat bahawa hamba
soleh ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung penyataannya ulama-
ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-
Quran yang menunjukkan kenabiannya.
Pertama, firman-Nya:
"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-ham-
ba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami,
dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."
Kedua, perkataan Musa kepadanya:
"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang
telah diajarkan kepadamu?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu
dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu ?' Musa berkata: 'lnsya-Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu
mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,'" (QS.
al-Kahfi: 66-70)
Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan
berdialog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia
tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawapan yang demikian. Bila
ia bukan seorang nabi maka bererti ia tidak maksum sehingga Musa tidak
harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.
Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil
itu melalui wahyu dari Allah s.w.t dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil
tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang
menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh
membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada
keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya
tidak selalu maksum kerana terkadang ia membuat kesalahan. Jadi,
keberanian Khidir untuk membunuh anak kecil itu sebagai bukti
kenabiannya.
Keempat, perkataan Khidir kepada Musa:
"Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu
menurut kemahuanku sendiri. " (QS. al-Kahfi: 82)
Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia
merupakan perintah dari Allah s.w.t dan wahyu dari-Nya. Demikianlah
pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat
bahawa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para
tokoh sufi berpendapat bahawa Khidir adalah seorang wali dari wali-wali
Allah s.w.t.
Salah satu pernyataan Khidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi
adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: "Wahai Musa,
manusia akan diseksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka
atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia)." Sedangkan Bisyir bin
Harits al-Hafi berkata: "Musa berkata kepada Khidir: "Berilah aku
nasihat." Khidir menjawab: "Mudah-mudahan Allah s.w.t memudahkan
kamu untuk taat kepada-Nya." Para ulama dan para ahli zuhud berselisih
pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran
pendapatnya. Perbezaan pendapat ini berhujung pangkal kepada
anggapan para ulama bahawa mereka adalah sebagai pewaris para nabi,
sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang
mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir.
Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi
kerana beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati
nas yang jelas dalam konteks Al-Quran yang menunjukkan kenabiannya
dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita
jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi
oleh Allah s.w.t sebahagian ilmu laduni.
Barangkali kesamaran seputar peribadi yang mulia ini memang disengaja
agar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama
dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak
terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas,
ketika kami memasukkannya dalam jajaran para nabi kerana ia adalah
seorang guru dari Musa dan seorang ustaz baginya untuk beberapa waktu.