Perang Sabil Versus Perang Salib mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis Dan Belanda Oleh: Abdul Qadir Djaelani Anggota DPR RI Perang Sabil Versus Perang Salib Daftar Isi Pendahuluan Perang Maluku Perang Makassar Perang Banten Perang Jawa Perang Padri Perang Banjar Perang Aceh Penutup Daftar Kepustakaan Tentang Penulis Pendahuluan Datangnya Portugis dan Belanda ke Indonesia, selain untuk menjajah juga untuk mengkristenkan umat Islam Indonesia. Kedua tujuan tersebut dilaksanakan dalam ruang lingkup Perang Salib yang tidak pernah padam dalam dada umat Kristen Barat. Kesimpulan ini berasal dari data yang tertera di bawah ini: a. Th. Muller Kruger, guru besar Sekolah Tinggi Kristen di Jakarta, pernah menulis antara lain: Tentulah orang-orang Portugis ini bukan saja ingin untuk menemukan negeri-negeri lain, melainkan mereka ingin pula menaklukkan negeri-negeri tersebut, serta mencari kekayaan dunia. Tetapi tak dapat disangkal bahwa yang mendorong mereka ialah "hasrat untuk mengkristenkan daerah-daerah yang ditemukan dan ditaklukannya itu". Tiada percuma pada layar-layar kapal mereka tertera "tanda salib". Mereka hendak menenamkan salib di tengah-tengah bangsa kafir, bahkan dapat juga dikatakan bahwa merupakan semacam "perang salib" apa yang mereka lakukan. Perang Salib yang penghabisan tidak mengikuti lagi jalan-jalan yang semula. Sekarang "musuh Islam" ini diserang dari belakang; maksudnya untuk memotong dari sumber penghidupannya. Penyebaran Injil sudah menjadi tujuan yang utama, bukannya sebagai pekerjaan sambil lalu saja, sebagaimana halnya dengan usaha-usaha bangsa Belanda dan Inggris kemudiannya.[1] b. d'Albuquerque, komandan Portugis tatkala menaklukkan Malaka pada tahun 1511, yang pada saat itu dikuasai oleh kerajaan Islam, Sultan Mahmud Syah. Setelah membakar semua kapal-kapal umat Islam, d'Albuquerque berpidato di depan pasukannya, antara lain: Jasa yang akan kita berikan pada Tuhan dengan mengusir orang Moor (Islam Arab) dari negeri ini, adalah memadamkan api dari agama Muhammad, sehingga api itu tidak akan menyebar lagi sesudah ini saya yakin benar, jika kita rampas perdagangan Malaka ini dan mereka (umat Islam) Kairo dan Mekah akan hancur.[2] Karena misi utama kedatangan Portugis dan Belanda ke Indonesia untuk melanjutkan perang salib terhadap umat Islam Indonesia, maka perlawanan umat Islam seperti Perang Padri, Perang Jawa, Perang Banjar, Perang Aceh, dan lain-lain adalah PERANG SABIL, dimana panji-panji Islam menjadi lambang perjuangan. Demikian ungkap W.F. Wartheim Bogor, 5 Jumadil Awal 1420 H / 20 Agustus 1999 M Catatan kaki: 1. Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia; BPK, Jakarta, 1959, hal. 18-19. 2. Hamid Algadri; C. Snouck Hugronye, Politik Belanda Terhadap Islam dan Arab; Sinar Harapan, Jakarta, 1984, hal. 76-77. Perang Maluku Konfrontasi umat Islam dengan penjajah Portugis-Kristen tidak hanya terjadi di Jawa dan Sumatera, tetapi juga terjadi di Maluku.Seperti telah diungkap­kan di muka bahwa kedatangan Portugis ke Maluku ber­samaan waktunya dengan kedatangan Spanyol yaitu pada tahun 1521. Kedatangan Portugis Kristen ke Maluku, semula disambut baik oleh kedua kesultanan Islam di Tidore di bawah pimpinan Sultan Mansur dan di Ternate di bawah pimpinan Sultan Khairun. Kedatangan Portugis-Kristen bukan saja bermaksud untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala, tetapi juga bertujuan untuk meng­kristenkan umat Islam Maluku. sebab pada tahun 1546 rombongan missi Kristen Katholik di bawah pimpinan. propagandis terkenal Franciscus Xaverius telah turut terjun mengkristenkan umat Islam di Maluku. Methoda yang dilakukan, bukan saja dengan da'wah tetapi lebih banyak dengan jalan paksaan, melalui kekerasan militer dan senjata sebagaimana dilakukan di Spanyol pada akhir abad-ke-15. Perjanjian persahabatan dan dagang antara Sultan Khairun dengan gubernur Portugis-Kristen de Mesquita yaxxg ;di tanda-tangani pada tahun 1564, dianggap se­olah-olah Sultan Khairun itu di bawah jajahan Portugis-­Kristen. Pada suatu kali Sultan Khairun ditangkap oleh Gubernur de Mesquita dan dibawa ke Goa, pusat jajah­an Portugis-Kristen di Timur. Dari Goa sultan di bawa ke portugal di Eropa. Di dalam pertemuan antara Raja Portugis dengan Sultan Khairun berjalan tidak seimbang, sehingga keputusan yarig diambil sangat menguntungkan Portugis-Kristen. Persetujuan perjanjian yang diperbaharui itu menyebut­kan bahwa hak-hak sultan sebagai mana biasa diakui, tetapi Portugis-Kristen berhak memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate dan usaha missi Kristen­Katholik untuk kristenisasi tidak boleh dihalang-halangi oleh sultan. Dan jika terjadi perselisihan antara sultan dengan gubernur Portugis-Kristen, maka raja Portugis­lah yang berhak menyelesaikannya. Perjanjian yang sangat merugikan ini, mengakibatkan posisi kesultanan Ternate makin terjepit, apalagi sultan-sultan Tidore, Jailolo (Gilolo) dan Bacan boleh dikatakan telah ke­hilangan kekuasaannya. Tidore semenjak meninggalnya Sultan Mansur praktis telah kehilangan kedaulatan; Sultan Bacan telah dipaksa memeluk agama Kristen dan Jailolo telah sepenuhnya dikuasai Portugis-Kristen. Melihat kondisi seperti itu, tinggal Sultan Khairun masih berdiri tegak menghadapi penjajah Portugis-Kristen. Baru saja satu tahun perjanjian Sultan Khairun dengan Raja Portugis-Kristen berjalan, ternyata Gubernur de Mesquita sebagai pelaksana perjanjian itu telah menganggap bahwa kesultanan Ternate sebagai daerah jajahannya saja. Akhirnya Sultan Khairun kehilangan kesabarannya dan membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut serta sekaligus menyatakan perang kepada Portugis-Kristen. Keputusan ini dilanjutkan dengan tindakan militer yaitu pasukan tentera Islam diperintahkan mengusir semua orang Kristen, baik Portugis maupun penduduk asli, dari kekuasaan Sultan Ternate. Pelaksanaan perintah ini menimbulkan per­tempuran, yang mengakibatkan beratus-ratus missio­naris dan umat Kristen mati terbunuh dan beribu-ribu orang Kristen yang sempat melarikan diri ke Ambon dan Mindanao. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan Gubernur de Mesquita dan pimpinan missionaris, sehingga cepat-­cepat meminta bantuan dari Malaka dan Goa. Datang­nya tentara Portugis-Kristen dari Malaka dan Goa, tidak menyebabkan pasukan tentera Islam di bawah pimpinan Sultan Khairun menjadi gentar, bahkan menumbuhkan semangat untuk mati syahid di medan pertempuran, pertempuran yang gagah-perkasa dari pasukan tentara Islam Ternate ini, mengakibatkan kerugian yang besar bagi pasukan tentara Portugis-Kristen. Oleh karena itu Portugis-Kristen yang licik ini, cepat-cepat mengajak damai. Ajakan damai diterima oleh Sultan Khairun dengan syarat bahwa semua pemeluk Kristen harus keluar dari Ternate sekaligus dan tidak boleh ada lagi kegiatan Kristenisasi di Ternate. Perjanjian perdamaian dan persahabatan ditanda-tangani lagi antara Sultan Khairun dengan Gubernur de Masquita, dengan masing-­masing memegang Kitab Suci, A1 Qur'an bagi Sultan Khairun dan Injil bagi Gubernur de Masquita. Kemudian atas inisiatif Gubernur de Masquita akan diselenggara­kan resepsi peresmian perjanjian perdamaian itu di kediaman gubernur sendiri. Di saat resepsi berlangsung, di mana Sultan Khairun dengan rombongannya duduk berhadap-hadapan dengan gubernur de Masquita, tiba-­tiba seorang pengawal dari tentara Portugis-Kristen telah menikam Sultan dari belakang, akibatnya terjadi perkelahian berdarah, sehingga sultan dan sebagian dari rombongannya meninggal dunia, hanya sebagian kecil yang dapat menyelamatkan diri dan pulang ke Ternate. Pengkhianatan ini terjadi pada 28 Februari 1570. Peristiwa ini sepenuhnya dilaporkan kepada Pangeran Babullah, putera Sultan Khairun, di Ternate. Pengkhianatan keji Portugis-Kristen ini menimbulkan amarah umat Islam di Ternate, dan secepat mungkin mengangkat Pangeran Babullah menjadi Sultan Ternate menggantikan ayahnya. Dalam pelantikan Sultan Babullah menyentakkan pedang pusaka ayahnya dan meminta sumpah-setia dari rakyatnya untuk berperang dengan Portugis-Kristen, sampai Portugis-Kristen terusir dari Ternate dan tuntutan bela atas kematian ayahnya ter­laksana, semua rakyat yang hadir dalam upacara pe­lantikan sultan ini, menyatakan kesetiaannya dengan Penuh ruhul jihad dan mati syahid. Pasukan tentara Islam dibawah pimpinan Suitan Babullah sendiri bergerak menuju kedua jurusan: satu pasukan tentara Islam dikirim untuk menghancurkan benteng pertahanan Portugis-Kristen di Ternete dan satu pasukan tentara Islam lainnya ditugaskan untuk meng­hancurkan benteng Portugis-Kristen di Ambon. Raja Bacan yang telah menjadi pemeluk Kristen sepenuhnya memberi bantuan kepada Portugis-Kristen, sedangkan Sultan Tidore menyokong tentara Islam Ternate. Pertempuran dahsyat tak terhindar, sehingga korban dikedua belah-pihak banyak yang berguguran. Berkat semangat mati syahid yang dimiliki oleh pasukan Sultan Ternate, maka akhirnya benteng pertahanan Portugis Kristen di Ambon berhasil di bakar, sehingga hanya sebagian kecil pasukan Portugis-Kristen dapat menyelamatkan diri dan terus ke Malaka. Tinggallah para pemeluk Kristen di Ambon menjadi panik dan cemas, khawatir disembelih oleh tentara Islam Ternate.Tetapi begitu pasukan tentara Islam tiba, dengan tegas mereka menyatakan bahwa umat Kristen Ambon akan diampuni dan tidak akan dipaksa masuk agama Islam, asal mengakui tunduk kepada kekuasaan Sultan Babullah.Yang dikejar dan harus dibunuh adalah penjajah Portugis-Kristen sebagai pengkhianat yang keji. Walau benteng pertahanan Portugis-Kristen Ambon telah ditaklukkan, tetapi benteng pertahanan Portugis-­Kristen di Ternate sendiri masih mampu bertahan selama lima tahun lamanya. Benteng pertahanan Portugis-Kristen di Ternate yang terkurung selama lima tahun lamanya dan bantuan dari tentara Portugis-Kristen yang didatangkan dari Malaka dan Goa tidak mampu menembus blokade pasukan Sultan Ternate, akibatnya timbul kelaparan dan penyakit yang melanda pasukan Portugis-Kristen yang terkurung itu. Dan alternatif satu-satunya tidak lain adalah menyerah kalah kepada tentara Islam Ternate. Mendengar penderitaan dan kesengsaraan yang diderita oleh tentara Portugis-Kristen di dalam benteng yang terkurung itu maka Sultan Babullah mengirim utusannya kepada mereka yang terkurung di dalam benteng untuk menerima usul Sultan. Isi usul atau tawaran Sultan itu antara lain berbunyi: "Apabila orang-orang Portugis mau mengakui kekalahannya dalam 24 jam ini, Sultan bersedia memberi izin tentara Portugis-Kristen meninggalkan benteng itu dengan senjatanya sekaligus dan terus berangkat ke Malaka atau tempat lain. Bahkan jika bangsa Portugis-Kristen bersedia menyerahkan hidup-hidup Gubernur de Masquita ketangan Sultan, untuk menjalankan hukum "qishas", maka sultan bersedia untuk melakukan per­janjian persahabatan kembali dengan Portugis-Kristen, dengan tidak mengurangi kedaulatan Sultan Ternate atas negeri dan rakyatnya. Akhirnya pada akhir tahun 1575 tentara Portugis-­Kristen menyerah kepada Sultan Babullah, dan berkibarlah bendera pemerintahan Islam di benteng tersebut untuk selama-lamanya, menggantikan bendera Portugis-Kristen. Perang Makassar Apabila suasana yang agak tenang setelah "perang laut" dipergunakan oleh Sultan Agung Mataram untuk menaklukkan Giri, maka Belanda menggunakan suasana ini untuk menaklukkan Kesultanan Hasanuddin di Makasar. Konfrontasi antara kekuasaan Hasanuddin dengan Belanda telah berjalan agak lama, yaitu sejak Hasanuddin mampu menyatukan semua sultan-sultan Makasar dan Bugis di bawah satu panji-panji Islam. Kesatuan ini menumbuhkan kekuatan yang dapat menyaingi kekuatan Belanda di laut Jawa dan bahkan di laut Maluku dalam perdagangan rempah-rempah. Konfrontasi Belanda-Hasanuddin menyulut perang terbuka di antara kedua kekuatan tersebut. Pada tahun 1633, Belanda mengepung pelabuhan Makasar dengan jalan blokade dan sabotase, tetapi sia-sia. Sebab kekuatan pasukan Sultan Hasanuddin mampu mendobrak blokade itu dan mematahkan semua sabotase yang dilakukan Belanda. Kegagalan ini mendorong pihak Belanda mengadakan damai dengan Sultan. Kemudian pada tahnn 1654 sekali lagi Belanda-Kristen mengerahkan armadanya yang besar untuk menyerang Makasar. Pertempuran berkobar dengan dahsyat, tetapi berkat keberanian tentara Islam Hasanuddin berhasil memukul mundur dan memporak-perandakan armada Belanda-Kristen. Dan untuk kesekian kalinya Belanda mengajak damai dengan Sultan. Dari kegagalan penyerangan yang kedua ini, Belanda mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang kondisi psikologis dan politik Kesultanan Hasanuddin. Akhir­nya didapatkan bahwa kekuasaan Sultan Hasanuddin Makasar sangat tidak disenangi oleh sultan-sultan bawahannya dari Bugis. Ketidak-senangan ini diperguna­kan sebaik-baiknya oleh Belanda dengan jalan meng­undang Aru Palaka, Sultan Bugis di Bone untuk datang ke Batavia dalam rangka kerjasama, politik dan militer. Pertemuan antara Aru Palaka dengan Gubernur Jenderal Brouwer menghasilkan perjanjian kerjasama politik-­militer, yaitu Aru Palaka dan Belanda akan bersama-sama menyerang Makasar; dan jika serangan ini berhasil mengalahkan Makasar, maka Aru Palaka akan diangkat menjadi Sultan Bugis di Bone secara penuh dan bersahabat hanya dengan Belanda. Pada tahun 1666 armada laut Belanda yang berkekuatan 20 buah kapal dengan prajurit 600 orang, dibawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman menyerang pasukan Makasar dari laut dan pasukan Aru Palaka Bone yang dipersenjatai oleh Belanda menyerang dari arah darat melalui Sopeng. Menghadapi serangan dari dua jurusan pasukan Sultan Hasanuddin bertekad bulat untuk mati syahid, mempertahankan Islam dan ke­hormatan kaum muslimin. Pertempuran dahsyat terjadi, perang tanding antara pasukan Makasar dengan pasukan Aru Palaka berjalan sangat mengerikan dan pasukan Belanda secara gencar menembakkan meriam-meriamnya dari laut, sehingga korban berjatuhan tak terhingga banyaknya, terutama di pihak pasukan Makasar. Dalam kondisi yang demikian, Sultan Hasanuddin mengundurkan pasukannya sambil melakukan konsolidasi yang lebih baik. Setelah konsolidasi dilakukan, per­tempuran dimulai lagi dengan penuh semangat mati syahid. Tetapi karena kekuatan tak seimbang, baik dalam bentuk jumlah pasukan maupun persenjataan, akhirnya pada tahun 1667 menyerahlah Sultan Hasanuddin. Penyerahan Sultan ini tertuang dalam "Perjanjian Bongaya". Dalam isi perjanjian ini disebutkan bahwa daerah-daerah taklukan Sultan Hasanuddin seperti Ternate, Sumbawa dan Buton kepada Belanda. Aru Palaka menjadi Sultan di Bone dengan daerah yang lebih luas dan senantiasa dalam perlindungan Belanda. Sedangkan Sultan Hasanuddin hanya memperoleh daerah Goa dan kota Makasar saja. Kekalahan Makasar ini, mengakibatkan banyak di antara para pejuang dan panglima pasukan Sultan Hasanuddin ini yang berhijrah ke Jawa, seperti Kraeng Galesung dengan pasukannya yang menggabungkan diri dengan Trunojoyo di Jawa Timur dan sebagian lagi dibawah seorang ulama besar Syekh Yusuf menggabung­kan diri dengan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten dalam melawan Belanda. Perang Banten Kemenangannya dengan Sultan Hasanuddin pada tahun 1667, membawa tekad yang lebih besar bagi Belanda untuk menundukkan Banten di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Strategi ini ditempuh, pertama, karena Banten adalah kekuasaan pemerintah Islam yang paling dekat dengan Batavia, dan senantiasa bisa mengancam keamanan dan ketenteraman Belanda di pusat pemerintahannya di Batavia. Kedua, Belanda telah mengadakan perjanjian damai dengan pemerintahan Mataram di bawah pimpinan Sultan Amangkurat I, putera Sultan Agung. Sebelum konfrontasi bersenjata antara Belanda dengan Banten dibicarakan, sebaiknya diketahui tentang kondisi pemerintahan Islam di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia naik tahta kesultanan Banten pada tahun 1651, menggantikan ayahnya Sultan Abul Fath. Sejak kepemimpinannya, Banten telah naik kembali harkat dan martabatnya, sehingga kehidupan ekonomi berjalan sangat baik, pelabuhan Banten ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang darl Pilipina, Jepang, Cin:a, India, Persia dan Arab. Islamisasi berjalan dengan sangat mantap, berkat kehadiran seorang ulama besar dari Makasar yang bernama Syeikh Yusuf. Perannya yang besar, dalam peningkatan Islamisasi di Banten; me­nyebabkan ia diambil menjadi menantu oleh Sultan. Setelah sepuluh tahun memerintah dengan sukses, Sultan mencoba menyiapkan penggantinya yaitu putera­nya Pangeran Ratu untuk memegang kekuasaan di dalam negeri. Untuk meningkatkan komunikasi dengan dunia Islam, Sultan pada tahun 1674 telah mengutus puteranya Pangeran Ratu atau dengan sebutan Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar untuk melawat ke dunia Islam dan sekaligus naik Haji ke Mekah. Perjalanan ini memakan waktu kurang lebih dua tahun. Sekembalinya dari perlawatannya, ia diberikan kembali jabatan sebagai Sultan Muda, yang memerintah dalam negeri Banten, dengan sebutan Sultan Haji. Pergaulannya dengan para pejabat dan pengusaha Belanda yang mempunyai loji di Banten mempengaruhi pandangan hidupnya. Apalagi setelah di ketahui bahwa adiknya pangeran Purbaya, yang mempunyai watak dan akhlaq menyerupai ayahnya dan lebih disenangi oleh para bangsawan Banten, menumbuhkan rasa kecurigaan, jika pengganti ayahnya itu akan beralih kepada adiknya. Perasaan kecurigaan dan ambisinya yang cepat menjadi sultan penuh, mendapat tanggapan positif oleh Belanda, yang sehari-harinya banyak bergaul dengan Sultan Haji. Persekutuan atau lebih tepat persekongkolan antara Sultan Haji dengan Belanda untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purbaya berjalan dengan rapi. Peristiwa perompakan atau pembajakan kapal milik Banten yang pulang dari Jawa Timur oleh kapal-kapal Belanda, menimbulkam amarah Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga ia menyatakan perang kepada Belanda. Kebijaksanaan ini ditentang keras oleh anaknya Sultan Haji. Bahkan atas bantuan Belanda pada tanggal 1 Maret 1680, Sultan Haji menurunkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan dan mengangkat dirinya men­jadi Sultan Banten. Tindakan pemecatan Sultan Ageng Tirtayasa menimbulkan reaksi besar dari para bangsawan Banten di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan para ulama dan rakyat di bawah pimpinan Syeikh Yusuf. Secara spontan rakyat Banten tidak mengakui kepemimpinan Sultan Haji di Banten. Dan sebaliknya mereka ber­kumpul dihadapan Sultan Ageng Tirtayasa untuk me­nyatakan kesetiaannya dan bersedia berperang untuk menurunkan Sultan Haji dan Belanda-Kristen yang menjadi biang keladinya. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil me­nguasai seluruh Banten, kecuali istana Sultan Haji yang dikelilingi oleh benteng pertahanan yang kuat. Dalam situasi seperti itu, sesuai dengan persekongkolannya dengan Belanda, Sultan Haji meminta bantuan pasukan Belanda, yang berpangkalan tidak jauh dari pantai Banten. Dengan seketika itu pula armada pasukan Beianda-Kristen di bawah pimpinan Laksamana De Saint Martin pada tanggal 8 Maret 1680 mendarat di Banten. Untuk memperkuat pasukannya, Belanda mengirim­kan lagi satu armadanya di bawah pimpinan Laksamana Tak. Pada tanggal 7 April 1680 pagi-pagi buta pasukan Sultan Ageng dibawah pimpinannya langsung, didampingi oleh anaknya pangeran Purbaya dan menantunya Syeikh Yusuf melakukan serangan umum yang mematikan, terhadap kehidupan Sultan Haji dan pasukan Belanda. Dalam keadaan yang sangat kritis, Laksamana Saint Martin dan Tak menyodorkan 'surat perjanjian' kepada Sultan Haji untuk ditanda-tangani, jika bantuan pasukan Belanda diperlukan oleh Sultan. Untuk mem­pertahankan hidupnya dan kekuasaannya, Sultan Haji menanda-tangani surat perjanjian yang sangat merugi­kan itu untuk selama-lamanya. Setelah perjanjian selesai ditanda-tangani, mulailah pertempuran dahsyat antara pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dengan pasukan Belanda meledak. Meriam-­meriam besar milik pasukan Belanda-Kristen dimuntah­kan sebanyak-banyaknya ke tengah-tengah pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga menimbulk.an korban yang banyak sekali, gugur menjadi syuhada. Kekuatan senjata yang sangat tidak seimbang, mengakibatkan pasukan Sultan Ageng mengalami kekalahan besar dan akhirnya ia, bersama pasukannya mengundurkan diri ke istananya di Tirtayasa dekat Pontang. Tetapi tidak lama kemudian pasukan Belanda me­ngejarnya dan mengepung kota tersebut. Atas perintah Sultan Ageng, istana di bumi hanguskan, dan ia bersama Pangeran Purbaya dan Syeikh Yusuf serta pasukannya mengundurkan diri ke pedalaman dan membuat markasnya di Lebak (Rangkasbitung). Dari sini Sultan Ageng melancarkan pertempurannya dengan Belanda selama hampir setahun. Tetapi kemudian dalam per­tempuran itu kerugian senantiasa diderita oleh pasukan sultan, bahkan Syeikh Yusuf sendiri tertangkap. Karena sudah tidak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan pe­perangan, akhirnya pada bulan Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa menyerah dan ia ditawan oleh Belanda di Batavia sampai wafatnya pada tahun 1695. Syeikh Yusuf yang ditangkap oleh Belanda dibuang mula-mula ke Sailan (Ceylon), kemudian ke Afrika Selatan dan di sana ia wafat, sedangkan Pangeran Purbaya meneruskan perjuangannya dengan bergerilya di daerah Periangan, tetapi akhirnya juga menyerah. Selanjutnya, isi perjanjian antara Belanda dengan Sultan Haji, yang ditanda-tangani pada saat-saat genting itu berisi antara lain: (a) Semua hamba-sahaya (budak) milik Belanda yang lari melindungi diri ke Banten, wajib dikembalikan kepada Belanda; (b) orang-orang Belanda yang membelot ke Banten dan bekerja untuk kepentingan Banten, seperti Cordeel, wajib diserahkan kepada Belanda; (c) Banten tidak boleh turut campur tangan dalam masalah-masalah politik di Cirebon dan daerah-­daerah lain yang berada di bawah wewenang Mataram; (d) Segala kerugian yang diakibatkan oleh bajak laut dan sabotase oleh Banten terhadap milik Belanda, wajib ganti rugi di bayar oleh Banten; (e) orang-orang asing tidak dibenarkan untuk melaku­kan kegiatan ekonomi di Banten, kecuali orang-orang Belanda. Sultan Haji yang mengangkat dirinya menjadi sultan Banten sejak tanggal 1 Maret 1680 sampai wafatnya tahun 1687, pada hakekatnya telah menjadi bawahan Belanda-Kristen dan menyerahkan Banten ke bawah telapak jajahan Belanda dengan menumpahkan darah ayahnya dan saudara-saudaranya sendiri serta rakyat Banten. Setelah Sultan Haji wafat pada tahun 1687, ia diganti­kan oleh puteranya dengan gelar Abu Fadl Muhammad Yahya. Pada tahun 1690, baru tiga tahun ia bertahta, Sultan Yahya wafat pula dan digantikan oleh adiknya Abu Mahasin Zainal Abidin. Gelar sultan setelah ke­kuasaan Sultan Haji pada dasarnya hanya 'sultan boneka Belanda', sebab yang berkuasa sebenarnya adalah Belanda. Selanjutnya berdasarkan keputusan pemerintah Belanda di Nederland, pada tahun 1798 Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang didirikan sejak tahun 1606 dinyatakan bubar; segala hak-milik dan hutang-hutangnya seluruhnya diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Keputusan itu berlaku terhitung mulai tanggal 31 Desember 1799. Selanjutnya daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda dengan jalan membentuk pemerin­tahan jajahan dengan nama 'Nederlandsch Indie' (Hindia Belanda). Dengan keputusan ini, secara resmi Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda. Untuk mengelola Hiindia Belanda ini, maka pada tanggal 28 Januari 1807 Herman Willem Daendels telah diangkat menjadi Gubernur Jenderal, yang mulai berlaku pada hari keberangkatannya dari Nederland ke Indonesia yaitu pada tanggal 18 Februari 1807. Ia baru tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808 dan pada tanggal 15 Januari 1808 timbang-terima dari Gubernur Jenderal Wiese sebagai pejabat tertinggi V OC terakhir dengan Gubernur Jenderal H.W. Daendels sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda dilangsungkan di Batavia. H.W Daendels yang mempunyai tugas utama meng­konsolidir kekuatan militer Hindia Belanda untuk meng­hadapi kemungkinan serangan Inggeris, maka pekerjaan pertama adalah membuat pelabuhan armada perang yang berpusat di ujung Kulon dan Merak, Banten-Jawa Barat. Untuk melaksanakan proyek ini H.W Daendels telah mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa yang ter­diri dari rakyat Banten. Kerja paksa (rodi) yang di luar batas kemanusiaan mengakibatkan tidak kurang 1500 orang telah meninggal dunia. Melihat nasib rakyat yang malang ini, Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja dari Banten menolak untuk turut serta melanjutkan proyek tersebut dengan jalan tidak lagi mau mengirimkan tenaga kerja ke sana. Penolakan sultan ini menimbulkan amarah Gubernur Jenderal, sehingga ia mengirimkan pasukan militer untuk menangkap Patih Wargadireja; yang dianggap sebagai pimpinan pembangkang, dan memerintahkan sultan untuk memindahkan istananya ke Anyer serta harus me­ngirimkan setiap hari 1000 tenaga kerja paksa ke proyek­-proyek Daendels. Pasukan Belanda yang dikirimkan kepada sultan disergap oleh prajurit dan rakyat Banten, kemudian dibunuh semuanya: Benteng Belanda yang ada di sekitar istana dan pegawai-pegawai Belanda yang diperbantu­kan di istana sultan semuanya diserbu dan dibunuh. Perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa kolonial Belanda yang bersifat putus asa telah berkembang menjadi huru-hara yang menyulut seluruh Banten. Dalam menghadapi gerakan perlawanan Sultan Banten ini, H.W. Daendels telah mengirimkan pasukan militer yang besar sekali dari Batavia. Ibukota kesultan­an Banten diserang habis-habisan dengan jalan pem­bunuhan massal dan perampokan harta milik rakyat Banten yang seluruhnya dilakukan oleh pasukan Belanda. Patih Wargadireja yang mati tertembak dalam per­tempuran itu, jenazahnya dilemparkan ke laut oleh tentara Belanda. Sultan Abdul Nasar ditangkap dan di­buang ke Ambon dan seluruh daerah kesultanan di­rampas, serta langsung dalam penguasaan Belanda dari Batavia. Untuk basa-basi putera mahkota diangkat men­jadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Muhammad Aliuddin, yang berkuasa atas sebagian kecil saja dari daerah kesultanan Banten. Kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh pasukan Belanda tidak menyebabkan matinya ruhul jihad (semangat berjuang) untuk melawan setiap bentuk kezaliman dan ketidak-adilan yang dilakukan oleh pen­jajah kafir Kristen. Di bawah pimpinan Pangeran Ahmad kekuatan perlawanan rakyat disusun kembali dan kali ini bukan hanya rakyat Banten tetapi juga dengan mengikut sertakan rakyat Lampung. Potensi rakyat besar yang disertai dengan tekad mati syahid di medan pertempurann perlawanan rakyat Banten-Lampung ini sulit untuk dapat ditumpas oleh Belanda-Kristen. Ber­ulang kali pasukan militer Belanda yang dikirimkan dari Batavia untuk menghadapi perlawanan rakyat Banten-­Lampung di bawah pimpinan Pangeran Ahmad senan­tiasa kandas dan gagal. Perlawanan rakyat Banten-Lampung tambah seru, setelah H.W. Daendels membuka proyek jalan raya dari Anyer sampai Panarukan yang Panjangnya kurang lebih 1000 km, dengan tenaga kerja rodi. Para pekerja yang terdiri dari antara lain rakyat Banten dalam proyek jalan raya Anyer-Panarukan itu, tak ubahnya bagaikan budak belian yang pernah dijumpai dalam zaman Romawi kuno. Perlakuan kejam dan sadis oleh pasukan Belanda-Kristen ini, yang memperpanjang proses per­lawanan rakyat Banten-Lampung. Walau akhirnya, perlawanan Pangeran Ahmad dengan rakyatnya bisa ditumpas oleh Belanda. Kekejaman dan kebiadaban penguasa kolonial Belanda yang dilakukan di Indonesia, selain pandangan hidup yang dimiliki dari ajaran Kristen, yang meng­anggap umat Islam adalah keturunan palsu-penyembah syaitan dan manusia setengah monyet, juga karena dasar untuk mengatur pemerintahannya hanya berorientasi kepada kekuasaan tanpa hukum. Sebab hukum kolonial zaman VOC berkuasa yang ada hanya di Batavia dengan nama 'Statuta Betawi', yang berlaku untuk daerah 'Bataviase Ommelanden', dengan batas-batasnya: · sebelah barat yaitu sungai Cisadane; · sebelah utara yaitu teluk Batavia; · sebelah timur yaitu aungai Citarum; · belah selatan yaitu samudera Hindia. Kemudian bagi beberapa daerah para penguasa VOC mencoba mengadakan kodifikasi dari hukum adat, untuk mengadili penduduk yang tunduk pada hukum adat, misalnya: (a) Kodifikasi hukum adat Cina yang berlaku bagi orang-orang Cina yang tinggal di sekitar pusat ke­kuasaan VOC; (b) Kodifikasi pepakem Cirebon, dimaksudkan berlaku bagi penduduk bumi putera (penduduk asli) di Cirebon dan sekitarnya; (c) Kodifikasi Kitab Hukum Mogharraer yang berlaku bagi penduduk bumi putera di Semarang dan sekitarnya; (d) Kodifikasi hukum adat Bone dan Goa, yang berlaku bagi penduduk bumi putera Bone dan Goa. Dari fakta-fakta tentang hukum positif yang di­gambarkan di atas jelas bahwa penguasa VOC sebagai penguasa kolonial dalam mengatur daerah jajahannya (Indonesia) dari sejak tahun 1606 sampai dengan tahun 1798 semata-mata berdasarkan 'kekuasaan' dan bukan berdasarkan hukum. Begitu pula penguasa Hindia Belanda yang mewarisi Indonesia sebagai daerah jajahan dari VOC tidak mendasarkan pemerintahannya dengan hukum, tetapi semata-mata berdasarkan kepentingan kekuasaan. Sebab baru pada tanggal 16 Mei 1846 penguasa Hindia Belanda melalui Keputusan Raja Belanda di. Nederland telah mengeluarkan pengumuman Pengaturan Baru Tata Hukum di Indonesia, yang dimuat di dalam STB 1847, No. 23. Pada saat berlakunya 'Tata Hukum Baru' itu maka terhapuslah ketentuan Hukum Belanda Kuno dan Hukum Romawi; demikian juga segala peraturan dengan nama 'verordeningen, reglementen, publication, ordonansien, instruksien, plakkaten, statuten, costumen; dan pada umumnya segala peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang.di Indonesia mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak tegas di­pertahankan untuk seluruh Indonesia atau sebagiannya. Pada pasal 1 dari keputusan Raja Belanda itu, meng­atur antara lain tentang: (a) Ketentuan umum tentang perundang-undangan; (b) Peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijak­sanaan pengadilan; (c) Kitab Hukum Perdata; (d) Kitab Hukum Dagang. Sedangkan pengaturan tentang Hukum Pidana termuat dalam pasal 8 dari keputusan raja tersebut di atas. Tetapi penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dapat direalisasikan pada tahun 1886, di mana pada waktu itu negeri Belanda telah membuat Kitab Undang-undang Hukum Pidana sendiri yang bernama 'Nederlandsch Wetboek van Strafrecht'. Bagi Indonesia yang menjadi daerah jajahan Belanda dengan Hindia Belanda sebagai penguasanya, waktu itu dibuatkan pula Kitab Undang-Undang Hukum Pidana guna masing-masing golongan sendiri-sendiri, yaitu: (a) Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan Koninklijk Besluit tertanggal 10 Februari 1886; berisi mengenai tindak kejahatan saja; (b) Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk bumi putera dan timur asing, ditetapkan dengan Ordonansi 6 Mei 1872, berisi hanya mengenai tindak kejahatan saja; (c) Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan Ordonansi tertanggal 15 Juni 1872, yang berisi hanya tentang tindak pelanggaran saja; (d) Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan bumi putera dan timur asing, ditetapkan dengan ordonansi tertanggal 15 Oktober 1915. Uraian historis tentang hukum positif yang diguna­kan oleh penguasa kolonial Hindia Belanda di Indonesia; baru secara formal diatur pada tahun 1846, yang pelaksanaannya baru bisa dilaksanakan pada tahun 1886. Dengan demikian penguasa Hindia Belanda yang mengambil-alih kekuasaan VOC pada tahun 1799 dan secara efektif baru berjalan sejak Januari 1808, dengan Gubernur Jenderal. Daendels sebagai penguasa tertingginya, maka roda pemerintahan kolonial Belanda diatur semata-mata berdasarkan kekuasaan sampai pada tahun 1886. Oleh karena itu hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia selama hampir 100 tahun Hindia Belanda berkuasa, senantiasa tergantung pada selera dan keinginan penguasa kolonial. Nilai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk seluruhnya tergantung kepada per­timbangan akal dan hawa nafsu penguasa kolonial Belanda. Kriteria mengenai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk sepenuhnya kembali kepada benak dan perut penguasa kolonial Belanda. Dengan kata lain, hampir satu abad penguasa Hindia Belanda berkuasa di Indonesia (dari 1799-1886) hukum yang berlaku adalah hukum rimba. Kekejaman dan kebiadaban yang pola contohnya telah diberikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels adalah merupakan pola kekuasaan Hukum rimba yang diwarisi turun-menurun oleh penguasa kolonial Belanda sampai mereka angkat kaki dari Indonesia pada tahun 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia. Kekejaman dan kebiadaban yang tak terperikan itu, yang melahirkan perlawanan umat Islam sepanjang masa, dalam periode kekuasaan kolonial Belanda. Perang Jawa Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mem­bicarakan sekitar 'Perang Jawa', sebaiknya kita ber­bicara serba sedikit tentang pelaku-pelaku utama dari perang Jawa tersebut, untuk mendapat gambaran mengenai corak perang yang menggoncangkan.eksistensi kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo. Di tempat ini, selain memperdalam pengetahuannya tentang Islam, ia juga secara tekun untuk melaksanakan ketentuan-­ketentuan syari'at Islam. Hal ini menyebabkan ia kurang senang mengikuti kakeknya Sultan Yogyakarta dan karenanya jarang sekali datang di kraton, kecuali pada waktu perayaan Grebeg, seperti perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha dimana kehadirannya diharuskan. Pada waktu ia berumur 20 tahun telah berhasrat hidup sebagai fakir (sufi), sehingga seringkali keliling mengunjungi masjid, di mana ia dapat bergaul dengan para santri. Di bagian lain dari bukunya itu, Diponegoro bercerita, ketika ia sedang berada di gua Secang, ia dikunjungi oleh seorang berpakaian haji yang mengaku dirinya utusan Ratu Adil, yang meminta pada Diponegoro untuk menemuinya di puncak gunung yang bernama gunung Rasamani, seorang diri. Diponegoro segera mengikuti utusan itu hingga sampai di puncak gunung. Di sana ia berjumpa dengan Ratu Adil yang memakai serban (ikat kepala model Arab) hijau dan jubah (pakaian khas Arab yang panjang dengan lengan tangan lebar pula) dari sutera; dengan celana dari sutera juga. Ratu Adil mengatakan kepada Abdul Hamid (Diponegoro) bahwa sebabnya ia me­manggil Diponegoro adalah karena ia mewajibkannya untuk memimpin prajuritnya untuk menaklukkan Pulau Jawa. Kalau ada orang yang menanyakan padanya, kata Ratu Adil, "siapa yang memberi kuasa padanya?" Diponegoro harus menjawab, bahwa: "yang memberi kuasa padanya adalah Al-Qur'an". Di bagian lain Diponegoro menceritakan, bahwa pada suatu waktu, ketika ia duduk di bawah pohon beringin, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa ia akan diangkat menjadi Sultan Erucakra, Sayidina Panatagama, Khalifah daripada Rasulullah. Oleh karena itu Diponegoro dalam memimpin "Perang Jawa" ini senantiasa diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari'at Islam itu tegak di dalam daerah kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi "Surat ini datangnya dari saya Kanjeng Gusti Pungeran Diponegoro bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun perempun, besar atau kecil tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan 'betulkan agama Rasul'. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal lehernya…" Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825). Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang penasehat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada perjuangan yang dipimpinnya. Disamping penasehat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo. Sebelum 'perang Jawa' pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro, sehingga tatkala perang di­cetuskan ia bersama anaknya Kiai GazaIi dan para santrinys bergabung dengan pasukan Diponegoro. Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) adalah putera Raden Rangga Prawiradirja III yang gugur di dalam pertempuran melawan pasukan Belanda. Ibu Prawiradirja (nenek Alibasah) adalah puteri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi apabila dilihat dari silsilah keturunannya, ia adalah keturunan kraton Yogyakarta yang mempunyai hubungan darah dengan Diponegoro. Dilihat dari namanya, ia adalah seorang muslim. Pada saat 'perang Jawa' pecah, Alibasah masih muda sekali yaitu berumur 16 tahun. Sebagai remaja yang penuh semangat perjuangan yang diwarisi dari ayahnya, pengaruh agama Islam juga sangat besar dari tokoh utama perang Jawa, yaitu Diponegoro dan Kiai Mojo. Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman dan tirani yang bertitik kul­minasi dengan meletusnya petang tersebut. Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19, di mana daerah-daerah di Indonesia rakyat tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka dapat mengandalkan untuk mendapatkan dukungan kuat dari rakyat. Para penguasa kolonial Belanda terus menerus konfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia mendorong mereka untuk mempersatukan.diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Istam, sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum. Ini dapat disaksikan dalam perang Jawa, perang Bonjol, perang Aceh. Lebih daripada itu keadaan perang ternyata menambah prestise dan kekuatan para 'ekstremis' di antara kiai itu untuk menggunakan senjata "Perang Sabil". Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan pada tanggal 2 April 1792. Dalam masa kesultanannya, Gubernur Jenderal H.W. Daendels telah mengeluarkan peraturan yang men­sederajatkan pejabat-pejabat Belanda seperti Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-­upacara resmi. Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan Belanda) yang dipecat oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula. Tetapi sebaliknya Raden Rangga Prawiradirja III, yang menjadi bupati-wedana Mancanegara Yogyakarta, yang senantiasa menentang campur tangan Belanda, untuk diserahkan kepada Belanda guna mendapat hukuman. Tuntutan Daendels ini ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia mengirimkan pasukan Belanda untuk menundukkan sultan. Pertempuran terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi ke­kalahan berakhir bagi pasukan sultan, di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran, dan Sultan Hamengku Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta dan digantikan oleh puteranya Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan Raja. Sultan Hamengku Buwono III ini adalah ayah dari Diponegoro. Pertentangan antara Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku Buwono III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yang pada saat itu telah cukup dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan ia secara politik berpihak kepada Sultan Hamengku Buwono II atau disebut Sultan Sepuh. Kemarahan Sultan Sepuh dan Diponegoro, bukan hanya Daendels secara sewenang-wenang menurunkan­nya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga daerah-daerah seperti Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto yang selama ini berada dibawah kekuasaan kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda. Peran Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan rakus berakhir pada tanggal 16 Mei 1811, dan digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan Jansens sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu pasukan Inggeris menyerbu Belanda, di mana akhirnya Belanda menyerah kalah di Kali Tunntang, Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan kekuasa­an antara Belanda kepada Inggeris, dipergunakan se­baik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) untuk merebut kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan bahkan sultan sepuh memerintahkan agar Patih Danureja II dihukum mati, karena persekongkolannya dengan Belanda. Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai Guber­nur Jenderal penguasa kolonial Inggeris di Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetap mengakui Sultan sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom. Tetapi tatkala Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto sebagai warisan dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan Hamengku Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggeris. Pertentangan ini menjadi alasan bagi Raffles untuk mengirimkan pasukan guna menundukkan Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan sepuh ditangkap dan dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggeris menjadi Sultan Hamengku Buwono III pada tanggai 28 Juni 1812. Untuk memberikan imbalan jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yang merdeka dengan Gelar Paku Alam I; dan Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan pula tanah dan pangkat dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813). Hal ini tentu saja suatu pukulan hebat bagi kesultan­an Yogyakarta dan bagi para bangsawannya, karena kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin susut dan banyak yang hilang. Seperti halnya Daendels, maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada orang-orang swasta, seperti orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk mem­peroleh penghasilan bagi penguasa kolonial Inggeris. Disamping itu Raffles banyak membawa perubahan dan pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain mengadakan pajak tanah. Para petani diharuskan menyerab:kan sepertiga dari hasil buminya kepada penguasa, baik dalam bentuk natura maupun uang. Selanjutnya pada tanggal 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam usia 43 tahun; ia digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yang bernama Jarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik Diponegoro dari lain ibu. Karena usia sultan masih sangat muda, maka di­bentuklah sebuah 'Dewan Perwalian' dengan Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini, pada tanggal 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggeris di Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sultan Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember 1822 wafat; ia diganti­kan oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25 Januari 1820), bernama Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V Karena Sultan Bamengku Buwono V masih kecil, maka dibentuk 'Dewan Perwalian' yang terdiri atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perem­puan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana (ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman Diponegoro) dan Diponegoro sendiri. Dewan perwalian, yang hampir sepenuhnya ditentu­kan oleh penguasa kolonial Belanda, yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka Diponegoro menolak menjadi wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar untuk memfitnah Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan para kolaborator dari kalangan istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi sultan. Peran penguasa kolonial Belanda dan Inggeris yang seenaknya mengotak-atik pemegang tampuk pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasa­annya dengan jalan merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai tanam paksa dan pajak-pajak yang tinggi, adalah masalah yang susun susul-menyusul, yang menumbuhkan kebencian dan kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mem­punyai harga diri dan cinta terhadap kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap kezaliman dan tirani, baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri. Perasaan kesal dan marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan Cina sebagai pemegang kunci yang menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan sosial, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan, bahkan sampai ke kraton. Dominasi Cina di dalam bidang ekonomi dan sosial, yang mulai sejak Sultan Agung Mataram (1613-1646) sampai dengan Sultan Hamengku Buwono III (1812-­1814), dimana sebagian orang kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan sultan dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), adalah. bentuk-bentuk kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram dan dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan dengan syahbandar-syahbandar yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan tanah yang jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yang di­monopoli oleh Cina, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah kemiskinan rakyat hingga menjadi melarat dan sengsara. Padahal sejak kehadiran Penguasa kolonial Belanda di Indonesia sampai saat keruntuhan Mataram, Cina senantiasa membantu dan bekerjasama dengan pe­nguasa kolonial Belanda menghancurkan kesultanan Mataram. Letusan perang Jawa ini hanya tinggal me­nunggu waktu yang tepat saja lagi. Api penyulut cukup sebatang korek api, tetapi lalang kering kerontang yang kena sulutan korek api itu akan meledak menjadi kebakaran yang sulit untuk dipadamkan. Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemilik­nya. Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-­pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV. Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yang menyatakan bahwa penguasa kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar berita ini, rakyat yang telah dendam dan marah terhadap penguasa kolonial Belanda berkumpul menyatakan setia untuk membela dan mempertahankan Diponegoro, jika rencana penangkapan itu terjadi. Ketegangan ini menimhulkan kegelisahan Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senan­tiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: "Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudura-­saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang men­cintai saya datangdah segera dan bersiap-siap untuk bertempur." Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat! Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang ber­sama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan 'perang sabil' ter­hadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-­Kristen meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai'ah (janji setia perjuangan). Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert meng­utus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan "Perang Jawa". Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi "Perang Jawa" yang dahsyat. Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik "serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi", merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuh­kan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa. Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus­kan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro. Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas. Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda me­ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung me­nyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Dipo­negoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal. Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai pang­lima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta me­nyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V. Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang me­lumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan me­lumpuhkan pasukan Diponegoro. Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia melaksanakan "sistem benteng" dalam operasi militer­nya. Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan se­hingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan men­jadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh. Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan. Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-­benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain. Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-­benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain. Sistim benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro. Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik. Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak. Walau demikian, pukulan hebat ini tidak me­nyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto. Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten. Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apa­pun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo. Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen. Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan per­damaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumeng­gung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari'at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda. Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-­daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota Yogyakarta. Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan ­Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri. Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala ­bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda. Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro. Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda. Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini. Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda. Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan. Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantissa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian­-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran. Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pssukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan per­tempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari. Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya diper­gunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya. Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Dipo­negoro di markas besarnya di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat di terima di markas per­juangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba ter­dengar suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan me­merintahkan agar pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat. Pada bulan Februari 1829 Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasah, panglima muda ­remaja yang sangat ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Ali­basah dengan pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai. Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan. Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka. Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis­pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De Kock. Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran Belanda. Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangku­bumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ter­nyata gagal. Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja. Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap "kantong kantong" persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini diper­gunakan untuk melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil me­lemahkan semangat tempur Diponegoro. Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman. Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat per­tempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro. Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibat­kan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold. Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga Pangeran Mangku­bumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda. Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tunenggung Wanareja dan Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 Sep­tember 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 Septem­ber 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukan­nya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda. Pada tanggal 21 September 1829 atas nama pemerin­tah Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman tentang 'hadiah besar' bagi setiap orang yang dapat menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: "Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas". Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma. Bulan September 1829 benar-benar bulan yang me­nyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta. Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangku­bumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro sendiri. Menyerah­nya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro. Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu: (a) Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.- (b) Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai­an seragam; (c) Memberikan 400 - 500 pucuk senjata api; (d) Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia; ­ (e) Mereka bebas menjalankan agamanya, (f) Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak; (g) Diizinkan pasukannya memakai surban. Tawar-inenawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali­basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia. Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, ter­tanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: "...saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha me­nyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ..... seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus di­sertai beberapa pengorbanan dari pada kita." Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain berbunyi: "Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus diper­gunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak. Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia me­menuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintah­kan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lain­nya seluruhnya dipenuhi. Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah. Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali­basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-­tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di­alami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat meninggal­kannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau me­nyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan! Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna mem­berikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus­-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri). Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda. Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan per­tama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen. Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia. Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilaku­kan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih ter­lalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan pe. rundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda. Pada tanggal 21 Feb­ruari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan. Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat peng­inapan perundingan di Magelang. Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawal­an dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap! Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan di­langsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara. Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock. Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah mem­berikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir. Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: "Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari." Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: "Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa". Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya. Tanda-tanda perundingan babak pertama akan me­nemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe­rundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: "Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas." Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : "Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal." Jenderal De Kock berkata lagi: "Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi." Diponegoro menjawab: "Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?" Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti. Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk se­lanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa ketempat pem­buangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh lima tahun. Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang ber­dasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari'at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa. Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkianat­an bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen. Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian pe­nguasa kolonial Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan. Perang Padri Apabila diteliti masa Perang Padri di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat digolongkan kepada beberapa priode, yaitu: (a) Priode 1809 - 1821 Priode ini adalah merupakan pembersihan yang ditakukan oleh kaum Padri terhadap golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari'at Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran antara kaum Padri melawan golongan penghulu adat. (b) Priode 1821 - 1832 Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda-Kristen yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam masa ini sifat pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial Belanda-Kristen yang mau menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para pe­nguasa bangsa sendiri yang berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang secara gigih oleh kaum Padri. (c) Priode 1832 - 1837 Priode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, dimana kaum Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial Belanda-Kristen. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh para ulama yang tergabunig dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran untuk mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat. Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-­1787). Nama gerakan Wahabi sesunggulinya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum 'Muwahhidin' yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam. Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain: (a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah se­mata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah musyrik; (b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang di­pandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu kemusyrikan; (c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo'a adalah termasuk perbuatan syirik; (d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban; (e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram; (f) Memberantas segala bentuk kemunkaran dan ke­maksiatan; (g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan. Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar me­rupakan tenaga penggerak yang sanggup membangkit­kan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa'ud dan Abdul Azis Ibnu Sa'ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh. Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali ke Sumatera Barat. Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpen­dapat bahwa umat Islam di Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya masing-masing mereka mencoba memberi­kan fatwanya. Haji Muhammad Arifin di Sumanik men­dapat tantangan hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin mendapat perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat Angkat. Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat halangan dan tantangan. Kepindahan Haji Miskin ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di sini ia mendapatkan sahabat-­sahabat perjuangan yang setia; diantaranya yaitu Tuan­ku Nan Renceh di. Kamang, Tuanku di Kubu Sanang; Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Koto di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau, Tuan­ku di Lubuk Aur. Itulah tujuh orang yang berbai'ah (berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji Miskin. Jumlah para ulama yang berbai'ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian terkenal dengan sebutan 'Harimau Nan Salapan'. Harimau Nan Salapan ini menyadari bahwa gerakan ini akan lebih berhasil bilamana mendapat sokongan daripada ulama yang lebih tua dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di Ampat Angkat. Oleh sebab itu Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan lebih lincah telah berkali-kali menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia bersedia menjadi 'imam' atau pemimpin gerakaa ini. Tetapi setelah bertukar-pikiran berulang kali, Tuanku Nan Tuo menolak tawaran itu. Sebab pen­dirian Harimau Nan Salapan hendak dengan segera menjalankan syari'at Islam di setiap nagari yang telah ditaklukkannya. Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan. Tetapi Tuanku Nan Tuo mempunyai pendapat Yang berbeda; ia berpendapat apabila telah ada orang beriman di satu nagari walaupun baru seorang, tidaklah boleh nagari itu diserang. Maka yang penting menurut pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang besar pada setiap nagari. Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya, ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib mantri dan dubalang. Pendapat yang berbeda dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan Tuo dengan Harimau Nan Salapan sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak mungkin Tuanku Nan Tuo dapat diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan ini. Untuk mengatasi masalah ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak Tuanku di Mansiangan, yaitu putera dari Tuanku Man­siangan Nan Tuo, yakni guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di Man­siangan ini bersedia diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo. Karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya sendiri, sulitlah bagi Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang gerakan ini. Padahal hakikatnya yang menjadi imam dari gerakan Hariman Nan Salapan adalah Tuanku Nan Renceh; sedangkan Tuanku di Mansiangan hanya sebagai simbol belaka. Kaum Harimau Nan Salapan senantiasa memakai pakaian putih-putih sebagai lambang kesucian dan kebersihan, dan kemudian gerakan ini terkenal dengan nama 'Gerakan Padri'. Setelah berhasil mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan Padri ini, maka Tuanku Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol dari Harimau Nan Salapan mencanangkan perjuangan padri ini dan memusatkan gerakannya di daerah Kameng. Untuk dapat melaksanakan syari'at Islam secara utuh dan murni, tidak ada alternatif lain kecuali memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik itu ber­ada di tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh kekuasaan politik itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari tangan para penghulu. Karena Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka kekuasaan penghulu Kamang harus diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil dengan baik. Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan Padri ini, ingin mem­buktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-­ulama dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan syari'at Islam secara utuh dan murni. Bertempat di Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-­minuman keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para pengikut­nya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu merealisasikan ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari'at Islam secara keras. Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri. Dengan segala persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang, tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh tersebut untuk membubarkan pesta 'maksiat' yang diselenggarakan oleh golongan penghulu (penguasa). Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut dengan per­tempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil dan mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya di­menangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh, berarti permulaan peperangan Padri. Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi persenjataan pasukan Padri. Tindakan ofensif bagi daerah-­daerah yang menentang kaum Padri segera dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan, kemudian menyusul daerah Tilatang. Dengan demikian seluruh Kamang telah berada di tangan kaum Padri. Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang Rarab dan Guguk jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur dan bahkan pada tahun 1804 seluruh daerah Luhak Agam telah ber­ada di dalam kekuasaan kaum Padri. Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain kesungguhan yang keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat memungkinkan untuk cepat berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal tempat bermukimnya ulama-ulama besar seperti Tuanku Pamansiangan dan Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu sangat tipis. Wibawa para peng­hulu berada di bawah pengaruh para ulama. Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan damai. Sebab penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh kepada kaum Padri serta siap membantu setiap saat untuk kemenangan kaum Padri. Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-­daerah yang berada di dalam kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada setiap nagari diangkat seorang 'Imam dan seorang Kadhi'. Imam bertugas memimpin peribadahan seperti sembah­yang berjamaah lima waktu sehari semalam, puasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah-masalah ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga kelancaran dijalankannya syari'at Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga ketertiban Umum. Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan selicin di daerah Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh kekuasaannya. Di sini pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit dari golongan penghulu dan pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar adalah merupakan pusat kekuasa­an adat Minangkabau. Kekuasaan itu berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Di waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah Sultan Arifin Muning Syah. Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat tiga orang raja yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo, yaitu : (a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan tertinggi di seluruh Minangkabau. (b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat. (c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama. Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh Basa Empat Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan Minangkabau di Pagaruyung. Mereka itu adalah : · Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri; · Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya; · Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat; · Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari'at atau agama. Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di Batipuh yang bertindak sebagai Pang­lima Perang, kalau Pagaruyung kacau dialah bersama pasukannya untuk mengamankannya. Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau mendapat otonomi yang sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam nagari dapat diselesaikan oleh kepala nagari melalui kerapatan adat nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru dibawa ke pimpinan Luhak (kira-kira sana dengan kabupaten sekarang). Kalau masih belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjut­nya diteruskan ke Raja Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada masalahnya. Kalau semuanya tak dapat menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan oleh Raja Minangkabau. Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minang­kabau dan stafnya dianggap satu bahaya besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan mereka. Selain itu para bangsawan pun cemas, karena khawatir adat nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap, jika kaum Padri berkuasa. Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri dengan pasukan Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung Barulak, salah satu jalan untuk masuk ke pusat kekuasaan Minang­kabau dari Luhak Agam, sering berpindah tangan, terkadang dikuasai pasukan Padri, terkadang dapat di­rebut kembali oleh pasukan raja. Walaupun begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk bagi para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di Pagaruyung, Basa Empat Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri. Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808, sesudah enam tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri dalam perun­dingan itu dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan seluruh pasukannya, sedangkan para penghulu dipimpin oleh Raja Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak keluarganya hadir dalam pertemuan ter­sebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena gencatan senjata telah disepakati sebelumnya. Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan dimulai. Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Belo dengan para staf raja, yang berakibat meledak men­jadi perkelahian dan pertumpahan darah. Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarga­nya mati terbunuh dalam perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan seorang cucu raja yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan. Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan pasukannya, karena dianggap melanggar gencatan senjata yang telah di­sepakati dan berarti menggagalkan usaha perdamaian. Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah kepada kaum Padri tanpa per­lawanan, karena takut melihat pengalaman di Koto Tangah. Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan salah seorang murid­nya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad Syahab, untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum Padri. Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo nntuk membuat benteng besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan karena Malin Basa (Tuanku Mudo) seorang murid yang pandai, alim dan berani. Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan ter­tinggi gerakan Padri dan guru dari Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keberanian dan berhasil memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki bukit yang bernama Bukit Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat Islam yang tinggal di sekitarAlahan Panjang, di mana setiap hari bekerja tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya 'Benteng Bonjol' yang terletak di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar, tinggi tembok empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya ditanami pagar aur berduri yang sangat rapat. Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid yang lengkap dengan per­kampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap saat mereka dapat mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan, fungsinya, maka benteng Bonjol juga diperlengkapi dengan per­senjataan perang, guna setiap saat siap menghadapi per­tempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh Tuanku Mudo yang bertindak sebagai 'imam' dari masyarakat benteng Bonjol, yang sesuai dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tanku Mudo digelari dengan 'Imam Bonjol'. Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerin­tahan lengkap berdiri, Imam Bonjol memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar Alahan Panjang dan berhasil dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam Bonjol dengan pasukannya menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan Panjang seperti antara lain Datuk Sati. Kecemasan ini melahirkan satu gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk menyerang pasukan Imam Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812 Datuk Sati dengan pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk Sati mengajak diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam Bonjol. Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia kemudian diangkat menjadi pe­mimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk meluaskan kekuasaan kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke daerah Tapanuli Selatan. Mulai Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara. Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini terletak agak ke sebelah utara Minang­kabau. Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao, sedang­kan benteng Dalu-Dalu dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol. Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum Padri di Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat berhasil, tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. Daerah-­daerah di sini bagitu setia untuk menjalankan syari'at Islain secara penuh, sesuai dengan missi yang diemban oleh gerakan Padri. Sementara kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan daerah pesisir barat Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang. Tuanku Pamansiangan salah seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan kepada Imam Bonjol untuk menarik pasukan Padri dari Tapanuli Selatan dan menggempur kedudukan Belanda di Padang yang belum begitu kuat. Karena baru saja serah terima kekuasaan dari Inggeris (1819). Tetapi perwira-perwira Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku Lelo dari Tapanuli Selatan ber­kebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh karena itu Imam Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan pasukan Belanda melalui kurir-kurir yang sengaja dikirim ke sana. Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah ter­sebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka ter­paksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi. Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi pasukan Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama ini kekuasaannya telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu Minangkabau mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk memerangi kaum Padri. Para penghulu yang mengatasnamakan yang Dipertuan Minangkabau langsung mengikat perjanjian kerjasama dengan Residen Belanda di Padang yang bernama Du Puy. Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka berarti kaum Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian, tiba-­tiba Tuanku Nan Renceh, Yang menjadi pimpinan ter­tinggi kaum Padri yang gemilang pada tahun 1820 wafat. Kekosongari ini secara demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. Atas persetujnan para perwira pasukan Padri, Imam Bonjol langsung memimpin gerakan Padri untuk menghadapi pasukan gabungan Belanda-Penghulu. Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri; sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan. Untuk menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar dengan nama 'Benteng atau Fort van der Capellen'. Berulang kali pasukan Belanda-­Penghulu menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan, bahkan pernah pasukan Belanda-Penghulu terjebak. Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, men­dorong Belanda untuk memperkuat pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan pasukannya dari Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan bantuan militer yang lengkap persenjataannya, pasukan Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan pasukan Padri. Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda-­Penghulu ditujukan ke daerah yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan menaklukkan Luhak Tanah Datar, yang berpusat di Pagaruyung, menurut dugaan Belanda perlawanan pasukan Padri akan mudah ditumpas. Oleh karena itu pada tahun 1822 pasukan Belanda-Penghulu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung. Pertempuran sengit terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cakup besar. Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan mendatangkan bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda sesampainya di Lintau seluruhnya dapat dipukul mundur dan terpaksa kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar. Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan memblokade daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak Lima Puluh Kota dan Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat direbut oleh pasukan Belanda, tetapi usaha­nya untuk merebut Lintau dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak Agam di bawah pimpinan Tuan­ku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit. Kemudian Letnan Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak Agam, Koto Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah melalui pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang kemudian di­hukum gantung oleh Belanda. Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan serangan balasan ter­hadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serang­an pasukan Padri. Operasi ke Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu oleh perwira-perwira pasukan Padri dari Tapanuli Selatan. Hanya dengan per­tahanan yang luar biasa dan dibantu dengan tembakan-­tembakan meriam laut, Air Bangis dapat selamat dari serangan pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali daerah Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut kembali daerah Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa daerah lainnya. Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tam­bahan pasukan militer dari Batavia. Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi militer besar-besaran untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di bukit Marapalam terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga malam, sehingga Belanda terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer Belanda itu diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri, tetapi karena kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya daerah-daerah itu dapat direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti oleh tindakan biadab dengan jalan melakukan pembunuhan massal terhadap penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan. Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, mem­buat Belanda berhitung dua kali. Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali diambil oleh pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan tambahan pasukan dari Batavia terbukti tidak dapat menumpas pasukan Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan konsolidasi, Belanda berusaha untuk meng­adakan perjanjian gencatan senjata. Usaha ini berhasil, sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencat­an senjata di Masang ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri. Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit. Sebab Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam dapat sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda, dan mereka mendirikan benteng dengan nama Fort de Kock di sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah jenuh berperang selama lebih dari duapuluh tahun lamanya. Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan timbulnya perang Jawa ini, ke­kuatan pasukan Belanda menjadi terpecah dua: sebagian untuk menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai, dan yang sebagian lagi harus menghadapi Perang Jawa yang baru muncul. Karena perang Jawa dianggap oleh Belanda lebih strategis dan dapat mengancam ek­sistensi Belanda di Batavia, pusat pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau militer harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa. Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian kembali dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha perdamaian dan gencatan senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai, dengan jalan mengakui kedaulatan kaum Padri di be­berapa daerah Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasairiya. Perjanjian damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik pasukannya dari Sumatera Barat setanyak 4300 orang, dan mensisakannya hanya 700 orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu, digunakan hanya untuk menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda di Sumatera Barat. Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial Belanda, maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa ke Sumatera Barat untuk menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer yang besar Belanda melakukan serangan ke daerah pertahanan pasukan Padri. Pada akhir tahun 1831, Katiagan kota pelabuhan yang men­jadi pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh pasukan Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau, Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang dikuasai Belanda pada tahun 1834. Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, yang memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan jalur per­dagangan melalui sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana sebuah anak sungai Kampar kanan dapat dilayari sampai dekat Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur melalui anak sungai tersebut sampai ke Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura, dapat dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat direbut oleh Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat di benteng Bonjol mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai bahan makanan dan persenjataan. Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan kecemasan para golong­an penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan yang diharapkan para penghulu dapat di­pegangnya kembali, ternyata setelah kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang bejat yang dipertontonkan oleh pasukan Belanda-­Kristen, seperti menjadikan masjid sebagai tempat asrama militer dan tempat minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil dari rumah-rumah mereka, pembantaian massal, pemerkosaan terhadap wanita-­wanita, memanjakan orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan penghulu kepada Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa harga diri untuk mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk me­lakukan perlawanan terhadap Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya perlu adanya kerjasama dengan kaum Padri. Uluran tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri. Perjanjian kerjasama dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum Padri untuk mengusir Belanda, dari tanah Minangkabau dilaksanakan pada akhir tahun 1832 bertempat di lereng gunung Tandikat. Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin langsung oleh Imam Bonjol. Dalam perjanjian dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah ditetapkan bahwa tanggal 11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu beserta rakyat Sumatera Barat secara serentak melakukan serangan kepada pasukan Belanda. Awal serangan rakyat Minang­kabau ini terhadap pasukan Belanda banyak mengalami kemenangan, terutama di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda ditempatkan untuk melaku­kan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh Letnan Kolonel Vermeulen Krieger, pimpinan ter­tinggi militer di Sumatera Barat, di daerah Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga, banyak sekali serdadu Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dan beberapa orang anak buahnya yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu. Karena semua jalan terputus maka terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan anak buahnya yang tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk bisa kembali ke Bukittinggi. Apabila di daerah Alahan Panjang, serangan secara serentak dapat dilakukan oleh rakyat Minangkabau dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda, tetapi di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, serangan itu tidak dapat dilaksanakan. Faktor penyebabnya ialah banyak daerah-daerah di sini belum menerima informasi dari hasil Ikrar Tandikat; disamping banyak daerah-daerah strategis yang dikuasai Belanda. Bahkan ada juga informasi ikrar ini jatuh ke tangan Belanda, sehingga orang-orang yang dicurigai segera ditangkap. Di samping itu memang masih banyak para penghulu atau kepala adat yang tetap setia kepada Belanda. Timbulnya perlawanan serentak dari seluruh rakyat Minangkabau, sebagai realisasi ikrar Tandikat, memaksa Gubernur Jenderal Van den Bosch pergi ke Padang pada tanggal 23 Agustus 1833, untuk melihat dari dekat tentang jalannya operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, yang dijadikan pusat meriam besar pasukan Padri, Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Agam masih disangsikan, dan mereka sangat mungkin kelak me­nyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, dan paling lambat tanggal 10 september 1853 Bonjol harus jatuh. Kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari lagi, sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833. Meskipun demikian, kedua opsir tersebut belum yakin dapat melaksanakan rencana yang telah diputus­kannya, sebab besar sekali kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya. Pertama, karena mereka harus rnengerahkan tiga kolone: satu kolonne harus menyerang Bonjol dengan melalui Suliki dan Puar Datar di Luhak Lima Puluh Kota, dan satu kolonne dari Padang Hilir melalui Manggopoh dan Luhak Ambalau, dan kolonne ketiga dari Ram melalui Lubuk Sikaping. Dan disamping itu harus disiapkan pula satu kolonne yang pura-pura menyerang Padri di daerah Matur, supaya pasukan Padri mengerahkan pasukannya ke sana. Sebelum pasukan menyerbu ke Bonjol, kolonne-kolonne itu harus mampu menundukkan dan menaklukkan daerah-daerah di sekelilingnya, dan merusakkan semua pertahanan rakyat di Luhak Agam. Rakyat Padang Datar umumnya marah betul kepada tentara Belanda, karena melihat kekejaman dan kesadisannya di Guguk Sigadang; dan rasa benci kepada ­kaki-tangan Belanda yang bersifat sewenang-wenang serta mencurigai dan menangkap rakyat awam. Sementara itu, Mayor de Quay mengutus Tuanku Muda Halaban untuk membujuk Imam Bonjol supaya suka berunding dan berdamai dengan Belanda. Imam Bonjol menyatakan kepada Tuanku Muda Halaban, bahwa ia bersedia berunding di suatu tempat yang telah ditetap­kan. Akhirnya perundingan itu dapat dilaksanakan. Dalam kesempatan perundingan ini, tenggang waktu yang tersedia itu digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk menyiapkan pasukannya, di samping diharapkan pasukan Padri menjadi lengah. Untuk memudahkan mencapai Bonjol, maka Mayor de Quay mengerahkan pasukannya yang dibantu oleh 1500 penduduk dari Lima Puluh Kota untuk membuat jalan melalui hutan-hutan lebat, yang membatasi Luhak Lima Puluh Kota dengan Lembah Alahan Panjang. Pasukan Padri ternyata tidak lengah untuk terus mengamat-amati semua persiapan tentara Belanda itu, sehingga. semua jalan masuk ke Lambah Alahan Panjang ditutupnya dengan pelbagai rintangan, dikiri kanan jalan dipersiapkan kubu-kubu pertahanan. Di satu bukit, di tepi jalan ke Tujuh Kota, di dekat Batu Pelupuh, di puncaknya yang kerap kali ditutupi kabut dan awan, dibuat oleh pasukan Padri sebuah kubu pertahanan. Dari sini dapat diperhatikan segala gerak-­gerik pasukan Belanda dari jarak jauh. Kubu pertahanan pasukan Padri yang strategis ini diketahui, oleh Belanda. Karenanya pada tanggal 10 September 1833, Jenderal Riesz mengerahkan rakyat Agam yang setia kepada Belanda untuk menaklukkan kubu tersebut. Usaha penaklukan kubu ini gagal total, dimana sebagian besar pasukan rakyat Agam mati dan luka-luka, dan memaksa mereka kembali ke Bukittinggi. Besok paginya, yakni tanggal 11 September 1833, Belanda mengerahkan 200 orang tentaranya yang di­lengkapi dengan meriam dan diperkuat oleh pasukan golongan adat dari Batipuh dan Agam. Pada Jam 05.00 pagi pasukan Belanda telah dapat mendaki bukit per­tahanan pasukan Padri. Tetapi kira-kira 150 langkah mendekati kubu pertahanan, dengan sekonyong-konyong pasukan Padri mendahului menyerang pasukan Belanda. Pertempuran sengit terjadi, diantara kedua belah pihak banyak korban berjatuhan. Tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri turun ke desa Batu Pelupuh dan bertahan di belakang pematang-pematang sawah. Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejarnya, dengan sangat cerdik pasukan Padri bersembunyi ke hutan-hutan lebat yang sulit untuk dikejar oleh pasukan Belanda. Desa Batu Pelupuh dan tujuh desa lainnya yang ditinggalkan pasukan Padri habis dirampok dan dibumi-hanguskan oleh pasukan Belanda. Walaupun pasukan Padri kalah, tetapi di pihak Belandapun banyak sekali yang mati dan luka-luka; dan dengan susah payah mereka dapat kembali ke Bukittinggi. Setelah kubu pertahanan di bukit dekat Alahan Panjang dapat direbut pasukan Belanda, maka Jenderal Riesz memusatkan serangan tipuan ke Matur. Sebagian pasukannya diharuskan menduduki daerah Pantar, sebuah desa yang letaknya di seberang jurang dekat kubu pertahanan pasukan Padri. Pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan ada 600 orang dari Batipuh, 400 orang dari Banuhampu, 300 orang dari Sungai Puar, 340 orang dari Empat Kota, 604 orang dari Ampat Angkat, dan 240 ­orang dari Tambangan; seluruhnya berjumlah 2400 orang. Tetapi sebelum tentara Belanda datang di Pantar, pada pagi-pagi sekali tanggal 12 September 1833, desa tersebut telah dibumi-hanguskan oleh pasukan Padri. Di selatan Pantar yang telah menjadi lautan api, Belanda membuat kubu pertahanan untuk menahan serangan­-serangan pasukan Padri. Tetapi pasukan Padri pun me­ngerti bahwa serangan pasukan Belanda ini hanya merupakan pancingan, karenanya mereka tetap bertahan di kubu-kubu pertahanan mereka masing-masing. Sementara itu pasukan Padri memperkuat Kota Lalang guna menaban tentara Belanda yang datang dari arah Suliki yang dipimpin oleh Mayor de Quay. Pada tanggal 13 September 1833 pasukan Belanda telah dihadang oleh pasukan rakyat dari Tanah Datar, sehingga perjalanannya terhambat. Dan baru pada tanggal 14 ­September 1833 tentara Belanda melanjutkan serangan­nya ke Kota Lalang, yang dipertahankan dengan gigih oleh pasukan Padri. Tentara Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Pertempuran berlangsung siang-malam dengan dahsyatnya, yang masing-masing pihak me­ngerahkan semua kekuatannya. Karena kekuatan pasukan Padri yang jauh lebih kecil dan lebih sederhana persenjataannya, akhirnya mengundurkan diri ke hutan belantara yang sulit dikejar oleh tentara Belanda. Kota Lalang yang ditinggalkan pasukan Padri dijaga oleh pasukan Jawa dan Adat; dan tentara Belanda yang dibantu oleh ratusan pasukan adat dari Batipuh dan Lima Puluh Kota meneruskan penyerbuannya menuju Bonjol. Dalam perjalanan yang sulit ini pasukan Belanda senantiasa terjebak dengan serangan pasukan Padri dari belakang yang bersembunyi di hutan lebat. Serangan gerilya pasukan Padri dengan taktik "serang dengan tiba-tiba dan lenyap secara tiba-tiba", me­nimbulkan kerugian yang besar bagi pasukan Belanda; dan karenanya menimbulkan rasa takut bagi pasukan-­pasukan adat yang membantunya. Dengan diam-diam pasukan adat meninggalkan pasukan Belanda, sehingga menyulitkan pasukannya untuk melanjutkan penyerbu­an. Hujan yang turun terus-menerus menambah ke­sulitan lagi bagi pasukan Belanda, selain pasukan yang basah kuyup hampir mati kedinginan, juga pasukan pembawa makanan dan perlengkapan perang yang ter­diri dari pribumi, banyak yang tak tahan dan akhirnya melarikan diri. . Dengan sisa-sisa kekuatan, pasukan Belanda sampai memasuki lembah Air Papa. Di lembah ini, yang sisi-sisi tebingnya cukup curam, digunakan oleh pasukan Padri sebagai kubu pertahanan dengan mudah menembak pasukan Belanda yang berada di bawah lembah. Dalam posisi yang demikian, terpaksa pasukan Belanda memusatkan pasukannya di lembah yang agak gersang, yang jauh dari jangkauan pasukan Padri. Daerah ter­buka yang digunakan pasukan Belanda memudahkan serangan bagi Pasukan Padri. Kelemahan ini benar-­benar digunakan oleh pasukan Padri. Serangan yang datang dengan tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kepanikan di kalangan pasukan Belanda, dimana akhirnya tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri dan membatalkan rencana penyerbuan selanjutnya. Dengan diam-diam pasukan Belanda pada malam hari mening­galkan medan pertempuran kembali ke Payakumbuh, dengan meninggalkan korban yang mati maupun yang luka­-luka banyak sekali. Dari front barat, pasukan Padri telah mengetahuinya bahwa tentara Belanda akan menyerang dari Manggopoh. Rakyat yang tinggal di sekitar Manggopoh seperti Bukit Maninjau dan Lubuk Ambalau diyakinkan dan diancam oleh pasukan Padri untuk tidak membantu pasukan Belanda. Kolonne Belanda yang menyerang dari jurusan Manggopoh itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout. Mereka berangkat ke Tapian Kandi tanggal 11 September 1835. Di daerah ini saja pasukan Belanda telah men­dapat perlawanan pasukan Padri yang cukup sengit, hanya karena tembakan meriam yang bertubi-tubi pasukan Padri terpaksa mundur ke daerah Pangkalan. Pasukan Belanda terus mendesak pasukan Padri di Pangkalan; pertempuran sengit terjadi hampir tiap langkah dari perjalanan pasukan maju Belanda. Hanya dengan pengorbanan yang besar pasukan Padri dapat dipukul mundur dan pasukan Belanda dapat sampai di Kota Gedang. Dari dataran tinggi Kota Gedang ini ada dua jalan; yaitu ke utara menuju Bonjol dengan melalui Tarantang Tunggang, dan ke timur menuju XII Kota. Letnan Kolonel Elout pergi ke Tanjung untuk bertemu dengan Tuanku nan Tinggi dari Sungai Puar guna mendapat petunjuk jalan yang terbaik untuk mencapai Bonjol. Tuanku dari Sungai Puar memberi petunjuk jangan pergi ke Bonjol melalui XII Kota, karena rakyat di sana pasti akan meng­hambatnya. Karenanya ia kembali ke Kota Gedang, tetapi gudang perbekalan pasukan Belanda yang di­kawal tidak begitu kuat disaat ditinggalkan telah habis dibakar oleh rakyat. Dalam kondisi seperti ini, Letnan Kolonel Elout sebagai komandan pasukan Belanda dari sektor barat memutuskan untuk mengundurkan diri.ke Kota Merapak. Gerakan mundur pasukan Belanda di­ketahui oleh pasukan Padri, kesempatan dan peluang ini digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengejaran, dengan taktik gerilya. Serangan gerilya yang dilakukan pasukan Padri berhasil dengan gemilang bukan saja ratusan tentara Belanda dan pasukan adat yang mati terbunuh, tetapi juga hampir semua perlengkapan perang seperti meriam dan perbekalan semuanya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Kolonne ketiga dari pasukan Belanda yang datang dari jurusan utara melalui Rao dipimpin oleb Mayor Eilers. Pasukan Eilers yang memang tidak begitu kuat, diberikan kelonggaran, jika pasukannya tidak mampu melawan pasukan Padri di sebelah utara Alahan Panjang, ia boleh maju hanya sampi Lubuk Sikaping saja. Di sini pasukannya harus bertahan sambil menunggu informasi kolonne yang lain, yang menyerang dari timur dan barat daerah Bonjol. Sambil menunggu berita dari kolonne-kolonne yang lain, Mayor Eilers menghimpun pasukan dari kepala-kepala adat dari Tuanku Yang Dipertuan di Rao dan Mandahiling untuk memperkuat pasukannya yang hanya terdiri 'atas 80 orang serdadu. Usahanya berhasil dengan 1000 orang Rao, 400 orang Mandahiling dan 500 orang Batak lainnya. Dengan kekuatan sekitar 2000 orang; Mayor Eilers maju menuju Bonjol. Sepanjang perjalanan pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari pasukan Padri, baik dalam bentuk serangan gerilya maupun pertempuran frontal dari benteng ke benteng. Pada tanggal 18 September 1833 pasukan Belanda telah sampai di Alai, kira-kira dua kilometer dari benteng Bonjol. Di sini pasukan Belanda telah mendapat per­lawanan yang luar biasa oleh pasukan Padri, pertempur­an sudah sampai satu lawan satu. Akibatnya korban di pihak pasukan Belanda banyak sekali baik yang mati maupun luka-luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya-pasukan Belanda mengundurkan diri ke Bonjol Hitam. Pengunduran diri pasukan Belanda ini diikuti terus dengan serangan-serangan pasukan Padri, baik siang maupun malam hari. Karena terancam oleh kehancuran total, disamping ternyata dua kolonne dari timur maupun barat telah mengundurkan diri, maka Mayor Eilers, pada tanggal 19 September 1833 memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke pangkalan. Agar selamat dari sergapan pasukan Padri di tengah jalan, pengunduran diri harus dilakukan tengah malam. Pada saat maghrib tiba, disaat tentara Belanda sedang sibuk berkemas-kemas untuk melarikan diri, tiba-tiba menjadi panik, karena pasukan Padri menyerbu dengan cepat dan keras. Pasukan Rao dan Mandahiling berhamburan keluar mencari selamat dengan meninggalkan segala persenjataan dan perlengkapannya. Tentara Belanda juga tak mampu menguasi keadaan dan bahkan turut lari tanpa menghiraukan teriakan komandannya Mayor Eilers. Keadaan panik dan kacau, menyebabkan pasukan Belanda. meninggalkan begitu saja meriam dan granat-granat serta senjata-senjata lainnya. Bahkan pasukan yang luka parah sebanyak 50 orang ditinggalkan begitu saja, sampai mati terbunuh semuanya. Hanya dengan susah payah, sisa-sisa pasukan Belanda pada tanggal 20 September 1835, baru dapat selamat ke pangkalan. Pengunduran diri pasukan Belanda adalah atas per­setujuan Jenderal Van den Bosch; karenanya ia datang sendiri ke Guguk Sigandang untuk menerima pasukan-­pasukan yang kalah itu. Dihadapan pasukannya, Jenderal Van den Bosch berucap: "Bila keadaan memang tidak mengizinkan, dan kesulitan begitu besar, sehingga sulit diatasi, pasukan boleh ditarik mundur; menunggu waktu yang tepat. Tetapi bagaimanapun Bonjol harus ditaklukkan". Pada tanggal 21 september 1833, Jenderal Van den Bosch memberi laporan ke Batavia bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya. Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh-­sungguh yang dilakukan oleh pasukan Belanda untuk me­naklukkan Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali pertempuran kecil-kecilan untuk membersihkan daerah­-daerah yang dekat dengan pusat pertahanan dan benteng Belanda. Selain itu pembuatan jalan dan jembatan, yang mengarah ke jurusan Bonjol terus dilakukan dengan giat, dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Pembuatan jalan dan jembatan itu dipersiapkan untuk memudahkan mobilitas pasukan Belanda dalam gerak­annya menghancurkan Bonjol. Baru pada tanggal 16 April 1835, pasukan Belanda memutuskan untuk mengadakan serangan besar-besar­an untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, dimana dua kolonne pasukan Belanda yang berkumpul di Matur dan Bamban, bergerak menuju Masang. Meskipun sungai itu banjir, mereka menyeberangi juga dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna meghindarkan dari kubu-kubu pertahanan Padri yang dipasang disekitar tepi jalan. Pada tanggal 23 April 1835 pasukan Belanda telah sampai di tepi sungai Batang Ganting, terus menyeberang dan kemudian berkumpul di Batu Sari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang dikuasai oleh pasukan Padri. Jalan sepanjang menuju Sipisang dipertahankan oleh pasukan Padri dengan pimpinan Datuk Baginda Kali. Serangan-serangan pasukan Padri untuk menghambat laju pasukan Belanda memang cukup merepotkan dan melelahkan, tetapi tidak berhasil menahan secara total. Sesampainya di Sipisang, pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri berjalan sangat kejam, tiga hari tiga malam pertempuran berlangsung tanpa henti, sampai korban di kedua belah pihak banyak yang jatuh. Hanya karena kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba dan menyeberangi kali. Jatuhnya daerah Sipisang, dijadikan oleh pasukan Belanda untuk kubu pertahanannya, sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol. Selain itu, satu kolonne pasukan Belanda pada tanggal 24 April 1835 berangkat menuju daerah Simawang Gedang, yaitu daerah yang dikuasai pasukan Padri. Dengan kekuatan hanya 500 orang pasukan Padri mencoba menahan tentara Belanda yang jumlah dan kekuatannya jauh lebih besar. Pertempuran dahsyat tak terhindari lagi, berjalan alot; walau akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri. Satu kompi pasukan tentara Bugis yang dibantu oleh pasukan adat dari Batipuh dan Tanah Datar bertugas untuk mengusir pasukan Padri yang berada di luar daerah Simawang Gadang. Bahkan pasukan Bugis bersama-sama pasukan adat Batipuh dan Tanah Datar berhasil mendesak pasukan Padri sampai ke Batang Kumpulan. Tetapi disini telah menunggu 1200 orang pasukan Padri untuk menghadang gerakan maju pasukan Belanda. Usaha ofensi pasukan Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis, Batipuh dan Tanah Datar diporak-porandakan oleh pasukan Padri, hampir-hampir sebagian terbesar mati terbunuh. Kalaulah tidak segera bala bantuan pasukan Belanda datang dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat diduga bahwa pasukan Belanda yang terdepan itu akan musnah seluruhnya. Datangnya bala bantuan pasukan Belanda bukan dapat menyelamatkan sisa-sisa pasukanriya yang telah cerai-­berai; tetapi juga mampu mendesak pasukan Padri, sehingga daerah Kampung Melayu yang menjadi ajang pertempuran dapat dikuasai oleh Belanda. Kampung Melayu terletak di tepi sebatang sungai kecil, Air Taras namanya. Tidak berapa jauh ke hilir sungai itu bertemu dengan sungai Batang Alahan Panjang. Kampung Melayu tersembunyi di dalam sebuah lembah yang dilingkari oleh bukit-bukit tinggi yang terjal. Pasukan Padri yang mengundurkan diri dari daerah Kampung Melayu, bersembunyi di bukit-bukit terjal dengan kubu-kubu pertahanan yang tersembunyi, untuk menjepit pasukan Belanda yang ada di Air Taras. Pada tanggal 27 April 1835, pasukan Belanda mencoba me­nyerang pasukan Padri yang berada di bukit-bukit terjal itu; tetapi hasilnya nihil, bahkan puluhan tentaranya yang mati dan luka-luka. Selama tiga hari pasukan Belanda melakukan kon­solidasi dengan menambah pasukannya. Baru pada tanggal 3 Mei 1835 operasi militer dapat dilanjutkan. Tetapi, baru saja dimulai, Letnan Kolonel Bauer komandan pasukan Belanda telah terluka kena ranjau. Di saat pasukan Belanda menyeberangi sungai Air Taras di­serang oleh pasukan Padri, sehingga banyak pasukan­nya yang tenggelam dan mati, karena senjata yang digunakan macet terendam air. Pertempuran kemudian berkembang menjadi perang tanding, yang tentunya menguntungkan pasukan Padri. Tetapi karena pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya pasukan Padri ter­desak dan meninggalkan kubu-kubu pertahanan yang ada di bukit-bukit terjal itu. Kemajuan yang diperoleh pasukan Belanda di daerah ini tidak langgeng karena tidak berapa lama pasukan Padri datang menyerang dengan kekuatan sekitar 500 orang. Karena merasa daerah ini kurang aman, maka pasukan Belanda sebelum meninggalkannya telah melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah penduduk dan ladang-ladang, sehingga menjadi daerah yang hangus terbakar. Laju pasukan Belanda menuju Bonjol sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk bisa mendekati daerah Alahan Panjang. Front terdepan dari Alahan Panjang adalah Padang Lawas, yang secara penuh dikuasai oleh Pasukan Padri. Pada tanggal 8 Juni 1855 pasukan Belanda yang mencoba maju ke front Padang Lawas dihambat dengan, pertempuran sengit oleh pasukan Padri. Hanya dengan pasukan yang besar dan kuat persenjataannya dapat memukul mundur pasukan Padri, dan menguasai front Padang Lawas. Pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda menuju sebelah timur sungai Alahan Panjang, sedangkan pasukan Padri berada di seberangnya pasukan musuh yang bersembunyi di benteng-benteng partahanannya senantiasa mendapat serangan gerilya dari pasukan Padri, sehingga selama lima hari-lima malam, pasukan musuh tidak dapat maju dan bahkan kehilangan 7 orang serdadunya mati dan 84 orang luka-luka. Kampung Bonjol kira-kira 1200 hasta panjangnya dan 400 sampai 700 hasta lebarnya, sebab bagian selatan dari dinding barat mundur kira-kira 200 hasta ke belakang. Letak kampung ini antara 1000 atau 1200 hasta dari tepi timur suang Batang Alahan Panjang. Di timur dan tenggaranya terdapat tebing terjal dan sebuah bukit yang tegak hampir lurus keatas, yang dengan Bonjol dipisahkan oleh sebatang anak sungai kecil. Bukit ini Tajadi namanya, menguasai lapangan di setelah barat dan timurnya.Di atas bukit ini pasukan Padri mem­buat beberapa kubu pertahanan yang kuat dan baik letaknya, dan dari sana mereka menembakkan meriam yang bermacam kaliber kepada musuh di seberang barat Alahan Panjang. Di kampung itu banyak rumah yang terbuat dari kayu, yang sebagian besar dinaungi oleh hutan bambu, pohon-pohon kelapa dan pohon buah-buahan. Di sebelah barat dan utara kampung Bonjol terbentang sawah luas. Di sebelah timur Bonjol membujur bukit barisan tinggi membujur, yang diselimuti oleh hutan lehat. Di balik timur bukit barisan itulah terletak tanah Lima Puluh Kota. Tanah di sebelah selatan dan tenggara Lambah Alahan Panjang ini bergunung-gunung dan ber­bukit batu yang benjal-benjol. Keadaan alam ini diper­gunakan oleh pasukan Padri sebagai benteng pertahanan yang paling besar dan menjadi markas besar Imam Bonjol. Pada umumnya, semak, belukar dan hutan yang sangat tebal di sekitar Bonjol ini, sehingga kubu-kubu pertahanan pasukan Padri tidak mudah dilihat dari luar. Di tengah lembah mengalir dan berliku-liku sungai Batang Alahan Panjang dari utara ke selatan. Pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda membuat kubu pertahanan yang kira-kira hanya 250 langkah dari Bonjol. Dengan meriggunakan houwitser, mortir dan meriam besar, menemhaki benteng Bonjol, yang dibalas kontan oleh meriam-meriam pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Karena posisi yang kurang menguntungkan pasukan musuh maka banyak pasukannya yang mati dan terluka, oleh karena itu Letnan Kolonel Bauer meminta kepada Residen Francis untuk memberikan bala bantuan sebanyak 2000 orang lagi. Dan pada tanggal 17 Juni 1835 bala bantuan itu datang. Pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Bonjol. Sebelum pasukan musuh sampai pada sasaran terakhir, di kampung Jambak dan Kota mendapat perlawanan yang sengit dari pasukan rakyat dan Padri. Di Bonjol yang merupakan markas besar pasukan Padri telah berkumpul komandan-komandan pasukan Padri yang datang dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari Tanah Datar, Lintau, Bua, Lima Puluh Kuta, Agam, Rao dan Padang Hilir. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid. Melihat kokohnya benteng Bonjol, disamping banyak tentaranya yang mati dan luka-luka, pasukan Belanda tidak melakukan gerakan ofensif menyerang Bonjol tetapi melakukan blokade terhadap Bonjol, dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan Belanda, ternyata tidak efektif, karena justru benteng-benteng pertahanan pasukan musuh dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan gerilya Padri yang memang berada di belakang pasukan musuh. Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol masih menunggu bala bantuan tentara, walau di sekitar Bonjol pasukan Belanda telah berkumpul, pada awal Agustus 1835, sekitar 14.000 orang. Baru setelah datang bala bantuan tentara Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis; pada pertengahan Agustus 1835 pe­nyerangan dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis pasukan Padri ini jatuh ke tangan pasukan musuh. Pada tanggal 5 September 1835 pasukan Bonjol menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan musuh yang dibuat sekitar benteng. Dengan keberanian yang luar biasa pasukan Padri menyerang benteng-benteng Belanda, yang banyak menelan korban di kedua belah pihak. Setelah serangan dilakukan, pasukan Padri segera masuk kembali ke dalam benteng. Sementara itu pasukan Belanda yang berada di Puar Datar diperintahkan oleh Letnan Kolonel Bauer maju menuju Bonjol. Dalam perjalanannya pasukan Belanda ini harus melalui desa Talang. Sesampainya di sini pasukan Padri yang dibantu oleh rakyat melakukan perlawanan yang sengit, sehingga memaksa pasukan musuh kembali ke Air Papa dan terus ke Puar Datar. Usaha mendatangkan bantuan untuk menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima Puluh Kota gagal. Kegagalan menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima puluh Kota, pada tanggal 9 September 1835, serangan ditempuh melalui Padang Bubus. Hasilnya sama, gagal, bahkan pasukan Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Dan Letnan Kolonel Bauer yang menderita sakit, terpaksa dikirim ke Bukittinggi dan digantikan oleh Mayor Prager. Kebijaksanaan Mayor Prager tidak melakukan serangan ofensif ke Bonjol sampai datangnya bala bantuan baru dari markas besarnya di Bukittinggi. Dalam kesempatan yang terluang ini, pasukan Padri melakukan serangan gerilya terhadap kubu-kubu pertahanan Belanda, memusnahkan gudang-gudang perbekalan dan gudang mesiu bukan saja daerah di sekitar Bonjol, tetapi sampai jauh menyelinap ke Kumpul­an, Sirnawang Gadang dan Puar Datar. Blokade yang berlarut-larut, menimbulkan ke­beranian rakyat untuk memberontak terhadap pasukan Belanda, sehingga pada tanggal ll Desember 1835 rakyat desa Alahan Mati dan Simpang mengangkat senjata kembali. Tentara Belanda tak mampu mengatasi pemberontakan rakyat desa-desa ini, sehingga men­datangkan pasukan bantuan dari serdadu-serdadu Madura. Hanya dengan bantuan pasukan Madura, Belanda dapat memadamkan pemberontakan ini. Di desa Kumpulan juga terjadi peristiwa yang sama, yaitu pemberontakan terhadap pasukan musuh. Gerakan maju pasukan Belanda menyerbu benteng Bonjol yang tinggal beberapa ratus kilometer, dalam tiga bulan ini, hampir-hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti, malah sebaliknya daerah-daerah yang telah ditaklukkan kembali pemberontak; dan tidak sedikit menimbulkan korban bagi pasukan musuh. Sambil menunggu bala bantuan dari Batavia, Belanda mencoba melakukan perundingan dengan pasukan Padri. Perundingan, yang sebenarnya hanya untuk mengulur-ulur waktu saja, ternyata ditolak oleh Imam Bonjol. Peluang waktu ini dipergunakan oleh Imam Bonjol untuk membangkitkan rakyat yang tinggal di garis belakang pasukan musuh untuk berontak.. Setelah kegagalan perundingan ini, dan tambahan pasukan dari Batavia telah tiba, maka pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda melakukan serangan besar-besaran terhadap benteng Bonjol, sebagai pukulan terakhir penaklukkan Bonjol. Serangan dahsyat mampu menjebol sebagian benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda masuk menyerbu dan berhasil membunuh putera serta keluarga Imam Bonjol. Tetapi serangan balik pasukan Bonjol (Padri) mampu memporak-porandakan musuh sehingga terusir keluar benteng dengan me­ninggalkan banyak sekali korban. Kegagalan penaklukkan benteng Bonjol sekarang ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal ­Hindia Belanda di Batavia. Oleh karena itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengirimkan panglima ter­tingginya Mayor Jenderal Coclius ke Bukittinggi untuk memimpin langsung serangan ke benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Dengan mengunakan pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar untuk mem­boboIkan benteng; diperkuat dengan pasukan infantri dan kavaleri, pasukan Belanda meinulai lagi serangan­nya ke benteng Bonjol. Serangan yang bertubi-tubi dan dahsyat dengan hujan peluru meriam, masih memerlu­kan waktu yang cukup lama, kira-kira 8 bulan lamanya. Setelah bukit Tajadi jatuh pada tanggal 15 Agustus 1837, maka pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol yang anggun dapat ditaklukkan. Tetapi tak ber­hasil menangkap Imam Bonjol, karena sempat meng­undurkan diri keluar benteng dengan pasukan Padri yang mendampinginya dan terus menuju daerah Marapak. Imam Bonjol mencoba mengadakan konsoli­dasi terhadap pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda, ternyata sia-sia. Hanya sedikit saja lagi pasukan yang masih siap bertempur. Melihat kenyataan semacam ini, Imam Bonjol me­nyerukan ke pada pasukannya yang terserak di mana-­mana untuk kembali ke kampung halamannya masing-­masing, untuk memulai hidup baru sebagai rakyat biasa. Dan yang memang benar-benar tak ada lagi semangat berjuang, dibenarkan untuk menyerah kepada Belanda. Dalam pelarian dan persembunyiannya Imam Bonjol dengan pengawalnya dari hutan ke hutan, lembah dan ngarai, memang sangat melelahkan, penderitaan kurang makan, kurang tidur, sakit dan lelah mengakibatkan para pengawalnya hampir-hampir mati semuanya. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak Imam Bonjol berunding. Setelah dirundingkan bersama antara Imam Bonjol dan para stafnya, tawaran perundingan dari Residen Francis di terima. Daerah perundingan dipilih Pelupuh, di mana Imam Bonjol akan bertemu langsung dengan Residen Francis. Pada tanggal 28 Oktober 1837 Imam Bonjol dengan stafnya keluar dari Bukit Gadang me­nuju Pelupuh. Sesampainya di pelupuh, bukannya pe­rundingan yang terjadi, tetapi sepasukan Belanda telah siap menangkap Imam Bonjol dengan stafnya. Karena Imam Bonjol dan stafnya tidak membawa senjata, sesuai dengan syarat-syarat perundingan akhirnya dengan mudah pasukan Belanda menangkap Imam Bonjol dan stafnya. Dari Pelupuh Imam Bonjol di bawa ke Bukit­tinggi dan terus ke Padang. Pada tanggal 23 Januari 1838 dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838 itu juga Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon. Baru tanggal 19 Januari 1839 Imam Bonjol dipindahkan ke Menado. Di sini ia menemui ajalnya pada tanggal 8 Nopember 1864, setelah menjalani masa pembuangap selama 27 tahun lamanya. Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak awal timbulnya gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan tertangkapnya Imam Bonjol sebagai pemimpin Padri terbesar, adalah satu usaha perjuangan politik merebut kekuasaan guna dapat menjalankan Syari'at Islam dengan utuh dan murni. Umat Islam Sumatera Barat dengan kaum Padrinya, sama dengan Diponegoro dengan Perang Jawanya, mempunyai tujuan politik yang sama yaitu berdirinya satu negara yang melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan kata lain, perjuangan Diponegoro dan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu yaitu berdirinya Negara Islam. Perang Banjar Sultan Tahmidillah I (1778 - 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, ber­hasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II. Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan Tahmidil­lah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon. Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerah­kan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin. Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani. Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaat­annya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin. Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam. Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Mangkubumi. Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan penindasan ter­hadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil ke depan untuk memimpin perlawanan ini. Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat sebagai Mangkubumi. Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April 1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari dengan Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dialog yang terjadi di rumah kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai berikut. "Begini, Hidayat! Aku kemari atas nama rakyat dan semua pejuang-­pejuang Banjar ...." "...Sebentar !" Pangeran Hidayat memutus. "Siapa yang Paman maksudkan, dengan rakyat dan pejuang-pejuang Banjar itu ?" Pangeran Antasari dengan sabar menjawab: "Rakyat yang selama ini di­tindas dan diperlakukan sewenang-wenang, semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk meng­akhiri penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang itu !". "Dan Paman termasuk pula di antara pejuang-­pejuang itu?" sela Pangeran Hidayat. "Itu bukan suatu hal yang aib!" Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. "Dan kau pun akan bangga menjadi salah seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan siapa kau baktikan hidup­mu ini sebhik-baiknya". "Jadi apa yang Paman harapkan dari saya ?" tanya Pangeran Hidayat. "Kesediaanmu untuk berjuang ber­sama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua perjuangan ini nanti !" Jawab Pangeran Antasari dengan tegas. Pangeran Hidayat bangkit. Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir. "Tapi ini berarti pem­berontakan besar-besaran, Paman !" Pangeran Antasari menjawab: "Pemberontakan adalah bahasa yang diper­gunakan oleh Belanda. Dan ini kedengaran sumbang di telinga kita. Kita tidak pernah menganggap kompeni itu memerintah dengan sah di kerajaan ini. Karena itu, kita memakai bahasa kita sendiri. Perang ! Perang mengusir penjajah asing !" "Apapun bahasa yang Paman pakai, semuanya berakibat pertumpahan darah. Dan saya telah melihat bahwa telah banyak darah mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan harus segera kita akhiri. Bukan sebaliknya akan kita mulai". "Bagus, dan ironis. Kamu mempergunakan bahasa perikemanusiaan. Dan ini memang merdu menggugah perasaan seperti suara bilal pada azan subuh. Tapi dapatkah kau harapkan Kompeni akan mengucapkan apalagi mengamalkan bahasa yang serupa itu terhadap kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni akan mempergunakan bahasa kegemaran mereka: me­rabit-rabit kita sekaum dan pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan kepadaku, bagaimana caranya kita me­nunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini ?" Pangeran Hidayat nadanya melemah: "Saya hanya benci dan jemu melihat pertumpahan darah yang sia-sia, Paman. Rakyat telah banyak berkorban untuk kita." "Kau lupa, Hidayat. Peperangan ini baru hendak kita mulai. Adapun pertumpahan darah yang kau takutkan itu sebenarnya belum lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan membenarkan peperangan ini sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut dari perjuang­an ini tidaklah sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati untuk Allah!" ucap Pangeran Antasari bersemangat. Namun Pangeran Hidayat merasa belum yakin. "Tidakkah ada jalan lain selain pertumpahan darah ini, Paman" tanyanya kemudian. "Ada!" Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. "Dan jalan satu sudah dan sedang kau tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja, sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!" Pangeran Hidayat tersinggung. "Jika kata pengkhianat yang Paman maksudkan dengan kata-kata: mau menjadi apa saja, maka saya berhak menolak tuduhan itu," bantahnya. "Kecintaan saya kepada rakyat dan bumi di mana kita hidup dan bernapas ini, sama besarnya dengan apa yang Paman rasakan. Dan apa artinya harga diri saya. Jika karena itu saya harus menumpahkan sekian banyak darah mereka ". "Aku tidak menyangkal bahwa kau pun mencintai rakyat dan kerajaan ini," Pangeran Antasari balas menyanggah. "Karena itulah seluruh rakyat dan pejuang­-pejuang Banjar masih menaruh kepercayaan penuh kepadamu; masih menggantungkan keyakinan yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kelangsungan hidup kerajaan ini ada di tanganmu." "Hanya yang tidak bisa kupahami ialah caramu menyatakan dan menunjukkan kecintaanmu itu! Untuk mencegah pertumpahan darah kau bersedia ditunjuk oleh Kompeni sebagai Mangku­bumi!" "Belum lagi kering air mata di atas jenazah kakek­mu Sultan Adam yang disusul dengan penobatan Tamjid, kau dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan kepercayaanmu yang penuh kepada Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat mencegah mala­petaka yang tak berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak menyerahkan pamanmu sendiri, Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!" "Kemudian baru-­baru ini kudengar lagi kabar, bahwa kau telah me­nyanggupi kepada Residen Belanda untuk mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka yang melakukan perlawanan itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang seadil-adilnya! Tentu saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?" Jawab Pengeran Antasari dengan getir. "Ingatan paman sangat baik," jawab Pangeran Hidayat. "Apa yang Paman katakan itu semua benar. Tentu Paman ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan itu semua, saya telah merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya malah menjerumuskannya!" "Paman, saya tidak bermaksud membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar hati saya, saya mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa sebagian besar manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah. Saya percaya bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan tanpa kita harus saling membunuh." "Sungguh akan menjadi khotbah yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa Kompeni akan berbondong-bondong datang mendengarkan khotbah­mu! Hidayat, apa kamu masih juga percaya, bahwa kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh Kompeni sekarang ini dapat ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar umat manusia di muka bumi ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran darah?" Sejurus Pangeran Antasari berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kita yang sudah banyak mengaji mengetocui benar," lanjutnya, "bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya". "Saya tidak tahu lagi, Paman,'' Pangeran Hidayat terdesak. "Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan." "Kamu boleh tidak tahu apa yang harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus kau lakukan. Dan itu cuma satu. Pimpinlah perjuangan ini!" desak Pangeran Antasari. "Mengapa Paman masih terus meng­harapkan supaya saya memimpinnya?" "Karena kau adalah ahli waris yang sah dari kerajaan ini." Pangeran Hidayat menyanggah : "Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris yang sah, karena saya tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini," katanya jujur. "Saya tidak terlalu berterima kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya mendapat kehormatan dengan sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah merebutnya dari datu-datu Paman. Turun-­temurun keluarga Paman telah berjuang mengusir Kompeni. Sedangkan saya...," ia menggeleng-geleng. "Tidak, Paman. Mengapa tidak Paman sendiri menerus­kan memimpinnya." "Jangan kita seperti anak kecil, Hidayat," keluh orang tua itu kesal. "Membangkit-bangkit kesalahan orang yang telah dikubur. Apapun yang telah terjadi diantara mereka, tidak menghapuskan adanya per­talian darah diantara kita. Aku sudah lanjut usia. Jika Allah membenarkannya, sebenarnya aku tidak meng­harapkan lebih daripada kedudukanku yang sekarang ini. Tambahan pula rakyat masih percaya penuh kepada wasiat kakekmu almarhum." "Tetapi wasiat itu telah beliau batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai Mangkubumi sekarang ini...Namun demikian", jawab Pangeran Antasari, "Bagi mereka kau tidsk saja ahli waris yang sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha utama bagi mereka. Kau merupakan lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas, lambang dari perjuangan mereka untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan segala-galanya untukmu." Pangeran Hidayat berjalan mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya. "Siapa diantara pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?" tanyanya. "Aku telah menghimpun semua mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas, dan Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama Tumenggung Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga muda yang jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima, juga dipimpin oleh orang keper­cayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak kepada kita." "Yang terakhir ini sudah saya dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk menyatukan Gerakan Benua Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga menjadikannya besan." "Ini suratan jodoh semata-mata," jawab Pangeran Antasari. Setelah. itu keduanya terdiam merenung sejenak. "Jadi semuanya mereka telah satu mufakat ?" tanya Pangeran Hidayat. "Kau jangan menyangsikan lagi", sahut pengeran Antasari tegas. "Apakah Paman yakin bahwa Paman akan memenangkun peperangan ini?" "Kita harus yakin, bahwa kita akan memenangkan ke­benaran dari peperangan ini," Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan mati-­matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain. Per­tempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859; pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito. Sementara itu Pangeran Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda. Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: "Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah," seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsa­wan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat meng­angkat Pangeran Antasari menjadi 'Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin'. Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercaya­kan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat. Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekali­gus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam. Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan per­senjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindah­kan pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman. Sedangkan para panglima yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan yang sulit dan letaknya jauh-jauh. "Adakah kabar penting Lehman ?" Khalifah membuka percakapan. "Oo tidak ... Tidak ada hal-hal yang ter­lalu luar biasa," jawab Lehman. "Hanya saja kami semua mendengar bahwa Khalifah-sakit." "Seperti yang kamu lihat sendiri, Lehman .... penyakit orang-orang telah berumur. Tapi Insya Allah, aku akan sehat kembali. Hanya buat sementara pimpinan perjuangan di sini kuserahkan kepada mereka bertiga ini ....," jawab Khalifah, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan Tumenggung Surapati mengangguk, yang dibalas pula oleh Kiai Demang Lehman. Selanjutnya Kiai Demang Lehman menyampaikan pesan para panglima dari Hulu Sungai dan Tanah Laut, yaitu Haji Buyasin dan Kiai Langlang, yang tidak sempat hadir pada saat pelantikan Khalifah serta per­mohonan maaf dan doa semoga khalifah cepat sembuh. "Kami para panglima yang berada di daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut telah berikrar dan bertekad bulat dibawah pimpinan Khalifah untuk berjuang dan bertempur terus di mana pun kami berada, selama Allah subhanahu wata'ala memberikan daya dan kemampuan kepada kami." "Alhamdulillah…," ucap Khalifah. "Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu semua masih tetap menaruh kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan perjuangan kepadaku. Karena itu aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun aku kelak sudah tidak ada lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus memimpin dan melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari'at Islam. Kepadamu semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus ber­langsung sepanjang usia umat manusia. Pembicaraan dalam pertemuan ini beralih kepada Muhammad Said, putera Khalifah, dimana antara lain ia berucap: "Sulit menemukan kesempatan seperti dalam pertemuan ini. Medan yang terpencar-pencar memaksa kita tidak dapat selalu bertempur bersama, bertemu dan apalagi memperbincangkan sesuatu. Namun demikian kita diikat oleh satu persamaan cita-cita dan tujuan, yang dihidupkan dan digerakkan oleh semangat perang sabil. "Inilah…," tekannya. "Tiga setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban benda dan jiwa sudah tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita cintai. Dan saya sendiri sudah kehilangan se­orang isteri, ipar dan mertua dalam perang ini. Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku.." Kembali ia terdiam merenung, lanjutnya: "Perang adalah sungguh-­sungguh kesengsaraan. Siapapun harus mengakui ini. Tetapi menyesalkah kita telah melakukannya? Tidak! Karena kita tahu untuk apa kita ini berjihad!" katanya bersemangat. "Biar seribu kali Nieuwenhuyzen me­ngeluarkan maklumat proklamasinya yang menyebut-­nyebut bahwa tujuan pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan kemakmuran rakyat, memegang teguh keadilan, ketertiban dan keamanan serta menganggap kita binatang buruan yang mengembara dalam rimba-rimba belantara dan menuduh kita menyalahgunakan nama Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan perang kita, semuanya itu tidak ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni boleh membunuh kita, tetapi tidak semangat kita! Lalu menyerah ... Menyerah setelah sekian banyak korban, sekian banyak kesengsaraan? Lalu apa artinya korban dan kesengsaraan selama tiga setengah tahun perang ini? Inilah yang menjadi tanda tanya tentang me­nyerahkan kak Hidayat kepada Belanda. Kiai Demang Lehman adalah orang yang paling dekat dengan kak Hidayat, tolong jelaskan." Kiai Demang Lehman mengangguk, menunduk se­bentar kemudian mengangkat muka. "Mungkin sebagian kesalahan itu ada pada saya," ia mulai dengan suatu pengakuan yang jujur. "Dan jika itu dinamakan kesalah­an juga, maka kesetiaan itulah saya kira asal-mula sebabnya. Hanya, kesetiaan saya itu bukanlah karena saya dari seorang pemuda tanggung bernama Idis yang diangkatnya menjadi Lalawangan di Riam Kanan dengan gelar Kiai Demang Lehman dan kemudian mendapat hadiah kedua macam senjata ini," katanya sambil memperlihatkan senjata-senjatanya. "Kesetiaan saya adalah kesetiaan seorang rakyat biasa terhadap pemimpin yang dicintainya dan sebaliknya menyintai pula rakyatnya; kesetiaan kepada pemimpin yang di­harapkan membimbing rakyatnya keluar dari penindas­an dan kesengsaraan. Dan di atas segala-galanya ke­setiaan kepada manusia." Pembicaraannya terhenti. Kemudian ia lanjutkan: "Saya iba melihat Pangeran Hidayat dan keluarganya terlunta-lunta dalam buruan Kompeni. Mengingat kekurangan senjata dan peng­hidupan rakyat semakin sulit karena pertumpahan darah yang berlarut-larut, maka saya mengusahakan penye­rahannya dengan kepercayaan, tadinya, bahwa penyerahannya akan mengakhiri semua kekalutan dan kesengsaraan itu. Tetapi diluar dugaan saya, ia me­nerima begitu saja tekanan yang ditetapkan oleh Mayor Verspyck tentang pengasingannya ke Jawa dan pengumuman kepada rakyat untuk meletakkan senjata." "Ini menyalahi sama sekali janji Mayor Koch kepada saya yang menjamin bahwa Pengeran Hidayat tidak akan diasingkan ke Jawa! Akhirnya saya insaf bahwa saya telah menempuh suatu cara yang salah, terlalu cepat percaya kepada apa yang seharusnya haram untuk dipercayai!" Kiai Demang Lehman berhenti sebentar untuk menekankan rasa geramnya atas pengkhianatan Belanda. "Tetapi ketika Kompeni membawa Pangeran Hidayat dari Martapura ke Banjarmasin, saya kerahkan rakyat Martapura, untuk membebaskannya kembali dari kapal api tersebut; dan berhasil. Hanya pada akhirnya, belum sebulan kemudian ia kembali menyerah untuk kedua kalinya," katanya menyesal. "Adapun saya sendiri, Insya Allah pantang untuk mengulang kembali kesalahan itu buat kedua kalinya. Dan saya bersumpah untuk menebus kesalahan pertama itu, kalau tadi dinamakan juga kesalahan, dengan seluruh jiwa raga saya!" ujarnya dengan hati berkobar tapi penuh taqwa. "Baru kemudian terasa, bahwa selain keimanan terhadap Agama, kesetia­an terhadap perjuangan juga menuntut dan mengatasi kesetiaan-kesetiaan lainnya" Khalifah yang semenjak tadi berdiam diri, mulai sngkat bicara: "Yah…, kesalahan semacam itu bukan tidak mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting sekarang ialah bahwa kita telah belajar dari pengalaman pahit," ujar khalifah lebih lanjut. "Mayor Verspyck ini telah mengirim surat kepadaku dengan perantaraan orang kepercayaannya Kiai Rangga Niti Negara. Katanya, bahwa bilamana aku dan kawan­kawan seperjuangan ingin memperbaiki kesalahan dan berhajat minta ampun kepada Kompeni, maka Kiai itu berkuasa membawa kami ke Mentalat untuk mendapat­kan pengampunan dari Kompeni! Begitu kira-kira bunyi suratnya, Surapati?" tanyanya kepada Tumenggung Surapati. "Sungguh surat yang mentertawakan," jawab Tumenggung Surapati. "Menyerah dan meminta ampun dengan perantaraan surat ? Bah…! Dengan meriam-­meriamnya pun haram kami menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki tangan Kompeni semacam Niti Negara itu !" Khalifah mengangguk, membenarkan pandangan itu. "Aku telah membalas surat itu, Lehman", katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala perhatiannya! Aku menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak kesalahan. Tetapi kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya, pandangan seorang kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!" "Semua orang-kultt putih di Banjar­masin telah digaji oleh kompeni untuk mengadakan segala macam perbuatan terkutuk, haram dan durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa mungkin usulnya akan kupertimbangkan jika ada surat resmi dari Gubernur Jenderad dimana ditetapkan tegas-tegas, bahwa ke­sultanan Banjar dikembalikan sepenuhnya kepada kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun ku­tolak dengan tegas. Kami akan berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua! Inilah antara lain yang penting, Lehman." "Kita tidak, akan mendapatkan apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi me­nyerah! Kalau kita melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan kita, akan menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan perangai atau iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangan­kan Hidayat, orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita semua orang yang terang-terangan menentangnya mati-matian." Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panem­bahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh. Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua. Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro. Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905. Gambaran singkat dari Perang Banjar yang ber­langsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, ter­lihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan "Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah", dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, dan targetnya ber­daulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang Banjar adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh. Perang Aceh Sebagaimana diketahui bahwa kesultanan Aceh telah berdiri sejak tahun 1507 yang diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Ali al Moghayat Syah, dan mencapai titik kejayaannya pada saat Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam berkuasa (1607-1636). Sejak itu kesultanan Aceh mengalami kemunduran, dengan pertentangan diantara para pewaris, sehingga me­nimbulkan kerajaan kecil-kecil di daerah-daerah. Walau. demikian, kesultanan Aceh yang luas itu tidak pernah terjajah baik oleh Portugis, Inggeris maupun Belanda, sampai tahun 1873. Untuk menjaga netralisasi kesultanan Aceh; Inggeris dan Belanda negara kolonial yang berkuasa di semenanjung Malaysia dan Indonesia, pada tahun 1824 telah mengadakan perjanjian di London, yang terkenal dengan nama Traktat London, dimana antara lain berisi: (a) Belanda mengundurkan diri dari Semenanjung Malaysia dengan jalan menyerahkan Malaka dan Singapura kepada Inggeris; (b) Inggeris mengundurkan diri dari Indonesia dengan Jalan menyerahkan Bengkulu dan Nias kepada Belanda; (c) Belanda harus menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan negara itu. Netralisasi kesultanan Aceh yang berdaulat, sejak tahun 1863 secara diam-diam tidak diakui lagi oleh Belanda. Sebab pada tahun itu, Sultan Deli yang de jure berada di bawah kekuasaan Aceh telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda, dimana dinyata­kan bahwa Deli hanya mematuhi segala ketentuan dari Batavia. Dengan perjanjian ini, Sultan Mahmud telah mem­beri konsesi kepada Belanda untuk membuka per­kebunan tembakau secara besar-besaran di Deli dengan syarat-syarat yang sangat menguntungkan. Pada tahun 1864 penguasa kolonial Belanda telah dapat mengekspor tembakau ke Negeri Belanda dengan keuntung­an yang sangat menggiurkan. Untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, pada tahun 1870 setelah didirikan satu perusahaan tembakau dengan nama 'Deli Maatschappij', yang kantor pusatnya berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Pada tahun per­tamanya perusahaan baru itu telah mengeluarkan 200% dividen; pada tahun kedua 330%, pada tahun ketiga 1300%. Perusahaan Deli Maatschappij telah memberi keuntungan yang luar biasa kepada penguasa Hindia Belanda. Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869, me­rubah alur pelayaran dari Eropa ke Asia Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu melalui Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo terus ke Selat Malaka. Dengan demikian posisi pulau Sumatera, khususnya Aceh men­jadi sangat strategis. Aceh yang telah mengetahui rencana pembukaan Terusan Suez dan posisinya di kemudian hari yang sangat strategis dalam alur pelayaran internasnonal, serta sangat mungkin menggiurkan negara-negara kolonial seperti Inggeris dan Belanda untuk mencaplok­nya, maka pada tahun 1868 delegasi kesultanan Aceh berlayar menuju Istambul untuk memohon kepada Sultan Turki agar menjadi pelindung kekhalifahan kekuasaan tertinggi atas Negara Islam Aceh. Turki yang dalam posisi sangat lemah, karena menghadapi negara-negara Kristen Eropa, terutama Perancis dan Inggeris, tidak mampu untuk memberikan payung pengaman kepada Negara Islam Aceh yang letaknya begitu jauh dari Turki. Dengan demikian missi delegasi Aceh gagal. Selain itu keberhasilan penguasa kolonial Hindia Belanda dalam menumpas peperangan-peperangan Banten, Jawa, Padri dan Banjarmasin menumbuhkan rasa superioritas yang angkuh, bahwa seluruh Indonesia bisa menjadi daerah jajahannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Satu-satunya daerah di Indonesia yang belum terjamah oleh Belanda hanyalah Aceh. Sesuai dengan watak kolonialis Eropa-Kristen, khususnya Belanda, hal-hal tersebut diatas seperti ke­untungan dan terbukanya terusan Suez dan keberhasil­an menumpas perlawanan umat Islam, mereka berbulat hati untuk melakukan ekspansi kekuasaan kolonialnya ke Aceh. Rencana untuk mencaplok kesultanan Aceh; dimulai oleh pertemuan Menteri Jajahan Belanda E. de Waal dengan duta besar Inggeris Harris di Denhaag pada tahun 1869. Hasil dari persekongkolan E.de Waal dan Harris (Belanda dan Inggeris) membuahkan laporan Kepada Raja Belanda, di mana de Waal pada bulan Juni 1870 menulis berdasarkan perundingan-perundingan dengan Inggeris, bahwa Aceh demi kepentingan politik yang mendesak harus dikuasai Belanda. Sejalan dengan hasil perundingan ini, maka Inggeris meminta pendapat gubernurnya di Singapura, Sir Harry St, untuk memberikan pertimbangannya. Pada tanggal 9 Desember 1859, Sir Harry memberi jawaban bahwa direbutnya Aceh oleh Belanda akan sangat menguntung­kan bagi perdagangan Inggeris. Pendapat Sir Harry dipublisir oleh media massa di Singapura, antara lain "Penang Gazette" tertanggal 10 Nopember 1871, di mana berbunyi "Makin cepat ada suatu negara Eropa yang berwenang campur tangan di Aceh, makin cepat pula daerah-daerah ini yang dahulu begitu subur dengan hasil-hasil bumi timur akan hidup kembali dan akan pulih dari keruntuhannya sekarang". Pada akhir Nopember 1871 lahirlah apa yang di­sebut Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggeris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian mana pun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan". Usaha-usaha untuk menyerbu Aceh, makin santer di­dengarkan baik Nederland maupun di Batavia, sehingga mendorong Multatuli pada bulan Oktober 1872 menulis surat terbuka kepada Raja dimana antara lain berbunyi: "Gubernur Jenderal Anda, Tuanku dengan bermacam dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan alasan provokasi yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada sultan Aceh, dengan tujuan merampas kedaulatan kesultanan itu, Tuanku, perbuatan ini tidak berbudi, tidak luhur, tidak jujur, tidak bijaksana." Peringatan yang dilancarkan oleh Multatuli, tidak dihiraukan sama sekali, dianggap angin lalu saja. Persiapan-persiapan kearah operasi militer terus di­lakukan. Setelah telegram program menyerbu dari Den Haag tertanggal 18 Februari 1873 di terima oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, London, maka segera ia mengangkat Nieuwenhuyzen, ketua Dewan Hindia Belanda dan dalam kedudukan ini nomor dua dalam hierarki Hindia; sebagai komisaris pemerintah. Yang menjadi panglima tertinggi militer ekspedisi dan penyerbuan ke Aceh ialah Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, komandan teritorial Sumatera Barat. Sebab Kohler telah lama mendapat perintah dari London untuk me­ngumpulkan keterangan militer tentang Aceh. Bahkan di atas kertas telah diperhitungkan berapa banyak pasukan yang diperlukan untuk opresai militer tersebut. Kohler dibantu oleh Kolonel E.C. van Daalen, yang menjabat sebagai wakil komandan operasi. Dengan cepat sekali Kohler dan van Daalen mulai menghimpun kekuatan pasukan yang terdiri atas tiga batalyon dari kota-kota garnisun di Jawa, di samping itu juga suatu batalyon 'Barisan Madura', pasukan-pasukan bantuan di bawah pimpinan perwira-perwira Eropa. Mengingat musim barat biasanya jatuh bersamaan hujan badai besar di Sumatera Utara pada akhir bulan April, maka dengan alasan itu operasi militer terhadap Aceh, sekiranya belum selesai, hendaklah sebagian besar harus telah dilaksanakan. Tidak mudah menghimpunkan keempat batalyon itu serta menambah artileri dan kavaleri. Seluruhnya berjumlah tiga ribu orang; sekitar seribu orang tamtama dan bintara Eropa dan 118 orang perwira. Ditambah seribu orang pekerja paksa sebagai tukang pikul, nara­pidana yang harus melakukan kerja paksa di luar pulau­nya sendiri. Juga termasuk dalam ekspedisi ini 220 wanita Indonesia sebagai tenaga kerja dapur dan teman tidur serdadu-serdadu Jawa dan Ambon; yang menurut ketentuan tradisional-operasi militer, delapan orang setiap kompi; dan akhirnya tiga ratus orang pelayan perwira, dua orang bagi setiap perwira dan sisanya personil kantin. Mengumpulkan operasi yang demikian pun sudah tidak mudah. Lebih sulit adalah mempersenjatai infan­tri secara layak. Pasukan Belanda (NIL) tengah beralih dari penggunaan bedil cara lama yang diisi dari depan menjadi penggunaan bedil Beaumont modern yang diisi dari belakang, sebenarnya larasnya masih juga panjang-­panjang, dan dengan sangkur terpasang menjadi jauh lebih panjang dari sebagian besar serdadu. Tetapi se­tidak-tidaknya bisa digunakan cara yang mirip me­nembak cepat; tentunya kalau orang mahir meng­gunakannya. Dan inilah justru kekurangan batalyon-­batalyon pasukan Belanda di Aceh. Batalyon ke-XII sedikit banyaknya telah dapat berlatih dengan Beau­mont, Batalyon ke-IX memperoleh bedil-bedil baru itu tidak lama sebelum masuk kapal, Batalyon ke-III masih harus menggunakan senapan yang diisi dari depan. Memang ada satu batalyon yang terlatih baik. meng­gunakan bedil-bedil baru itu, tetapi tidak mungkin me­narik pasukan pilihan dari seluruh Jawa tidak diikut­-sertakan. Karena menurut dugaan, perang Aceh tidak akan sehebat itu. Mengerahkan pasukan militer sebanyak itu memang tidak mudah. Mempersenjatai pasukan ekspedisi se­banyak itu lebih sulit. Tetapi yang paling sulit ialah memperoleh ruang kapal untuk mengangkut pasukan ekspedisi. Seperti dikawatkan Loudon ke Den Haag, keadaan angkutan ekspedisi laut sangat menyedihkan. Kapalnya tua-tua, ketel uapnya bocor. Dengan susah payah diusahakan menjadi enam kapal kecil siap ber­layar. Dua kapal pemerintah dan enam kapal milik Nederlands Indische Stoomvaart Maatschappij, akan mengangkut pasukan militer Belanda dengan sejumlah kapal layar tua yang ditarik. Keinginan Gubernur Jenderal Loudon adalah segera sesudah tangal 18 Februari 1873 akan mengirimkan Nieuwenhuyzen bersama beberapa kapal perang ke Aceh. Pasukan ekspedisinya akan menyusul kemudian. Tetapi keadaan armada negara begitu buruk, sehingga baru pada tanggal 7 Maret 1873 dua kapal perang siap berlayar. Nieuwenhuyzen berangkat pada tanggal 7 Maret 1873. Kendatipun dia terlambat berangkat, Loudon dan Franser van de Putte masih belum juga sependapat mengenai instruksinya yang menjadi pertanyaan ialah sang Sultan Aceh serta-merta harus dihadapkan pada pilihan mengakui kedaulatan Belanda atau perang; Loudon menganggap hal itu mutlak perlu. Fransen van de putte (Menteri Jajahan Belanda) sedikit masih samar­samar. Terutama ketika hari keberangkatan Nieuwen­huyzen dengan pasukannya ke Aceh. Perasaan geram terbukti dari telegram-telegram Loudon; seperti pada telegram tanggal 9 Maret 1873: "…tidak ada jaminan yang dapat dipikirkan kecuali peng­akuan kedaulatan. Tanpa ini ekspedisi tidak ada arti­nya. Harap segera berikan saya perintah tegas atau membiarkan saya bertindak sepenuhnya atas tanggung jawab sendiri seluruhnya…" Nieuwenhuyzen berada dalam perjalanan, dia sudah berada di depan pinang (artinya pada kantor telegraf yang terakhir) dan masih juga mendapat telegram bertubi-tubi dari Menteri Fransen yang tetap ber­sikeras bahwa alternatif tegas Loudon. (tuntutan pertama), di sini ataupun di tempat lain, akan memberikan kesan buruk. Pendiriannya tetap. Mulai dengan me­minta pada Aceh kejelasan, pertanggungjawaban, pe­nyelesaian yang memuaskan, mengadakan perjanjian. Dan kalau ini tidak diberikan? Jelas, hal ini ber­gantung pada keadaan. Pada tanggal 19 Maret 1873 Nieuwenhuyzen meneruskan perjalanan ke Aceh. "Situasi yang kritis ini bagi Aceh sangat menyedih­kan. Sebab Sultan yang naik tahta pada tahun 1870 baru berusia 14 tahun, sehingga kesultanan diwakilkan oleh para pembantunya. Sedangkan HabibAbdurrahman A1 Zahir yang menjabat sebagai perdana Menteri belum kembali dari missi diplomatiknya ke Turki dan Amerika Serikat dan Inggeris dalam rangka mencari bantuan senjata guna menghadapi penyerbuan Belanda. Sebagaimana diketahui bahwa peran Habib Abdur­rahman A1 Zahir sebagai Perdana Menteri dan seorang ulama telah berhasil memadamkan intrik dan dendam kesumat di kalangan para hulubalang dan kaum bangsa­wan di istana kesultanan Aceh. Ia telah berhasil meng­himpun para ulama dan rakyat Aceh untuk bahu-mem­bahu membentuk pasukan militer dalam menghadapi segala kemungkinan penyerbuan Belanda, ia pula yang berulang kali memimpin delegasi Aceh ke Turki dan Timur Tengah. Sikapnya yang tegas terhadap negara-­negara asing, seperti diungkapkan dalam percakapannya dengan Kraayenhoff, di mana antara lain berisi: "Aceh bersahabat dengan Inggeris, Perancis dari Turki serta negara-negara lain, karena tidak dilukai oleh negara­negara ini. Sebaliknya negeri Belanda yang sekarang ingin mempererat persahabatan, tetapi tidak menge­kang diri untuk merampas bagian-bagian dari Kesultan­an Aceh, seperti baru saja terjadi. Apakah itu yang di­namakan persahabatan?" Ilmu yang luas dan wibawanya yang besar, baik di kalangan para hulubalang maupun para ulama, merupakan benteng yang kokoh yang sulit untuk ditumbangkan; pada saat awal-awal Perang Aceh," demikian menurut kesan C. Snouck Hurgronye. Walaupun demikian Aceh telah mempersiapkan diri untuk menghadapi penyerbuan pasukan Belanda, dengan jalan membuat benteng-benteng dan kubu-kubu per­tahanan sepanjang pantai yang diperhitungkan akan menjadi tempat pendaratan pasukan musuh. Pada tanggal 19 Maret 1873, kapal-kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R. Kohler dan Kolonel Nieuwenhuyzen telah berada dilepas pantai Aceh. Dari kapal 'Citadel van Antwerpen' melalui surat-surat, Belanda memberikan ultimatum, dan ultimatum itu dijawab oleh Sultan Aceh dengan menyatakan, antara lain: " ..... Kemudian dari­pada itu kami iringi harapan kami yang sungguh-sungguh, agar hendaknya negeri kami jangan di­hancurkan". Dalam surat ini sultan tidak menyinggung secara langsung ultimatum pengakuan kedaulatan Belanda atas Aceh. Karenanya Belanda mendesak agar Aceh memberikan jawaban yang tegas, seperti surat yang dilayangkan kembali dari kapal Citadel van Antwerpen, yang berisi antara lain : "Karenanya saya minta kembali agar seri paduka tuanku sultan mengemukakan dengan tegas apakah sri paduka tuanku bersedia mengakui ke­daulatan sri baginda raja Belanda atas kerajaan Aceh. Tergantung kepada bentuk jawaban surat ini, akan dapat saya menetapkan apakah penyerangan dapat dihentikan atau tidak ". Surat ini ditandatangani oleh Kolonel Nieuwenhuyzen. Sultan memberikan jawaban, yang berbunyi : "Mengenai permakluman yang dimaksud dalam surat kami kemarin itu isinya tidak lain daripada mengemukakan bahwa dari pihak kami tidak ada tumbuh sedikit pun keinginan untuk merubah hubungan persahabatan yang sudah diikat. Sebab kami hanya se­orang miskin dan muda dan kami sebagai juga Gubernur Hindia Belanda; berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa. Akhirul kalam kami sampaikan salam kepada tuan-tuan sekalian…" Dalam jawaban surat sultan ini terlihat dengan jelas, bahwa Aceh tidak mau mengakui kedaulatan Belanda, Aceh hanya mengakui kedaulatan Tuhan. Jawaban sultan tentunya sangat tidak memuaskan Belanda, sehingga pada tanggal 26 Maret 1873 Nieuwen­huyzen menyataan perang kepada Aceh. Pagi berikutnya, kapal yang ditumpangi Nieuwenhuyzen, Citadel van Antwerpen, melepaskan tembakan ke arah sebuah benteng pantai, yang baru saja selesai dibangun oleh pasukanAceh. Di Den Haag sejak tanggaI 19 Maret 1873 sama sekali berada dalam ketidak-pastian. Pada tanggal 2 April 1873 koran-koran Belanda menerbitkan sebuah telegram Reuter dari Pinang, yang memuat pernyataan perang itu. Pemerintah Belanda tidak menerima berita apapun. Tidak ada hubungan langsung dengan Nieuwen­huyzen. Frans van de Putte telah meminta Loudon me­nyampaikan buku kode kepada Nieuwenhuyzen, agar pada waktu yang bersamaan ia dapat memberikan berita ke Den Haag dan Batavia. Loudon menjawab bahwa tidak ada waktu untuk menyuruh membuat salinan buku kode. Jelas dia takut akan tindakan Den Haag. Lagi pula, antara tanggal 1 dan 5 April 1873 kabel laut antara Singapura dan Batavia terganggu lagi. Berita resmi tentang pernyataan perang baru mencapai Loudon pada tanggal 5 April 1873, Den Haag sendiri sehari kemudian pada hari-hari pasukan pendaratan untuk melakukan pengintaian. Pendaratan pasukan utama Belanda baru menyusul dua hari kemudian. Sejak saat yang pertama, Perang Aceh secara militer pun lain dari­pada semua perang yang terdahulu. Bila di nusantara dianggap 'normal' bahwa suatu pendaratan pasukan yang begitu besar dihadapi dengan penarikan mundur musuh yang terorganisasi secara umum, pertempuran di Aceh satu lawan satu. Pada waktu batalyon-batalyon mendarat, sembilan orang tewas dan 46 orang luka dan sebagian besar karena serangan kelewang. Hanya dengan sangkur yang tidak praktis, serdadu-serdadu Belanda itu sempat mengelakkan serbuan-serbuan dahsyat pasukan tentara Islam Aceh. Artileri orang Aceh pun lebih baik daripada yang pernah pasukan Belanda hadapi. Pada hari pertama, Citadel van Antwerpen terkena dua belas tembakan meriam. Rencana perang Kohler sederhana sekali. Akan di­dirikannya sebuah pangkalan di sekitar muara Sungai Aceh, dan dari sini pasukan Belanda maju menuju keraton kediaman Sultan; yang sekaligus menjadi ibukota. Bila ini telah direbut, maka menurut pengertian pasukan Belanda (NIL) telah terlaksana pekerjaan yang utama. Begitu pusat pemerintahan dikuasai, menurut anggapan Belanda, Aceh pasti akan menyerah. Tetapi di mana tepatnya letak kraton, orang Belanda tidak tahu persis. Bagaimana amat miskinnya-informasi mereka, ternyata dapat dilihat dari Buku Saku Ekspedisi pasukan Belanda di Aceh, yang diberikan kepada para perwira. Di dalamnya dikemukakan bahwa keraton adalah 'sebuah tempat yang luas dan besar yang terdiri dari berbagai kampung, dengan banyak sawah, lapang­an, kebun kelapa, serta kira-kira 6.000 jiwa yang bermukim'. Dalam kenyataannya, tempat sultan berse­mayam paling-paling hanya beberapa ratus orang peng­huninya dan letak bangunannya lebih ke sebelah sana sungai dibandingkan dengan desa-desa yang sedikit banyak tergabung di dalamnya dan kampung Cina yang kecil. Pada uraian ini di sertakan dengan sebuah 'gambar' bagan figuratif Afdeling Utama Aceh, dengan meng­gunakan gambar-gambar perlambang, yang sebenarnya sangat tidak figuratif kelihatannya. Kuala sungai di situ sudah sama saja salah letaknya seperti juga keratonnya sendiri, desa-desa pesisir bergeser, jalan jalan semuanya tidak cocok dengan yang digambarkan. Keterangan-­keterangan beberapa orang mata-mata yang turut serta dibawa ternyata tidak ada harganya. Di antara mereka ini terdapat Arifin. Dia turut dalam ekspedisi pasukan Belanda tetapi tidak mempunyai peranan apapun. Pantai Aceh yang berawa-rawa dengan pepohonan tinggi menjulang di belakangnya tidak memungkinkan melakukan pengamatan visual yang agak jauh. Ketika mencari keraton, pada tanggal 11 April 1873 ditemukan sebuah benteng yang semula di duga adalah keraton: ruang yang dikelilingi tembok dengan beberapa ruangan bangunan di dalamnya. Ternyata bukan keraton, tetapi sebuah masjid, yang mati-matian dipertahankan bagai­kan sultan sendiri yang bersemayam di sini. Masjid itu ditembaki hingga terbakar dan dapat direbut dengan mengalami kerugian berat di pihak pasukan Belanda. Tetapi pada hari itu juga Kohler menyuruh meninggal­kan benteng masjid itu, karena menurut dia pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang begitu terancam. Segera pula pasukan Aceh menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan. Pekikan perangnya terdengar menyeramkan, terutama pada malam hari. Penarikan mundur ini lagi-1agi merupakan tindakan yang keliru dalam suatu perang kolonial, hingga tiga hari kemudian Kohler terpaksa memerintahkan merebut kembali kompleks bangunan masjid dengan menderita kerugian besar bagi pasukannya. Dia sendiri merupa­kan korban dalam kekeliruan ini. Ketika berdiri dalam kubu masjid itu pada tanggal 14 April 1873 sebutir peluru menembus dadanya dan menewaskannya. Saat itu seluruh pasukan Belanda kehilangan semangat. Mestinya orang sudah meragukan strategi seorang panglima tertinggi yang mula-mula menduduki suatu kubu musuh seperti itu, lalu meninggalkannya dan kemudian menyuruh menaklukkannya lagi. Tetapi peng­gantinya Kolonel Van Daalen tidak ditinggalkan suatu rencana perang apapun. Kohler sama sekali tidak pernah menceritakan apa-apa kepadanya. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan barisan, pasukan Belanda maju lagi menuju keraton. Garis hubungan dengan markasnya dipantai, yang hanya beberapa kilometer dari masjid letaknya, senantiasa ter­ancam oleh pasukan-pasukan gerilya Aceh, yang pejuang­pejuangnya memakai baju putih tanpa takut mati, ya, bahkan ingin mati, menyerbu batalyon-batalyon serdadu Belanda itu. Tengah malam terjadi sergapan dan pe­nembakan. Pada tanggal 16 April 1873 dua dari tiga batalyon itu menyerang keraton. Mereka dipukul mundur dengan seratus orang mati dan luka-luka dipihak pasukan Belanda. Malam hari itu Van Daalen melakukan sidang dewan di medan. Para kolonel umumnya berpendapat harus mengundurkan diri. Di Aceh diperlukan sarana-sarana yang lain sekali daripada yang dimiliki. Dengan diketuai oleh Nieuwenhuyzen kemudian dimusyawarahkan di kapal Citadei Van Antwerpen tentang nasib pasukan militernya. Menurut para perwira 'ternyata sudah musuh gigh yang melawan lebih besar kekuatannya'. Koman­dan Angkatan Laut berpendapat bahwa musim barat telah tiba dengan turunnya hujan-hujan pertama, yang menjadikan perkemahan tergenang air. Baik keamanan kapal-kapal maupun 'hubungan tanpa gangguan antara pelabuhan dan darat tidak terjamin, sehingga pengirim­an bala bantuan yang telah diputuskan oleh Batavia pun tidak akan ada artinya lagi. Nieuwenhuyzen minta diberi kuasa untuk meme­rintahkan pasukan penyerbunya kembali dan ini diperolehnya pada tanggal 23 April 1873. Dua hari kemudian pasukan Belanda pun masuk kapal. Kekuatan inti tetap tujuh belas hari berada di darat. Dari tiga ribu anggota, 4 orang perwira dan 52 orang bawahan tewas, 27 orang perwira dan 41 orang bawahan luka dari pasukan Belanda yang berasal dari Eropa dan hampir 400 orang serdadu lainnya yang mati dan luka, yang berasal dari pasukan pribumi. Jadi, hampir lima ratus dari tiga ribu serdadu Belanda yang mati dan luka-luka; itulah akibat kerugian Perang Aceh pertama, yang ulang-alik perjalanannya belum sampai memakan waktu enam minggu. Usaha pasukan Belanda untuk menguasai Aceh gagal. Namun, berdasarkan kebiasaan masih pula di­bentuk panitia penyambutannya di Batavia bagi kembalinya pasukan yang kalah. Ketuanya Tuan Kleijn bekas komandan artileri. Tiada pesta pora; tetapi penembak meriam ini berseru kepada pasukan, yang kembali pada tanggal ll Mei 1873: "Anda berhak dihormati, Anda telah berjasa terhadap Nederland dan Raja, Anda telah mempertinggi kemasyhuran tentara Hindia yang gagah perwira!" Dari ucapan terima kasih Kolonel Van Daalen ter­nyata bahwa tidak setiap orang di Batavia, sependapat dengan sang penembak meriam yang gagah perwira itu. "Anda menunjukkan bahwa Anda tidak tertolong dalam tumpukan besar arang tolol, yung menilai suatu ekspedisi militer semata-mata dari hasil yang dicapai, tanpa mem­perhatikan keagungan dan kemasyhuran yang tercapai karenanya," kata-katanya pahit. Dan benarlah, tumpukan orang tolol demikian memang ada; dan ke dalamnya termasuk orang-orang seperti Gubernur Jenderal sendiri yang harus men­dukung dan mempertanggungjawabkan beban kegagal­an itu. Tidak diketahuinya apa yang memang dipahami orang-orang sejati 'tempo dulu', bahwa suatu ekspedisi militer yang kalah bukanlah berarti kalah perang, tetapi suatu peristiwa yang biasanya memulai setiap usaha perang kolonial di nusantara ini. Tidakkah sudah tiga ekspedisi yang dikirim ke Bali, Sulawesi Selatan, dan ke Kalimantan pun entah sudah berapa ? Tidakkah baru sesudah dua puluh tahun lamanya perang Padri Sumatera Barat ditaklukkan dan dua setengah tahun lamanya dilakukan pengepungan terus menerus dengan empat ribu orang pasukan Belanda (NIL) yang diperlengkapi dengan meriam-meriam gunung dan artileri penembak kubu pertahanan di sana, dapat merebut benteng Bonjol di gunung dari kaum Padri ? Nah, pasukan Belanda akan mengambil balas pula di Aceh. Tetapi kali ini akan terbukti jauh berbeda dari harapan pasukan Belanda. Operasi militer Belanda se­lanjutnya, hanya perlengkapannyalah yang lebih baik dari yang sudah-sudah; tetapi hasilnya belum bisa me­naklukkan Aceh. Kegagalan akan terus menghantui pasukan Belanda di Aceh sepanjang masa. Pada tanggal 18 Mei 1873 Raja Willem III mengada­kan kunjungan belasungkawa kepada ayah Jenderal Kohler yang tewas dalam perang Aceh pertama, yang tinggal di Groningen. Peristiwa itu merupakan semacam peristiwa nasional bagi bangsa Belanda. Kunjungan itu diabadikan pada sebuah lito yang dibuat oleh J.W. Egenberg, yang memperlihatkan Raja bersama-sama ajudannya bersikap bagaikan dibuat-buat berdiri dekat si orang yang membungkuk beserta anak-anak sang jenderal. Peristiwa kunjungan belasungkawa ini menumbuh­kan semangat bagi rakyat Belanda untuk melakukan balas dendam atas kekalahannya kepada rakyat Aceh. P Haagsman telah mengarang, satu Lagu Militer untuk Perang Aceh yang lengkap dengan musiknya. Sajian Haagsman yang penuh penghinaan terhadap rakyat Aceh, telah diperjual-belikan dan dilagukan di mana-­mana, antara lain berisi: Ke Aceh, keraton sarang segala kejahatan, Persekongkolan, pembajakan dan khianat berkecamuk; Tumpas semua selingkuh, hajar si laknat; Dengan sang Tiga Warna Belanda 'peradaban' tumbuh. Tanda kutip pada kata peradaban seluruhnya menjadi tanggungjawab penyair; yang menutupnya dengan: Ke Aceh keraton itulah semboyan kita kini; Kita gugur atau hidup, terserah Tuhan; Tapi Aceh pasti jatuh, atau kami tak kembali lagi, Menang atau mati, demi kehormatan Belanda. Tidak ada yang begitu besar pengaruhnya dalam mem­buat perang Aceh kedua menjadi kenyataan di negeri Belanda, hingga perang itu adalah perang orang Belanda melawan Aceh, yaitu dengan diangkatnya Jen­deral Van Swieten menjadi panglima tertinggi penyerbu­an kedua. Dulu pun pernah terjadi pasukan-pasukan dikirimkan ke Hindia, tetapi tidak terjadi seorang jen­deral turut serta. Pengangkatan Jenderal Van Swieten menjadi panglima tertinggi perang Aceh kedua; karena pengalamannya yang banyak tentang Indonesia. Ia pernah ikut dalam perang Jawa dan Bali, juga dalam penaklukkan Bone serta pernah menjadi Gubernur di Sumatera Barat. Pada tanggal 6 Juni 1873, belum sebulan setelah kembali pasukan Belanda dari perang Aceh pertama, Loudon mengirimkan telegram kepada Fransen van de Putte, yang kata-kata pertamanya mangandung arti: "Dengan rahasia sedalam-dalamnya saya ajukan saran untuk mengirimkan Jenderal van Swieten sebagai komi­saris sipil dan panglima militer ke Aceh. Prestise besar Nieuwenhuyzen tidak mungkin. Dan Verspijk dapat men­jadi pemimpin kedua." Pemerintah Belanda mengambil alih usul tersebut dan bertindak cepat sekali. Putusan Raja, yang me­nugasi kembali Van Swieten dalam dinas aktif, ter­tanggal 11 Juni 1873. Dalam satu hal Den Haag menunjukkan kegembiraan lebih daripada yang dapat di­terima Loudon dengan senang hati. Keberangkatan Van Swieten dari Nederland pada bulan Juli 1873 merupakan kemenangan Fransen van de Putte mengadakan jamuan malam di Wisma Renang Kota Scheveningen di mana Pangeran Mahkota Willem, semua menteri dan semua duta hadir. Pangeran, dan menteri jajahan mengangkat gelas untuk kemenangan penyerbuan tentara Belanda ke Aceh itu. Ketika ber­angkat dari Den Haag beberapa orang menteri dan beberapa pejabat tinggi lain berada pula di stasiun. Se­orang gadis putri Fransen van de Putte mempersembah­kan bunga. Di Rotterdam kereta api khusus dengan jenderal dan stafnya itu, disertai oleh Komisaris Raja di propinsi Holland Selatan, disambut oleh Walikota Joost van Vollenhoven dan sebuah korps musik. Ketika naik kapal di Bellevoetsluis ada lagi upacara kecil-kecilan. Keberangkatan yang luar biasa, yang tidak pernah di­alami oleh pengangkatan seorang Gubernur Jenderal sekalipun. Suasana perang untuk menaklukkan Aceh secepat mungkin dilaksanakan dengan cara bagaimanapun telah ditulis oleh Busken Fuet dalam koran Algexeen Dagblad voor Nederlandsch Indie di Batavia, dimana antara lain berbunyi: "Siapa di nusantara ini tidak memihak kita, menentang kita, dan siapa menentang kita, kita tumpas. Bukan Sultan Aceh yang mewakili peradaban, tetapi kita, dan kepada kitalah, bukan dia yang berhak menguasai lautan ini. Bagi kita kedaulatan senenuhnya atas pulau-­pulau di nusantara ini merupakan soal hidup-mati. Bersamanyalah jatuh atau tegaknya negara kolonial, dan dari padanyalah kita peroleh nama orang Belanda. Kekuasaan itu merupakan hak kita." Penyerbuan pasukan militer Belanda ke Aceh yang pertama gagal, karena pelaksanaannya terlalu tergesa-­gesa, perlengkapan buruk, dan tidak ada rencana peperangan, dernikian dalih mereka. Hal ini tidak akan terjadi pada Van Swieten. Sudah sejak di negeri Belanda dia mempertimbangkannya secara panjang lebar dengan Fransen van de Putte. Pemerintah Belanda menaikkan anggaran belanja Perang Aceh dan memasukkannya dalam anggaran belanja negeri tersebut. Sebab Belanda menyadari bahwa prestise nasional, internasional dan kolonial harus dipulihkan dengan tercapainya suatu ke­menangan hebat. Anggaran belanja Hindia Belanda dinaikkan dengan 5,5 Juta gulden, dimana setengah daripadanya disediakan untuk angkatan laut, yang memang begitu parah keadaannya. Segala yang dapat berlayar di Hindia dikumpulkan antara ekspedisi militer pertama ke Aceh dan kedua, asal saja dapat dipasangi sebuah meriam. Di Negeri Belanda militer diperkenankan merekrut dua ribu orang pasukan militer untuk Hindia, dengan menaikkan uang persen menjadi empat ratus gulden, dan gaji untuk tugas dua tahun di Aceh mendapat gratifikasi 1500 gulden. Walaupun begitu, tenaga-tenaga militer yang direkrut belum mencukupi, karena banyak yang takut mendengar beratnya Perang di Aceh. Karena­nya pemerintah Belanda menaikkan gratifikasi menjadi 4500 gulden. Persenjataan mendapat banyak perhatian. Artileri memiliki 72 meriam dan dua mitralyur. Seluruh ke­kuatan tentara Belanda untuk menyerbu Aceh yang kedua ini berjumlah hampir 13.000 ribu orang: 389 perwira, 8.156 bawahan, 1.037 pelayan perwira, 3.280 narapidana, dan 243 wanita. Mereka harus diangkut ke Aceh dari Batavia dan beberapa kota garnisun lain di Jawa. Untuk Indonesia jarak ini tidak terlalu jauh, tetapi bagaimanapun selalu lebih jauh dari dua ribu kilometer. Sembilan belas kapal pengangkut disewa, pendeknya apa saja yang bisa didapat di Batavia dan Singapura. Pelayaran dengan maut di kapal --bukan sebagai panjar atas kesulitan-kesulitan yang diharapkan akan terjadi di Aceh-- tetapi sebagai warisan salah satu wabah kolera berkala, yang terjadi pada akhir oktober 1873 tepat mencapai Batavia. Ribuan orang yang masuk kapal itu mudah sekali menjadi mangsa penyakit kolera. Keberangkatan yang ditetapkan pada tanggal 1 Nopember 1873 diundurkan sepuluh hari tanpa adanya upacara. Sebelum armada angkutan pasukan Belanda tiba di Aceh, telah meninggal enam puluh orang di dalam kapal. Begitu kapal mendarat, jumlah korban meningkat setiap hari. Hujan tanpa henti, bedeng-bedeng becek, dan terasa kekurangan tenaga dokter Pada tanggal 9 Desember 1873, satu dari tiga brigade (yang keempat dalam cadangan dikirim ke Padang) sesudah melancakan gerakan tipu, didaratkan ke pantai rawa. Pendaratan itu dilakukan terlalu cepat, karena bila tinggal lebih lama di kapal yang kotor dan me­nyesakkan napas, bencana kolera akan menimpa. Empat belas hari lamanya dengan gerakan berhati-hati, barulah pasukan induk ditempatkan di sekitar kampung Peuna­yong di tepi Sungai Aceh, letaknya satu setengah kilo­meter dari keraton. Pada akhir Desember 1875 pasukan Belanda yang meninggal sebanyak 150 orang terserang kolera. Dalam rumah sakit tenda, yang sebentar-­sebentar harus dipindahkan ke tempat yang lebih kering, dirawat lima ratus pasien; 'dirawat' berarti ditempatkan dalam suatu perkemahan dengan jerami basah tanpa perawatan. Delapan belas orang Perwira dan dua ratus orang bawahan harus dibawa dalam keadaan sakit ke Padang, karena rumah sakit darurat yang ada sudah tidak menampungnya. Mereka dibawa dengan kapal­-kapal pengangkut, tanpa lebih dahulu diadakan pembas­mian hama kolera, lalu diangkut lagi pasukan-pasukan pengganti: Jadi, sebelum penyerbuan yang benar-benar dimulai, pasukan Belanda telah kehilangan 10% dari kekuatannya. Sebelum mendarat, Van Swieten telah mengirimkan beberapa orang utusan dengan surat kepada sultan muda usia itu bersama para penasehatnya. Surat-surat yang mengultimatum untuk menyerah tidak dijawab, bahkan para utusan Belanda dibunuh. Sesudah pen­daratan dilakukan, memang beberapa orang pemuka yang rendah pangkatnya di pesisir menyatakan takluk. Di antara mereka terdapat pemuka turun-temurun dari daerah Marasa, Teuku Nek. Di luar Aceh orang akan menamakannya 'raja', tetapi di situ dia disebut 'hulu­balang'. Tidak seorang pun dalam kubu Belanda yang mengetahui arti Teuku Nek. Daerahnya berada di delta segitiga Sungai Aceh, salah satu dari masyarakat Mukim yang banyak jumlahnya. Di Aceh ada pembagian ke­kuasaan berdasarkan mukim-mukim, yang masing-­masing terdiri dari desa-desa masyarakat muslim. Sesuai dengan jumlah mukim pada permulaannya, maka mukim tersebut dinamakan mukim IX.. Mukim-mukim dipersatukan lagi menjadi tiga federasi besar, yaitu ketiga sagi di Aceh, yang juga disebut menurut jumlah mukim yang dipunyainya. Sagi Mukim XXV meliputi daerah tepi kiri hilir sungai Aceh, Sagi Mukim XXVI lembah lebar tepi kanan. Lebih ke hulu, Sagi Mukim XXII pada kedua tepi sungai membentuk titik segitiga delta yang bersama-sama membentuk ketiga sagi. Daerah di muara sungai yang sebenarnya --dengan tempat kediaman sultan, dengan keraton sebagai inti­nya-- adalah satu-satunya daerah yang langsung atau lebih tepat atas nama sultan diperintah oleh para pejabat, yang seperti juga para kepala sagi memperoleh kebebasan yang besar dari Yang Dipertuan. Selain keraton, daerah sultan meliputi beberapa kampung asing pada sungai, masjid raya --tempat Kohler tewas-- dan beberapa kampung Aceh Asli. Semuanya itu, yaitu daerah sultan ditambah be­berapa sagi, merupakan sebagian kecil dari Aceh: tidak lebih dari delta, tanah subur diantara gunung-gunung yang melingkungi pantai barat Aceh. Bagian terbesar dari Aceh yang jumlah penduduknya setengah juta jiwa, dan mungkin 250.000 jiwa tinggal di delta, seluruhnya bebas dan diperintah oleh hulubalang. Satu-satunya kekuasaan yang dapat dilaksanakan oleh sultan atas seluruh konfederasi adalah kekuasaan moral, yang pada akhir-akhir ini menjadi sangat lemah, terutama di daerah-daerah pedalaman seperti Tanah Gayo dan Alas. Kewibawaan sultan pada akhir tahun 1875, karena ditopang oleh perdana Menterinya yaitu Habib Abdurrahman Al Zahir, yang mengatasi para hulu­balang, karena keahlian diplomatik, kealiman ilmunya dan luasnya pengetahuan duniawinya. Kepentingan ber­sama antara sultan dan para hulubalang adalah sama yaitu mengusir pasukan penjajah Belanda dari Aceh. Mengenai ini semua, Van Swieten, ketika mendarat pada bulan Desember 1873, tidak banyak tahu seperti juga Kohler dan Nieuwenhuyzen delapan bulan se­belumnya. Ketika Teuku Nek datang menyatakan takluk, Van Swieten tidak mengetahui bahwa dalam hal ini perselisihan dengan hulubalang-hulubalang dari mukim bersebelahan memainkan peranan. Yang bisa diketahui Van Swieten dari stafnya adalah bahwa daerah Teuku Nek terletak dalam lini serangan pertama pasukan Belanda (NIL) dan bahwa karena itulah dia datang melapor. Lebih curiga lagi mereka beberapa minggu kemudian terhadap tawanan Teuku Nya Cut Lam Reueng, panglima sagi Mukim XXVI melalui surat yang disampaikannya untuk menyatakan takluk dengan imbalan delapan ribu ringgit Spanyol. Menurut keterangannya, sang panglima ingin membagi jumlah ini di kalangan para hulubalangnya. Perbedaan antara kedua pemuka, Teuku Nek kepala mukim yang seder­hana dan Teuku Nya Cut Lam Reueng kepala sagi yang perkasa, tidak berarti suatu apapun bagi Van Swieten, karena kebodohannya. Dia haya melihat bahwa orang yang satu menyatakan dirinya takluk tanpa minta apa­-apa dan tidak bermaksud mencari keuntungan, sedang­kan orang yang kedua meminta delapan ribu ringgit Spanyol, Dalam benak sang jenderal tentunya berpikir: masa aku gila. Tetapi tanpa diketahuinya Van Swieten dalam hal ini kehilangan kesempatan besar yang pertama dapat di­gunakannya untuk memainkan peranan penting dalam konflik-konflik intern Aceh. Teuku Nya Cut Lam Reueng sedang dalam pertentangan sengit menghadapi seorang saingan. Dia belum dapat memastikan kedudukannya sebagai kepala sagi, karena ketika penggantian mahkota berdasarkan keturunan, sultan belum sempat memberi­kan kepadanya hadiah sultan yang dianugerahkan secara tradisional, yang selanjutnya harus dibagi kepada sagi di antara kepala mukim. Dengan membayar delapan ribu ringgit, Van Swieten seharusnya akan dapat memastikan salah seorang dari mereka yang paling utama di Aceh untuk patuh kepadanya. Hal ini tidak dilakukannya. Sesudah terjadi beberapa pertempuran kecil, ketika maju dari pantai ke Peunayong tempat didirikannya perkemahan yang tetap, Van Swieten melancarkan pukul­an besar pertamanya pada tanggal 6 Januari 1874. Yaitu serangan terhadap masjid raya, untuk ketiga kali­nya dalam waktu sepuluh bulan harus direbut oleh pasukan Belanda. Lagi-lagi pasukan kolonial Belanda menderita kerugian besar. Serangan itu dilakukan oleh suatu brigade lengkap yang terdiri dari 1.400 prajurit militer. Seusai pertempuran, jumlah serdadu Belanda yang luka parah dua ratus orang, dan empat belas perwira luka. Bagi suatu perang 'modern' dengan tembak­an gerak cepat senapan-senapan otomatis, korban demikian mungkin tidak merupakan kerugian besar demi merebut kedudukan yang begitu penting. Van Swieten menghitung kerugian lain. Dalam pertempuran ini pada satu hari saja sepertujuh dari suatu brigade sudah tidak berdaya. Karena itu, serangan terhadap keraton sendiri diminta agar persiapannya lebih sem­purna dengan pengintaian dan tembakan artileri yang kontinyu. Atas nasehat Teuku Nek dilakukan gerakan mengitari, mengepung keraton. Lubang-lubang perlin­dungan pun digali lalu meriam-meriam besar penyasar benteng diseret. Juga sekoci-sekoci bermeriam kecil turut melakukan penembakan. Ketika pada tanggal 21 Januari 1874 akhirnya diberikan tanda untuk me­nyerbu, ternyata musuh pada malam hari telah ber­angkat. Daerah keraton yang dilindungi tembok serta bangunan besar dan kecil reot-reot yang tidak satupun menyerupai 'istana' tanpa pertempuran suatu apa pun, jatuh ke dalam tangan pasukan kolonial Belanda. Jatuhnya keraton dianggap di Batavia dan negeri Belanda sebagai hasil terpenting yang dapat dicapai pasukan penyerbu April 1873 telah ditebus pada bulan Januari 1874. Van Swieten memerintahkan musik staf memain­kan Wien Nederlands Bloed (Siapa Berdarah Belanda) dan menawari tuan-tuan perwira minum sampanye yang khusus dibawa untuk tujuan itu. Perintah harian­nya kepada pasukan disusun dalam gaya militer yang terbaik (Keraton telah kita kuasai, dan rakyat Aceh yang angkuh terpaksa menyerah kalah terhadap kegagahan dan keberanian serta keahlian perang Anda), dan ditambahkannya kecaman yang diterimanya bahwa terlalu lama dia menghabiskan waktu menempuh jarak dari daerah pendaratan sampai ke tempat kediaman Sultan, hampir memakan waktu tujuh minggu sejauh lima belas kilometer garis lurus. "Bahwa keraton ini tidak akan dapat direbut dengan serangan besar, saya tahu, dan bahwa memang demikian keadaannya yang dapat di­saksikan oleh setiap orang yang sempat melihat tembok-temboknya dengan pertahanan yang ada di depannya. Karena itu tidak perlu kita sesali bahwa pertahanan musuh ini baru 47 hari sesudah pendaratan dapat hita kuasai. Karena kemenangan cukup cepat tiba, bila dia diperoleh dengan hanya sedikit kerugian, dan inilah terutama yang menjadi tujuan gerakan yang kita lakukun dengan sekop dan sodok," demikian ucapan Van Swieten dengan sombongnya. Padahal hasil yang di­capai ini hanya fatamorgana bagi pasukan kolonial Belanda. Segera setelah Van Swieten mengirimkan telegram ke Den Haag dan Batavia sekaligus, terbit nomor ekstra Berita Negeri Belanda dengan suatu buletin berjudul 'Kraton kita kuasai'. Di kota-kota di Hindia dan Negeri Belanda dikibarkan bendera tiga-warna dari gedung-­gedung pemerintah kolonial. Malam hari orang mem­bakar petasan, di Gedung Kesenian Kerajaan di Den Haag sesudah musik tiup dari ruang orkes berkuman­dang lagu kebangsaan Belanda, orang pun berpandangan satu sama lain dengan linangan air mata sebagai tanda gembira. Pendeknya, hari ini hari pesta yang luar biasa bagi Belanda. Meriam-meriam perunggu yang tidak terpakai dalam keraton Aceh dikirim ke Negeri Belanda sebagai kenang-kenangan. Beberapa buah diantaranya sebuah howitzer 61 senti dari abad ke-17 dengan lambang Jacobus Rex Inggeris, mungkin sebuah hadiah lama Inggeris, ditempatkan di Bronbeek dan masih merupakan kebanggaan museum pasukan Belanda di sini. Yang lain-lainnya telah dilebur untuk menempa medali Perang Aceh, yarg diberikan kepada para peserta penyerbuan pertama dan kedua ke Aceh. Tetapi kemenangan tidak dimulai dari keraton. Ber­beda sama sekali dengan pola tradisional, ternyata jatuhnya tahta sultan tidak ada artinya bagi penakluk­an Aceh. Bahkan mangkatnya sang sultan remaja, karena terserang kolera yang dibawa masuk oleh pasukan kolonial Belanda, sedikitpun tidak mempengaruhi per­lawatan rakyat Aceh. Penembakan-penembakan dari keraton dan masjid raya dan sergapan-sergapan atas perkemahan pasukan Belanda tetap terjadi siang malam. Orang Aceh tidak memiliki pasukan-pasukan tetap, paling hanya ada puluhan atau ratusan orang yang bersama-sama bertindak, tetapi dengan itu diawalilah gerilya yang mereka lakukan dengan hebat, bagaikan telah mendapat latihan yang sempurna. Dan memanglah rakyat Aceh demikian adanya. Makin jelas bahwa pembagian tanah Aceh menjadi daerah kecil-kecil dengan hulubalang menjadi kepala di tiap-tiap daerah, melumpuhkan strategi Belanda dalam dua segi. Pertama, ternyata rencana politik Van Swieten untuk mendesak sultan menandatangani suatu traktat model Siak adalah suatu yang sia-sia. Tidak ada seorang sultan pun yang dapat mengikat rakyat Aceh tanpa topangan para hulubalang. Kedua, puluhan tahun berlangsungnaya otonomi yang luas telah menjadikan rakyat Aceh terbiasa melakukan gerilya tetap. Tiap kampung berbenteng, tiap laki laki menyandang bedil, kelewang dan rencong. Kini pejuang-pejuang itu tidak saja dapat berperang sepuas hatinya, beberapa minggu tinggal di rumahnya di pedalaman dan kemudian melakukan darmawisata ke daerah kecil yang diduduki Van Swieten dengan pasukannya. Di samping itu rakyat Aceh berkeyakinan akan dapat memperoleh syurga, karena melakukan perang sabil terhadap kaum kafir.­ Van Swieten terpaksa merombak strategi politiknya dan strategi militernya secara mendasar sesudah sultan mangkat, dengan proklamasi tanggal 31 Januari 1874, ia menyatakan, bahwa karena sekarang "rakyat telah dikalahkan, keraton telah direbut, maka berdasarkan hak menang perang negeri menjadi milik pemerintah Hindia Belanda." Belanda tidak akan mengakui sultan Aceh yang baru dipilih dan akan melaksanakan sendiri pemerintahan. Para panglima ketiga sagi, jika mereka menyatakan dirinya takluk secara tetulis, akan dapat memerintah daerahnya atas nama pemerintah Hindia Belanda. Daerah Sultan yang lama langsung diperintah oleh pejabat-pejabat militer Belanda. Untuk sementara pasukan Belanda kelabakan me­nolak kawula-kawula Belanda baru itu masuk dan melindungi daerah Teuku Nek dari serangan tetangga-­tetangganya, karena itu sejak tanggat 31 Januari 1974 tidak ada lagi yang datang menyatakan takluk. Ketika Van Swieten pada tanggal 16 April 1874 bersama dengan pasukan inti akan berangkat ke Batavia, pasukan militernya ketika akan berlayar masih harus menderita kekalahan serius. Usaha merebut suatu benteng Aceh yang baru dibangun tepat di depan keraton itu gagal. Peristiwa ini pertanda buruk bagi pasukan Belanda yang masih tinggal di Aceh. Dari 389 orang perwira dan 8.000 orang bawahan yang menjadi anggota pasukan penyerbu, telah me­ninggal dunia di Aceh masing-masing 28 orang perwira dan 1.700 orang bawahan. Karena sakit atau luka, seribu orang lagi dipindahkan melalui laut pada bulan-bulan sebelumya. Jadi, dalam lima bulan Van Swieten kehilangan sebagian dari kekuatan militernya. Angka kematian di kalangan narapidana yang dijadikan kerja paksa membantu pasukan Belanda jauh lebih tinggi. Dari tiga ribu orang yang masuk kapal di Batavia, seribu orang meninggal dunia. Jumlah mereka itu diganti, tetapi dari tiga ribu orang yang ditinggal­kan Van Swieten pada bulan April 1874 dibawah pim­pinan penggantinya, Kolonel J.H. Pel, tahun itu juga meninggal dunia sembilan ratus orang. Sedang dua ribu orang harus diungsikan ke Padang atau ke Jawa karena sakit, dan harus diganti oleh yang baru lagi. Demi hasil yang bagaimana dengan pengorbanan yang begitu besar? Sebuah keraton kosong diduduki, yang tidak lama kemudian oleh Belanda disebut Kutaraja, kota sultan, sebagai inti pertahanan mereka, walaupun tidak pernah lagi seorang bersemayam di sana. Di daerah hulu se­panjang sungai dibangun beberapa tangsi yang ber­benteng kuat. Suatu wilayah beberapa kilometer luasnya namanya saja dikuasai. Dari tujuan-tujuan politik tidak ada satu pun yang tercapai! Penyerbuan kedua, Perang Aceh kedua, pada hakikatnya merupakan bencana. Sambutan meriah ter­hadap pasukan-pasukan di Jawa dengan gapura-gapura kehormatan, anggur kehormatan dan karangan-karang­an bunga kehormatan. Dan sambutan meriah terhadap Van Swieten di Negeri Belanda lima bulan kemudian dengan pesta jamuan lagi, yang dihadiri oleh pangeran-­pangeran dan menteri-menteri di Wisma Renang Scheveningen, tidak dapat lama menutupi kenyataan yang sebenarnya. Van Swieten telah menasehatkan pada pengganti­nya, Kolonel Pel, agar sementara waktu mengambil sikap menanti, dengan perkiraan bahwa lama kelamaan akan lebih banyak pemuka Aceh yang akan datang melapor. Baru saja Van Swieten kembali ke Negeri Belanda, dan dielu-elukan sebagai Pemenang di Aceh, Pel pun atas permintaannya yang mendesak telah menerima bala bantuan dari Jawa. Bahkan dengan itu pun hampir­hampir dia tidak mampu mengisi sederetan pos benteng yang dibuatnya sendiri, yaitu kubu-kubu dari tanah menurut model Aceh; sekitar pangkalan terdepan yang terancam. Menurut pendapat Pel, perlu sekali bersama dengan beberapa pasukan mengikuti hulu sungai Aceh agar musuh dapat dipaksa mundur. Baru pada ketika bulan Desember 1874 tenaga-tenaga tempurnya di­bandingkan dengan bulan April 1784 menjadi dua kali lipat, hal yang demikian dapat dipikirkannya. Tetapi ketika itu pun seluruh kekuatan tentara Belanda yang tersedia dikerahkan. Yang masih berada di kota-kota garnisun di Jawa dalam keadaan sakit atau luka. Baru pada bulan Desember 1874, operasi militer secara b esar-besaran oleh Belanda; terhadap pasukan gerilya Muslim Aceh dilakukan, tetapi justru saat itu seluruh Lembah Aceh Besar dilanda banjir. Sungai Aceh dengan tepinya yang terjal dan semua anak sungainya banjir hebat sekali. Jembatan yang dipasang oleh pihak zeni beberapa kilometer ke hilir keraton dekat Peuna­yong, untuk menghubungkan kedua tepi tangsi yang besar antara kedua tepi sungai, hancur sama sekali. Berminggu-minggu lamanya hubungan tetap sulit. Sungai yang hampir tidak dapat diseberangi dengan kapal sama sekali. Juga sebagian besar keraton tergenang. Maka, jelas sekarang mengapa ada bidang dari lapangan di dalam tembok dulu tetap tidak diterjakan: semuanya terlanda banjir di sini. Celakanya pula, justru disinilah letak barak-barak rumah sakit yang baru dibangun. Maka, terpaksalah korban-korban kolera dipindahkan Juga semua pos dan tangsi pasukan Belanda, kecuali satu, dilanda banjir di lembah.Harus segera ditinggalkan dan diganti oleh bivak-bivak sementara di lapangan terbuka yang tinggi letaknya. Satu-satunya sarana pengangkutan adalah perahu-perahu kecil. Ber­beda dengan pasukan Belanda, pasukan gerilya Aceh tahu bahaya-bahaya apa yang akan ditimbulkan oleh sungai Aceh, seperti waduk dan saluran keluarnya air hujan dan gunung-gunung di sekitarnya. Mereka ber­diam di rumah-rumah tiang atau tanah-tanah yang lebih tinggi agar tidak banyak gangguan. Dengan kondisi medan seperti ini, barulah Kolonel Pel dengan pasukannya pada akhir Desember 1874 dapat melaksanakan operasi militernya. Salah satu sasarannya adalah Kampung Lueng Bata, yang jaraknya menurut garis lurus tidak sampai dua kilometer dari keraton ke arah hulu. Di tempat itu terdapat Masjid Lueng Bata, tempat yang terpenting, yang menjadi pusat mukim dengan nama yang sama. Di sini pula tempat kediaman kepala mukim yang sangat berpengaruh, Imam Lueng Bata namanya. Imam Lueng Bata adalah salah seorang tergolong 'raja pemilih' dan dalam tahap perjuangan rakyat Aceh ini, ia menjadi jiwa perlawanan terhadap Belanda. Sesudah sultan mangkat, bersama Panglima Polim kepala sagi Mukim XXII dan dengan Teungku Hasyim, dia tampil sebagai wali sultan terpilih yang baru. Kini pun para hulubalang pemilih menetapkan bahwa yang menjadi sultan adalah seorang anak, yaitu Tengku Muhammad Daud yang masih berusia tiga tahun, cucu salah seorang bekas sultan. Ketiga wali ini, dengan tidak adanya Perdana Menteri Abdurrahman Al Zahir, yang bermukim di luar negeri, kelompok yang memimpin di Aceh, yaitu Imam Lueng Bata, Panglima Polim dan Teungku Hasyim. Sejauh mana pel setepatnya mengetahui kedudukan imam Lueng Bata, tidaklah dapat dipastikan. Satu hal yang dia tahu pasti dari ketiga orang pemimpin per­lawanan; seorang berada di pedalaman yang tidak dapat terjangkau yaitu Panglima Polim, yang kedua yakni Teungku Hasyim tidak ditemui, dan hanyalah yang ketiga menjadi pusat kekuasaan yang mudah terjlangkau, yaitu Imam Leung Bata. Pada tanggal 1 April 1875 akhirnya operasi militer Belanda, benar-benar dapat dilaksanakan. Pukul lima pagi pasukan telah dikumpulkan di depan suatu pasukan mobil diam bivak dekat keraton. Dinas mereka telah mulai tengah malam dan malahan lebih dahulu lagi waktunya bagi kompi-kompi yang harus datang dengan berjalan kaki dari tempat pendaratan, Olehleh. Mereka terdiri dari sebuah batalyoa infanteri atau menurut pembagian ketika itu dua paruh batalyon yang melaku­kan operasi tersendiri, satu bateri tembakan medan, dua bagian mortir; dan satu kompi anggota yang melakukan pekerjaan zeni. Semuanya kira-kira seribu orang pasukan militer, sebagian besar terdiri pasukan Eropa, yang lebih dipercayai untuk melakukan jenis operasi mihter ini daripada pasukan 'bumiputra'. Menurut rencana, pertempuran dibentuk tiga pasukan kecil. Yang dua akan menyeberang langsung melalui lapangan, yang ketiga akan berbaris sepanjang sungai yang tinggi, sehingga di Lueng Bata pasukan dapat bersatu kembali. Pada hari-hari belakangan ini air agak menurun, tetapi sawah semuanya masih tergenang air dan pematang­-pematang sawah, yang seharusnya digunakan sebagai jalan, menjadi alur lumpur. Kendati demikian, pasukan Belanda berbaris menurut cara biasa seakan-akan menempuh jalan dari Meester Cornelis ke Buitenzorg (Jatinegara ke Bogor), bukan pematang sawah. Jadi, seebanyak mungkin terkumpul, meriam lapangan di tengah-tengah kolonne, dan panji di depan sekali. Lebih baik rasanya dengan menggunakan pakaian seragam serba-biru, kaus panjang putih dan senapan-senapan panjang tidak praktis menjadi sasaran bagi jago-jago tembak pasukan Aceh. Pasukan Belanda bukan main takutnya terhadap kelewang Aceh. Dengan parang yang begitu tajamnya, seorang Aceh yang tangkas --dan kebanyakan mereka ini tangkas-tangkas-- dengan sekali ayun bisa membelah bahu orang miring sampai ke jantungnya. Menghadapi serangan kelewang, pasukan Belanda tidak dapat ber­buat lain selain mempergunakan sangkurnya yang tidak praktis terpasang pada senapan panjangnya yang lebih tidak praktis. Pada setiap rumpun bambu, di belakang setiap pematang sawah, pasukan Aceh berkelompok sambil duduk untuk menembak. Berkali-kali mereka mendekati kolonne-kolonne itu dengan teriakan perang (Allahu Akbar) yang seram dan mengayunkan kelewang serta rencong dekat sekali. Pejuang-pejuang muslim yang fanatik, yang sekarang pun ingin memasuki syurga sebagai syahid, dengan pakaian putih-putih menyerbu dengan menari-nari dan dengan hasrat ingin mati syahid menghadapi sangkur-sangkur pasukan Belanda kafir. Semenjak subuh para mujahidin muslim ini di masjid telah bersiap mati syahid dan berada dalam kondisi mental yang tinggi. Dalam medan yang demikian, tidak mungkin pasukan Belanda kafir untuk melepaskan tembakan gencar yang beraturan dari pematang sawah. Meriam lapangan yang dengan susah payah dihela oleh dua pasang kuda, tidak bisa cepat-cepat dipasang untuk segera ditembakkan bila pasukan gerilya muslim Aceh datang menyerang berlompatan melalui pematang. Kedua kolonne darat itu merambat maju sendiri-­sendiri dengan susah payah dan hilang dari pandangan masing-masing, dari pukul lima pagi sampai pukul se­tengah tiga petang, dalam panas yang menyengat, mereka sampai pada satu titik yang jarak garis lurus­nya hanya kira-kira dua kilometer jauhnya dari keraton. Sebagian besar waktu sesungguhnya hilang karena meriam-meriam itu berulang kali meluncur ke dalam sawah karena licin. Pasukan perintis terus-menerus menebas membuat jalan menerobos pagar-pagar, belukar lebar berduri yang melingkari setiap pasang rumah. dan mengitari sawah. Mestinya pasukan Belanda sudah tiba di Lueng Bata, tetapi entah di mana mereka sekarang. Pada suatu saat kolonne-kolonne darat men­dengar kolonne sungai meniup isyarat terompet Wilhelmus van Nassauwe. Kedua komandan ini masing-­masing menyimpulkan bahwa rekannya telah berhasil mencapai Leung Bata dengan menyusuri sungai. Karena mereka (kedua kolonne darat ini) tidak melihat ke­mungkinan sampai ke situ dan beranggapan bahwa tujuan gerakan telah tercapai, kemudian untuk kembali ke keraton. Tetapi isyarat itu lain sekali artinya. Komandan kolonne sungai --dua kompi infanteri tidak lengkap dan dua peleton zeni-- menyuruh meniup terompet untuk memberitahukan bahwa mereka berada dalam kesulit­an. Batalyonnya memang dapat jauh lebih cepat maju daripada yang lain-lain. Kira-kira tengah hari mereka telah mencapai Masjid Lueng Bata dan mendudukinya, dan ada perintah lewat kurir untuk terus bergerak menuju sebuah benteng tidak jauh dari situ. Dengan men­cari-cari tujuannya, beberapa kilometer, selanjutnya mereka tiba di Kampung Lhong yang diperkuat, yang diserbunya dengan melakukan pertempuran hebat. Ketika sang Komandan pasukan Belanda telah ke­hilangan sepuluh orang tewas dan lima orang luka-luka berat dari kira-kira 150 orang anggotanya, sedangkan tidak seorangpun yang luput tanpa cedera, dekat dari situ terdengar olehnya suara tembakan mendatang. Pikirnya tentu salah satu kolonne darat berada di sekitar tempat itu. Di Lhong keadaannya lebih sulit lagi. Dengan meniup isyarat Wilhelmus van Nassouwe serta memancangkan bendera Belanda di pohon yang ter­tinggi dalam kampung itu, dia ingin minta perhatian dan minta komandan-komandan rekannya membantu dia. Alangkah terperanjatnya ketika dia mendengar orang meniup sebagai jawaban isyarat "Batalyon X kembali Pulang". Dari cepatnya suara tembakan-tembakan men­jauh dapat disimpulkan bahwa kolonne darat itu merasa kira-kira jauh lebih gembira harus pulang kembali dari­pada terus. Namun, tampaknya masih belum gawat. Sebagian dari kolonne sungai tertinggal di Masjid Lueng Bata, dan tentunya akan datang membantu. Akan tetapi peleton yang tinggal ini setengah mati keadaannya di masjid itu, bahkan ditembaki dengan lila, yaitu meriam kecil Aceh yang dapat dibawa ke mana-mana. Pukul setengah enam komandan pasukan Belanda di Lhong menganggap posisinya tidak dapat dipertahan­kan lagi. Bayangan harus bermalam di kampung yang terkepung ini sangat berbahaya, diputuskannya untuk pulang kembali ke masjid, tapi dalam kebingungan dia mengambil jalan lain daripada yang ditempuhnya pagi-­pagi. Sesudah dilalui beberapa ratus meter ternyata jalan ini buntu. Betul-betul panik mereka dan lari pon­tang-panting ketika kelompok kecil ini masuk ke dalam sawah. Dengan dikelilingi pasukan Aceh yang bertakbir menghabisi pasukan Belanda yang telah jatuh terluka, pelarian-pelarian ini mencoba menyelamatkan nyawanya. Beberapa orang yang luka, bunuh diri atau memohon pada teman-temannya agar menembak mati mereka. Yang lain-lain, di antaranya seorang mati tenggelam di dalam rawa. Hanya dengan susah payah sebagian pasukan Belanda dari Lhong dapat mencapai masjid Lueng Bata untuk ber­gabung dengan teman-teman mereka yang masih tinggal di sana. Markas besar pasukan Belanda, segera mengi­rimkan bala bantuan, karena kolonne sungai yang tidak pulang-pulang. Baru kira-kira pukul enam petang, bala bantuan datang. Dengan bala bantuan baru itu, pasukan Belanda baru dapat kembali pada malam yang pekat, disertai dengan iringan pasukan gerilya muslim Aceh, yang setiap saat menyerang pasukan Belanda yang sedang jalan kembali pulang. Serangan-serangan gerilya semacam ini jauh lebih berbasil, karena pasukan Belanda yang kecapaian, sulit untuk melakukan serangan balasan terhadap gerilya, sehingga kematian biasanya jauh lebih besar dibandingkan dengan pasukan yang bergerak maju. Tahun 1876, akhir Perang Aceh kedua ini, memecah­kan semua rekor. Kekuatan pasukan Belanda di Aceh rata-rata terdiri dari tiga ribu pasukan Eropa, lima ribu pasukan pribumi, dan 180 orang pasukan Afrika. Sebagai tukang-pikul dan pekerja diturut-sertakan tiga ribu narapidana, dan lima ratus orang kuli lepas. Pada tahun itu meninggal dunia 1.400 orang anggota militer dan 1.500 orang narapidana kerja paksa. Karena sakit atau luka tidak kurang dari 7.599 orang militer harus diungsikan ke Padang atau Jawa. Jadi dalam satu tahun diperlukan tujuh belas ribu orang militer untuk me­melihara suatu kekuatan pasukan yang terdiri dari delapan ribu orang. Dan masih lagi kekuatan ini seluruhnya terikat pada lima puluh benteng besar dan kecil dalam lingkungan terdekat sekitar Kutaraja. Di kota-kota terpenting di Jawa dibentuk depot narapidana kerja paksa. Gubernur Jenderal memberi kuasa bagi semua bangunan pekerjaan umum, yang hingga sekarang ini dikerjakan dengan bantuan tenaga narapidana, untuk mengambil kuli-kuli lepas. Siapa yang bernasib sial bagi narapidana pada Perang Aceh mendapat hukum­an tambahan untuk melakukan kerja paksa di luar daerah tempat tinggalnya, tinggal mati sajalah. Besar sekali kebutuhan pengangkutan tenaga manusia. Kecuali jalan dari kota pelabuhan Olehleh ke Kutaraja, yang mempunyai jalan trem kecil, semua pengangkutan harus dilakukan oleh tukang pikul. Baik tenaga pasukan maupun tenaga narapidana kerja paksa Jawa tidak dapat terus-menerus mengantar penyediaan yang di­serap oleh Aceh. Salah seorang korban perang Aceh adalah Kolonel Pel sendiri, yang kemudian pangkatnya dinaikkan men­jadi Mayor Jenderal. Dia meninggal dunia pada bulan Februari 1875, sebelum ia memperoleh kesempatan melaksanakan rencananya untuk menutupi seluruh Lembah Aceh dengan deretan pos ganda dari laut. Memang terus juga diperintahkan untuk membangun benteng lagi, dengan titik terjauh sembilan kilometer dari Kutaraja, tetapi dengan demikian kekuatan pasukan Belanda menjadi terpecah-pecah. Bila pos-pos ini seminggu sekali harus dibawakan perbekalan, maka kolonne-kolonne yang bertugas harus bertempur me­rintis jalan menuju benteng-benteng yang terkepung itu. Tidak lama sebelum Pel meninggal, telah iewas 45 dari 60 orang pasukan pengawal dekat keraton pada peng­angkutan demikian. Banyaknya korban yang jatuh pada peristiwa-peristiwa demikian di kalagan para tukang pikul, telah biasa terjadi. Berbatalyon-batalyon lengkap di kirim ke benteng-benteng yang terjauh letaknya untuk melindungi pengangkutan dan `masih juga terjadi kolonne ini harus kembali dengan sia-sia. Kian menjadi jelas bahwa pasukan Aceh tidak lagi bertindak liar sewaktu-waktu, tetapi mereka beroperasi secara teratur. Orang yag mengatur segalanya ini adalah Habib Abdurrahman A1 Zahir. Setelah usaha diplomatik yang diusahakan semen­jak awal Perang Aceh tidak berhasil, terutama untuk mendapatkan bantuan senjata dari Turki, maka Habib Abdurrahman A1 zahir, dengan mencukur jangkut dan rambut kepalanya, dan mengenakan pakaian orang Keling, ia menyamar masuk ke Aceh. Dengan me­nyamar demikian, dia berlayar dengan sebuah kapal uap kecil pada awal tahun 1875 ke seberang di pantai Aceh. Di tengah laut kapalnya ditahan; tetapi ternyata surat-­suratnya beres, dan Habib tidak dikenali, walaupun semua kapal blokade Belanda telah diberitahu akan kedatangannya di negeri pantai Aceh yang kecil, Idi, yang ditujunya, tidak suiit orang mengenalnya. Kedatangannya kembali ke Aceh merupakan suatu kemenangan. Lebih dari dua tahun dia menghilang, tetapi tidak dilupakan. Di Pedir (Pidie), negeri terbesar dari konfederasi Aceh, dihimpunnya sebuah tentara yang terdiri dari ribuan orang, dan dibawanya ke Indrapuri melalui pegunungan, sebuah kota dalam Sagi Mukim XXII di hulu sungai Aceh. Di mana-mana di tengah jalan orang-orang bersenjata menggabung padanya, dengan memberikan uang dan hadiah kepadanya. Pada suatu pertemuan para hulubalang, dia diangkat menjadi panglima besar Perang Aceh. Bantuan yang lebih penting untuk memperkokoh pasukannya adalah datangnya dari pihak ulama, ter­utama Teungku di Tiro yang termasyhur bersama pasukan pengikutnya, sesudah Habib Abdurrahman Al Zahir menetapkan markas besarnya di Montasik, yang letaknya hanya kira-kira dua belas kilometer dari Kutaraja. Teungku di Tiro berasal dari pusat Islam Tiro di Pidie tempat keluarga-keluarga Aceh sejak dahulu mengirimkan puteranya untuk memperdalam ajaran agama Islam. Ia besar pengaruhnya, juga di luar Pidie. Turut sertanya dalam perjuangan menentang Belanda kafir ini mengabsahkan sifat suci perang ini, yaitu perang suci (perang sabil) terhadap kaum kafir kepada para pejuang yang melakukan perjuangan menurut ketentutan-ketentuan Islam, apabila wafat berhak men­jadi syuhada. Teungku di Tiro dan para ulama yang lain memberikan gambaran terinci kenikmatan-kenikmatan yang diberi­kan kepada seorang yang mati syahid. Di Aceh beredar tulisan-tulisan suci, anjuran-anjuran perang, dengan uraian panjang lebar dan terinci: pada waktu tiba di akhirat sejumlah bidadari dengan tubuhnya yang putih bagaikan pualam dan mata yang jeli bagaikan mata kijang, tetirah beberapa hari di taman syurgawi dengan pepohonan rimba dan pancuran sejuk, akhirnya mencapai penyempurnaan nikmat. Dengan semangat perang sabil yang maksimal, pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir, yang disokong sepenuhnya oleh apara ulama, mampu menggerakkan satuan-satuan gerilyanya menyusup terus sampai dekat Kutaraja. Pada pertengahan tahun l877 Jenderal K. van der Heijden diangkat menjadi Gubernur militer Aceh. Gerakan Pertamanya, ia melakulaan operasi militer dengan mengerahkan tiga ribu pasukan tentara dan sepuluh kapal perang dan kapal pengangkut untuk menyerbu daerah Samalanga. Daerah ini merupakan wilayah yang makmur dengan tiga puluh ribu orang penduduk di pantai timur laut. Para pemimpinnya pada tahun 1876 dan 1877 telah melarang mengerjakan sawah, agar semua laki-laki dapat digunakan untuk pertempuran di Aceh Besar. Bagi Jenderal K. van der Heijden sangat menjengkelkan, karena daerah-daerah pesisir sama saja keadaannya, peperangan yang berlangsung jauh dari daerah yang mereka alami, tidak sampai menyulitkan mereka untuk mengirimkan ribuan pejuang gerilya Aceh ke Aceh Besar guna menyerang Belanda. Pendaratan pasukan militer yang besar itu --yang sama besarnya dengan seluruh pasukan penyerbuan Perang Aceh I-- tidak banyak mengalami rintangan. Sesudah melakukan pertempuran seru dalam waktu singkat di wilayah pesisir, pemimpin Samalanga menandatangani Ikrar Panjang, yang terdiri atas delapan belas pasal, yang memuat pengakuan akan kedaulatan Belanda. Walau begitu Van der Heijden tidak dapat merebut Batu Iliek (Batee Iliek), walau berulang kali diadakan serbuan ke sana. Batu Iliek merupakan pusat kerohanian, kira-kira dapat disamakan dengan Tiro di Pidie. Benteng ini dipertahankan oleh para santri yang penuh dengan ruhul jihad memimpin Samalanga tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Dengan daerah pedalam­an yang demikian, tidaklah mengherankan bila ia sama sekali tidak mempedulikan pelaksanaan Ikrar Panjang dalam praktek. Pada tahun 1880 dikirim lagi pasukan militer Belanda untuk kedua kalinya menyerang Batu Iliek, tetapi kali ini Jenderal K. van der Heijden sendiri yang kena hajar. Dia sendiri kehilangan sebelah mata­nya dalam pertempuran ini, sehingga kemudian dalam cerita rakyat Aceh ia disebut Jenderal Mata Sebelah. Operasi-operasi militer di Aceh Besar yang diiakukan oleh Jenderal K. van der Heijden lebih berhasil. Pada tahun 1878 pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir me­masuki mukim XXV. Di sini terjadi pertempuran yang sengit dan seru, sehingga Gubernur Jenderal Van Lansberge mengirimkan empat batalyon bala bantuan dari Batavia untuk membantu Van der Heijden, yang sedang kewalahan menghadapi pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir. Van Lansberge menginstruksikan kepada Jenderal van der Heijden, yang bunyinya antara lain: "Serbuan dalam Mukim XXV merupakan tindakan permusuhan yang begitu berat, sehingga tidak boleh tidak harus dilakukan penghukuman yang tiada tara­nya. Hal ini pada mulanya telah begitu rupa meng­guncangkan prestise kita dan kepercayaan pada kekuat­an kita, sehingga tidak cukup bagi kita hanya melaku­kan penghukuman, tetapi mutlak haruslah ditaklukkan seluruhnya kepada kita bagian Aceh Besar yang ber­musuhan sikapnya, sekiranya kita tidak ingin memper­taruhkan hasil yang telah kita peroleh dengan begitu banyak mengorbankan harta dan darah." Van der Heijden tidak memecah-mecah bala bantuan barunya pada puluhan pos di lembah itu, yang tidak akan dapat mencegah suatu serangan di bagian yang paling ditakuti di situ. Dia membentuk kolonne mobile yang kuat, yang terdiri dari dua pasukan militer dengan seribu orang tukang pikul. Pertama-tama ia membebas­kan Krueng Raba yang terkepung, kemudian maju menuju markas besar Habib Abdurrahman A1 Zahir di Montasik, yang baru saja direbutnya, sekitar bulan Juli 1878. Pada bulan-bulan berikutnya Van der Heijden diperintahkan untuk mengejar pasukan Abdurrahman Al Zahir yang kecil-keci1 yang bersembunyi di Mukim XXII dan XXVI. Penyerbuan pasukan Belanda ke pusat. pertahanan pasukan Habib Abdurrahman al Zahir berhasil, di mana pada tanggal 25 Agustus 1878, tiga orang utusan Habib Abdurrahman muncul di pos Belanda Lam Baro dengan membawa permohonan tertulis meminta ampun dan minta berunding tentang penyerahan. Dalam hubungan tertulis itu ternyata Habib Abdurrahman bersedia menghentikan pertempuran, bila ia dan empat ratus orang anggota keluarga dan pengikutnya diperkenankan berangkat ke Arab dengan kapal Belanda dan menerima pensiun di sana. Tuntutan itu tidak kecil. Tetapi Van Lansberge dan Van der Heijden yakin bahwa penyerbuan Abdurrahman akan membuat peperangan ini lain sekali jalannya. Pada bulan Oktober 1878 menyusul per­setujuan setelah ada izin dari pemerintah Belanda. Habib Abdurrahman akan diangkut ke Mekah bersama dengan dua puluh orang pengikut naik kapal Belanda dan di sana menerima pensiun untuk seumur hidupnya dengan sepuluh ribu ringgit tiap-tiap tahunnya. Sebelum berangkat pada tanggal 24 Desember 1878, melalui surat tertulis, ia menganjurkan kepada para pemimpin Aceh untuk menyerah kepada Belanda, tetapi tidak mendapat tanggapan sedikitpun. Para pemimpin dan ulama Aceh, yang selama ini telah berperang dengan pasukan Belanda kafir; telah bertekad bulat untuk mengusirnya dari bumi Aceh. Gabungan para pemimpin dan ulama Aceh dengan Habib Abdurrahman Al Zahir, pada saat-saat terakhir memang sudah goyah, dan kepercayaan yang diberikan kepadanya telah hilang, karena sikapnya yang banci. Oleh karena itu, kesan terakhir di saat ia menyerah kepada Belanda, tidak ada kata lain yang terbaik, kecuali 'pengkhianat'. Jenderal Van der Heijden telah berhasil menakluk­kan Lembah Aceh Besar, sehingga pada bulan Januari 1880 kenaikan pangkatnya pun dipercegat menjadi Letnan Jenderal. Ini merupakan hadiah yang indah, sekiranya dia sebulan sebelumnya tidak menerima sepucuk surat yang agak aneh dari Gubernur Jenderal van Lansberge yang memberitakan bahwa dia diberi kuasa oleh Raja "…bila van der Heijden akan berhenti kelak…" untuk membentuk pemerintahan sipil di Aceh. Karena itu "…ingin saya mengetahui dari anda, kiranya pada saat mana pada awal tahun depan ini arida merasa waktu yang sebaik-baiknya untuk meletakkan jabatan anda, hingga saya dengan demikian dapat mengharapkan diajukannya permintaan berhenti anda…" Sama sekali Van der Heijden tidak mempunyai rencana ke arah itu. Berlawanan dengan kehendaknya, bersama dengan residen Palembang, A. Pruys van der Hoeve, dia diangkat menjadi komisaris untuk penyusun­an kembali pemerintahan sipil di Aceh. Dan Lansberge ingin sekali mengakhiri Perang Aceh semasih dalam masa pe­merintahannya. Secara militer memang Van der Heijden-lah yang menaklukkannya, secara politik keadaan aman akan diresmikan dengan diberlakukannya pemerintahan sipil biasa. Ternyata, kedua kesimpulan itu salah perhitungan. Gubernur Jenderal dapat mengharapkan bahwa penggantinya selambat-lambatnya akan diangkat pada tahun 1881. Ia mengusahakan dengan cepat menyusun rencana-rencana perubahan pemerintahan. Pada bulan Oktober 1880 Van der Heijden dan Pruys sudah memasukkan laporan mereka. Kedua orang itu berpen­dapat bahwa lama lagi baru Aceh siap melaksanakan pemerintahan sipil. Paling-paling dalam prinsip pe­merintahan karesidenan di Jawa, yaitu dengan residen dengan kepalanya, tiga orang asisten residen, dan sepuluh orang kontarolir; tetapi residennya (dalam hal ini dengan pangkat gubernur langsung di bawah Batavia karena keadaannya yang luar hiasa) haruslah seorang militer, sekaligus merangkap menjadi komandan angkatan bersenjata setempat. Usul ini ditolak oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Maka pada tahun 1881 Pruys van der Hoeven dengan resmi diangkat menjadi Gubernur sipil pertama di Aceh. Ketertiban dan keamanan akan dijaga oleh polisi yang baru. Dia hanya sedikit memberikan perhatian kepada gangguan-gangguan dan serangan-serangan yang di­lakukan oleh pasukan gerilya Aceh baik yang dilakukan oleh para ulama yang fanatik maupun oleh kelompok Teuku Umar. Ketika Pruys van der Hoeven pada bulan Maret 1883 menyerahkan jabatannya kepada pejabat pemerintahan P.F. Laging Tobias, dia memberikan gambaran yang menggembirakan tentang keadaan Aceh. Persoalannya, menurut dia, hanyalah melanjutkan suatu politik yang akan menjamin diperolehnya bantuan para hulubalang Aceh untuk kepentingan Belanda. "…Para pemuka yang sah harus menduduki tempat yang men­jadi haknya…" daripada kita "…menolak mereka karena tidak sadar akan bahaya mereka…" Bila suatu kebijaksanaan demikian digabungkan dengan suatu pengaturan pengawasan yang bijaksana atas pelayaran-pelayaran di negeri-negeri pesisir, maka seluruh keamanan Aceh hanyalah soal menanti dengan tenang. Tetapi optimisme yang berlebihan ini, tidak cocok dengan kenyataan, sebab serangan-serangan pasukan gerilya Aceh, baik yang dipimpin oleh para ulama maupun para hulubalang makin hari makin meningkat. Laging Tobias segera menyalahkan pendahulunya dan meminta bala bantuan militer, karena keadaan di daerah terdekat dengan Kutaraja saja sudah tidak aman. Jalan perhubungan yang terpenting dari Kutaraja ke Anenk Galong di perbatasan lembah, praktis tidak dapat di­gunakan lagi. Pos-pos polisi sedikit pun tidak ada gunanya. Pemimpin-pemimpin pasukan Perang Aceh yang baru tampil ada yang terdiri dari ulama Teungku di Tiro, yang tegar dan fanatik, serta di pihak lain seperti Teuku Umar, yang berani dan licin, mulai memperoleh tenaga tempur yang baru untuk menghadapi pasukan kolonial Belanda. Selama tahun 1883 kelihatannya perang Aceh ketiga akan pecah lagi dengan hebat. Hal ini merupakan kekecewaan besar bagi Gubernur Jenderal s' Jacob, yang sempat mengunjungi Aceh pada bulan Agustus 1883 untuk menyelidiki apakah dengan penyusutan kekuatan pasukan Belanda tidak dapat dilakukan pengurangan biaya perang secata drastis. Kekecewaan ini menjadi panik, karena pada tanggal 8 Nopember 1883 kapal uap Inggeris Nisero kandas di pantai daerah kecil Teunom dekat Kampung Pangah di pantai barat Aceh. Kapal itu berukuran 1.800 ton dan membawa muatan gula dari Surabaya menuju Marseille. Awak kapalnya terdiri dari segala bangsa. Sembilan belas orang Inggeris, dua orang Belanda, dua orang Jerman, dua orang Norwegia, dua orang Italia dan satu orang Amerika. Daerah Teunom yang pada tahun 1882 pernah di­serang habis-habisan oleh Belanda dari laut, membuat perhitungan terhadap kapal Nisero yang terdampar di pantainya. Semua awak kapal Nisero ditangkap dan dibawa ke pedalaman. Pemimpin Teunom melakukan tekanan besar kepada Belanda, dengan menuntut uang tebusan sebanyak 25.000 ringgit Spanyol dan jaminan tidak ada lagi blokade oleh Belanda atas pantai Teunom untuk membebaskan para sandera. Laging Tobias berpendapat bahwa suatu aksi militer terhadap Teunom akan memerlukan pasukan militer yang terdiri dari beberapa batalyon, sedangkan ada kemungkinan para sandera itu sudah terbunuh. Perkara yang menyakitkan hati ini, tetapi dapat diperhitungkan dengan cukai masuk dan keluar daerah Teunom sendiri. Dikirimkannya Residen Van Langen dengan 25.000 ringgit Spanyol tunai kepada pemimpin Teunom. Tetapi sang pemimpin menolak bicara dengan dia dan hanya mau berurusan dengan perunding-perunding Inggeris. Sia-sia Van Langen kembali ke Kutaraja. Karena terpaksa, Gubernur menyetujui usul Inggeris dari Singapura, yaitu sebuah kapal perang Inggeris kecil, disertai oleh dua kapal perang Belanda, dikirim ke Teunom untuk mengadakan kontak bersama. Keputusan yang didukung oleh s'Jacob tetapi tidak disetujui oleh Den Haag ini mempunyai akibat-akibat diplomatik. Sekarang Laging Tobias sendiri turut serta, tetapi dengan sangat geram ia mengalami nasib buruk, karena sang pemimpin Teunom hanya mau berbicara dengan orang-orang Inggeris. Ia menaikkan harga tuntutannya menjadi tiga ratus ribu ringgit dan harus ada jaminan Inggeris tentang berlakunya pelayaran bebas di pantai­nya, yang ditandatangani sendiri oleh Ratu Victoria. Perundingan mengalami jalan buntu. Pada tahun 1884 pemerintah kolonial Belanda me­mutuskan untuk bertindak keras kepada Teunom. Pada tanggal 7 Januari 1884, sebuah detasemen militer Belanda dari Kutaraja mendarat dekat pantai Teunom, dengan jalan menembaki pantai itu dari laut. Hasil satu-satunya yang diperoleh dari operasi miiiter Belanda ini ialah bahwa para sandera diseret lebih jauh ke pedalaman, dan pemimpin Teunom menaikkan uang tebusannya men­jadi empat ratus ribu ringgit. Sesudah kegagalan ini, dengan tekanan Inggeris yang berat, Belanda menyetujui agar seorang dewan pemerintah Singapura, Sir Williem Maxwvell menjadi perunding dan perantara untuk ber­bicara dengan pemimpin Teunom. Hampir sebulan lamanya dia terus berbicara dengan pemimpin Teunom dan tidak saja mengenai sandera Nisero, tetapi juga menge­nai pengaturan perdamaian dengan Aceh yang umum dengan jaminan-jaminan Inggeris. Dan inilah yang ditakutkan oleh Den Haag. Kekhawatiran Den Haag benar-benar menjadi kenyataan, sebab pada tanggal 26 April 1884, Menteri luar negeri Inggris, Lord Granville, memberi nota kepada Den Haag, bahwa Inggris bersedia menjadi perantara untuk memulihkan perdamaian di Aceh. Nota Menteri Luar Negeri Inggris ini tidak di­jawab oleh Den Haag, karena secara diam-diam Gubernur Laging Tobias telah mengirimkam pasukan militer yang terdiri dari orang-orang Aceh yang telah bersahabat untuk membebaskan para sandera. Teuku Umar yang sebelumnya telah menyatakan takluk kepada Belanda telah dipergunakan untuk memimpin operasi militer ini. Teuku Umar dengan pasukannya yang dibawa oleh kapal perang Belanda, diperlakukan sangat tidak enak. Ia harus tidur di geladak sebagai kuli-kuli saja. Rasa dendamnya dipendamnya selama ia dan pasukannya di kapal Belanda itu. Tetapi begitu Teuku Umar dengan pasukannya didaratkan oleh sebuah sekoci, maka semua awak kapal dari sekoci itu dibunuhnya, dan Teuku Umar dengan pasukannya menyatukan diri dengan rakyat Teunom. Kegagalan yang ketiga kalinya untuk merebut sandera dari tangan rakyat Teunom, mendorong Jen­deral Van Swieten untuk mengirimkan surat ke dewan menteri Belanda. Dengan kata-kata singkat diusulkannya agar Inggeris dan Belanda bersama-sama mengirimkan pasukan penyerbu untuk menghukum rakyat Teunom. Menurut Van Swieten, ini tidak akan merendahkan prestise Belanda di nusantara, tetapi justru menaikkan­nya. Sebab, dengan ini akan ternyatalah bahwa tidak timbul pertentangan antara Belanda dan Inggeris. "Me­nurut saya akan merupakan langkah politik jitu bila panglima skuadron Inggris diminta membuka pe­rundingan atau mengajukan tuntutan. Maka; dia pun bertindak bagai penuntut yang meminta warga negaranya dibebaskan." Usul Van Swieten diterima oleh Dewan Menteri Belanda dan juga oleh Inggris, sehingga pada tanggal 12 Agustus 1884, skuadron Inggris-Belanda dengan pimpinan Maxwell dan Laging Tobias mengepung daerah Teunom dan tanpa perdebatan yang berarti, pemimpin Teunom menyerahkan para sandera dengan imbalan tebusan sebanyak seratus ribu ringgit dan pelabuhannya tidak diblokade lagi. Setelah masalah kapal Nisero selesai, pada tanggal 20 Agustus 1884, penguasa kolonial Belanda memulai memasang Lini Konsentrasi, yang luasnya kira-kira 50 km2 dengan Kutaraja sebagai jantungnya, dikelilingi oleh suatu lini dengan enam belas benteng, dalam rangka mengamankan daerah kekuasaannya di Aceh. Jarak antara satu benteng dengan benteng lainnya satu sampai dua kilometer, dan rata-rata lima kilometer, dari titik tengah. Keseluruhan bentuknya kira-kira merupakan setengah bulatan dengan bagian terbuka ke arah laut. Rel trem menghubungkan benteng-benteng itu yang jumlah penghuninya masing-masing berbeda, dari 160 orang dengan lima perwira dalam benteng ter­besar, sampai 60 orang dengan seorang perwira dalam benteng terkecil. Benteng-benteng ini temboknya tanah dengan pagar kayu runcing-runcing, dan dua meriam atau lebih di baluarti yang menjorok di pojok-pojok, sehingga baik lapangan depan maupun sebelah tembok­-tembok itu dapat tersapu oleh tembakan meriam. Pembuatan Lini Konsentrasi ini bersamaan dengan diberlakukannya kembali pemerintah militer di Aceh dan memakan waktu setengah tahun. Baru pada bulan Januari 1885, pos-pos yang berada di luar Lini Konsen­trasi dikosongkan oleh pasukan Belanda, tetapi segera diisi oleh pasukan gerilya Aceh. Sistem Lini Konsentarsi pasukan Belanda ini, dinilai oleh para pemimpin perjuangan Aceh sebagai suatu taktik kekalahan Belanda. Hal ini merupakan dorongan semangat untuk melanjutkan perjuangan bagi rakyat Aceh untuk mengusir Belanda kafir. Teungku di Tiro yang masih tetap tegar dan tidak kenal damai serta beberapa ulama lainnya; memainkan peranan penting untuk melanjutkan peperangan di Aceh sampai penguasa kolonial angkat kaki dari bumi Aceh. Walau sistem Lini Konsentrasi dianggap yang paling aman buat Belanda, tetapi ternyata masih saja banyak pasukan gerilya Aceh dapat menembus benteng-benteng mereka dan melakukan serangan, sehingga keamanan semu tidak pernah dicapai. Di samping itu sistem Lini Konsentrasi menimbul­kan kejenuhan bagi pasukan Belanda, keadaan terkurung dan tidak ada operasi militer yang dapat meningkatkan prestasi, apalagi sesudah bulan Agustus 1885 setelah beberapa sergapan pasukan gerilya Aceh dalam lini ter­jadi, hampir semua lalu lintas dengan luar tertutup dan semua bahan makanan harus didatangkan dari laut; akibatnya wabah beri-beri yang parah, pelanggaran disiplin dan desersi besar-besaran menimpa pasukan Belanda. Pengaruh demoralisasi kehidupan dalam Lini Konsentrasi dengan baik dilukiskan oleh banyaknya jumlah mereka yang lari. Berapa banyak pasukan Belanda yang berasal dari penduduk bumi putera yang melakukan desersi tidak diketahui, tetapi pastilah ratusan, karena semua berita sependapat mengemuka­kan bahwa jumlahnya jauh lebih besar daripada pasukan Belanda yang berasal dari Eropa. Sedangkan jumlah seratus untuk gologgan yang terakhir ini (pasukan asal Eropa) tidak dilebih-lebihkan. Pada tahun 1896 pasukan Belanda menyerang tempat kediaman Panglima Polim, kepala sagi Mukim XXII, di Gle Jeung yang terletak di Sungai Aceh. Banyak keterangan yang mereka peroleh bahwa di sana sudah sejak lama tidak boleh tidak berdiam sekumpulan desertir (pelarian) dalam jumlah banyak. Bukti yang paling kurang ajar adalah sepucuk surat dalam bahasa Belanda yang mereka tujukan kepada paaukan Belanda. Dalam surat itu dimintanya agar detasemen pasukan Belanda bila kembali ke Kutaraja mau meninggalkan sedikit jenewer. Dalam kelompok pelarian ini terdapat pula seorang jago tembak bangsa Belanda yang ber­nama Carli dari batalyon XVI. Ia pandai berbahasa Aceh dan menggabungkan diri dengan pasukan Pang­lima Polim. Pada pertempuran tahun 1896 dan 1897 yang dilakukan oleh pasukan Panglima Polim, Carli dengan menggunakan senapan Besumon modern menyerang pasukan Belanda dengan gigih, sehingga pihak belanda menjadi kewalahan. Sistem Lini Konsentrasi ternyata tidak menjamin keamanan dan ketenteraman kedudukan penguasa kolonial Belanda, karena ternyata pasukan gerilya Aceh masih mampu melakukan serangan sampai ke daerah-­daerah yang terdekat dengan Kutaraja. Untuk mengatasi serangan gerilya Aceh, maka pada tanggal 20 April 1890, seorang Jaksa pada pengadilan di Kutararja, bernama Muhammad Arif, menasehatkan kepada Gubernur militer Aceh ketika itu Jenderal Van Teijn, dan kepala stafnya yang bernama J.B. van Heutsz, untuk mem­bentuk sejumlah detasemen mobil kecil-kecil yang terdiri dari orang-orang yang cukup berani untuk mencari gerilya dan melawannya dengan senjata-senjata mereka sendiri. Kontra gerilya sebagai jawaban atas gerilya. Usul ini diterima. Nama korps baru ini menunjukkan bahwa pada mulanya ia dimaksudkan sebagai polisi militer. Pembentukan pertamna korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang masing-mssing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa dibawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia. Pada iahun 1897 menyusul perluasan sampai dua divisi dan pada tahun 1899 sampai lima divisi; semuanya berjumlah seribu dua ratus orang. Kemudian ada lagi beberapa kompi yang berasal dari Jawa; dan pasukan inilah yang kemudian terkenal dengan pasukan Marsose. Dalam kisah-kisah romantis perang Aceh biasanya digambarkan bahwa seakan-akan 1200 orang Marsose inilah yang membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala tentera yang sepuluh kali lebih besar dulu. Ini tidak benar! Secara kekuatan efektif, kekuatan pasukan Belanda seluruhnya di Aceh di bawah van Beutsz lebih besar daripada kekuatan-­kekuatan sebelumnya. Di bawah pimpinan beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang tidak terlukiskan dengan pasukan-pasukan teror oleh brigade-brigade marsose, yang mengakibatkan ratusan dan bahkan ribuan orang laki-laki dan perempuan serta anak-anak yang terbunuh secara menyedihkan. Kemandirian brigade merupakan rahasia besar marsose. Persenjataannya adalah sebaik-baik persenjataan pada masa itu, yakni karaben pendek --bukan senapan panjang-panjang, kelewang dan rencong-- sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan topi. Memang brigade-brigade ini membawa beberapa narapidana untuk mengangkut perlengkapan mereka dalam setiap operasi militer, tetapi secara keseluruhan pasukan marsose adalah hidup berdikari. Semangat pasukan senantiasa dipertinggi dengan berbagai cara: hadiah, kenaikan pangkat dan upacara. Pasukan marsose tahun 1890 dapat disamakan dengan anggota pasukan komando, pasukan payung, dan pasukan-pasukan khusus lainnya di kemudian hari. Merekapun merasa sebagai pasukan istimewa. Adalah merupakan kehormatan bagi perwira untuk ditempatkan pada korps ini. Sebagian besar para perwira pribumi yang terkenal dan yang terjahat berasal dari pasukan marsose, dan mereka sangat disanjung-sanjung oleh penguasa kolanial Belanda, dengan memberikan berbagai gelar militer kehormatan. Ketika pada tahun 1912 pasukan marsose di bawah pimpinan Letnan B.J. Schmidt dibubarkan, setelah kedua brigadenya di Tangse selama tiga tahun mengejar-ngejar pasukan gerilya dibawah pimpinan ulama Tiro terakhir, keempat puluh satu anggota pasukannya ini semuanya memperoleh dua bintang Militaire Willemsorde kelas tiga, sebilah Pedang Kehormatan, tiga Militaire Willemsorde kelas empat, dua Bintang Perunggu, dan sepuluh pernyataan Kehormatan dalam perintah-perintah harian. Pada bulan Januari 1891, rakyat Aceh mendapat musibah yang sangat besar. Karena kedua tokoh utama perjuangan rakyat Aceh meninggal dunia karena sakit, yaitu Panglima Polim dan Teungku di Tiro. Dengan wafatnya kedua tokoh utama Aceh ini, maka kekuatan pasukan perlawanan terhadap Belanda menjadi ter­pecah-pecah, sebab para penggantinya tidak mempunyai kekuatan moral sebagaimana para pendahulunya. Dalam situasi seperti itu, Teuku Umar tampil men­jadi pemimpin Aceh dengan caranya sendiri, yang mem­bingungkan setiap penulis sejarah Aceh. Pada tahun 1891, daerah Mukim VI, sebelah barat Lini Konsentrasi telah diserang oleh pasukan gerilya Aceh yang dipimpin oleh para ulama. Teuku Umar, yang telah bebilang kali membelot dan mengkhianati Belanda, menawarkan diri nntuk membantu Belanda guna membasmi pasukan gerilya yang senantiasa mengancam pasukan Belanda bila pemerintah kolonial Belanda mengampuninya dan membantu sepenuhnya. Tawaran ini diterima oleh Gubernur militer, Deijkerhoff di Aceh. Atas seizin Gubernur Jenderal Pijnacker Mordijk, Deijkerhoff mengampuni Teuku Umar dan memberinya senjata untuk menumpas pasukan gerilya Aceh, terutama yang ber­operasi di sekitar Mukim VI. Pada bulan Juli dan Agustus 1893 untuk pertama kalinya Teuku Umar tampil dengan bantuan Belanda untuk membersihkan Mukim XXV dan XXVI dari sarang para gerilya Aceh. Hasilnya sangat besar. Pen­duduk yang melarikan diri kembali pulang, dan para hulubalang penting dari kedua sagi menggabungkan diri dengan Teuku Umar. Pada tanggal 30 Desember 1893, atas jasa-jasanya, Teuku Umar diangkat menjadi 'panglima perang besar' oleh pemerintah Belanda yang dilaksanakan upacara militer di Kutaraja. Sebutan geiar yang diberikan kepadanya adalah Teuku Johan Pahlawan. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1893, Teuku Umar telah memiliki dua ribu pasukan lengkap dengan senjata yang diberikan oleh Belanda untuk melakukan operasi militer terhadap pasukan perlawanan Aceh. Pada tanggal 30 Oktober 1893, pasukan Teuku Umar me­naklukkan daerah Anenk Galong, pusat kekuatan Pang­lima Polim (muda). Keberhasilan Teuku Umar dalam menumpas pasukan perlawanan Aceh, maka pada tanggal 1 Januari 1894, ia diberi izin untuk membentuk pasukan legiun inti sebanyak 250 orang, yang seluruh biaya, persenjataan dan perlengkapan ditanggung oleh pemerintah kolonial Belanda. Kolonel Deijkerhoff dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal. Keadaan Aceh sejak tampil Teuku Umar menjadi Johan Pahlawan membantu Belanda relatif agak aman dan serangan-­serangan gerilya tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, kebijaksanaan Deijkerhoff masih mendapat kecaman pedas dari seorang penasehat Guber nur Jenderal di Batavia, yaitu C. Snouck Hurgronye. Kecaman pedas yang dilakukan oleh C. Snouck Hurgronye, bertitik tolak dari hasil penelitiannya di Aceh yang diselenggarakaa pada tanggal 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892. Menurut Snouck dalam 'Laporan Politik Agama' yang disampaikannya kepada Gubernur Jenderal di Batavia, bahwa di Aceh ada tiga kekuatan yang saling mempengaruhi rakyat Aceh untuk me­nentang pemerintah kolonial Belanda. Dari ketiga pihak ini, pihak sultan adalah pihak yang bisa disisihkan dan pihak adat adalah pihak yang bisa diajak kompromi. Sedangkan pihak ulama, adalah pihak yang paling tidak kenal damai dan paling tegar. Karenanya harus dipukul habis, agar tidak tumbuh kembali menjadi kekuatan potensial menentang pemerintah kolonial Belanda. Sebab menurut ajaran Islam, demikian Snouck, setiap muslim diwajibkan untuk menentang kekuasaan kafir yang bersifat menjajah, selama kaum muslimin masih mempunyai kekuatan dan keberanian untuk menghadapi musuh. Pada awal tahun 1896 tampillah di Aceh seorang komandan lini baru, yaitu Letnan Kolonel F.W. Bisschof van Heems kerck. Di markasnya yang berkedudukan di benteng Lam Baro dengan 150 orang anggota pasukan­nya, dirasakannya bahwa optimisme Jenderal Deijker­hoff tentang politik Teuku Umar sangat berlebihan. Sebab hampir setiap hari pos-pos pasukan Belanda, terutama yang berada di luar Lini Konsentrasi, seperti sagi Mukim XXII, yang pernah dibersihkan oleh pasukan Teuku Umar, senantiasa ditembaki pasukan gerilya Aceh. Bila pos yang terjauh seperti Anenk Galong (bekas pusat pertahanan Teuku di Tiro) akan diberi perbekalan, maka untuk itu diperlukan pengawalan dengan satu kolonne yang kuat. Sebab kaum gerilya Aceh yang terampil menggunakan senjata-senjata modern mampu menembak jitu pengawal-pengawal perbekalan tersebut. Pada tanggal 7 Maret 1896 jatuhlah giliran patroli pertama kepada Kapten R.F.T. Blokland. Bolehlah dikatakan seluruh kekuatan operasi militer Anenk Galong dikerahkannya untuk berangkat. Baru saja patroli maju beberapa ratus meter, lalu ada tembakan dari kampung yang pertama sekali, yaitu Klieng. Segera sesudah itu beberapa puluh pasukan gerilya Aceh menyerang patroli Belanda dengan kelewang. Pasukan Belanda yang telah lama tidak berperang karena hanya menjaga saja di Lini Konsentrasi, menjadi tidak terampil dan menjadi panik, sehingga lari pontang-panting. Ketika Kapten Blokland memeriksa anak buahnya sewaktu pertempuran ber­henti sebentar, ternyata sisa-sisa pasukannya yang masih tinggal hanya dua belas orang asal Eropa dan sepuluh orang asal Indonesia. Beberapa puluh orang yang mati dan luka-luka, sedangkan sebagian terbesar melarikan diri masuk ke markas mereka. Peristiwa ini merupakan tamparan yang hebat terhadap Jenderal Deijkerhoff, yang selama ini dianggap telah berhasil mengamankan daerah Aceh. Namun, ia tidak segera untuk menghukum Teuku Umar sebagai Johan Pahlawan, malah dia meminta agar Teuku Umar mengamankan daerah-daerah yang selama ini telah dinyatakan aman itu. Permintaan Deijkerhoff tidak mudah disanggupi oleh Teuku Umar, sebab memang sejak sebelum peristiwa 7 Maret 1896, kegiatan para gerilya Aceh dibawah pimpinan para ulama mulai aktif secara mencolok. Pos-pos Belanda pernah diserang dengan meriam lapangan, empat buah granat telah dilemparkam ke dalam benteng di Lam Raya. Dalam keadaan yang demikian, Teuku Umar menjadi bimbang untuk melaksanakan tugas yang telah diminta oleh Jenderal Deijkerhoff. Untuk mengelakkan tugas itu, ia meminta diperlengkapi lagi persenjataannya, dengan alasan, bahwa senjata-senjata yang dimilikinya tidak cukup untuk melakukan operasi militer secara tuntas. Dan ternyata tuntutan Teuku Umar untuk memperoleh perlengkapan dan persenjataan dipenuhi oleh sang Jenderal. Pada tanggal 26 Maret 1896, Teuku Umar telah menerima 380 senapan kokang modern dan 500 senapan lantak kuno, 25.000 butir peluru, 500 kilo mesiu, 120.000 sumbu mesiu dan 5.000 kilo timah, ditambah dengan uang operasi sebanyak l8.000 ringgit Spanyol. Setelah Teuku Umar menerima tambahan perlengkapan dan persenjataan untuk memulai operasi militer, sebagaimana yang dimintakan oleh Deijkerhoff, terbetik berita bahwa ia akan melakukan pembelotan kepada pasukan perlawanan Aceh. Berita ini terbukti tidak benar, sebab pada tanggal 28 Maret 1896 Teuku Umar hadir dalam konferensi Gubernur yang diselenggarakan di Kutaraja. Kehadirannya dalam konferensi gubernur itu, mem­buat pemerintah kolonial Belanda menjadi lega, tetapi besoknya tanggal 29 Maret 1896, Teuku Umar membuat satu kejutan yang membelalakkan mata Jenderal Deijkerhoff, disana ia menyatakan secara resmi menanggalkan jabatannya sebagai "Panglima Perang Besar Teuku Johan Pahlawan", menolak melaksanakan perintah-perintah Deijkerhoff, dan wakil-wakil pang­limanya pada hari itu juga memanfaatkan dengan baik senjata-senjata barunya untuk melakukan pertempuran terhadap pasukan Belanda. Pada tauggal 30 Maret 1896, dari tempat kediamannya Lampisang, Teuku Umar mengirimkan sepucuk surat kepada Gubernur dengan pemberitahuan bahwa ia harus beristirahat sementara waktu. Dia mengeluh tentang perlakuan penghinaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pangreh praja dan perwira-perwira Belanda terhadap dirinya dan dia menyarankan Deijkerhoff agar menyuruh mereka saja menaklukkan mukim-mukim Lam Krak. Di Kutaraja terjadi panik setelah tersebar berita-­berita tentang pembelotan itu. Orang khawatir kota akan diserbu besar-besaran, dan bersiap-siap meng­hadapinya. Serangan itu tidak terjadi. Tetapi memang beberapa hari kemudian hampir semua hulubalang yang berada di luar Lini Konsentrasi membelot ke pihak Teuku Umar. Teuku Umar dengan pasukannya membentuk garis pertahanannya di sebelah timur Lini Konsentrasi dengan markas besarnya bertempat di Lam Pisang, tempat kediamannya sendiri. Daerah ini sangat strategis, karena letaknya dalam sebuah lembah yang sempit. Hanya dalam beberapa hari saja di Aceh Besar keadaan­nya telah berubah menjadi daerah yang mencekam dan menakutkan. Gubernur Jenderd Van der Wijck, setelah mendengar laporan tentang pembelotan Teuku Umar, secepat mungkin memberhentikan Deijkerhoff dan meng­gantikannya dengan Jenderal Vetter. Diperintahkannya secara telegrafis bala bantuan dari Padang ke Kutaraja, diberangkatkannya satu baterai meriam lapangan dari Jawa dan dipersiapkannya dua buah baterai meriam yang lain, dan ditempatkannya sejumlah besar perwira sementara untuk Aceh, diantaranya Letnan Kolonel Van Heutsz. Operasi militer besar-besaran, dengan lebih dari dua ribu anggota militer dan seratus perwira, pada tanggal 7 April 1896 telah berada di Kutaraja. Jenderal Vetter tidak ingin kehilangan waktu untuk segera melakukan serangan terhadap pasukan Teuku Umar. Komandan militernya Kolonel J.W. Stemfoord, pada tanggal 8 April 1896 telah bertolak dengan sebuah kolonne yang kuat terdiri dari seribu orang pasukan, yang sebagian besar terdiri dari pasukan asal Eropa. Tugas utamanya adalah untuk membebaskan pos-pos luar yang telah dikepung oleh pasukan Teuku Umar. Semua hubungan dengan sebagian besar pos ini telah putus, kawat-kawat telepon telah diputuskan, jalan-­jalan dirusakkan oleh pasukan Teuku Umar. Vetter dan Stemfoord sependapat bahwa pos-pos di luar lini se­banyak enam belas buah harus dibebaskan dan kemudian dihancurkan. Dalam waktu satu minggu usaha pem­bebasan pos-pos ini berhasil. Jembatan besi indah yang menghubungkan Anenk Galong dengan Montasik di seberang sungai Aceh, harus diledakkan sendiri oleh pasukan Belanda. Kian lama pengosongan berlangsung, kian besar perlawanan Aceh. Pada tanggal 17 April 1896, pos Anenk Galong, Lam Sut, Senelop dan Lam Barik mendapat serangan pasukan Teuku Umar dan gerilyawan Aceh lainnya; walau dipertahankan oleh empat batalyon infanteri, delapan brigade marsose dan dua baterai meriam lapangan. Operasi pembersihan yang dilakukan oleh pasukan Belanda pada hari itu, tidak lebih dari jarak tiga kilometer di luar lini dengan kerugian delapan orang tewas, lima puluh orang luka-Iuka, tiga ekor kuda mahal, sebuah meriam, sebuah mortir, sebuah mitralyur dan berpeti-peti peluru jatuh ketangan pasukan gerilya Aceh. Pada tahun 1896 dan awal 1897, Vetter dengan pasukannya telah melakukan penghancuran total ter­hadap lembah di Aceh Besar itu, yang paling sempurna dibumi-hanguskan ialah tempat kediaman Teuku Umar. Di pos lini Lam Jau dipasang sebuah baterai meriam khusus dengan dua belas meriam dan delapan mortir berat, yang selama enam belas hari enam belas malam nonstop memuntahkan pelurunya ke Lam pisang, pusat pertahanan Teuku Umar, sehingga pada tanggal 24 Mei 1896 Lam Pisang jatuh ke tangan pasukan Belanda dalam keadaan hancur total. Atas perintah Jenderal Vetter, rumah kediaman Teuku Umar diledak­kan dan puing-puingnya dibakar hangus. Di seluruh daerah Mukim VI dan daerah-daerah di luarnya dibakar menjadi abu. Kampung Lamasan diratakan lumat. Dengan perlindungan sepuluh kompi infanteri, dua seksi zeni, delapan ratus orang narapidana kerja-paksa dan empat ratus orang kuli Cina, mulai tanggai 30 Mei sampai tanggal 3 Juni 1896 sibuk untuk melakukan pekerjaan ini. Ketika itu semua rumah dan bangunan lainnya seperti mushalla, masjid, madrasah diratakan dengan tanah, semua pohon ditebang, kuburan-kuburan digali. Siapa yang mencari daerah Lamasan pada tanggal 3 Juni 1896 hanya akan mendapatkan tempat hangus besar di tanah gundul. Tidak pernah lembah di Aceh Besar ini timbul lagi. Peristiwa pembelotan Teuku Umar memberikan kesan yang sangat menghancurkan di negeri Belanda. Bagaimana besarnya rasa ketakutan dan kebencian terhadap Teuku Umar, tampak dari lagu-lagu yang diciptakan saat itu dan sempat bertahan sampai lebih dari setengah abad lamanya. Lagu itu antara lain ber­bunyi: "Teuku Umar mesti digantung. Gantung di tali, gantung di tali, Teuku Umar dan isteri." Perang Aceh yang dimulai sejak tahun 1873 sampai tahun 1896, bagi pemerintah kolonial Belanda telah menderita kerugian sebanyak lima ratus juta gulden, kira-kira sepuluh ribu pasukan militer Belanda yang tewas, lima belas ribu orang narapidana kerja-paksa yang mati. Sedangkan di pihak pasukan perlawanan Aceh diperkirakan tiga puluh lima ribu orang menjadi syahid, sekarang pada tahun 1896 harus dimulai baru lagi. Tindakan-tindakan biadab pasukan Belanda-kafir di lembah Sungai Aceh telah mengakibatkan kehancuran yang tidak terlukiskan. Aceh Besar begitu dihabisi penduduknya, sehingga puluhan tahun kemudian para pengunjung dari luar masih merasa heran mendapati kampung-kampung yang ditinggalkan dan sawah­sawah yang tidak dikerjakan, pengairan yang tidak bisa lagi diperbaiki. Tidak kurang dari sepuluh ribu sampai dua puluh ribu orang Aceh meninggalkan kampung halamannya sesudah tahun 1896, dan bermukim di Pinang dan Malaka. Dan puluhan ribu yang lain keluar dari Aceh Besar menuju daerah-daerah pantai. Daerah ketiga sagi, yang dulu merupakan salah satu wilayah makmur di Aceh, telah menjadi salah satu wilayah yang paling miskin. Tidak pernah daerah ini pulih dari pukulan yang dideritanya. Sampai kemana buasnya pasukan kolonial Belanda dalam menghadapi pasukan perlawanan Aceh, secara tepat dilukiskan oleh sebuah tanda kenangan yang dipajang di beranda belakang rumah sakit tentara Belanda, di Kutaraja, pada tahun I897. Ada sebuah stoples besar berisi alkohol, dan di dalamnya terapung kepala Teuku Nya Makam. Pemimpin gerilya Aceh ini, pada tahun 1896 tertangkap oleh pasukan Belanda dalam keadaan sakit parah. Dia diletakkan di atas tandu dan bersama dengan.keluarganya dihadapkan pada komandan kolonne Letnan Kolonel Soeters. Perwira ini menyuruh melemparkannya dari tandu serta diperintahkannya agar dia ditembak mati di tempat. Di hadapan isteri dan anak-anaknya, kepalanya pun dipancung. Kolonel Stem­foort menyuruh memajang kepala Teuku Nya Makam ini sebagai tanda kenangan. Seorang saksi mata yang ter­sayat hatinya menulis: "Kebiadaban ini dan yang se­macamnya tidaklah membantu menaklukkan dan mengamankan Aceh, sebaliknya pasukan Belanda akan memperoleh ribuan dan ribuan musuh yang tidak kenal damai." Lembah Aceh memang bisa saja dihancurkan dan ditaklukkan, tetapi yang jelas perang di luar Aceh besar tidak akan berakhir. Snouck Hurgronye menganjurkan kepada Gubernur Jenderal Van der Wijck agar melaku­kan penyerbuan yang besar ke pedir (Pidie), dengan argumentasi bahwa orang yang dapat menaklukkan negeri ini yang dapat menjajah daerah Aceh seluruhnya. Usul Snouck Hurgronye ini disetujui oleh Van der Wijck sehingga ia memerintahkan Van Vliet untuk menyerang Pidie dengan kekuatan batalyon lewat laut dan dua batalyon lewat darat dari Selimun. Di samping itu Van der Wijck juga menginstruksikan kepada Van Heutsz untuk membantu serangan ke Pidie ini melalui pantai utara, dengan diperlengkapi satu baterai meriam gunung dan satu skuadron kavaleri. Bukan dua minggu waktu yang diperlukan, sebagaimana yang direncana­kan oleh pasukan Belanda, tetapi tiga bulan diperlukan untuk bertempur melawan pasukan gerilya Aceh. Penyerbuan ke Pidie yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1898, yang langsung dipimpin oleh Van Heutsz dan didampingi Snouck Hurgronye, adalah merupakan penyerbuan terbesar yang luar biasa dari seluruh perang Aceh. Dari Selimun dan Sigli berangkat dua kolonne yang semuanya berjumiah 7500 orang pasukam. Dibawa 15 km rel kereta api kecil untuk memasang lintasan (line) trem sementara dari Sigli ke pedalaman. Semua anggota militer diberi senjata modern Mauser, dan marsose diberi karaben mauser lima puluru, dengan diperlengkapi makanan dalam kaleng. Tidak banyak terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan gerilya Aceh. Tetapi harapan dan khayalan Belanda untuk sekali pukul dapat menyingkirkan Panglima Polim, Teuku Umar dan Sultan, lenyap sama sekali. Sebab tokoh-tokoh perlawanan yang diduga berada di daerah Pidie, ternyata tidak dijumpai sama sekali. Berbulan-bulan waktu yang diperlukan oleh pasukan Belanda untuk bisa menghancurkan pasukan gerilya Aceh. Akhirnya, pada tanggal 10 Februari 1899, Van Heutsz menyerang tempat yang dipergunakan oleh Teuku Umar sebagai markasnya, yang berada di sekitar Meulabohe. Dalam pertempuran ini, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur oleh pasukan Teuku Umar. Tetapi korban dari pasukan Teuku Umar cukup banyak, bahkan ia sendiri tewas. Tetapi isterinya, Cut Nya Dien, bersama-­sama pasukan yang masih tinggal, melanjutkan per­juangan suaminya, Teuku Umar, dengan cara bergerilya di daerah pedalaman pantai barat, selama lebih dari enam tahun. Pada tahun 1905, Cut Nya Dien terserang penyakit rematik, matanya setengah buta dan lumpuh. Walau dalam keadaan begitu, ia tidak pernah berniat untuk menyerah kepada Belanda. Karena pengkhianat­an seorang panglimanya, yang bernama Pang Lot, pasukan Belanda mengetahui dan menyergap tempat per­sembunyian Cut Nya Dien. Dia ditangkap dan kemudian dibuang ke Jawa sampai meninggal, tanpa sesaatpun berdamai dengan pasukan Belanda kafir Setelah Teuku Umar tewas dan pasukannya mulai cerai-berai, Belanda merasa bahwa mereka telah ber­hasil untuk menaklukkan seluruh Aceh, padahal masih terlalu banyak daerah-daerah yang masih secara utuh dikuasai oleh pasukan gerilya Aceh, dan pasukan Belanda belum mampu untuk menjejakkan kakinya di sana. Salah satu daerah itu adalah Samalanga, di mana terdapat sebuah benteng gunung. Batu Ilieq. Jenderal Heijden, yang dinobatkan menjadi Jenderal Mata Sebelah oleh orang Aceh, karena matanya buta terkena peluru pasukan santri Batu Ilieq, telah berulang-ulang tidak berhasil menaklukkan benteng tersebut. Bahkan sesudah daerah Samalanga dapat takluk kepada Belanda, tetapi benteng Batu Ilieq masih tetap berfungsi sebagai pusat perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Batu Ilieq adalah sebuah desa, di mana terdapat pusat pendidikan pondok pesantren yang dipimpin oleh para ulama dengan ratusan santrinya. Di desa inilah didiri­kan benteng-benteng pertahanan yang mengambil lokasi di puncak gunung yang dihubungkan oleh terowongan-­terowongan perlindungan. Benteng Batu Ilieq ini se­penuhnya dipertahankan oleh pasukan santri. Pada tahun 1901 pasukan Belanda di bawah pim­pinan Van Heutsz menyerbu benteng Batu Ilieq dengan menggunakan meriam-meriam kapal jarak jauh dan howitzer berat. Peluru-peluru meriam dan howitzer berat itu dimuntahkan ke mulut-mulut benteng Batu Ilieq ini secara nonstop berhari-hari, tetapi tidak dapat me­robohkan benteng dari pasukan santri, tidak bergeming sedikitpun. Oleh karena itu serangan harus langsung dilakukan dengan cara menaiki bukit melalui lapangan depan yang ditaburi ranjau, dan menentang arus batu dan gumpalan-gumpalan karang yang digelindingkan oleh pasukan santri yang bertahan di benteng. Belum lagi disebut tentang tembakan-tembakan yang terbidik baik dari senapan-senapan mauser yang begitu tangkas digunakan para santri, selancar mereka membaca ayat-­ayat Al-Qur'an. Penyerangan harus dilakukan oleh Belanda, pasukan marsose yang berasal dari Ambon menerobos ke dalam benteng yang dihadang oleh pasukan santri dengan gagah perkasa, sehingga pertempuran sengit terjadi. Tetapi, karena kekuatan yang tak seimbang antara pasukan Belanda dengan pasukan santri, benteng Batu Ilieq sebagian telah jatuh ke tangan Belanda. Dalam keadaan kritis semacam itu, seorang ulama tua yang berjanggut putih, dengan obor menyala meledakkan tempat persediaan mesiu, sehingga benteng itu ambruk. Dalam pertempuran sengit ini, pasukan Belanda yang mati berjumlah lima orang dan yang luka-luka berat berjumlah 27 orang, sedangkan di pihak santri dan ulama seluruhnya berjumlah 71 orang menjadi syuhada, tak satu pun yang masih hidup. Jatuhnya benteng Batu Ilieq, tidak berarti perlawan­an rakyat Aceh telah berhenti, sebab hampir setiap daerah baik di pantai maupun di pedalaman, yang belum sempat dijelajah oleh pasukan Belanda, masih tetap mengkonsolidasikan diri dengan benteng-benteng pertahanan, untuk setiap saat menghadapi serangan pasukan Belanda. Para hulubalang terutama para ulama di daerah tersebut tetap tegar untuk menentang setiap bentuk kolonial, walau harus ditempuh dengan pertumpahan darah. Operasi militer yang dilakukan oleh Van Heutsz senantiasa mendapat perlawanan dari rakyat Aceh, walau akhirnya kemenangan diperoleh pasukan kolonial. Dalam posisi terdesak, maka pada tanggal 10 Pebruari 1903 Sultan menyerah. Dan pada tanggal 6 Desember 1903 Panglima Polis menyerah pula. Van Heutsz, setelah diangkat menjadi Gubernur Militer Belanda di Aceh, pada bulan Februari 1904, telah memerintahkan Letnan Kolonel G.C.E. Van Daalen memimpin pasukan marsose untuk menyerang Tanah Gayo dan Alas, yang letaknya di tengah-tengah pe­gunungan Aceh. Serangan pertama direncanakan ke Gayo Laut, kedua ke Gayo Linge, ketiga ke Gayo Lues dan serangan keempat ke Tanah Alas. Daerah Gayo dan Alas dapat dianggap merupakan benteng terakhir rakyat Aceh, dan daerah terakhir dalam perang terbuka yang dilancarkan oleh pasukan Belanda, dalam sejarah perang kolonial dalam usahanya untuk menjajah seluruh Aceh. Serangan pasukan Belanda ke daerah Gayo dan Alas pada tahun 1904 ini, dilancarkan setelah perang Aceh berlangsung selama 31 tahun, sejak meletusnya Perang Aceh pada tahun 1873. Vaan Heutsz ingin cepat-cepat menaklukkan daerah Gayo dan Alas, daerah yang selama ini masih utuh dikuasai oleh rakyat Aceh, agar kekuasa­an Belanda benar-benar merata di Aceh, selama ia masih menjadi gubernurnya. Pada tanggal 8 Februari 1904, pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Daalen berangkat dari Kutaraja menuju Gayo dan Alas, dengan kekuatan sepuluh brigade bersenjata lengkap, dibantu oleh 450 orang narapidana kerja-paksa. Pasukan ini merupakan pasukan 'induk' karena masih ada lagi pasukan mobile yang dipimpin oleh Kapten Creutsz Lecheitmerer dengan kekuatan 150 pasukan tentara yang bergerak dari arah timur dari Kuala Simpang. Dengan demikian maka jumlah seluruh pasukan Belanda yang digunakan untuk menyerbu Gayo dan Alas tidak kurang dari 500 orang pasukan militer bersenjata lengkap, ditambah dengan kira-kira 1.000 orang tenaga kesehatan, narapidana kerja-paksa dan tukang-tukang pikul perlengkapan perang dan makanan. Pada tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah tujuan, yaitu di daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon. Tetapi begitu Belanda menginjakkan kakinya di desa dekat Ketol, di­sambut dengan pertempuran sengit yang pertama, di mana pasukan Belanda mengalami korban, baik mati maupun luka-luka. Dalam perjalanan menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat perlawanan, Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung, kira-kira 7 kilometer ari Takengon. Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda melakukan operasi militer di sekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat Gayo cukup sengit, dan hampir setiap daerah yang dilalui pasukan Belanda ter­jadi pertempuran, tetapi akhirnya daerah Gayo Laut­ pun jatuh ke tangan pasukan kolonial. Setelah pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya maju menuju Gayo Lues, dimana pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya telah mencapai daerah Kla, yaitu daerah yang merupakan pintu masuk Gayo Lues. Berbeda dengan pertempuran di Gayo Laut, di sini rakyat memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng yang dibangun dari tanah dicampur batu-batu. Di sekelilingnya dibuat pagar kayu berduri yang telah dibuat runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman hidup bambu berduri, yang oleh orang Gayo disebut 'uluh kaweh' yang berlapis-lapis. Kemudian dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk ranjau-ranjau. Di bagian dalam benteng dibuat lobang-lobang per­lindungan, lubang pengintaian lubang penembak di bagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang perlindungan untuk wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut. Dengan cara ini, benteng pertahanan rakyat Gayo berusaha menahan serangan pasukan Belanda yang jauh lebih kuat dan modern. Benteng-benteng semacam ini tersebar di daerah Gayo Lues dan Alas, serta tidak kurang dari sepuluh benteng yang besar dan kokoh yang dipertahankan mati-matian oleh rakyat Gayo, dalam pertempurannya dengan pasukan Belanda. Salah satu bukti tentang pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng Gemuyang, setelah berhari-hari bertempur, akhirnya baru jatuh setelah rakyat Gayo sebanyak 308 orang tewas : antaranya 168 orang laki-­laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak. Sedang­kan yang luka-luka sebanyak 47 orang: antaranya se­orang pria, 26 orang wanita dan 20 orang anak-anak. ­Hanya 12 orang yang tertangkap hidup-hidup, dimana 3 orang wanita dan 9 orang anak-anak. Sedangkan korban dari pihak pasukan Belanda hanya dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat. Pertempuran di benteng Rikit Gaib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat Gayo lebih berimbang, sehingga korban yang jatuh di kedua belah pihak cukup banyak. Di pihak rakyat Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148 orang: antaranya 143 orang pria, 41 orang wanita dan anak-anak, hanya seorang laki-laki dan dua orang wanita yang tertangkap hidup-hidup oleh Belanda. Korban di pihak pasukan Belanda: 7 orang mati, diantaranya 2 orang perwira dan 42 orang luka-­luka berat, diantaranya 15 orang perwira. Pertempuran dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo tidak kurang dari sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo yang mati terbunuh. Hanya dengan cara itu pasukan Belanda dapat menaklukkan Gayo, sehingga pada tanggal 2 Juni 1904, Van Daalen berhasil mengumpulkan penghulu-­penghulu Gayo sebanyak dua belas orang untuk me­maksa mereka takluk kepada penguasa kolonial Belanda. Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan Belanda melanjutkan serangan ke daerah Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu Mbulen dimana tinggal seorang ulama besar ber­nama Teungku Haji Telege Makar dengan pondok pesantrennya. Mendengar kedatangan pasukan Belanda mau menyerbu kaum muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka mengosongkan desa tersebut dan semua­nya berkumpul di benteng Kute Reh yang telah disiap­kan jauh sebelum pasukan musuh datang. Pertempuran dahsyat dan bermandikan darah ber­langsung berhari-hari antara pasukan musuh dengan pasukan kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng Kute Reh jatuh ke tangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan yang mempertahankan benteng itu tewas, diantaranya 313 orang pria, 189 orang wanita, dan 59 orang anak-anak. Yang luka-luka sebanyak 51 orang, antaranya 25 orang wanita dan 31 orang anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup dua orang wanita dan 61 orang anak-anak. Sedangkan di pihak musuh hanya dua orang mati dan 17 orang luka-luka berat. Pada tanggal 20 Juni 1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri melanjutkan penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah berlangsung dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, diantaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang anak-anak. Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, diantara­nya 2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak-­anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dipihak pasukan musuh yang mati hanya seorang dan 18 orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van Daalen dan Kapten Watrin. Daerah Alas dapat dikuasai pasukan Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat Baru pada tanggal 24 Juli 1904, dengan korban yang sangat besar di pihak rakyat Alas, di mana 654 orang tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130 orang. Sedang­kan yang luka-luka seorang pria, 16 orang wanita dan 32 orang anak anak. Di pihak musuh hanya 4 orang mati dan 28 orang luka-luka. Sebagaimana telah terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka telah tidak mungkin dilakukan, karena kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan musuh, maka 'perang gerilya' merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan pasukan Belanda. Di Gayo dan Alas pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo dan Alas adalah daerah ber­gunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga 'perang gerilya' yang dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan sebaliknya pasukan Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram di daerah-daerah yang didudukinya, karena mendapat serangan gerilya. Walaupun perang kontra gerilya dengan pasukan marsose yang dianggap berani dan kejam, sebagaimana digariskan oleh Van Heutsz, dinilai berhasil dengan gemilang, tetapi tidak berarti pasukan gerilya muslimin Aceh dianggap pengecut dan senantiasa kalah. Bahkan terkadang pasukan gerilya muslimin Aceh jauh lebih berani dan lebih lincah dari pasukan marsose yang paling dibanggakan. Hal ini terbukti dari pengalaman salah seorang komandan marsose yang paling terkenal, Kapten M.J.J.B.H. Campion, yang pada tahun 1904 di daerah Meulaboh di pantai barat, dengan kekuatan se­tengah divisi melakukan penyerbuan terhadap pasukan gerilya Teuku Keumangan dan kakaknya, Teuku Johan. Pada bulan Maret 1904 sebuah kolonne yang terdiri dari enam brigade marsose, yaitu kira-kira 160 orang tentara, masuk ke dalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang berkekuatan sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan ketangkasan yang luar biasa, pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini menyerang dengan kelewang dan rencong terhadap pasukan marsose yang terjebak itu. Seluruh pasukan Belanda sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh, ter­masuk Kapten Campion yang mati karena luka-luka berat. Pasukan gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan terhadap pasukan Belanda di daerah-daerah seperti Lhong, dimana pada tahun 1925 dan tahun 1926 dan kemudian pada tahun 1953 telah berkembang menjadi 'perang terbuka'. Untuk mengatasi kekuatan gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda mengumpulkan kembali bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda. Operasi-operasi pasukan marsose di sungai atau di darat seringkali terjebak oleh pasukan gerilya­wan muslimin, sehingga dapat dihancurkan secara total. Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan marsose sering diserang dan dibakar oleh pasukan gerilyawan. Idola gerilyawan muslimin Aceh terlukiskan dalam person tokoh ulama Aceh Teungku di Tiro Syeikh Saman. Ia mempunyai lima orang pntera, yang tertua bernama Muhammad Amin, yang gugur pada pertempuran dengan pasukan Belanda pada tahun 1896. Empat orang putera lainnya dan dua orang cucu semuanya gugur sebagai syuhada pada pertempuran antara tahun 1904 dan 1911. Pada bulan Desember 1909, Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang pasukan gerilyawan muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan menggunakan dua brigade pasukan marsose, Schmidt secara sistimatis me­nyerang dan menangkap pasukan gerilyawan muslimin Tiro, di mana pada tahun 1909 dan 1911 dapat dikatakan hampir seluruhnya tertangkap. Keberhasilan pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini karena pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang menjadi kolaborator Belanda. Tetapi tidak seorang pun dari pimpinan gerilya­wan muslimin Tiro ini yang menyerah hidup-hidup. Akhirnya keturunan Syeikh Saman, tokoh gerilyawan muslimin Tiro, tinggal seorang lagi, seorang pemuda remaja yang terus bergerilya menyerang pasukan Belanda kafir. Letnan Schmidt meminta bantuan tokoh-­tokoh Aceh untuk bisa membujuk tokoh pemuda-remaja gerilyawan muslimin Tiro ini supaya menyerah dengan jaminan oleh Gubernur Jenderal tidak akan dijatuhi hukuman. Hasilnya, tidak mungkin menyerah. Hidup mulia atau mati syahid itulah semboyan gerilyawan muslimin Tiro. Pada bulan Desember 1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang tempat per­sembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal tiga orang saja lagi. Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu ber­nama Cit Ma'az (Ma'at), adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan wafatnya Cit Ma'az, yang baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam Perang Aceh. Perang gerilya yang berkepanjangan tidak hanya dilakukan oleh gerilyawan muslimin Tiro, tetapi juga dilakukan oleh pasukan gerilyawan Teuku di Mata Ie, Teungku di Barat dan Pang Naggru di daerah-daerah sekitar Lhok Seumawe dan Lhok Sukon. Daerah medan­nya yang berubah-ubah dari gunung-gunung sampai ke laut, sangat memungkinkan pasukan gerilyawan muslimin ini dapat melakukgn gerakan yang sulit untuk diketahui dan dikejar oleh pasukan Belanda. Pasukan gerilyawan dibawah pimpinan Pang Nanggru , masih aktif sampai tahun 1910, pasukan gerilyawan Teungku di Barat aktif sampai tahun 1912. Sedangkan pasukan gerilyawan Teungku di Mata Ie masih terus aktif sampai tahun 1913, dan wafat pada tahun 1917 karena luka-luka kena peluru. Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang benang merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah. Perang gerilya, yang pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi perlawanan terbuka lagi. Dengan demikian perang Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambung-menyambung sampai tahun 1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lama­nya, adalah perang terlama di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia. Perang Aceh yang me­landa hampir setiap daerah Aceh, dari mulai pantai sampai ke puncak- puncak gunung, dengan pertempuran tanpa henti dan lelah, adalah bentuk perang yang spesifik bagi Aceh. Keberanian, pengorbanan dan daya tahan yang mengagumkan bagi setiap orang yang mempelajari sejarah Perang Aceh, adalah berkat keyakinan yang kokoh terhadap ajaran Islam, yang telah dimiliki sejak kelahiran Kesultanan Aceh pada tahun 1507. Penutup Demikianlah data dan fakta sejarah tentang Perang Sabil yang dilakukan oleh umat Islam penuh heroisme yang tak mengenal takut, bahkan ingin mati syahid di medan pertempuran. Dengan semboyan hidup mulia atau mati syahid, umat Islam berperang tak mengenal lelah dan menyerah. Selama 300 tahun lamanya, dari generasi ke generasi, dari ujung paling timur sampai ujung paling barat, dari Ternate sampai Aceh, darah syuhada membasahi persada Indonesia. Sebaliknya, Perang Salib yang dilakukan oleh penjajah Portugis dan Belanda-Kristen, licik-tengik, kejam-sadis bagaikan iblis yang buas, menyebabkan bangsa Indonesia 350 tahun hidup melarat-sengsara, bodoh terhina. Apakah Perang Sabil dan Perang Salib akan berulang kembali di Indonesia? Gejalanya telah ada! Peristiwa Ketapang-Jakarta, Banyuwangi-Jawa Timur, Kupang, Poso-Sulawesi Tengah, Ambon-Maluku, Sambas, Aceh. Kemungkinan sejarah berulang lagi, dan umat Islam diminta darah syahidmu demi Islam! Daftar Kepustakaan · AG. Pringgodigdo: Ensiklopedi Umum; Kanisius, Jakarta, 1973. · Hamid Algadri: C. Snouck Hugronye, Potitik Belanda Terhadap Islam dan Arab; Sinar Harapan, Jakarta, 1984. · HAMKA: Ayahku, Uminda, Jakarta., 1982. · HAMKA: Sejarah Umat Islam IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1976. · Helius Sjamsuddin: Antasari, Balai Pustaka, Jakarta, 1982. · Mardjani Martamin: Tuanku Imam Bonjol, P dan K, Jakarta, 1985. · Muhammad Radjab: Perang Paderi; Badai Pustaka; Jakarta, 1964. · Mustafa Kamal, Chusnan Yusuf, A. Rosyad Sholeh: Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam;. Persatuan Yogya, 1976. · Nugroho Notosusanto: Sejarah Nasional Indonesia II, Balai Pustaka, Jakarta, 1997. · Paul Van' T Veer: Perang Aceh (terjemahan); Grafitipers, Jakarta, 1985. · ­Peter Carey: Changing Javanese Perceptian of the Chinese Communities in Central Java, 1755-1825; Cornell, 1984. · R. Soesilo: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Politea, Bogor 1964. · R. Tresna: Asas-Asas Hukum Pidana; Tiara, Jakarta, 1959. · Sagimun M.D.: Pahlawan Diponegoro; Gunung Agung, Jakarta, 1986. · Saifuddin Zuhri: Sejarah Kebangkitan Islam di Indonesia; Al-Ma'arif, Bandung, 1981. · Th. Lebdoto dan Soendhoro: Sejarah, Bahagia; Jakarta, 1976. · Th. Muller Kruger: Sejarah Gereja di Indonesia; BPK, Jakarta, 1959. · TK Ismail Yakub: Cut Meutia; Faizan, Semarang, 1979. · Y. Wiramiharja dan Djuhaeni: Sejarah I-B; Binacipta, Bandung, 1977. Tentang Penulis Abdul Qadir Djaelani dilahirkan di Jakarta (putera Betawi) pada tanggal 20 Oktober 1938, dari kalangan keluarga sederhana yang taat beragama. Pendidikan tingkat dasar diperolehnya melalui Sekolah Rakyat 6 tahun dan Madrasah Diniyah 6 tahun (1947 - 1953). Pendidikan tingkat lanjutan pertama ditempuh di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri 4 tahun (1953-1957), kemudian dilanjutkan ke Pendidikan Guru Agama Atas Negeri selama dua tahun yang berhasil diselesaikannya pada tahun 1959. Setelah menamatkan pendidikan tingkat lanjutan ini, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat ditekuninya sampai tingkat Doktoral II akhir, yaitu pada tahun 1959 hingga 1963. Namun cita-citanya untuk menyelesaikan Sarjana Hukumnya terpaksa terhenti, karena dirinya ditahan oleh Pemerintah Orde Lama selama lebih dua setengah tahun. Aktivitasnya dalam organisasi, selain pernah menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta tahun 1960-1961, Sekretaris Jenderal Pengurus Syarikat Tani Islam Indonesia (STII) pada tahun 1967-1972, Ketua I Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (GPI) antara 1972-1975, Ketua Umum PP GPI tahun 1976 hingga 1996, Ketua Umum Komite Kewaspadaan Nasional Muslimin Indonesia (KOWASNAMI), Ketua Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah Jakarta, juga Ketua Parta Bulan Bintang (PBB). Aqbdul Qadir Djaelani beberapa kali keluar masuk penjara. Pada tahun 1960-1961, karena menyebarkan pamflet tuntutan pembubaran PKI di seluruh Indonesia, mengikuti jejak pembekuan PKI di selatan (Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan), menyebabkan ia harus mendekam di tahanan militer Jakarta Raya. Pada tahun 1963-1965, karena anti komunis dan dituduh menggagalkan pesta olehraga Ganefo di Jakarta, kembali kehidupan tahanan dilaluinya di tahanan Badan Pusat Intelijen (BPI) selama lebih dari dua setengah tahun. Peranannya sebagai pemimpin demonstrasi menentang masuknya Aliran Kepercayaan, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ke dalam GBHN pada Sidang Umum MPR tahun 1978, menyebabkan ia kembali menghirup udara tahanan selama dua setengah tahun, antara 1978-1981. Terakhir, karena memelopori menentang Asas Tunggal Pancasila dan Rancangan Undang-undang Keormasan dalam Siang MPR RI tahun 1983, ia masuk penjara dalam waktu yang relatif lama, yaitu sembilan tahun, antara 1984-1993. Dalam bidang profesi, dunia pendidikan rupanya menjadi pilihannya. Terbukti sejak 1959 ia telah mengajar di SD, SLTP dan SLTA, kemudian pada tahun 1969-1970 ia aktif mengajar di Pondok Pesantren. Pengalaman sebagai dosen luar biasa pada bidang studi agama Islam di Institut Pertanian Bogor (IPB), antara tahun 1970-1978 dilanjutkan sebagai dosen pada Perguruan Tinggi Da'wah Islamiyah (PTDI) Jakarta dan Perguruan Tinggi Islam Assalafiyah (PTIA) Jakarta pada tahun 1981-1984, Rektor PTDII Jakarta merupakan bukti besarnya minat di dunia pendidikan, disamping aktivitasnya sebagai mubaligh sejak tahun 1959. Dalam ikut mengisi khasanah perpustakaan Islam di negeri ini, tak kurang delapan judul buku telah ditulis dan diterbitkan, antara lain: -- Pemuda Islam Menggugat -- Studi Islamica (karya bersama dengan dosen-dosen IPB) -- Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia Menjelang Tahun 2000 -- Cendekiawan Muslim dan Perjuangan Kebenaran -- Analisa Politik Dekade Delapan Puluhan -- Peran pelajar Islam Indonesia dalam Kebangkitan Orde Baru -- Sistem Pendidikan Pondok Pesantren -- Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif Terhadap Umat Islam Indonesia