Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama Penyusun : Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Daftar Isi Muqaddimah 1. Imam Ath-Thurthusi (520H) 2. Al Maazari (536 H) 3. Abu Bakar Ibnu Al 'Arabi (543 H) 4. Al-Qadli 'Iyad (544 H) 5. Ibnu Al-Jauzi (597 H) 6. An Nawawi (676 H) 7. Ibnu Taimiyah (728 H) 8. Adz Dzahabi (748 H) 9. Tajuddin As-Subki (771 H) 10. Ibnu Katsir (774 H) 11. Abul Abbas Al Qabbab (779) 12. Shalih bin Mahdi Al-Maqbali (1108 H) 13. Abdul Latif Al Hambali (1292 H) 14. Mahmud Sukry Al-Alusi (1342 H) 15. Ibnu Hamdain Al-Qurthubi (?) 16. Ibnu Qathan (?) 17. Muhammad Nashiruddin Al-Albani (1407 H) 18. Mahmud Mahdi Al-Istambuli Penutup Muqaddimah Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya serta memohon ampunan-Nya dan kami berlindung dari keburu-kan diri-diri kami dan dari kejelekan-kejelekan amal kami. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesem-bahan yang berhak disembah melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya. Amma ba’du. Ini adalah risalah yang lembut isinya dan tiada bandingannya, Insya Allah. Yang saya kumpulkan di dalamnya beberapa perkataan para ahli ilmu yang terdiri dari para imam [1] para ulama dan para ahli sejarah seputar kitab yang telah diketahui oleh khalayak umum, cendekiawan, ulama dan orang-orang jahil/(bodoh), yaitu kitab Ihya 'Ulumuddin karangan Syaikh Abu Hamid Al Ghazali yang wafat pada tahun 505 H semoga Allah merahmatinya dan memaafkan kesalahan-kesalahannya. Perkataan-perkataan yang saya kumpulkan dan nukilan-nukilan yang saya cantumkan ini semuanya berkisar tentang koreksian (terhadap Kitab tersebut). Adapun tentang pujian terhadap kitab tersebut, para penulis lain yang dahulu maupun yang sekarang telah menunaikannya. Dahulu Syaikh Abdul Qadir Al 'Aidrus telah menulis kitab yang terkenal yaitu Ta'riful Ahya' bi Fadla-il Ihya'. Pada masa sekarang banyak orang yang memuji dan menyanjungnya seperti Syaikh Sa'id Hawwa. la menyarankan untuk mempelajarinya (Afaq At Ta'lim hal. 77) dan juga menganggapnya sebagai bagian dari ilmu akhlaq Islami (Jundullah hal. 119) dan lain sebagainya. Ini semua sebagai penguat perkataan Syaikh Hasan Al Banna dalam menerangkan cara "da'wahnya" yang bernafaskan sufi. Sa'id Hawwa bukanlah orang yang per-tama kali yang berkomentar tentang kitab Ihya' dan beliau hanya taqlid kepada Syaikh Hasan Al Banna semoga Allah merahmatinya. Beliau mempelajarinya setelah mengikuti perkumpulan tarekat Al Hashafiyah As Sufiyah (Mudzakkirat Ad Da'wah hal. 29) sehingga berpengaruh pada perilaku dan kepribadinya (Mudzakkirat hal. 32). Sa'id Hawwa telah memandang Kitab Ihya sebagai ensiklopedi Islam yang terbesar dan salah satu harapannya adalah tersedianya kesempatan untuk men-syarah-kan (menjelaskan) Kitab tersebut. Tidak lama kemudian beliau pun segera melaksanakan rencana tersebut, yaitu ketika beliau menyiapkan pelajaran mingguan di rumahnya untuk sekumpulan sahabatnya. Beliau sangat bersemangat dalam menulis setiap pelajaran yang akan beliau sampaikan dan ini tidak pernah dilakukan pada pelajaran-pelajaran yang lainnya. Akan tetapi keadaanlah yang menghalangi penyempurnaan syarah kitab tersebut (Al Ikhwanul Muslimun: Ahdats jilid 1 hal. 61 dan jilid 2 hal 347). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, semoga Allah merahmatinya, telah mengumpulkan pujian dan celaan terhadap Kitab ini. Ketika ditanya tentang kitab Ihya Ulumuddin dan Quutul Qulub beliau menguraikan tentang keduanya di dalam suatu uraian ilmiah yang memikat dan sudah sepantasnyalah bagi saya untuk menukilnya secara utuh [2] sebagaimana tercantum dalam Majmu'ul Fatawa (jilid 10 hal. 55). Beliau berkata: Adapun kitab Quutul Qulub dan kitab Al Ihya keduanya sama-sama menyebutkan tentang amalan-amalan hati seperti: sabar, syukur, cinta, tawakal, tauhid dan yang semisalnya. Abu Thalib [3] lebih mengetahui dari pada Abu Hamid Al Ghazali tentang hadits, atsar, ucapan ahli ilmu sufi dan lainnya. Perkataannya lebih baik dan lebih dapat direalisasikan serta lebih jauh dari bid'ah meskipun di dalam kitab Quutul Qulub terdapat hadits-hadits yang dla'if (lemah) dan maudlu' (palsu) serta banyak hal-hal yang tertolak. Adapun pernyataan yang ada dalam Al Ihya tentang hal-hal yang membinasakan seseorang seperti sombong, ujub (bangga diri), riya', iri dan semisalnya banyak menukil dari Al Harits Al Muhasibi di dalam (kitab) Ar Ri'aayah yang di antara isinya ada yang diterima, ada yang ditolak dan ada pula yang masih dipertentangkan (oleh para ulama). Di dalam Al Ihya terdapat faedah yang banyak, akan tetapi di dalamnya juga terdapat hal-hal yang tercela yang berasal dari ucapan para ahli filsafat yang berkaitan dengan tauhid (ke-esaan Allah, nubuwwah (kenabian) dan ma'aad (akhirat). Apabila ia menyebutkan hal-hal yang ber-kenaan dengan kesufian, pada hakekatnya dia menyiapkan musuh bagi kaum muslimin dan menutupinnya dengan baju muslim. para imam telah mengingkari Abu Hamid (Al Ghazali) di dalam kitab-kitab mereka dan merekapun berkata, "Yang membuat dia sakit adalah (Kitab) Asy-syifa [4] yaitu (kitab) Asy-Syifa (karya) Ibnu Sina dalam ilmu filsafat. Di dalamnya (kitab Ihya) terdapat banyak hadits, atsar yang lemah bahkan palsu dan di dalamnya terdapat kekeliruan-kekeliruan sufi dan kesesatan-kesesatannya. Bersamaan dengan itu di dalamnya juga terdapat perkataan para syaikh sufi yang arif dan lurus dalam amalan-amalan hati yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah. Selain itu juga terdapat ibadah-ibadah dan adab yang sesuai dengan Al Quran dan As sunnah dan dalam masalah ini lebih banyak yang diterima daripada yang ditolak. Oleh karena itulah orang-orang berselisih dalam mengomentari tentang kitab tersebut. Selesai ucapannya (Ibnu Taimiyah) semoga Allah merahmatinya. Tidak ada yang memotivasi saya untuk mengumpulkan risalah ini melainkan (dalam rangka) nasihat untuk Allah, rasul-Nya dan kaum muslimin. Dan keinginan untuk mengoreksi serta menilai arah dari beberapa pemikiran dan aliran khususnya setelah tersebarnya kejahilan (kebodohan) terhadap ilmu-ilmu syar'i dan demi Allah itu adalah salah satu musibah yang besar. Akhirnya, saya memohon kepada Allah yang Maha Tinggi dan bertawasul kepada-Nya dengan kecintaanku kepada nabi-Nya shallallahu dlaihi wa sallam agar menetapkan balasan pahala bagiku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Dan penutup do'a saya segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta. Ditulis oleh: Abul Harits Ali bin Hasan bin Ali. Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 1. Imam Ath-Thurthusi (520H) Beliau berkata dalam suatu uraian (surat) yang ditulis untuk Abdullah bin Al Muzhaffar seputar Al Ghazali: Ketika ia (Al Ghazali) menulis kitabnya, ia memberi judul Ihya Ulumuddin. la sengaja berbicara tentang ilmu-ilmu kondisi dan tingkatan-tingkatan kaum sufi, padahal dia tidak banyak mengetahui tentang hal itu dan tidak memahaminya dengan baik. Beliau memenuhi kitabnnya itu dengan kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, saya tidak mengetahui satu kitab pun di muka bumi ini, sepanjang sepengetahuanku, yang paling banyak kedustaannya terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selain kitab itu. la terperangkap dengan aliran-aliran filsafat dan ajaran-ajaran (yang ada) dalam kitab Rasaail Ikhwanush Shafaa yang berpendapat bahwa derajat nubuwwah (kenabian) dapat diperoleh dengan usaha. Dan menurut sangkaan mereka kenabian itu tidak lebih dari seorang yang berakhlak mulia dengan kebaikan-kebaikan budi pekerti, menjauhi akhlak yang tidak baik dan mengembangkan diri sehingga dapat mengendalikan dirinya. Dengan begitu syahwatnya tidak dapat mengalahkannya dan kejelekan akhlaknya tidak dapat memaksa untuk berbuat semaunya serta membentuk manusia yang lain dengan akhlak tersebut... Sampai ia (Ath Thurthusi) berkata: ...Sungguh Allah telah memuliakan Islam, menjelaskan hujjah-Nya, menegakkan dalil-Nya dan mematahkan alasan makhluk-makhluk-Nya dengan hujjah-Nya yang jelas dan dalil-dalil-Nya yang pasti yang sekaligus membatalkannya. Tidaklah seseorang dapat menolong agama Islam dengan menggunakan teori-teori filsafat dan ide-ide mantiq melainkan seperti orang yang mandi dengan air kencing. Kemudian ia (Al Ghazali) menguraikan perkataannya yang menyayat dan menggetarkan hati, sekaligus memberikan angan-angan dan membuat rindu, sehingga apabila jiwa-jiwa manusia telah keheranan, ia pun berkata, "Ini adalah bagian dari ilmu kasyaf dan tidak boleh ditulis dalam kitab." Atau ia berkata, "Dan ini adalah di antara rahasia taqdir (Alloh) yang kita dilarang untuk menyebarkannya." Ini adalah amalan para pengikut aliran batiniyah dan (amalan) para pembuat kerusakan serta para penyusup ke dalam agama Allah. Mereka memanfaatkan perkataan Al Ghazali ini dan membebani jiwa-jiwa dengan sesuatu yang tidak ada wujudnya. Hal itu adalah gangguan terhadap keyakinan-keyakinan hati dan pelemahan terhadap persatuan jama 'ah. Maka apabila orang ini (Al Ghazali) berkeyakinan dengan apa-apa yang ia tulis dalam kitabnya, maka dia tidak jauh dari kekaflran dan apabila ia tidak meyakininya, maka sangat dekatlah ia kepada kesesatan. Adapun tentang pembakaran kitab tersebut, sesungguhnya jika kitab itu dibiarkan tersebar di antara orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang racun-racunnya yang mematikan, ditakutkan mereka akan berkeyakinan bahwa kesesatan yang tertulis di dalamnya adalah kebenaran. Maka hendaklah kitab tersebut dibakar dengan menyamakan (mengqiyaskan) kepada apa yang dibakar oleh para sahabat radliallahu 'anhum yaitu lembaran-lembaran mushaf yang di dalamnya terdapat perselisihan lafadz dan beberapa kekurangan. Tidakkah engkau melihat bahwa seandainya mereka tidak membakarnya, maka lembaran-lembaran tersebut akan tersebar ke penjuru dunia dan setiap orang akan berusaha mempertahankan apa yang telah mereka miliki dari lembaran-lembaran tersebut sehingga mereka akan berselisih, bertengkar dan saling memu-tuskan hubungan, akibat perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya. Sesungguhnya saya bertekad untuk melakukan hal itu sendiri kemudian mengeluarkan seluruh kekeliruan dan menjelaskan kesalahan-kesalahannya serta menerangkan hal itu satu demi satu. Sebetulnya masih banyak kitab-kitab lain yang lebih bermanfaat dan memadai bagi saudara-saudara kita kaum muslimin secara umum maupun tingkatan orang-orang shalih. Sebagian besar orang yang mencintai kitab ini dengan kecintaan yang menggebu-gebu adalah orang-orang shalih (ahli ibadah) yang tidak memiliki pengetahuan tentang kewajiban-kewajibannya terhadap akal dan dasar-dasar agama, tidak memahami (konsep-konsep) ketuhanan dan tidak mengetahui hakikat sifat-sifat (Allah). Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 2. Al Maazari (536 H) Al Hafizh Adz Dzahabi berkata dalam (kitab) Siyar A'lam An Nubala jilid 19 hal. 340: Al Imam Muhammad bin Ali Al Maazari Ash Shaqilli memiliki komentar tentang kitab Al Ihya yang menunjukkan kedudukannya sebagai seorang imam, ia (Al Maazari) berkata: Sungguh telah berulang kali kalian (mengirim) surat dalam rangka mencaritahu tentang pendapat saya tentang kitab yang berjudul Ihya Ulumuddin. Kalian telah mengatakan bahwa terdapat bermacam-macam pendapat tentang kitab tersebut Ada sekelompok orang yang berhasil dalam mempopulerkannya serta berta'ashub (fanatik) terhadapnya, ada yang memperingatkan manusia akan buku tersebut sehingga membuat manusia menjauhinya dan ada pula yang (meme-rintahkan untuk) membakarnya. Orang-orang yang tinggal di belahan timur mengirim surat kepada saya dan bertanya tentang kitab tersebut, padahal saya belum membaca kitab itu kecuali beberapa bagian saja. Maka jika Allah memanjangkan umur dan nafas-nafas mereka, saya okan berkesempatan menghilangkan kerancuan dari hati-hati mereka dan mereka akan tahu jawabannya. Ketahuilah oleh kalian bahwa saya telah bertemu dengan murid-muridnya dan setiap mereka menceritakan kepada saya tentang beberapa keadaan Al Ghazali menurut apa yang telah mereka saksikan. Maka saya hanya dapat menyebutkan keadaannya dan kitabnya serta menyebutkan secara umum beberapa pendapat yang ada dalam aliran-aliran muwahidin, mutashawwifah dan para pengikut isyarat serta filsafat. Sesung-guhnya kitab itu berkisar di antara tarekat-tarekat tersebut..., sampai ia berkata, ... dan di dalam Al Ihya terdapat perkataan-perkataan yang lemah, padahal di antara kebiasaan orang-orang yang wara' adalah tidak mengatakan (bahwa) Malik berkata atau Asy Syafi'i berkata tentang apa-apa yang belum pasti datang dari mereka (imam-imam tersebut). la menganggap baik sesuatu yang tidak ada dasarnya. Seperti memotong kuku hendaknya dimulai dari jari telunjuk karena terdapat keutamaan dibandingkan dengan jari-jari yang lain, yaitu karena jari telunjuk digunakan untuk ber-do'a. Kemudian memotong kuku jari yang disampingnya yaitu jari tengah karena arahnya ke kanan dan mengakhiri dengan ibu jari kanan dan ia meriwayatkan sebuah atsar tentang hal itu.[5] Abu Hamid (Al Ghazali) pernah berkata, "Barang siapa mati setelah baligh dan dia tidak mengetahui bahwasanya Sang Pencipta itu Qadim (terdahulu) maka dia mati dalam keadaan muslim menurut ijma' (kesepakatan)." Dia (Al Maazari) berkata (membantah perkataan Al Ghazali di atas): Maka barang siapa bermudah-mudah dalam menyebutkan (bahwa para ulama) telah ijma' dalam suatu permasalahan, padahal tidak demikian, maka selayaknyalah baginya untuk tidak dipercaya dalam menyampaikan apa yang diriwayatkannya. Saya melihat dalam juz yang pertama ia (Al Ghazali) berkata, "Sesungguhnya dalam ilmu-ilmunya terdapat hal-hal yang tidak boleh ditulis dalam kitab." Saya tidak mengetahui tentang haq (benar) atau batilnya hal yang tidak boleh ditulis tersebut. Jika (hal itu) batil, maka benarlah ia (untuk tidak menuliskannya di kitab), akan tetapi jika (hal itu) benar -dan itulah maksudnya tanpa diragukan lagi-, maka mengapa ia tidak menuliskan di dalam kitabnya? Apakah karena rumitnya dan detail-nya? Jika hanya sampai disitu masalahnya, maka apakah yang menghalangi orang untuk juga ikut memahaminya? Adz Dzahabi berkata dalam (Kitab) As Siyar juz 19 hal. 330: Sungguh saya telah melihat kitab Al Kasfu wal Inbaa-u 'an Kitabil Ihya yang dikarang oleh Al Maazari yang di awalnya (ia berkata): Segala puji bagi Allah yang telah menerangi kebenaran dan memasyhurkannya dan membinasakan kebatilan sekaligus melenyapkannya... Kemudian Al Maazari mengungkapkan kritikannya terhadap Abu Hamid, ia berkata: Sungguh saya heran terhadap para pengikut mazhab Maliki yang berpendapat bahwa Imam Malik sangat berhati-hati dalam menulis (berfatwa) meskipun di dalamnya terdapat atsar atau qiyas, sebagai wujud dari wara'nya dan kehati-hatiannya dari fatwa yang membawa manusia kepada fatwa tersebut. Namun mereka menganggap baik fatwa-fatwa yang berasal dari seseorang yang tidak memiliki dasar sama sekali. Dan di dalamnya (kitab Ihya) terdapat banyak atsar dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang dihiasi dengan apa yang tidak berasal dari beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Begitu juga dengan apa yang ia sebutkan dari uiama salaf tidak mungkin bahwa semua itu benar datangnya dari mereka. la pun menukil perkataan-perkataan yang buruk dari (mereka yang dianggap) para wali dan hembusan-hembusan orang-orang sufi dan membesar-besarkannnya. la mencampuradukkan hal-hal yang bermanfaat dengan hal-hal yang dapat menimbulkan mudlarat yang besar, seperti yang ia kisahkan dari sebagian mereka (para wali dan orang sufi tersebut). Padahal semua itu tidaklah layak di ungkapkan kerena buruknya...-sampai selesai perkataannya-. Adz Dzahabi berkata dalam biografi Al Maazari yang ia tulis dalam kitabnya As Siyar (jilid 20 hal. 107), "Imam ini memiliki tulisan yang obyektif yang membantah kitab Al Ihya dan menjelasan kekeliruan serta kefilsafatan Al Ghazali.” Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 3. Abu Bakar Ibnu Al’Arabi (543 H) Adz Dzahabi berkata dalam As Siyar juz 19 hal 337: Di dalam Al Ihya terdapat (pembahasan) tentang tawakal yang tertulis (sebagai berikut), "Dan setiap apa yang ditetapkan Allah atas hamba-hamba-Nya berupa rizki, ajal, iman dan kufur, semua itu merupakan keadilan yangmurni dari Allah, tidak ada yang lebih baik dan lebih sempurna dari hal itu. Seandainya ada (yang lebih baik dan lebih sempurna dari hal itu) dan Allah menyembunyikannya, padahal Dia mampu (untuk melakukannya) tetapi Dia tidak melakukannya, maka sungguh hal itu adalah sebuah kebakhilan dan kezhaliman (penganiayaan)." Abu Bakar Ibnul 'Arabi berkata dalam (kitab) Syarhul Asmail Husna: Syaikh kami Abu Hamid telah mengatakan perkataan yang besar sehingga para ulama mengkritiknya, ia (Al Ghazali) berkata, "Tidak ada yang lebih indah dalam qudrah (kemampuan) Allah daripada (terciptanya) alam ini dalam hal kekokohan dan keindahannya. Andaikan dalam qudrah-Nya ada yang lebih indah atau lebih kokoh dari alam ini namun Dia tidak melakukannya, maka hal tersebut menghilangkan sifat kemurahan yang Ia miliki, dan itu adalah mustahil." Kemudian ia (Ibnul 'Arabi) berkata: Tanggapan dari pernyataan tersebut adalah bahwa ia (Al Ghazali) telah jauh dari keyakinan terhadap qudrah yang dipahami secara umum dan ia membantah penentuan taqdir dan hal-hal yang berhubungan dengannya yang telah selesai pembahasannya, hanya saja takdir tersebut telah selesai pembahasannya pada tema seputar alam ini saja, bukan dalam selainnya. Pernyataan Al Ghazali di atas adalah pendapat para ahli filsafat yang dimaksudkan untuk membolak-balikan fakta, sebagaimana pemikiran mereka yang mengatakan bahwa kesempurnaan adalah sebuah hasil dari proses kehidupan dan keberadaan adalah hasil dari proses mendengar dan melihat, sehingga hati manusia menjadi sulit untuk menemukan kebenaran. Umat telah bersepakat untuk menyelisihi keyakinan di atas (dan mereka menyatakan), "Sesungguhnnya apa-apa yang telah ditaqdirkan itu tidaklah memiliki akhir, bagi setiap yang ditakdirkan memiliki keberadaan (wujud) dan tidaklah setiap hasil itu memiliki keberadaan (wujud), karena al qudrah itu selalu tepat." Kemudian ia (Ibnul 'Arabi) melanjutkan: Pendapat seperti ini (pendapat Al Ghazali) tidak pernah dibenarkan oleh Allah dan harus dihilangkan....[6] Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 4. Al-Qadli ‘Iyad (544 H) Ia Berkata: Syaikh Abu Haamid (Al Ghazali) memiliki karangan-karangan yang berlebihan dalam membahas tarekat sufinya dan memuat berita-berita yang keji yang tiada bandingnya dalam rangka membela mazhabnya. Sehingga ia menjadi seorang penyeru kepada jalan tersebut. Beliau telah menyusun karangan yang terkenal [7] sehingga ia harus (menerima celaan) karena beberapa perkara yang ada pada tulisannya itu, sehingga buruklah sangkaan umat terhadapnya. Allah lebih mengetahui tentang rahasia-Nya. Perintah penguasa berlaku bagi kami di Maroko dan para fuqaha (ahli fiqih) telah ber-fatwa agar membakar kitab tersebut dan menjauhinya, maka (perintah) itupun ditaati [8] Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 5. Ibnu Al-Jauzi (597 H) Beliau berkata dalam (kitab) Al Muntazham jilid 9 hal 169-170: Beliau (Al Ghazali) mulai menulis kitab Al Ihya di kota Al Quds (palestina) kemudian menyempurnakannya di Damaskus. la menulis dengan mendasarkan kepada aliran sufi serta meninggalkan pemahaman yang benar dalam penulisan (kitabnya) tersebut. Sebagai contoh, seseorang yang ingin menghapus kewibawaanya (agar tidak dihormati) dan berusaha menahan hawa nafsunya, maka dia masuk kamar mandi dan memakai baju yang bukan miliknya, kemudian memakai bajunya di atas baju (yang bukan miliknya tadi), lalu ia keluar sambil berjalan perlahan-lahan sehingga orang-orang mendapatinya, kemudian mereka pun mengambil pakaian tersebut darinya dan kemudian dia dinamakan 'pencuri kamar mandi'. Cara seperti ini dalam mengajar murid adalah cara yang buruk karena pemahaman yang benar menghukuminya dengan keburukan. Hal itu disebabkan bahwa kamar mandi itu memiliki penjaga, maka pencuri tersebut (seharusnya) dipotong (tangannya). Selain itu tidak halal bagi seorang muslim untuk melakukan sesuatu yang membuat orang tergoda untuk menzhalimi haknya. Dan ia menyebutkan bahwasanya seorang lelaki membeli daging dan ia malu membawa daging tersebut ke rumahnya, maka ia meggantungkannya di leher dan berjalan. Ini juga termasuk sebuah keburukkan (yang ada dalam Ihya) dan yang seperti itu banyak sekali, namun bukan di sini tempat untuk menjelasannya. Sungguh telah saya kumpulkan kesalahan-kesalahan kitab ini (dalam sebuah karangan tersendiri dan sayaa beri judul I'IamuI Ahya bi Aghlaathil Ihya dan saya juga telah menyinggung sebagian hal tersebut dalam kitab saya yang berjudul Talbis Iblis. Juga seperti apa yang tersebut di dalam kitab An Nikah (di Ihya) bahwasanya Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Engkaulah yang mengaku bahwa engkau adalah utusan Allah." Pernyataan ini tidak mungkin (diucapkan oleh 'Aisyah). Sesungguhnya yang menyebabkan berpalingnya (Al Ghazali) dari pemahaman yang benar dalam apa-apa yang dia tulis adalah karena ia menekuni (aliran) sufi dan dia berpendapat bahwa keadaan orang-orang sufl itu adalah sebagai tujuan. Ia berkata, "Sesungguhnya saya mengambil metode ini dari Abu Ali Al Farmadzi.[9] Saya mengikuti apa yang telah ditunjukkan olehnya berupa kewajiban-kewajiban dalam peribadatan dan terus-menerus (istimrariyah) dalam zikir se-hingga saya berhasil melalui rintangan-rintangan (dalam peribadatan) itu walaupun saya dibebani kesulitan. Namun saya tetap tidak mendapatkan apa yang saya cari." Kemudian ia melihat kitab Abu Thalib Al Makki [10] dan perkataan orang-orang sufi yang terdahulu, sehingga ia lebih tertarik kepadanya daripada apa yang dituntut oleh pemahaman yang benar. Dia membawakan hadits-hadits yang maudlu' (palsu) di dalam kitab Al Ihya dan tidak sedikit pula hadits-hadits yang tidak sah, hal itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan dia tentang hadits. Maka alangkah baiknya apabila ia memperlihatkan terlebih dahulu hadits-hadits tersebut kepada mereka yang mengetahuinya. Akan tetapi (dalam hal ini) ia hanyalah menukil, sebagaimana seorang pencari kayu bakar yang mencari kayu bakarnya di malam hari. Dahulu sebagian orang sangat mencintai kitab Al Ihya, oleh karena itu saya jelaskan kepada mereka aib-aibnya, kemudian saya tulis untuk mereka kitab yang seperti itu (kitab Minhajul Qashidin) dan saya buang apa-apa yang mesti dibuang dan saya tambah apa yang pantas untuk ditambah. Dalam kitab Shaidul Khathir hal. 374 ketika berbicara tentang kesalahan-kesalahan Al Ghazali di dalam sejarah, beliau (Ibnul Jauzi) berkata: Saya melihat hal-hal yang membingungkan dalam kitab Ihya' Ulumudin karya Al Ghazali yaitu percampuran antara hadits-hadits dan sejarah-sejarah, maka saya kumpulkan kesalahan-kesalahannya di dalam suatu kitab. [11] Beliau (Ibnul Jauzi) berkata dalam (kitab) Talbis Iblis (hal 186): Abu Hamid Al Ghazali datang (kepada suatu kaum), kemudian menulis Kitab Al-Ihya bagi mereka berdasarkan metode kaum sufi dan memenuhiniya dengan hadits-hadits yang batil yang ia tidak mengetahui kebatilannya. la juga berbicara tentang ilmu mukasyafah yang telah keluar dari pemahaman yang benar. Dan ia (Al Ghazali) berkata, "Sesungguhnya maksud dari bintang matahari dan bulan yang dilihat oleh Nabi Ibrahim shalawatullah 'alaihi adalah cahaya-cahaya yang merupakan hijab (tabir) Allah Azza wa Jalla dan bukannya (hakiki) seperti apa yang kita telah ketahui dan ini termasuk dalam bentuk ucapan para pengikut aliran Bathiniyyah." Beliau (Ibnul Jauzi) berkata dalam Minhajul Qaashidiin (hal. 3 dalam ringkasannya) [12]: Ketahuilah bahwasanya dalam kitab Al Ihya ini terdapat kerusakan-kerusakan yang hanya dapat diketahui oleh para ulama. Yang terkecil dari kerusakan tersebut adalah terdapatnya hadits-hadits yang batil, maudlu' dan mauquf kemudian ia menjadikannya marfu'. Dan ia hanya menukil sebagaimana yang telah ia terima, bukan karena ia (sengaja) berdusta dengannya. Tidak sepantasnya seseorang beribadah dengan hadits maudlu' (palsu) dan tertipu dengan lafazh yang dibuat-buat. Bagaimanakah saya bisa ridla terhadapmu yang shalat sepanjang siang dan malam padahal tidak ada satu kata pun dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkan tentang hal itu? Bagaimanakah saya membiarkan telingamu mendengar ucapan orang-orang sufi yang dikumpulkan dan dianjurkan (oleh Al Ghazali) untuk diamalkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, baik berupa perkataan-perkataan mereka tentang kebinasaan, kekekalan, perintah untuk berlapar-lapar, keluar untuk mengembara tanpa keperluan dan masuk ke padang luas tanpa membawa bekal? Selain itu saya telah menyingkap kekeliruannya dalam kitab saya yang berjudul Talbis Iblis dan saya akan menulis bagimu suatu kitab (yaitu Minhajul Qaashidiin) yang bersih dari kerusakan-kerusakan dan tidak kosong dari faedah. Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 6. An Nawawi (676 H) An Nawawi pernah ditanya tentang shalat raghaib yang sering dilakukan orang di malam Jum'at pertama di bulan Rajab, apakah ia merupakan sunnah, keutamaan ataukah bid'ah? Maka beliau menjawab: la adalah bid'ah yang buruk lagi diingkari dengan pengingkaran yang sangat keras. Kemudian ia berkata: Janganlah kamu tertipu dengan banyaknnya orang yang melakukan amalan tersebut di banyak negeri dan tidak pula karena ia disebutkan dalam (kitab) Quutul Qulub atau Ihya Ulumuddin dan semisalnya maka sesungguhnya shalat itu adalah bid'ah yang batil. Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 7. Ibnu Taimiyah (728 H) Beliau berkata dalam Dar-u Ta'arudl Al Aql wa An Naql jilid 5 hal 347: Abu Hamid menyebutkan dalam kitab Al Ihya perkataan yang panjang tentang ilmu zhahir dan batin. la (Al Ghazali) berkata, "Ada sekelompok orang yang menta'wil apa-apa yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Ta'ala dan menyikapi apa-apa yang berkaitan dengan akhirat secara zhahir dan mereka melarang ta'wil yang berkenaan dengan akhirat tersebut. Mereka adalah kaum Asy'ariyah yakni orang-orang yang akhir dari mereka yang setuju dengan penulis (kitab) Al Irsyad." la (Al Ghazali) berkata, "Orang mu'tazilah menambahi (ta'wil) mereka, sehingga dia menta'wilkan pendengaran Allah, penglihatan-Nya, ru'yah-Nya di hari kiamat dan mi'raj tidak dengan jasad. Mereka menta'wilkan adzab kubur, mizan (timbangan), sirath (jembatan yang melintang di atas neraka) dan beberapa hukum tentang akhirat, akan tetapi mereka mengakui pengumpulan jasad di Mahsyar dan Surga dan termasuk makanan mereka (para penghuni surga)." Aku (Ibnu Taimiyah) berkata: Ta'wil mizan (timbangan), shirat (jembatan yang melintang di atas neraka), adzab kubur, pendengaran dan penglihatan hanyalah ucapan orang-orang Baghdad dari aliran mu'tazilah, adapun orang-orang Bashrah tidak. Abu Hamid berkata, "Perbuatan mereka sampai batas ini memberi kekuatan bagi orang-orang filsafat, maka mereka menta'wilkan setiap apa yang datang di hari akhir dengan masalah-masalah aqliyah ruhaniyah dan kelezatan-kelezatan yang masuk akal..." Sampai ia berkata, "...merekalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam ta'wil dan batas pertengahan antara dua hal ini amat tipis, sulit dan tidak jelas sekaligus tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang diberi taufiq, yaitu orang-orang yang mampu mengetahui banyak hal dengan cahaya ilahi tidak dengan pendengaran (semata). Kemudian apabila telah tersingkap bagi mereka rahasia-rahasia urusannya dengan memperhatikan pendengaran dan lafadz-lafadz yang datang, jika sesuai dengan apa yang mereka saksikan dengan cahaya keyakinan maka akan mereka tetapkan (terima), jika menyelisihi maka akan mereka ta'wilkan. Maka siapa yang berpegang dengan dalil-dalil naql maka ia tidak memiliki pijakan yang kuat" Aku (Ibnu taimiyah) berkata: Kandungan ucapan ini adalah bahwa tidak dapat diambil manfaat apapun dari hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang berupa masalah-masalah ilmiah dan bahkan semua manusia dapat mema-hami segala masalah tersebut dengan mushyahadah (penglihatan), nur dan muksasyafah yang dimilikinya. Ini adalah dua dasar yang membawa kepada kekufuran, karena setiap orang yang mengaku mendapatkan penyingkapan (kasayf) apabila ia menimbangnya (dan sesuai) dengan Al Quran dan As Sunnah maka ia akan mendapati kebenaran. Jika tidak, maka mereka masuk ke dalam kesesatan-kesesatan. Beliau rahimahullah juga berkata dalam (kitab) Dar'ut Ta'aarudl jilid 7 hal 149 setelah menukil tulisan panjang dari Al Ihya kemudian ia mengkritik dan mengomentarinya: Abu Hamid tidaklah memiliki pengetahuan tentang atsar-atsar nabawi salafi yang dimiliki oleh ahli ilmu yaitu orang-orang yang membedakan antara yang shahih dan yang dlaif/lemah. Oleh karena itu ia pun memasukkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang maudlu' (palsu) dan dusta di dalam kitab-kitabnya yang apabila beliau tahu bahwa itu adalah palsu niscaya ia tidak akan memasukkannya. la rahimahullah berkata dalam Majmu' Fa-tawa jilid 17 hal 362 dalam penjelasannya tentang sifat dan nama-nama Allah dan kritikannya terhadap perkataan kaum filsafat: Abu Hamid dalam Al Ihya menyebutkan ucapan orang-orang yang menta'wil dari aliran ahli filsafat dan berkata, "Sesungguhnya mereka berlebih-lebihan dalam ta'wil sedangkan pengikut Hambali (Hanabilah) berlebih-Iebihan dalam kejumudan (kaku)." la (Al Ghazali) menyebutkan dari Ahmad bin Hambal perkataan yang belum dikatakan oleh Ahmad. [13] Sesungguhnya beliau tidak mengetahui apa yang dikatakan oleh Ahmad dan tidak pula apa yang datang dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 8. Adz Dzahabi (748 H) Beliau berkata dalam As Siyar An Nubala' jilid 19 hal 339: - Di dalam (kitab) Al Ihya banyak terdapat hadits yang batil. Selain itu juga terdapat kebaikan yang banyak seandainya tidak dimasukkan di dalamnya adab-adab, perjalanan-perjalanan dan kezuhudan yang berasal dari cara-cara ahli hikmah dan orang-orang sufi yang menyimpang. Kita memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat. Tahukah engkau ilmu yang bermanfaat itu? Ilmu yang bermanfaat adalah apa-apa yang ada di Al Qur'an dan ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam secara lisan atau perbuatan. Sampai ia berkata: Hati-hatilah kamu terhadap pendapat para pengikut filsafat, kewajiban-kewajiban (kebiasaan) ahli latihan jiwa (riyadlah), laparnya para rahib dan perkataan-perkataan dari orang yang kurang akal yang suka berkhalwat (menyepi). Setiap kebenaran adalah yang sesuai dengan ajaran Islam yang lurus dan mudah, Ya Allah tolonglah, Ya Allah tunjukkanlah kami kepada jalan-Mu yang lurus. Beliau rahimahullah berkata juga dalam (kitab) Mizanul I'tidal jilid 1 hal 431 dalam biografi Al Harits Al Muhasibi setelah menukil dari Abu Zur'ah tentang larangannya membaca Kitab-kitab Al Harits, ia berkata: Bagaimanakah seandainya beliau melihat tulisan-tulisan Abu Hamid Al Ghazali At Thusi dalam Al Ihya yang di dalamnya banyak terdapat hadits-hadits palsu. Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 9. Tajuddin As-Subki (771 H) Beliau berkata dalam (kitab) Thabaqat Asy Syafi'iyyah jilid 4 hal 145 dalam biografi Al Ghazali: Di pasal ini aku kumpulkan semua hadits yang ada di kitab Al Ihya yang belum aku dapatkan sanadnya. Beliau (As Subki) berkata: Jumlah hadits-hadits itu sekitar 943 hadits (yang tidak ada asalnya). Sedangkan hadits yang punya sanad tetapi dlaif atau maudlu' barangkali berlipat ganda dari jumlah ini! As Subki [14] juga berkata saat ia membantah terhadap penolakan At Thurthusi dan Al Maazari [15] atas Al Ihya: Adapun apa-apa yang dicela dalam Al Ihya tentang pendlaifan sebagian hadits-haditsnya, adalah benar karena telah diketahui bahwasanya Al Ghazali tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hadits. Dan umumnya berita-berita dan atsar-atsar yang ada di dalamnya merupakan (nukilan) dari berbagai macam kitab orang sufi dan para fugaha (ahli fiqih) sebelumnya. Dan orang ini (Al Ghazali) belum pernah menjelaskan sanad untuk satu hadits pun. Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 10. Ibnu Katsir (774 H) Beliau berkata dalam kitab Al Bidayah wan Nihayah jilid 12 hal. 174 tentang Al Ghazali: Dalam masa tersebut ia menulis kitab yang berjudul Ihna Ulumuddin yang merupakan kitab yang mengherankan dan mencakup banyak ilmu dari ilmu-ilmu syari'at. Kitab ini telah tercampur dengan sesuatu yang halus yang berasal dari (ajaran) tasawuf dan amalan-amalan hati. Akan tetapi di dalamnya terdapat hadits-hadits yang aneh, mungkar dan maudlu'(palsu), sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab cabang yang dapat diambil darinya hukum halal dan haram. Akan tetapi kitab Ihya ini berguna untuk melunakkan hati, memberi kabar gembira dan mengancam (akan azab). Abul Faraj Ibnul Jauzi begitu juga dengan Ibnu Ash Shalah telah berulangkali mencela Al Ghazali, bahkan Al Maazari ingin membakar kitab Ihya Ulumuddin tersebut. Begitu juga dengan yang lainnya yang tinggal di belahan bumi bagian barat. Mereka berkata, "(Kitab Ihya) ini adalah kitab penghidup ilmu-ilmu agamanya (Al Ghazali). Sedangkan kami, menghidupkan ilmu-ilmu agama kami dengan kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Rasul-Nya." Sebagaimana yang telah saya tulis pada biografinya dalam kitab At Thabaqat. [16] Sungguh Ibnu Syakr telah meneliti di beberapa tempat dalam Ihya Ulumuddin sekaligus menjelaskan penyimpangannya dalam sebuah kitab yang bermanfaat. Al Ghazali sendiri pernah berkata, "Perbendaharaanku dalam ilmu hadits sangat sedikit." Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 11. Abul Abbas Al Qabbab (779) Beliau berkata dalam menjawab sebuah pertanyaan yang dilontarkan kepadanya tentang tasawuf dan tarekat-tarekatnya: Aku senantiasa berharap agar Allah mentaqdirkan adanya sekelompok orang yang matang dalam beberapa bidang ilmu dan aku juga berharap agar Allah memudahkan jalan (bagi mereka) untuk membuat ringkasan kitab Ihya, karena sesungguhnya kitab itu adalah kitab mencakup beberapa bidang ilmu yang dibutuhkan yang tidak terdapat dalam (kitab-kitab) yang lainnya. Terutama tentang hal-hal dan aktifitas-aktifitas yang dapat merusak muamalah (hubungan sesama manusia). Di dalamnya juga terdapat cara untuk mengetahui aib diri (introspeksi) serta cara menanggulanginya. Tetapi sayang sekali kitab ini telah dikotori oleh pengambilan dalil dari hadits-hadits yang lemah sanadnya, yang dapat membahayakan orang yang tidak mengerti manakala dia menghadap Allah. Karena dia berkeyakinan bahwa semua dalil yang ada di dalamnya benar dan tanpa ada celanya. Hal yang terberat bagi saya adalah apa yang ia sering sebut dengan ilmu mukasyafah (penyiingkapan) yaitu apa yang disebut oleh Syaikh Abu Muhammad Al Fisytaali dengan "ilmu ghaib". Sesungguhnya dalam ilmu tersebut terdapat hal-hal yang dasarnya tersembunyi sehingga tidak diketohui oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu tidaklah membahayakon orang-orang awam ketika mereka mendengarkannya dan ilmu itu tersembunyi bagi kebanyakan orang yang tidak memahaminya. [17] Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 12. Shalih bin Mahdi Al-Maqbali (1108 H) Beliau berkata dalam kitab Al Abhats A Musaddadah fi Funuunin Muta'addidah hal 412: Ibnu Abbas berkata dalam hadits yang panjang pada kitab Shahih Bukhari dan Muslim ketika menyebutkan tentang kekhilafahan, "Sungguh Umar berjanji akan berbicara begitu tiba di Madinah." la (Ibnu Abbas) berkata, "Ketika itu hari Jum'at aku bersegera untuk bicara pada waktu sore yaitu ketika matahari telah tergelincir ke arah barat." Ibnu Ahbas memandang bahwasanya ia terlalu tergesa-gesa. Tidak ada atsar yang shahih dari salaf yang menyelisihi riwayat ini, Maka janganlah tertipu dengan igauan Al Ghazali [18] dan orang-orang yang sepertinya yang mengatakan, segera pergi di malam hari atau hari Kamis. [19] Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 13. Abdul Latif Al Hambali (1292 H) [20] Beliau berkata dalam sepucuk surat yang ia kirim kepada beberapa temannya yang membaca Al Ihya dan membacakannya di hadapan sebagian orang-orang awam: Saya beritahukan kepada mereka tentang penyimpangan-penyimpangan yang zhalim di dalam (kitab) Al Ihya dan juga ta'wil-ta'wil yang sesat yang merugikan dan perkataan yang fasih yang mengangdung penyakit yang terpendam dan filsafat yang dijadikan dasar agama. Sedangkan Allah telah memerintahkan dan mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk berittiba' (mengikuti) Rasul-rasul-Nya dan untuk beriltizam (istiqomah) di atas jalan orang-orang yang beriman. Ini adalah dasar yang kokoh dan ini adalah satu-satunya yang dapat menegakkan Islam. Dalam Al Ihya, beliau (Al Ghazali) menempuh cara kaum filsafat dan mutakalimin (ahli kalam) dalam kebanyakan pembahasannya tentang ilahiyah (ketuhanan) dan dasar-dasar agama Ia membungkus filsafat itu dengan baju syari'ah, sehingga orang-orang yang tidak mengerti akan kebenaran mengira bahwa ini adalah bagian dari ajaran agama Allah yang dibawa oleh para rasul-Nya dan termaktub dalam kitab-kitab-Nya. Banyak orang menerima hal tersebut dan mengira bahwa ini adalah sebuah kebenaran padahal sebenarnya merupakan ajaran filsafat yang hanya bisa dimengerti (kesalahannya) oleh orang-orang berilmu saja dan hanya mampu dicerna oleh orang-orang yang berpengetahuan cukup di berbagai bidang. Semua orang yang mengetahui pasti akan menolak dan membantah ilmu tersebut di mana pun ia berada, baik itu di desa-desa maupun di kota-kota. Para ahli ilmu telah memperingatkan manusia untuk tidak memperhatikan dan mempelajari ilmu filsafat tersebut, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Bahkan para ulama yang berada di belahan barat yang telah memahami sunnah, berfatwa agar membakar (kitab-kitab) filsafat. Banyak di antara mereka yang menamakan kitab Ihya 'Ulumuddin dengan nama "Imatatu 'Uluumuddin" (pemusnahan ilmu-ilmu agama).[21] Ibnu 'Aqiil termasuk seorang yang paling keras mencela dan memburukkan sekaligus menerangkan kebatilan-kebatilan yang ada di dalam kitab Al Ihya yang berupa kepalsuan dan penambahan yang tidak berasal dari lafazh hadits. Dan ia memastikan bahwa mayoritas tulisan-tulisan Al Ghazali bernafaskan kezindiqan yang murni sehingga tidak dapat diterima sama sekali.[22] Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 14. Mahmud Sukry Al-Alusi (1342 H) Beliau telah menukil perkataan yang panjang dari (kitab) Ghayatul Amaani jilid 2 hai. 370-371 tentang pendapat para ulama seputar Al Ghazali dan kitab Ihya-nya, kemudian ia berkata seraya menerangkan kesalahan-kesalahannya: Kritikan kepada Abu Hamid dan penjelasan tentang apa yang dikritik tidaklah cukup untuk diutarakan di sini dan apa yang telah kami sebutkan di atas sudah cukup untuk maksud tersebut. [23] Di antara hal yang membuatku heran adalah adanya orang-orang bodoh mengaku bahwa dirinya memiliki ilmu dan kebaikan, padahal dia tidak memiliki keduanya. la mengenakan pakaian seperti yang dikenakan oleh orang-orang yang memiliki dua keutamaan tersebut, melilitkan sorbannya dan menyisir jenggotnya. (Kemudian Al Alusi melantunkan sebuah bait sya'ir yang berbunyi: Orang jahil menyangka bahwa orang itu sebagai Seorang syaikh yang duduk di atas kursi dengan .. sorban yang ia pakai. Sungguh buku tersebut benar-benar diminati oleh orang-orang awam karena di dalamnya berisi cerita-cerita dusta dan dugaan-dugaan. Ia melihat bahwasanya tidak ada seorang pun dari mereka (orang-orang awam) yang menentang dirinya akan hal tersebut. Maka ia tidak jauh berbeda dengan orang yang berbicara semaunya di antara kuburan-kuburan. Sehingga terbayang olehnya bahwa dialah yang termasuk dari ulama-ulama di dunia ini dan ia tidak mengetahui bahwasanya ia lebih bodoh dari bayi yang baru berumur 3 hari. Sungguh ia (Al Ghazali) menyebut (kitab) Al Ihya sambil memujinya dengan pujian yang indah dan menyanjungnya dengan semua sanjungan-sanjungan yang terlintas dalam fikirannya. Maka aku katakan kepadanya: Sesungguhnya dalam kitabnya itu terdapat hadits-hadits palsu dan masalah-masalah filsafat yang telah keluar dari syari'at dan pemikiran-pemikiran yang benar-benar menyalahi sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Atas dasar itulah maka para ahli ilmu yang terpercaya dalam keilmuan mereka tidak menganggap keberadaan kitab tersebut, sehingga di antara mereka ada yang menulis suatu kitab yang menjelaskan hadits-hadits yang ada di dalamnya. Lalu ia memandangku dengan sinis. Hampir saja ruhnya berpisah dari badan karenanya Kemudian ia berkata, "Bagaimana engkau bisa mengatakan perkataan ini padahal Al Allamah Az Zabiidi telah menjelaskannya (mensyarahkannya), mentakhrij hadits-haditsnya dan menerangkan rahasia-rahasianya?" Maka aku berkata kepadanya: Sesungguhnya Az Zabiidi tidak termasuk orang yang ahli di bidang ini. Bukan pula orang yang mumpuni dalam masalah ini dan dia hanyalah orang yang memiliki sedikit pengetahuan tentang bahasa dan sebagian ilmu-ilmu Arab. Perkataan orang yang seperti dia dalam masalah jarh (menjelaskan keburukan) dan ta'dil (menjelaskan kebaikan) tidak dapat diperhitungkan. la termasuk dari para penyembah kubur yang melampaui batas, yang menyeru kepada bid'ah-bid'ah mereka. Ketika ia mendengar apa yang menyelisihinya maka ia berpaling dan menjauh. Ia pun tidak memperhatikan dan mendengarkan apa yang aku katakan, maka akupun berkata: Aku harus mengukir beberapa bait syair dari hal-hal yang berharga namun bukan salahku apabila ada sapi yang tidak dapat memahaminya Perkataan yang benar itu sekarang terasa berat untuk didengarkan terutama oleh orang-orang yang menyimpang dan ahli bid'ah. Maka wajib bagi orang yang bijak untuk menyesuaikan diri dengan kebenaran dan mengikuti kebenaran tersebut. Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 15. Ibnu Hamdain Al-Qurthubi (?) Beliau berkata: Sebagian ahli nasehat yang berpegang dengan pemahaman (yang benar) berlepas diri dan meninggalkan pemahaman tersebut, karena cintanya yang mendalam kepada ajaran dan kebiasaan Al Ghazali, serta ajaran-ajaran sufi. Kemudian mereka pun menulis karangan yang berisi tentang kefanatikan mereka terhadap Abu Hamid (Al Ghazali) Imam bid'ah mereka. Lalu dimanakah tanggung jawab Al Ghazali atas para pengikutnya ini dan atas kesesatan ajarannya terhadap agama ini? Dia menyangka bahwasanya hal itu termasuk dalam ilmu mu'amalah yang dapat mengantarkan manusia kepada ilmu mukasyafah (penyingkapan) yang diyakini dapat menyingkap rahasia ketuhanan (rububiyyah) serta membuka semua tabir yang menutupinya. Tidak ada yang dapat menyingkapkan hal tersebut, kecuali orang yang mau ikut tersesat dalam jalan yang ia tentukan dan mengikuti apa yang ia perintahkan. [24] Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 16. Ibnu Qathan (?) Beliau berkata dalam kitabnya yang berjudul Nazhmul Juman fi ma Salafa min Akhbaariz Zamaan: ...Tatkala kitab Ihya Ulumuddin sampai di Kordova orang-orang berbicara tentang keburukan-keburukannya dan mengingkari beberapa masalah yang ada di dalamnya terutama hakim Kordova yaitu Ibnu Hamdain. Sesungguhnya ia (Ibnu Hamdain) telah berlebihan dalam hal itu, sampai-sampai ia mengkafirkan penulisnya (Al Ghazali), kemudian mengajak penguasa wilayah tersebut untuk mengambil persaksian dari para ahli fikihnya, sehingga ia dan para ahli fikih itu pun bersepakat untuk membakarnya. Maka Ali bin Yusuf memerintahkan (untuk membakarnya) berdasarkan fatwa dari mereka. Dan kitab itu pun dibakar termasuk kulit-kulitnya di Kordova tepatnya di sebelah barat halaman masjid setelah disirami minyak. Hal itu disaksikan oleh orang banyak dan beliaupun memerintahkan kepada seluruh penduduk negerinya untuk membakar kitab tersebut. Berturut-turutlah terjadi pembakarannya, bahkan sampai ke negeri Maroko pada saat itu.[25] Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 17. Muhammad Nashiruddin Al-Albani (1407 H) Beliau rahimahullah berkata dalam pernyataannya tentang penyalinan kitab Al Mughni 'An Hamlil Asfaar fil Asfar fi Takhrij ma fi Al Ihyaa min Akhbar, di awal kehidupan keilmuannya dan komentar-komentar beliau atas kitab tersebut: Aku begitu terkesan (dengan Al Ihya) terutama yang berkaitan dengan akhlak, ikhlas, jauhnya dari (sifat) 'ujub dan tipuan dengan membaca beberapa bab dan pasal dengan seizin Allah SubhanahuwaTa'ala. Ketika aku sedang menyalin hadits-hadits yang telah ditakhrij oleh Al Hafizh Al 'Iraqi yang hal itu telah membawaku untuk membaca suatu pasal yang telah diuraikan oleh Al Ghazali dengan menurunkan hadits-hadits tersebut, maka aku dapat mengambil manfaat yang banyak sekali darinya. Akan tetapi, olhamdulillah, aku tidaklah terpengaruh dengan kesufian, ilham-ilham dan ta'wil-ta'wilnya yang dapat menjauhkan aku dari madzhab salaf dalam beberapa pemikiran dan masalah-masalah 'aqidah (keyakinan), seperti pe-ngingkarannya terhadap istiwa' (bersemayamnya Allah di atas 'Arsy). Begitu juga dengan perkataannya bahwa Allah membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup untuk melakukannya. Dan hal-hal lainnnya yang me-nyimpang karena ia telah mempelajari ilmu kalam dan penyimpangan sufi. [26] Beliau berkata dalam kitab Silsilatul Ahaditsidl Dla'ifah jld 1 hal 18: Betapa banyak hadits-hadits dalam Ihya yang telah ditetapkan bahwa (hadits tersebut) berasal dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam padahal Al Hafizh Al Iraqi dan lain-lainnya berkata tentang hadits-hadits tersebut, "Hadits-hadits itu tidak ada asalnya. (Kemudian dalam kitab Tahrim Alatuth Tharb hal.178-179) beliau berkata: “Untuk penutup aku katakan: Kalaulah tidak ada kesialan dari nyanyian kaum sufi tersebut kecuali perkataan seorang dari mereka, "Mendengarkan nyanyian itu lebih bermanfaat bagi para murid daripada mendengarkan Al-Quran!" Niscaya cukup!! Ketika aku membaca pemyataan ini dalam kitab Ibnul Qayyim, Masalat Al Sama' (1/161) aku tidak meyakini bahwa perkataan ini diucapkan oleh seorang muslim sehingga aku menjumpai perkataan tersebut dalam kitab Ihya Ulumuddin (II/298) karya (Imam) Al Ghazali dengan ibarat yang mutlak tanpa ada kata "Murid", dengan sangat disayangkan sekali! Dan dia menguatkan (perkataan tersebut) dengan melontarkan kepada dirinya pertanyaan dan sanggahannya, yang ringkasannya sebagai berikut, "Apabila benar bahwasanya kalamullah ta'ala (Al Quran) itu lebih utama daripada nyanyian, lalu mengapa mereka tidak berkumpul atas seseorang pembaca Al Quran?" Maka ia menjawab, "Ketahuilah bahwasanya nyanyian itu lebih mengoncangkan hati bagi mereka yang sedang tidak sadarkan diri daripada Al Quran dari tujuh segi...!" Kemudian ia menuliskan keterangannya lebih dari dua halaman besar, yang akan mengagetkan para pembahas, bagaimana mungkin perkataan tersebut dapat keluar dari seorang ahli fikih yang termasuk pembesar mazhab Syafi'i, bahkan orang-orang yang kami agungkan menyebutnya sebagai 'Hujjatul Islam' dan bersamaan dengan itu perkataannya ini ngelantur sekali dengan tanpa didasari dengan ilmu serta pemahaman (yang benar), yang (hal itu) dapat diketahui dari keterangannya (keterangan Imam Al Albani ini adalah tambahan dari penerjemah) Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama 18. Mahmud Mahdi Al-Istambuli Beliau, semoga Allah membimbingnya, berkata dalam Muqadimah Tahdzib Mau'izhatil Mu'minin halaman 6 seraya menjelaskan apa yang dilakukannya terhadap kitab Tahzhibnya: Di antara apa yang terpenting yang kami lakukan adalah bahwasanya kami menyebutkan suatu pembahasan tentang jihad, sehingga ringkasan itu (kitab Tahdziib) tampil sempurna. Sesungguhnya Imam Al Ghazali belum menyinggung masalah itu, meskipun hal itu sangat penting dan agung. Dan itu adalah di antara rukun Islam yang terpenting setelah iman kepada Allah. Sungguh para musuh-musuhnya telah mencela kelengahannya tersebut. Khususnya ia telah hidup sampai pada masa penyerangan pasukan salib (Nashrani) dan Tartar terhadap negara- negara kaum muslimin, menjajah sebagiannya, dan menyembelih ribuan orang penduduknya. Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama Penutup Sebagian para penulis telah menyebutkan nama kitab-kitab yang ditulis berhubungan kitab Al Ihya dengan bentuk bantahan, komentar, maupun takhrij (hadits) dan pada kesempatan penutup ini aku berkeinginan untuk menyebutkannya demi mendapatkan manfaat tanpa memberikan keterangan dan penjelasan yang panjang lebar, maka aku katakan: Ibnul Munayyir Al Iskandari telah menulis sebuah kitab yang berjudul: “Adh-Dhoya ulmutakalii fii ta’aqqubi al-Ihya lil ghazali” sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam Az Zabiidi dalam kitab Syahrul Ihya (1/33). Al Hafizh AI 'Iraaqi telah mengarang tiga buah kitab untuk mentakhrij (hadits-hadits yang ada) dalam Kitab Al Ihya: Ikhbarul ahya bi akhbaril ahya secara panjang lebar Alkasyful mu’min an takhrij Ihya Ulumuddin, yang sedang Al Mughni an Hamlil Asfar fil Asfar fi takhrij ma fil Ihya minal akhbar [27] dan yang ini adalah ringkasannya, ketiga Kitab di atas telah disebutkan oleh Ibnu Fahd dalam kitab Lahzhul Al Haazh (hal. 230-231). Al Hafizh Ibnu Hajar telah mengarang sebuah kitab yang berjudul: ‘Al-Istidrak ala takhrijul Ihya” karangan gurunya Al'Iraaqi, yang telah disebut-kan oleh Al Hafizh As Sakhawi dalam kitab Al Jawahir Wad Durar (153 a) Al Hafizh Al Qasim bin Quthlubughaa pun telah mengarang sebuah kitab yang berjudul: Tuhfatul Ahya fii maa faata min takhrijil Ihya sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Haaj Khalifah dalam kitab Kasyfu Az Zunuun (I/24). Dan Abul Hasan Ibnu Sakar sebuah kitab yang berjudul: Ihyaul Mamaitil Ahya fii Radd Ala Kitabil Ihya. Dan Syekh Abdul Haq Al 'Utsmani memiliki satu kitab yang berjudul: Tadzkiratul Asfiya bi Tasfiytil Ihya. sebagaimana yang telah disebutkan oleh Dr. Jamil Ahmad dalam kitabnya yang berjudul: Harakatul taalif bi lughotil Arabiyah (h. 425), Kemudian sampailah kepadaku salinan naskah yang dikirim darinya. Syaikh Taqiyuddin Al Hishni telah mengarang sebuah kitab yang berjudul: Takhrijul Haditsil Ihya yang telah disebutkan oleh As Sakhaawi dalam kitabAdlau-ul Laami (XI/81). Dan Saudaraku Syekh 'Abdullah As Sabt memiliki sebuah kitab khusus yang membongkar kekeliruan-kekeliruan kitab Ihya 'Ulumuddin yang ia isyaratkan pada risalahnya yang berjudul Shuufiyaatu Syekhul Azhar (hal 43). Amma ba'du, Inilah komentar-komentar para ulama' dan ahli tarikh (sejarah) yang dapat aku temukan terhadap kitab Ihya' Ulumuddin karangan Al Ghazali. Jika pilihan-pilihanku benar maka itu atas berkat karunia dan rahmat Allah dan apabila salah maka itu disebabkan oleh kekurangan dan kesalahanku. Aku mohon ampunan kepada Allah Dzat yang Maha Agung atas dosa-dosa yang dahulu maupun yang sekarang, baik yang zhahir (nampak) maupun yang batin (tersembunyi). Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang dan penutup do'aku: Segala puji bagi Ailah, Rabb semesta alam. Abul Harits 'Ali bin Hasan bin 'Abdul Hamid mengatakannya dengan lisannya dan menulisnya dengan penanya di Az Zarqo' Yordania, tanggal 18 Rabi'uts Tsani 1406 H dan bertepatan dengan 29 Desember 1985 M. Selesai diketik ulang tanggal 2 Mei 2007 Berdasarkan Buku Terbitan Darul Qalam Cetakan I tahun 2003 Yoga Buldozer e-mail : bragazoel@yahoo.co.id Ihya' Ulumuddin Dalam Pandangan Para Ulama Catatan Kaki : 1. Jika dikumpulkan semuanya tentu menyulitkan penulis, akan tetapi mudah-mudahan apa yang penulis ungkapkan sudah cukup bagi orang yang ingin mengetahuinya. 2. Nukilan perkataan beliau yang lain akan dijelaskan lebih lanjut 3. Al-Makki, penulis kitab Quutul Quluub dan Kitab ini tcrmasuk terbitan yang terkenal. 4. Perkataan ini terdapat di dalam kitab-kitab mantiq, sebagaimana tertulis dalam Kasyfudz Dzunnun jilid II hal. 1055. Lihat juga perkataan Syaikhul Islam seputar masalah ini dalam Majmu Fatawa jilid 13 hal. 238. 5. Adz Dzahabi berkomentar tentang hal itu dengan berkata, "Ini (adalah) atsar yang maudlu' (palsu)." 6. Al Maqbali mengomentari perkataan Al Ghazali ini di dalam Al Abhatsul Musaddadah (hal. 542) dengan perkataan-nya, "Sebenarnya dalam perkataannya tesebut terdapat pembatasan kekuasaan Allah Ta'ala dalam kenyataan dan menghukumi akal dengan tidak adanya keterbatasan qudrah dan ilmu Allah Ta'ala. 7. Yang dimaksud olehnya adalah kitab Al Ihya dengan bukti-bukti yang akan datang setelah ini. 8. Siyar A’lamin Nubala XIX/327 9. Nisbat kepada sebuah negeri dari negeri-negeri Thuus, sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Al Ansaab (1X/218) dan biografinya ada di dalam kitab Siyar A'lamin Nubala (XVIIl/294), sedangkan dalam Kitab Al Muntazham tertulis dengan keliru, yaitu Al Qaarmadzi. 10. Quutul Qulub 11. Dan Al Ghazali telah menyebutkan di kitab Al Ihya (399) dalam pembahasan kitab-kitab yang di dalamnya terdapat keburukan-keburukan yang tersembunyi serta hadits-hadits yang tidak shahih dan hal-hal yang menyelisihi syari'at. 12. Allah telah memudahkanku untuk memberikan komentar dan takhrij hadits atas kitab tersebut (Mukhtashar Minhajul Qaashidiin) dan kitab tersebut telah dicetak di Daar 'Ammar di Amman. 13. Lihat rincian ucapan ini dan bantahan pengambilan dalil dalam kitabku Manhajusy Syaikh Hasan Al Banna Fi 'Risalatil 'Aqaid dan Kitab itu sedang dicetak. 14. Dalam kitab Ath Thabaqat (IV/127) 15. (Imam Al Alusi berkata dalam Gaayatul Amaani (II/268), kemudian Ibnu As Subki menjawab sebagian apa-apa yang ditentang oleh Al Maazari Ath Thurthusyi dengan jawaban yang diwarnai dengan sifat fanatik terhadap madzhabnya sebagaimana kebiasaanya, bersamaan dengan itu ia tidaklah mungkin dapat mengingkari kejahilan Al Ghazali tentang hadits. 16. Darinya sebuah manuskrip yang ditulis semasa hidupnya di katalog Syisterbiti no.3390 17. Al-Mi’yar Al Mu’rab, Jilid 11 hal 122 18. Dalam kitab Al-Ihya (II/254). 19. Dan untuk melanjutkan apa yang Al Maqbali katakan dalam kitab Al 'Alam Asy Syaamikh (h.400), bahwasanya dia telah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam tidurnya, maka ia pun berkata: Bahwasanya beliau melarangku dalam keadaan marah, berkenaan dengan kesibukanku terhadap kitab Al Ghazali Al Ihya, dan beliau berkata, "Belumkah aku sampaikan kepadamu tentang perkataan yang mengandung petunjuk?" 20. Biografinya di dalam Mu'jam AlMuallifin (Vl/11), redaksi perkataannya ini terdapat dalam Ad Durrar As Sunniyyah (II/354), dan lihat pula beberapa redaksi yang lainnya dari anak cucunya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Ad Durar (II/170). 21. Sebagian di antara mereka memberikan nama dengan nama "pelemahan ilmu agama" 22. Al Alusi menukilnya dalam kitab Gaayatul Amani (II/369-370). 23. Dan lihatlah perkataan Al 'Allamah Siddiq Hasan Khan dalam kitab At Taajul Muklil (h.389). 24. Siyar A'lamin Nubalaa' (XIX/332) 25. Al Mi'yar Al Mu'rob jilid 12 hal 185 26. Ini ada pada kandungan makalah yang diedarkan dalam ma-jalah Ad Da'wah As Su'uudiyah edisi. 367 tgl. 26-7-1392H, bersama dengan Abdurahman bin Abdullah bin ' Aqil. 27. Kitab ini telah dicetak dan dikenal, dicantumkan dalam catatan kaki kitab Ihya 'Ulumuddin dan terakhir telah dicetak dibawah pengawasan dan penertiban syekh Abdul Fatah Abi Guddah dan aku belum menemukannya.