Islam di Simpang Jalan Judul asli : Islam at the Crossroads Penterjemah: M. Hashem Sumber : http://media.isnet.org mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Islam di Simpang Jalan Pengarang Kata Pendahuluan 1. Jalan Islam yang Terbuka 2. Semangat Barat 3. Bayangan Perang Salib 4. Tentang Pendidikan 5. Tentang Meniru 6. Hadits dan Sunnah 7. Jiwa Sunnah Kesimpulan Muhammad Asad * Kelahiran Austria (1900) dengan nama Leopold Weiss * Belajar kitab-kitab suci Yahudi - Kristen dengan bahasa Ibrani - Aramea, Polandia dan Jerman. * Belajar sejarah, falsafah dan psikologi. * Wartawan United Telegraph di Berlin (1921). * Wartawan Frankfurter Zeitung dan koresponden di Timur Tengah (1922-1926). * Masuk Islam di Berlin dan memilih nama Muhammad Asad (1926). * Tinggal di Hejaz dan Najd (Saudi Arabia) (1926-1932). * Menjelajah wilayah-wilayah negeri Islam (1932-1947) kecuali Asia Tenggara. * Bersahabat dengan tokoh-tokoh Islam, termasuk Raja Abdul 'Aziz, Ibnu Saud dan Muhammad Iqbal. * Membatalkan rencana ke Indonesia dan Asia Tenggara karena ditugaskan membentuk dan mengepalai Departemen Rekonstruksi Islam Pakistan (1947-1951). * Mengepalai bagian Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Pakistan. * Menjadi Duta Tetap Pakistan untuk PBB * Menulis Islam at the Crossroads (1935), The Road to Mecca (1952) dan The Message of the Quran. * Muhammad Asad diangkat sebagai warga negara kehormatan di berbagai negeri Islam; terakhir tinggal di Maroko. Alhamdu lillahi wahdahu wasshalatu wassalamu 'ala man la nabiyya ba'dahu. Kata Pendahuluan Jarang ummat manusia terjerumus dalam kecemasan intelektual seperti yang terjadi pada zaman kita kini. Kita bukan saja dihadapkan pada tumpukan masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan-pemecahan baru yang tidak tanggung-tanggung, tetapi juga sudut pandangan di mana masalah-masalah itu tampil di hadapan kita berlainan dengan segala yang pernah kita kenal sebelumnya. Di negeri mana saja, masyarakat telah mengalami perubahan-perubahan fundamental. Jalannya perubahan ini di mana-mana berlainan; tetapi di setiap negeri kita dapat melihat energi desak yang sama, yang tidak mengizinkan kita berhenti atau bersikap ragu-ragu. Dunia Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Di sini kita lihat pula kebiasaan-kebiasaan dan idea-idea lama menghilang dan munculnya kebiasaan dan idea-idea baru. Kemana tujuan perkembangan baru ini? Sejauh mana pencapaiannya? Sejauh mana kesesuaiannya dengan misi kultural Islam? Isi buku ini sekali-kali tidak bendak berhebat-hebat dengan memberikan suatu jawaban yang panjang lebar atas seluruh lingkup pertanyaan di atas. Karena ruangnya yang terbatas maka hanya satu dari masalah-masalah yang menghadang kaum Muslimin sekarang, yaitu sikap yang harus kita ambil terhadap peradaban Barat, telah kami pilih untuk dibicarakan. Namun cakupan yang sangat luas dari pokok masalah ini memerlukan kita untuk meluaskan penyelidikan tentang aspek-aspek dasar agama Islam, terutama berkenaan dengan prinsip Sunnah. Di sini tidak mungkin untuk memberikan lebih dari garis-garis besar melulu dari satu tema yang cukup luas untuk berjilid-jilid buku tebal. Tetapi betapapun juga --atau barangkali justru karena itu-- saya merasa yakin bahwa sketsa singkat ini akan merupakan suatu rangsangan bagi orang lain untuk pemikiran lebih jauh atas masalah yang begitu penting ini. Dan sekarang tentang diri saya sendiri; apabila seorang muallaf berkata kepada mereka, kaum Muslimin berhak mengetahui betapa dan mengapa ia memeluk agama Islam. Dalam tahun 1922 saya meninggalkan negeri saya, Austria, untuk membuat perjalanan melalui Afrika Utara dan Asia sebagai koresponden istimewa suatu koran Eropa dan sejak waktu itu saya melalukan hampir seluruh waktu saya di Timur Tengah. Perhatian saya terhadap bangsa-bangsa yang saya hubungi pada mulanya hanya sebagai perhatian seorang asing. Saya melihat di sini suatu tata masyarakat yang secara fundamental berbeda dengan pandangan hidup orang Eropa; dan sejak semula telah tumbuh dalam diri saya perasaan simpati atas kehidupan yang lebih tenang --saya seharusnya mengatakan: lebih insani-- dan konsepsi hidup yang lebih damai dibanding dengan mode hidup yang tergesa-gesa dan mekanis di Eropa. Rasa simpati ini berangsur-angsur membawa saya pada satu penyelidikan mengenai sebab-sebab perbedaan mode hidup semacam itu, dan saya jadi tertarik pada ajaran-ajaran agama Islam. Pada saat itu perhatian saya tidak cukup untuk menarik saya memeluk agama Islam, tetapi hal itu membuka pandangan baru pada saya tentang masyarakat manasia yang sedang maju, yang progresif, terorganisir dengan seminimal mungkin konflik ke sesama dan perasaan persaudaraan sungguh-sungguh yang maksimal. Namun sebenarnya kehidupan kaum Muslimin sekarang tampak sangat ketinggalan dari kemungkinan-kemungkinan ideal yang diberikan dalam ajaran-ajaran agama Islam. Segala yang dalam masa kemurnian Islam dahulunya merupakan pendorong gerak maju di kalangan kaum Muslimin, sekarang telah berubah menjadi sikap masa bodoh dan kemacetan; segala yang dalam zaman kejayaan Islam dahulunya merupakan rahmat dan kesiapsiagaan untuk berkorban, sekarang berubah menjadi kepicikan dan kehidupan seenaknya di antara kaum Muslimin. Terdesak oleh penemuan akan kenyataan ini dan dibingungkan oleh ketidaksesuaian antara dulu dan kini, saya berusaha memecahkan masalah yang dihadapkan kepada saya ini dari titik pandangan yang lebih dekat: saya berusaha membayangkan diri saya dalam lingkungan Islam. Hal itu hanyalah experimen intelektual melulu: dan ini menerangkan kepada saya, dalam waktu yang sangat singkat, penyelesaian masalah ini dengan sebenarnya. Saya menyadari bahwa satu-satunya sebab kemunduran sosial dan kultural kaum Muslimin terletak dalam kenyataan bahwa mereka secara berangsur angsur melalaikan jiwa ajaran-ajaran Islam. Islam masih ada pada mereka, tetapi tinggal jasad tanpa jiwanya. Satu-satunya unsur yang dahulu tegak mengokohkan dunia Islam sekarang menjadi sebab kelemahannya; masyarakat Islam telah dibangun sejak dari permulaannya hanya atas dasar agamawi, dan pelemahan-pelemahan unsur itu tentu melemahkan struktur kulturalnya --dan bahkan mungkin akan menyebabkan musnahnya. Makin saya mengerti betapa kongkrit dan betapa praktisnya ajaran-ajaran Islam, makin tebal hasrat saya bertanya mengapa kaum Muslimin telah meninggalkan penerapannya yang riil. Saya bicarakan hal ini dengan banyak pemuka-pemuka Islam, hampir pada semua negeri antara Lybia dan Pamir, antara Selat Bosporus dan Laut Arabia. Hal itu hampir mengikat persoalan saya seluruhnya yang akhirnya meliputi segala urusan-urusan intelektual saya dalam dunia Islam. Godaan pertanyaan itu terus menebal dalam jiwa saya --sehingga saya, seorang bukan-muslim berkata kepada seorang Muslim seakan-akan saya hendak membela Islam dari kekeliruan dan sikap masa bodoh mereka. Saya tidak melihat kemajuannya, hingga pada suatu hari --waktu itu musim semi tahun 1925 di pegunungan Afghanistan-- seorang gubernur propinsi yang muda usia berkata kepada saya: "Tetapi anda seorang Muslim, hanya anda sendiri tidak mengetahuinya". Saya terkejut oleh kata-kata itu dan berdiam diri. Tetapi ketika saya kembali ke Eropa lagi dalam tahun 1926, saya menyadari bahwa satu-satunya konsekuensi yang logis dari sikap saya itu adalah memeluk agama Islam. Demikianlah keadaan-keadaan yang berhubungan dengan menjadi Muslimnya saya. Sejak saat itu berulang-ulang saya bertanya pada diri: "Mengapa engkau memeluk agama Islam?" Dan saya harus mengaku: saya tidak tahu jawabannya yang memuaskan. Bukan karena sesuatu yang khusus pada ajaran-ajarannya yang menarik saya, tetapi seluruh strukturnya yang mengagumkan, struktur ajaran moral dan program hidup yang praktis yang tak dapat dipisah-pisahkan. Bahkan hingga pada saat ini belum dapat juga saya mengatakan aspek Islam yang mana yang lebih menarik saya dibanding dengan aspek lainnya. Islam tampak pada saya sebagai suatu karya arsitektur yang sempurna. Segala bagian-bagiannya terpadu secara harmonis untuk saling mengisi dan saling menopang, tidak ada yang berlebih-lebihan dan tidak ada yang kurang, merupakan satu perimbangan yang mutlak dan satu komposisi yang padu. Barangkali perasaan bahwa segala sesuatu dalam ajaran dan rumusan Islam adalah pada "tempatnya yang tepat" telah menciptakan kesan yang paling kuat pada saya; mungkin kesan-kesan lain juga ada bersama-sama dengan kesan itu, sukar saya uraikan sekarang. Alhasil, soal cinta, dan cinta terpadu dalam berbagai unsur, dari hasrat manusia dan kesunyiannya, dari tujuan-tujuan luhur manusia dan kekurangannya, dari kekuatan-kekuatan dan kelemahan manusia. Demikianlah halnya, Islam datang dalam jiwa saya sebagai datangnya pencuri di malam hari, tetapi tidak seperti pencuri, ia datang pada saya untuk menetap selama-lamanya. Sejak itu saya terus belajar sekuat tenaga saya tentang Islam. Saya pelajari al-Qur'an dan Hadits; saya pelajari bahasa al-Qur'an dan sejarah Islam serta sebagian besar kitab-kitab yang ditulis oleh lawan dan kawan. Saya tinggal lebih lima tahun di Hejaz dan Najd, kebanyakan di Madinah, supaya saya dapat mengalami sesuatu dari alam sekitar yang asli di mana agama ini dikhotbahkan oleh Nabi berbangsa Arab itu. Karena Hejaz merupakan pusat pertemuan kaum Muslimin seluruh dunia, saya beroleh kesempatan untuk membanding pandangan agamawi dan pandangan sosial dalam dunia Islam pada zaman ini. Studi perbandingan ini menciptakan keyakinan kuat dalam diri saya bahwa Islam sebagai satu landasan spiritual dan sosial, walaupun terbelakang karena sikap masa bodoh kaum Muslimin, tetap merupakan satu tenaga penggerak yang luar biasa hebatnya yang pernah dialami ummat manusia; dan mulai saat ini perhatian saya terpusat pada problema regenerasi Islam. Buku kecil ini adalah sumbangan sederhana kepada tujuan besar itu. Buku ini tidak berpura-pura sebagai tinjauan dingin tentang peristiwa-peristiwa; ini merupakan pernyataan tentang suatu perkara Islam versus Barat, seperti yang saya lihat. Dan buku ini tidak ditulis untuk orang-orang yang memandang Islam hanya sebagai satu dari antara yang banyak, yang banyak sedikitnya merupakan bantuan menolong bagi kehidupan sosial; buku ini ditulis bagi mereka yang dalam hatinya masih hidup pancaran sinar api yang berkobar dalam diri para sahabat Nabi --api yang pernah membuat Islam agung sebagai satu tata masyarakat dan capaian kultural. Delhi, Maret 1934 Muhammad Asad. 1. Jalan Islam yang Terbuka Salah satu slogan yang paling khas dari zaman kita ini adalah "menaklukkan ruang". Alat-alat perhubungan telah dikembangkan jauh melampaui impian generasi-generasi sebelumnya; dan alat-alat baru ini telah menggerakkan peralihan barang-barang yang jauh lebih cepat dan jauh lebih luas daripada yang pernah dikenal dalam sejarah ummat manusia sebelumnya. Perkembangan ini menyebabkan saling bergantungnya bangsa-bangsa dalam bidang perekonomian. Tidak ada satu bangsa atau satu golongan sekarang yang dapat bertahan untuk tetap terpencil dari bagian dunia lainnya. Perkembangan ekonomi tidak lagi terbatas secara lokal; sifatnya telah menjadi seluas dunia. Sekurang-kurangnya dalam kecenderungannya mengabaikan batas-batas politik dan jarak-jarak geografis. Ini membawa dengan sendirinya --dan boleh jadi ini bahkan lebih penting daripada, segi material masalah itu-- keperluan yang terus bertambah dari suatu penyaluran bukan saja barang-barang dagangan tetapi juga pikiran dan nilai-nilai kultural. Tetapi sementara kedua kekuatan itu, kekuatan ekonomik dan kultural, sering berjalan bergandengan, ada perbedaan dalam hukum dinamikanya. Hukum-hukum dasar ekonomi menuntut bahwa pertukaran barang antara bangsa-bangsa berlaku timbal balik; ini berarti bahwa tidak ada satu bangsa yang dapat berlaku sebagai pembeli saja sedang bangsa-bangsa lain tetap sebagai penjual; lambat laun masing-masing dari bangsa itu harus melakukan dua peranan sekaligus, saling memberi dan menerima, baik secara langsung atau melalui perantaraan pelaku-pelaku lain dalam panggung kekuatan-kekuatan ekonomik. Tetapi dalam bidang kultural hukum besi pertukaran ini tidak mesti berlaku, sekurang-kurangnya tidak selalu tampak; ini berarti bahwa penyaluran idea-idea dan pengaruh-pengaruh kultural tidak mesti berdasar di atas prinsip memberi dan menerima. Adalah berhubungan dengan sifat manusia bahwa bangsa-bangsa dan peradaban yang secara politik dan ekonomi lebih kuat menjadi suatu penarik yang kuat atas golongan yang lebih lemah atau kurang aktif dan mempengaruhinya dalam bidang intelektual dan kemasyarakatan, sedang yang kuat itu sendiri tidak terpengaruh. Demikianlah keadaan sekarang mengenai perhubungan antara Barat dan dunia Islam. Dari sudut pandangan peninjau historik pengaruh yang kuat dan sepihak yang dilakukan peradaban Barat atas dunia Islam pada saat ini sama sekali tidak mengherankan, karena ini merupakan hasil suatu proses sejarah yang panjang; untuk itu kami berikan beberapa analogi di bagian lain. Tetapi sementara ahli sejarah itu mungkin puas sekedar itu, bagi sebagian kita masalah ini tetap tidak terpecahkan. Bagi kita yang bukan hanya sekedar penonton-penonton yang tertarik tetapi merupakan pelaku-pelaku yang sebenarnya dari drama ini, bagi kita yang memandang diri kita sebagai pengikut-pengikut Nabi Muhammad saw., masalah ini sebenarnya mulai dari sini. Kita percaya bahwa Islam, tidak seperti agama-agama lain, Islam bukan hanya sikap spiritual, daripada jiwa yang dapat diterapkan pada berbagai-bagai bingkai kultural yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu orbit yang lengkap dan satu sistem kemasyarakatan dengan pandangan-pandangan yang mempunyai batasan yang terang. Apabila, seperti halnya sekarang, suatu peradaban asing meluaskan pengaruhnya ke tengah-tengah kita dan menyebabkan perubahan-perubahan tertentu dalam tubuh kultural kita sendiri, kita wajib menerangkan pada diri kita apakah pengaruh asing itu berjalan ke arah kemungkinan-kemungkinan kultural kita sendiri atau bertentangan; apakah pengaruh asing itu berperan sebagai serum yang menguatkan tubuh kultur Islam atau sebagai racun. Jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat diperoleh melalui analisa. Kita harus menemukan kekuatan-kekuatan dasar dari kedua peradaban ini --peradaban Islam dan Barat modern-- dan kemudian menyelidiki sejauh mana kerja sama antara keduanya dapat dilaksanakan. Dan karena peradaban Islam pada hakekatnya adalah peradaban agama, pertama-tama kita harus berusaha memberikan definisi pengaruh umum agama dalam kehidupan manusia. Apa yang kita namakan "sikap agamawi" adalah akibat alami dari konstitusi intelektual dan biologik. Manusia tidak sanggup menerangkan pada dirinya sendiri rahasia hidup, rahasia lahir dan mati, rahasia ketidakterbatasan dan keabadian. Pemikirannya terhenti di hadapan dinding-dinding yang tak tertembus. Oleh karena itu ia hanya dapat melakukan dua hal. Yang satu adalah meninggalkan segala usaha untuk memahami hidup secara keseluruhan. Dalam hal ini manusia akan bersandar atas bukti pengalaman-pengalaman lahir saja dan akan membatasi kesimpulan-kesimpulannya pada bidangnya. Dengan demikian ia hanya sanggup mengerti fragmen-fragmen tunggal daripada hidup, yang mungkin bertambah jumlahnya dan bertambah jelasnya secepat atau selambat pertambahan pengetahuan manusia tentang alam, tetapi bagaimanapun juga selalu hanya akan tetap tinggal fragmen-fragmen --cakupan dari keseluruhannya tetap di luar perlengkapan metodik pemikiran manusia. Inilah jalan yang ditempuh ilmu-ilmu pengetahuan alam. Kemungkinan lainnya --yang mungkin bergandengan dengan jalan ilmiah-- adalah jalan agama. Agama membimbing manusia dengan jalan pengalaman batin, kebanyakan secara intuitif, kepada penerimaan keterangan yang seragam tentang hidup pada umumnya atas dasar pandangan bahwa ada satu Kuasa Kreatif yang maha tinggi yang mengatur alam semesta menurut suatu rencana sebelumnya di atas dan di luar kesanggupan pengertian manusia. Seperti baru dikatakan, konsepsi ini tidak perlu menjauhkan manusia dari penyelidikan tentang fakta-fakta dan fragmen-fragmen hidup seperti yang dapat disaksikan dengan peninjauan lahir. Tidak mesti ada suatu antagonisme antara pengertian lahir yang ilmiah dan penerimaan pengertian batin yang religius. Tetapi yang disebut penerimaan pengertian religius dalam kenyataannya adalah satu-satunya kemungkinan pemikiran untuk memahami seluruh hidup sebagai kesatuan esensi dan kekuatan dasar; singkatnya, sebagai satu keseluruhan yang berimbang, yang harmonis. Kata "harmonis" walaupun sudah sangat sering disalahgunakan, adalah sangat penting dalam hubungan ini karena ia mencakup sikap yang bersangkutan dalam manusia sendiri. Orang religius tahu bahwa segala apa yang terjadi padanya dan dalam dirinya tidak pernah dapat merupakan hasil permainan buta dari kekuatan-kekuatan tanpa kesadaran-kesadaran dan tujuan; ia percaya bahwa itu datang dari kehendak Tuhan yang sadar semata-mata dan oleh karena itu secara organik terpadu dengan rencana semesta alam. Dalam jalan ini manusia diberi kesanggupan untuk memecahkan pertentangan pahit antara wujud manusia --self-- dan dunia obyektif tentang fakta-fakta dan wajah-wajah lahir yang disebut alam. Makhluk manusia dengan segala mekanisma jiwanya yang rumit, dengan segala hasrat-hasrat dan ketakutan-ketakutannya, perasaan-perasaan dan ketidakpastian spekulatifnya, melihat dirinya dihadapkan pada suatu alam di mana kemurahan dan kekejaman, bahaya dan ketenteraman, tercampur aduk dalam satu cara yang dahsyat yang tak teruraikan dan seperti bekerja atas garis-garis yang tampaknya berbeda dari metoda-metoda dan struktur pikiran manusia. Falsafah intelektual murni atau ilmu pengetahuan eksperimental melulu tidak pernah sanggup memecahkan konflik ini. Inilah justeru titik di mana agama melangkah masuk. Dalam sinar persepsi religius dan pengalaman, wujud manusia yang sadar-diri dan alam yang bisu yang tampaknya tampaknya tidak bertanggungjawab dibawa ke dalam satu hubungan harmonis spiritual: karena keduanya, kesadaran individu manusia dan alam yang melingkungi dia serta yang ada dalam dirinya, tidaklah lain daripada manifestasi-manifestasi yang setara, kalaupun berbeda, dari Kehendak Kreatif yang Satu dan sama. Maka manfaat besar yang diberikan agama seperti itu atas manusia adalah penyadaran bahwa ia selalu, dan tidak pernah dapat terlepas, dari satu kesatuan yang terencana baik dari gerak abadi Pencipta: suatu bagian tertentu dalam organisme yang tidak terbatas dari bagan Rencana Universal. Konsekuensi psikologik dari konsepsi ini adalah suatu perasaan yang dalam dari kepastian spiritual --yang berimbang antara harap dan takut yang membedakan manusia religius yang positif -apapun agamanya- dari manusia tidak religius. Posisi dasar ini sama-sama terdapat pada seluruh agama-agama besar, apapun doktrin-doktrin spesifiknya; dan yang sama pula bagi semua agama-agama besar itu adalah panggilan moral kepada manusia untuk menyerahkan dirinya kepada Kehendak Tuhan yang nyata itu. Tetapi Islam, dan hanya Islam saja, melampaui penerangan dan dorongan teoritik ini. Islam tidak saja mengajarkan kepada kita bahwa hidup pada keseluruhannya adalah satu dalam hakekatnya --karena berasal dari Tuhan Yang Maha Esa-- tetapi Islam pun menunjukkan kepada kita jalan praktis betapa setiap orang dari kita dapat berkembang, dalam batas-batas individualnya, kesatuan pikiran dan tindakan, baik dalam wujudnya maupun dalam kesadarannya. Untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi itu, dalam Islam, manusia tidak dipaksa untuk menyangkali dunia; tidak ada kekerasan dituntut untuk membuka pintu rahasia menuju pemurnian spiritual, tidak ada penekanan atas pikiran untuk percaya pada dogma-dogma yang tak dapat dimengerti untuk menjamin penyelamatan. Hal-hal semacam itu sama sekali asing bagi Islam karena Islam bukanlah doktrin mistik dan bukan pula falsafah. Islam adalah program hidup sesuai dengan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Allah atas penciptaan-Nya; dan hasil capaiannya yang paling tinggi ialah koordinasi yang sempurna daripada aspek-aspek spiritual dan material kehidupan insani. Dalam ajaran-ajaran Islam kedua aspek ini bukan saja "dipertemukan" satu sama lain dalam pengertian tidak meninggalkan konflik yang menempel antara kehidupan jasadi dan moral manusia, tetapi kenyataan dari kerjasamanya dan paduannya yang tak dapat dipisahkan ditekankan sebagai basis hidup yang alami. Ini, saya pikir, adalah hikmah dari bentuk shalat yang khas dalam Islam, dimana konsentrasi spiritual dan gerak jasmani tertentu saling terkordinasi. Kritikus-kritikus yang bersifat bermusuhan terhadap Islam selalu menilik cara shalat itu sebagai bukti atas tuduhan mereka bahwa Islam adalah agama formalisma dan lahiriah. Dan dalam kenyataannya ummat agama lain, yang memisahkan "rohani" dan "jasadi" hampir dalam cara yang sama sebagai tukang susu memisahkan krim dari susu, tidak mudah memahami bahwa dalam susu Islam asli, yang tidak dicedok, kedua unsur itu walaupun berbeda dalam konstitusinya, namun sama-sama hidup secara harmonis dan sama menyatakan dirinya. Dalam kata-kata lain shalat dalam Islam terdiri dari konsentrasi mental dan gerak-gerik jasadi karena kehidupan insani sendiri adalah paduan semacam itu, dan karena kita diharapkan untuk mendekati Allah melalui keseluruhan dari segala karunia yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita. Suatu gambaran lebih lanjut dari sikap ini dapat dilihat dalam ibadah thawaf, upacara mengelilingi Ka'bah di Makkah. Karena upacara itu termasuk dalam upacara wajib bagi setiap orang yang menjalankan ibadah haji ke kota suci itu tujuh kali mengelilingi Ka'bah, dan karena pelaksanaan ibadah ini adalah satu dari ketiga pokok terpenting dari ibadah haji, maka patutlah kita bertanya: Apa hikmahnya ini? Apakah perlu kita menyatakan pengabdian kita dalam cara formal semacam itu? Jawabannya sangat jelas. Apabila kita bergerak mengikuti satu lingkaran, maka dengan begitu kita menempatkan obyek itu sebagai titik pusat tindakan kita. Ka'bah, ke mana setiap Muslim menghadapkan mukanya setiap shalat, melambangkan keesaan Tuhan. Gerak jasadi orang-orang yang menjalankan ibadah haji dalam thawaf itu melambangkan aktivitas hidup manusia, bukan saja pikiran-pikiran pengabdian kita tetapi juga kehidupan praktek kita, tindakan dan usaha-usaha kita, harus mengandung idea tentang Allah dan keesaan-Nya sebagai pusatnya --sesuai dengan kata-kata al-Qur'an: "Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (Qur'an Suci, 51: 56). Jadi konsepsi-konsepsi ibadah dalam Islam berbeda dari konsepsi agama-agama lain. Di sini konsepsi ibadah itu tidak dibatasi pada praktek-praktek yang bersifat ibadah murni seperti shalat, puasa, tetapi juga mencakup seluruh praktek kehidupan manusia. Apabila tujuan hidup kita adalah mengabdi kepada Allah maka perlulah kita memandang hidup ini, dalam keseluruhan aspek-aspeknya, sebagai satu tanggung jawab moral yang kompleks. Maka seluruh tindakan kita, bahkan yang tampaknya kecil, harus dilakukan sebagai tindakan pengabdian, yaitu dilakukan dengan sadar sebagai bagian dari rencana universal Tuhan. Hal-hal semacam ini merupakan suatu ideal jauh bagi manusia yang berkesanggupan biasa; tetapi bukankah tujuan agama adalah memberikan ideal-ideal kedalam kehidupan nyata? Posisi Islam dalam pandangan ini tidak mungkin keliru. Islam pertama-tama mengajarkan kepada kita bahwa pengabdian permanen kepada Allah dalam segala tindakan yang aneka ragam dari kehidupan manusia adalah maksud sesungguhnya daripada hidup ini; dan kedua, bahwa maksud ini tetap tidak akan mungkin tercapai selama kita membagi hidup kita dalam dua bagian, yaitu yang spiritual dan material: keduanya harus terpadu bersama-sama dalam kesadaran dan tindakan kita, kedalam satu keseluruhannya yang harmonis. Pengertian kita tentang keesaan Allah harus direfleksikan kedalam perjuangan kita ke arah kordinasi dan penyeragaman dari berbagai aspek kehidupan kita. Suatu konsekuensi logis dari sikap ini adalah perbedaan selanjutnya antara Islam dan semua sistem agama yang dikenal lainnya. Ini akan diperoleh dalam kenyataan bahwa Islam, sebagai satu ajaran, menjamin untuk memberi batasan bukan saja hubungan metafisik antara manusia dan Penciptanya tetapi juga --dan dengan tekanan yang hampir tidak kurang kuatnya-- hubungan duniawi antara individual dan lingkungan masyarakatnya. Kehidupan duniawi tidaklah hanya dianggap sebagai kulit kerang kosong, sebagai bayangan tidak berarti dari hari akhirat yang akan datang, tetapi sebagai satu keseluruhan positif yang padu. Allah sendiri adalah Satu dan Esa, bukan saja dalam hakekat tetapi juga dalam tujuan; dan oleh karena itu ciptaan-ciptaan-Nya adalah satu kesatuan, mungkin dalam hakekatnya, tetapi pasti dalam tujuannya. Ibadah kepada Allah dalam pengertian yang luas yang diterangkan di atas, menurut Islam, memberi arti hidup manusia. Dan konsepsi ini saja yang menunjukkan kepada kita kemungkinan bagi manusia mencapai kesempurnaan dalam kehidupan duniawi manusia individual. Dari segala sistem agama hanya Islam saja yang menyatakan bahwa kesempurnaan individual dapat dicapai dalam kehidupan duniawi kita. Islam tidak menangguhkan menepati ini hingga sesudah penindasan apa yang disebut hasrat-hasrat 'jasadi' seperti ajaran Kristen; tidak pula Islam menjanjikan suatu rangkaian belenggu reinkarnasi atas tingkat yang terus menaik seperti dalam Hinduisme; tidak pula Islam setuju dengan ajaran Budhisme yang mengajarkan bahwa penyempurnaan dan penyelamatan hanya dapat dicapai melalui pemusnahan wujud individual dan hubungan emosionalnya dengan dunia. Tidak, Islam memberi tekanan dalam penegasan bahwa manusia dapat mencapai kesempurnaan dalam kehidupan duniawi individualnya dan dengan membuat kegunaan penuh dari segala kemungkinan-kemungkinan duniawi dari hidupnya. Untuk menjauhkan salah pengertian, kata "sempurna" harus diberi batasan dalam pengertian yang dipergunakan di sini. Sejauh berhubungan dengan makhluk manusia, yang terbatas secara biologik, kita tidak dapat memandang idea kesempurnaan yang "mutlak" karena segala yang mutlak hanya termasuk milik sifat Allah saja. Kesempurnaan manusia dalam pengertian psikologik dan moral harus mengandung arti relatif dan individual. "Sempurna" di sini tidak berarti memiliki segala sifat-sifat yang dapat dibayangkan, bahkan tidak pula mengandung arti pengambilan secara progresif akan sifat-sifat baru dari luar, tetapi semata-mata pengembangan sifat-sifat dari individual yang telah ada dan positif dalam cara demikian rupa sehingga membangkitkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam dirinya yang apabila tidak demikian akan tetap tidur. Berhubung dengan aneka ragam yang alami dari gejala-gejala hidup, sifat-sifat asli manusia berbeda dalam setiap diri individual. Oleh karena itu maka akan keliru apabila kita menganggp bahwa seluruh makhluk manusia harus atau bahkan dapat berjuang ke arah tipe kesempurnaan yang satu dan sama --tepat sebagaimana akan keliru untuk mengharapkan seekor kuda pacuan sempurna dan seekor kuda beban sempurna akan memiliki sifat-sifat yang sama. Keduanya mungkin sempurna dan memuaskan secara individual, tetapi keduanya akan berbeda, karena karakter aslinya berbeda. Demikian pula halnya dengan makhluk manusia. Apabila kesempurnaan harus diberi ukuran dalam tipe tertentu --seperti Kristen memberi ukuran dalam tipe pertapa suci-- manusia akan harus menyerah atau mengubah atau menindas perbedaan-perbedaan individual mereka. Tetapi ini jelas akan memperkosa hukum Ilahi tentang aneka ragam individual yang menempati segala kehidupan di atas muka bumi ini. Oleh karena itu Islam, yang bukan agama penindasan, memberikan kepada manusia, suatu wilayah yang sangat luas dalam kehidupan perorangan dan kemasyarakatan, sehingga sifat-sifat yang aneka ragam itu, tabiat-tabiat dan kecenderungan psikologik dari individu-individu yang berbeda-beda akan mendapatkan jalannya ke arah perkembangan positif sesuai dengan pembawaan individualnya masing-masing. Dengan demikian seseorang mungkin bersifat pertapa, atau ia boleh menikmati ukuran penuh dari kemungkinan-kemungkinan penyaluran nafsunya dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum; ia mungkin seorang pengembara di padang-padang gurun tanpa bekal makanan untuk hari esok atau seorang kaya yang dikelilingi harta kekayaannya. Selama ia secara jujur dan sadar patuh pada hukum-hukum perintah dan larangan Allah, ia bebas membentuk hidup individualnya ke arah bentuk apa yang diarahkan oleh alam insaninya. Kewajibannya adalah membuat dirinya sebaik mungkin sehingga ia dapat menghormati anugerah hidup yang dikaruniakan Penciptanya kepadanya, dan menolong hidup sesamanya dengan jalan perkembangan dirinya sendiri, dalam usaha-usaha spiritual, sosial dan material mereka. Tentang bentuk dari kehidupan individualnya sekali-kali tidak dipastikan oleh suatu ukuran. Ia bebas membuat pilihannya dari antara segala kemungkinan-kemungkinan halal yang tidak terbatas yang terbuka baginya. Basis dari "liberalisme" ini dalam Islam terdapat dalam konsepsi bahwa alam insani asli pada hakekatnya baik, berlawanan dengan idea Kristen bahwa manusia dilahirkan dengan dosa, atau ajaran Hindu bahwa manusia asalnya rendah dan tidak suci dan terpaksa dengan pahitnya melalui rantai transmigrasi-transmigrasi reinkarnasi yang panjang menuju tujuan terakhir kesempurnaan, ajaran Islam menegaskan bahwa manusia dilahirkan suci dan --dalam pengertian yang diterangkan di atas-- sempurna secara potensial. Ini dikatakan dalam al-Qur'an: "Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam struktur yang sebaik-baiknya," tetapi dalam nafas yang sama ayat itu dilanjutkan: "dan kemudian kami turunkan dia pada kerendahan yang serendah-rendahnya; kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh …" (Qur'an Suci, 95: 4-6). Dalam ayat ini dilahirkan doktrin bahwa manusia pada aslinya baik dan suci dan dinyatakan pula bahwa ketiadaan iman kepada Allah dan tidak adanya amal baik akan menghancurkan kesempurnaan aslinya. Sebaliknya manusia dapat mempertahankan atau memperoleh lagi kesempurnaan asli individual itu apabila ia menyadari dengan insaf akan keesaan Allah dan berserah diri pada Hukum-hukum Ilahi. Jadi menurut Islam kejahatan itu sama sekali bukan hakiki atau asli; kejahatan itu adalah akibat yang diperoleh dari kehidupan manusia kemudiannya, dan disebabkan oleh penyalahgunaan sifat-sifat asli dan positif yang telah dikaruniakan Allah pada setiap individu makhluk manusia. Sifat-sifat itu adalah, seperti telah dikatakan lebih dahulu, berbeda dalam diri setiap diri individu tetapi selalu sempurna secara potensial dalam diri sendiri; dan perkembangannya yang penuh adalah mungkin dalam jangka waktu kehidupan manusia individu di muka bumi ini. Kita memang membenarkan bahwa kehidupan sesudah mati, berhubung dengan kondisinya yang diubah tentang perasaan-perasaan kesadaran, akan memberikan pada kita sifat-sifat dan kesanggupan-kesanggupan lain yang sama sekali baru yang masih memungkinkan suatu kemajuan baru bagi jiwa manusia, tetapi ini hanya menyangkut kita dalam kehidupan kita di hari kemudian saja. Dalam kehidupan di dunia ini juga, ajaran Islam secara definitifif menegaskan, bahwa kita --setiap orang dari kita-- dapat mencapai ukuran kesempurnaan yang penuh dengan jalan mengembangkan sifat-sifat yang secara positif memang telah ada, yang membentuk individualitas-individualitas. Dari segala agama hanya Islam yang memberikan kemungkinan bagi manusia untuk menikmati ukuran sepenuhnya kehidupan duniawinya tanpa sekejap pun meninggalkan tujuan spiritualnya. Betapa berbeda hal ini dari konsepsi Kristen. Menurut konsepsi Kristen, manusia jungkir balik dalam belenggu dosa warisan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa dan oleh karena itu seluruh hidup dianggap --sekurang-kurangnya dalam teori dogmatik-- sebagai lembah sengsara dan kesedihan. Hidup merupakan medan pertempuran dua kekuatan: kejahatan yang diwakili oleh setan, dan kebaikan yang diwakili oleh Yesus Kristus. Setan berusaha dengan segala godaan-godaan jasadi untuk menghalang kemajuan jiwa menuju terang abadi; jiwa adalah milik Kristus sedang jasad adalah lapangan tempat pengaruh setan. Orang dapat menerangkan dengan cara lain: dunia materi pada hakekatnya adalah jahat sedang dunia ruh adalah Ilahi dan baik. Segala sesuatu dalam alam insani yang material, --atau "carnal", seperti istilah yang lebih disukai dalam theologia Kristen-- adalah hasil langsung dari penyerahan Adam kepada nasihat Pangeran Gelap dan Jasadi dari neraka. Oleh karena itu maka untuk memperoleh keselamatannya manusia harus memalingkan hatinya dari dunia daging ini ke arah hari kemudian, dunia spiritual, dimana "dosa manusia" ditebus oleh pengorbanan Kristus di tiang salib. Sekalipun umpamanya dogma ini tidak ditaati dalam prakteknya --dan tidak pernah dipraktekkan-- adanya ajaran ini saja cenderung untuk menghasilkan suatu perasaan permanen dari kesadaran buruk dalam diri orang yang punya kecenderungan religius. Ia dilemparkan kedalam suatu gelanggang perjuangan antara panggilan penting untuk meninggalkan dunia dan desakan alami dari hatinya untuk menikmati hidup ini. Idea tentang dosa yang tak terelakkan karena diwariskan, dan tentang penebusan dosa --yang tidak dapat dipahami oleh pikiran umum-- melalui penderitaan Yesus di tiang salib, menegakkan tembok pemisah antara hasrat spiritual manusia dan hasratnya yang sejati untuk hidup. Dalam Islam kita tidak mengenal dosa warisan; kita memandang hal itu tidak sesuai dengan idea keadilan Allah. Allah tidak membuat seorang anak bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan ayahnya dan betapa Ia akan membuat generasi-generasi ummat manusia yang tak terhitung jumlahnya akan bertanggungjawab atas dosa karena pelanggaran yang dilakukan oleh nenek moyangnya yang jauh? Tidaklah diragukan bahwa tidak mungkin menyusun keterangan falsafah tentang anggapan aneh ini, tetapi bagi pikiran yang menjangkau jauh hal itu akan tetap sebagai hal yang dibuat-buat dan tidak akan memuaskan seperti konsepsi tentang Tritunggal itu sendiri. Dan karena tidak ada dosa warisan maka tidak ada pula penebusan dosa universal dalam ajaran Islam. Setiap Muslim adalah penebus dosanya sendiri; ia memiliki segala kemungkinan-kemungkinan sukses dan kegagalan spiritual dalam dirinya sendiri. Dikatakan dalam al-Qur'an tentang keperibadian manusia: "Bagi dia apa yang telah diterimanya, dan terhadap dia kejahatan yang dilakukannya." (Qur'an Suci, 2: 286) Ayat lainnya mengatakan: "Tidak ada yang akan diperhitungkan bagi manusia, selain yang telah diusahakannya." (Qur'an Suci, 53:39). Tetapi apabila Islam tidak memiliki aspek hidup yang suram seperti yang dilahirkan oleh Kristen, betapapun juga Islam tidak mengajarkan kepada kita untuk memberikan pada kehidupan duniawi nilai yang dilebih-lebihkan seperti yang diberikan oleh peradaban Barat modern. Sementara pandangan Kristen mengandung pengertian bahwa kehidupan duniawi adalah buruk, Barat modern --seperti dibedakan dari Kristen-- memuja hidup dalam cara tepat sama seperti si rakus memuja makannya; ia menelannya tetapi ia tidak punya respek terhadapnya. Sebaliknya Islam memandang kehidupan duniawi dengan tenang dan dengan respek. Ia tidak memujanya, tetapi memandangnya sebagai suatu tangga dalam perjalanan menuju kehidupan yang lebih tinggi. Tetapi justru karena ia adalah tangga, dan tangga yang perlu pula, manusia tidak berhak untuk menghinanya atau bahkan menganggap remeh nilai kehidupan duniawinya. Perjalanan kita melintasi dunia ini adalah satu bagian yang pasti dan positif dalam rencana Allah. Oleh karena itu kehidupan manusia bernilai sangat tinggi sekali; tetapi ia tidak boleh melupakan bahwa itu hanyalah nilai instrumental, sebagai alat saja. Bagi Islam tidak ada tempat bagi optimisme materialistik Barat modern yang mengatakan "Kerajaanku hanya di dunia ini saja" --tidak pula ada tempat bagi sikap benci pada hidup seperti ucapan Kristen: "Kerajaanku bukanlah daripada dunia ini." Islam menempuh jalan tengah; al-Qur'an mengajarkan manusia berdoa: "Tuhan kami, berikanlah kiranya kepada kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat." (Quran Suci, 2:201) Demikianlah penilaian penuh tentang dunia ini dan kebaikannya sama sekali bukan merupakan halangan bagi usaha-usaha spiritual kita. Harta benda dikehendaki tetapi bukan merupakan tujuan itu sendiri. Tujuan dari segala kegiatan praktek kita selalu harus berupa penciptaan dan pemeliharaan syarat-syarat perorangan dan sosial yang dapat bermanfaat bagi perkembangan tingkat moral dalam diri manusia. Sesuai dengan prinsip ini Islam membimbing manusia ke arah kesadaran tanggung jawab moral dalam segala hal yang dilakukannya, besar ataupun kecil. Perintah "Injil" yang terkenal: "Berikan kepada Kaisar kepunyaan Kaisar dan berikan kepada Tuhan kepunyaan Tuhan" tidak ada tempatnya dalam struktur agama Islam, karena Islam tidak mengakui adanya konflik antara tuntutan-tuntutan moral dalam kehidupan kita. Dalam segala hal hanya ada satu pilihan: pilihan antara benar dan salah, tidak ada lain. Dari situlah datangnya desakan kuat atas perbuatan sebagai satu unsur moralitas yang tidak dapat dilepaskan. Setiap individu Muslim harus memandang dirinya secara pribadi bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di sekitar dia dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan memberantas kejahatan pada setiap saat dan pada setiap arah. Dasar atas sikap ini terdapat dalam ayat al-Qur'an: "Kamu adalah ummat terbaik yang telah dilahirkan kepada ummat manusia: kamu menganjurkan kebenaran dan mencegah kemungkaran, dan kamu beriman kepada Allah." (Qur'an Suci, 3:110). Inilah pembenaran moral terhadap peperangan Islam, suatu pembenaran terhadap penaklukan-penaklukan Islam dan tentang apa yang sering ditunjukkan sebagai "imperialisme". Islam adalah "imperialisme" apabila anda akan memaksakan istilah itu; tetapi "imperialisme" semacam ini tidak terdorong oleh cinta akan kekuasaan, tidak ada hubungan dengan egoisme ekonomi dan egoisme nasional, tidak ada sangkut paut dengan keserakahan untuk memperbesar kesenangan kaum Muslimin atas kerugian orang lain; tidak pula itu dimaksudkan sebagai pemaksaan atas orang-orang tidak beriman ke dalam rangkulan Islam. Sebagaimana halnya, itu hanya dimaksudkan untuk pembangunan dunia demi perkembangan spiritual manusia sebaik mungkin. Karena menurut ajaran Islam, pengetahuan moral secara otomatis memaksakan tanggung jawab moral atas manusia. Pemisahan platonik melulu antara baik dan buruk tanpa desakan untuk mengangkat kebaikan dan memberantas keburukan adalah immoralitas kasar dalam sendirinya. Dalam Islam moralitas hidup dan mati bersama perjuangan manusia untuk menegakkan kejayaan moralitas itu di muka bumi. 2. Semangat Barat Dalam pasal yang lalu telah diusahakan memberikan suatu garis besar dasar moral Islam. Kita sadari dengan mudah bahwa peradaban Islam adalah theokrasi dalam bentuk yang paling sempurna. Di sini pertimbangan religius mengatasi segala-galanya dan mendasari segala-galanya. Apabila kita bandingkan ini dengan sikap peradaban Barat, kita beroleh kesan yang kuat akan adanya perbedaan pandangan yang sangat besar. Dalam kegiatan-kegiatan dan usaha-usahanya peradaban Barat dikuasi oleh pertimbangan kemanfaatan praktis dan ekspansi dinamik saja. Tujuannya selalu adalah membuat eksperimen-eksperimen dengan kemungkinan-kemungkinan daripada hidup dan penemuan potensialitas-potensialitas hidup itu, tanpa memberikan sifat realitas moral sendiri pada hdiup ini. Bagi Eropa dan Amerika modern masalah arti dan tujuan hidup telah sejak lama kehilangan kepentingan praktisnya. Yang penting bagi mereka hanya pertanyaan bentuk-bentuk apa yang dapat diambil kehidupan dan apakah ummat manusia seperti itu sedang maju menuju penguasaan terhadap alam. Pertanyaan terakhir ini dijawab Barat modern dengan membenarkannya, dan dalam hal ini sejalan dengan Islam. Dalam al-Qur'an Allah berfirman perihal Adam dan ummatnya: "Sesungguhnya Aku akan menempatkan khalifah di muka bumi," (Qur'an Suci, 2:30). Ini jelas berarti bahwa manusia ditakdirkan untuk berkuasa dan maju di atas dunia. Tetapi ada perbedaan antara pandangan-pandangan Barat tentang sifat perkembangan manusia. Barat modern percaya akan kemungkinan perbaikan spiritual yang progresif dari ummat manusia dalam pengertian kolektifnya, dengan capaian-capaian praktis dan perkembangan pemikiran ilmiah. Tetapi pandangan Islam bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan konsepsi kemanusiaan Barat yang materialistik dinamik ini. Islam memandang kemungkinan-kemungkinan keseluruhan kolektif "ummat manusia" sebagai satu kuantitas statik; seperti sesuatu yang telah diletakkan secara definitifif seperti itu dalam susunan alam itu sendiri. Islam tidak pernah membenarkan bahwa alam insani --dalam pengertian supe-rindividualnya secara umum-- akan mengalami suatu proses perubahan maju dan perbaikan dalam cara yang serupa seperti tumbuhnya pohon: karena dasar dari alam insani itu, jiwa manusia, bukanlah kuantitas biologik. Kekeliruan fundamental dari pikiran Eropa modern, yang memandang pertambahan pengetahuan dan kesenangan material sebagai identik dengan perbaikan spiritual dan moral ummat manusia, hanya mungkin karena kesalahan fundamental yang sama dalam menerapkan hukum-hukum biologik pada fakta-fakta non-biologik. Pada akarnya terletak ketidakpercayaan Barat akan adanya apa yang kita gambarkan sebagai "ruh". Islam yang berdasar atas konsepsi kerohanian memandang ruh sebagai satu realitas yang tidak perlu diragukan atau diperdebatkan. Walaupun tidak mesti saling bertentangan, kemajuan material dan kemajuan spiritual tidaklah satu dan sama; walaupun saling berhubungan, keduanya adalah aspek-aspek dari hidup manusia yang jelas berbeda; dan dua bentuk kemajuan ini tidak mesti saling bergantung. Memang mungkin, tetapi tidak selalu keduanya harus berkembang serentak. Sementara dengan jelas mengakui kemungkinan itu dan menegaskan dengan keras wajarnya kemajuan lahir, yaitu kemajuan material ummat manusia sebagai satu badan kolektif, sejelas itu pula Islam tidak membenarkan kemungkinan perbaikan spiritual manusia sebagai satu keseluruhan dengan jalan hasil-hasil capaian kolektifnya. Unsur dinamika dari perbaikan spiritual terbatas pada makhluk perorangan dan satu-satunya batas waktu yang mungkin dari perkembangan spiritual dan moral manusia adalah antara kelahiran dan matinya orang individu secara perseorangan. Kita tidak mungkin maju menuju kesempurnaan sebagai badan kolektif. Setiap orang harus berjuang menuju tujuan spiritual itu sebagai individu perseorangan; dan setiap orang harus mulai dan mengakhirinya dengan dirinya sendiri. Pandangan individualistik yang tegas tentang tujuan spiritual manusia ini diimbangi dan dikuatkan secara langsung, dengan konsepsi sosial Islam yang keras serta kerjasama kemasyarakatan. Kewajiban masyarakat ialah mengatur kehidupan lahir dalam cara demikian rupa sehingga individu orang seorang mendapat halangan seminimal mungkin dan mendapat dorongan semaksimal mungkin dalam perjuangan spiritualnya. Inilah sebabnya, maka hukum Islam, syari'ah, berurusan dengan kehidupan manusia dalam segi spiritual maupun materialnya, dan keduanya dengan aspek-aspek individual dan aspek-aspek sosialnya. Seperti telah dikatakan sebelumnya, konsepsi seperti itu hanya mungkin atas dasar kepercayaan positif akan adanya ruh manusia, dan sehubungan dengan itu kepercayaan akan tujuan transendental daripada kehidupan manusia. Tetapi bagi Barat modern dengan sikap mengabaikan dan setengah menolak adanya ruh, masalah-masalah tujuan hidup tidak lagi mengandung kepentingan praktis. Barat telah meninggalkan segala pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan kerohanian. Apa yang kita namakan sikap religius selalu berdasarkan atas kepercayaan bahwa ada suatu hukum moral kerohanian yang mencakup segala-galanya dan bahwa makhluk manusia harus tunduk kepada perintah-perintah hukum moral itu. Peradaban Barat modern tidak mengakui perlunya penyerahan manusia kepada apapun kecuali tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial dan kebangsaan. Dewanya yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, comfort. Dan falsafahnya yang nyata dan hidup dilahirkan dalam kemauan untuk berkuasa demi untuk kekuasaan itu sendiri. Keduanya diwarisi dari peradaban Romawi Kuno. Dengan menyebut peradaban Romawi --sekurang-kurangnya sedikit banyak-- secara genetik mewariskan materialisme Barat Modern, mungkin kedengaran ganjil bagi orang-orang yang telah mendengar perbandingan berulang-ulang tentang imperium Romawi dan imperium Islam. Bagaimana mungkin terdapat perbedaan yang tegas antara konsepsi Islam yang fundamental dan konsensi Barat modern apabila dalam jaman lampau ekspresi-ekspresi antara keduanya bersamaan? Jawabannya yang sederhana adalah: keduanya sebenarnya tidak bersamaan. Perbandingan populer yang demikian seringnya dikutip adalah salah satu dari lagu lama sejarah yang sumbang; dengan pengetahuan dangkal dan palsu anggapan itu mengisi pikiran generasi sekarang. Tidak ada persamaan antara imperium Islam dan imperium Romawi kecuali bahwa keduanya membentang di atas wilayah-wilayah luas dan bangsa-bangsa yang aneka ragam --karena selama kehidupannya kedua imperium ini diarahkan oleh tenaga-tenaga penggerak yang sama sekali berbeda dan barus memenuhi tujuan-tujuan historik yang sama sekali berbeda dan harus memenuhi tujuan-tujuan historik yang berbeda. Bahkan dalam segi terbentuknya kita melihat perbedaan yang besar sekali antara imperium Islam dan imperium Romawi. Imperium Romawi memerlukan waktu hampir seribu tahun untuk tumbuh ke arah keluasan wilayah yang besar dan ke arah kematangan politik; sedang imperium Islam meloncat dan tumbuh hingga kepenuhannya dalam waktu singkat yang hanya memakan waktu sekitar delapan puluh tahun. Tentang hal kemundurannya masing-masing, perbedaan itu malah lebih terang. Keruntuhan imperium Romawi, yang akhirnya ditutup sama sekali oleh migrasi bangsa-bangsa Hun dan Goth, hanya berlangsung selama satu abad saja --dan berlangsung demikian sempurnanya sehingga tidak ada sesuatu daripadanya yang tinggal kecuali karya kesusasteraan dan arsitektur. Imperium Byzantium, yang biasanya dianggap pewaris tunggal dari kebudayaan Romawi, hanyalah ahli waris sejauh ia terus memerintah atas sebagian dari wilayah yang dahulu merupakan bagian dari imperium Romawi. Struktur sosial dan organisasi politiknya hampir tidak berhubungan sama sekali. Sebaliknya imperium Islam, seperti tercakup dalam kekhalifahan, memang mengalami kerusakan dan perubahan bentuk dinasti dalam perjalanan kehidupannya yang panjang, tetapi strukturnya pada hakekatnya tetap sama. Serangan-serangan dari luar, bahkan serangan-serangan orang Mongol --yang jauh lebih ganas daripada yang dialami imperium Romawi di tangan bangsa-bangsa Hun dan Goth-- tidaklah sanggup untuk menggoncangkan organisasi kemasyarakatan dan kehidupan politik yang tidak terpatahkan dari imperium khalifah-khalifah, walaupun jelas bahwa hal itu turut menyebabkan kemacetan ekonomi dan intelektual pada masa-masa kemudiannya. Berlainan dengan masa satu abad yang diperlukan untuk kehancuran imperium Romawi, imperium Islam dari khalifah-khalifah itu memerlukan waktu hampir seribu tahun dalam kemunduran yang perlahan-lahan hingga kehancuran politik terakhir dengan lenyapnya Kekhalifahan Usmaniyah, diikuti oleh kebobrokan sosial yang sedang kita saksikan sekarang. Segala ini memaksakan kesimpulan pada kita bahwa kekuatan batin dan kesehatan sosial dari dunia Islam lebih tinggi daripada segala yang pernah dialami ummat manusia hingga saat ini dengan jalan organisasi sosial. Bahkan peradaban Cina yang tiada ragu telah memperlihatkan kekuatan-kekuatan bertahan selama berabad-abad tidak dapat dipergunakan sebagai perbandingan di sini. Cina terletak di ujung satu benua yang hingga pada akhir abad yang lalu --yaitu sehingga kebangkitan Jepang modern-- berada di luar capaian kekuatan apapun; peperangan dengan orang Mongol pada jaman Jengis Khan dan keturunan-keturunannya hampir tidak menyentuh imperium Cina; tetapi imperium Islam membentang hingga tiga benua dan sepanjang masa itu dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan yang memusuhi dengan gaya hidup yang besar. Sejak permulaan sejarah bagian bumi yang dinamakan Timur Tengah dan Timur Dekat merupakan gunung api dari pertentangan-pertentangan tenaga-tenaga rasial dan kebudayaan; tetapi pertahanan organisasi Islam tidak terpadamkan, sekurang-kurangnya hingga pada saat ini. Kita tidak perlu mencari keterangan yang jauh tentang pemandangan yang mengagumkan ini: ajaran agama dari al-Qur'an-lah yang memberi dasar yang kuat, dan teladan hidup Nabi Muhammad saw.-lah yang menjadi pita baja yang melingkari struktur sosial yang agung itu. Imperium Romawi tidak memiliki unsur spiritual semacam itu untuk mempertahankan kesatuannya, dan oleh karena itu ia runtuh demikian cepat. Tetapi masih ada satu perbedaan lagi antara kedua imperium lama itu. Sementara dalam imperium Islam tidak ada bangsa yang diistimewakan, dan kekuasaan ditundukkan kepada penyiaran idea yang dianggap oleh pembawa-pembawa suluhnya sebagai kebenaran agamawi yang luhur, idea yang mendasari imperium Romawi adalah penaklukan demi kekuasaan dan eksploitasi atas bangsa-bangsa lain untuk kepentingan negara induk sendiri. Untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik bagi golongan yang diistimewakan, tidak ada keganasan yang terlalu buruk bagi bangsa Romawi, tidak ada ketidakadilan yang terlalu keji: "Keadilan Romawi" yang terkenal itu adalah keadilan bagi orang-orang Romawi saja. Jelaslah sikap semacam itu hanya mungkin atas dasar satu konsepsi hidup dan peradaban yang sama sekali materialistik --tentulah materialisme yang diperindah oleh rasa intelektual, tetapi betapapun juga tetap asing bagi segala nilai-nilai spiritual. Orang-orang Romawi dalam kenyataannya tidak pernah mengenal agama. Dewa-dewa mereka yang tradisional itu adalah tiruan samar dari mitologia Yunani, hanyalah roh-roh samar yang diterima dengan diam-diam untuk kepentingan konvensi sosial. Dewa-dewa itu sama sekali tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan nyata. Apabila ditanyai, dewa-dewa itu harus memberikan orakel melalui perantaraan-perantaraan pendeta-pendeta mereka; tetapi dewa-dewa itu tidak pernah, diharapkan untuk menentukan hukum-hukum moral pada manusia atau untuk mengarahkan tindakan-tindakan manusia. Dari bumi inilah tumbuh kebudayaan Barat. Tiada diragukan bahwa ia banyak menerima pengaruh-pengaruh lain dalam rentangan perkembangannya, dan hal itu secara alami mengubah dan mengalihkan bentuk warisan kebudayaan Romawi dalam lebih dari satu segi pandangan. Tetapi kenyataan tetap tinggal bahwa segala apa yang nyata dalam etika dan pandangan hidup Barat sekarang langsung dapat diikuti jejaknya hingga kepada peradaban Romawi kuno karena suasana intelektual dan sosial Romawi kuno sepenuhnya bersifat utilitarian dan anti agama --dalam kenyataannya, apabila bukan dalam pengakuan terbuka-- demikianlah suasana Barat modern. Tanpa memiliki bukti yang menyangkal agama ketuhanan, dan bahkan tanpa mengakui perlunya bukti semacam itu, pemikiran Barat modern, sementara bersikap toleran dan bahkan kadang-kadang menekankan perlunya agama sebagai satu konvensi sosial pada umumnya, melepaskan etika agamawi dari wilayah pertimbangan praktis. Peradaban Barat tidak dengan tegas menyangkal adanya Tuhan tetapi hanya tidak ada tempat dan tiada manfaat adanya Tuhan dalam sistem intelektualnya sekarang. Dunia Barat telah mengambil keuntungan dari kesulitan intelektual manusia --yaitu ketidaksanggupannya menggenggam keseluruhan hidup. Tampaknya Barat modern hanya akan memberikan sifat kepentingan praktis atas idea-idea yang terletak dalam bidang pengetahuan-pengetahuan empiris atau sekurang-kurangnya diharapkan untuk mempengaruhi hubungan-hubungan sosial manusia dalam cara yang dapat dirasakan. Dan tentang pertanyaan akan adanya Tuhan secara prima facie tidak termasuk pada salah satu dari kedua kategori ini. Pikiran Barat pada prinsipnya cenderung untuk mengesampingkan Tuhan dari wilayah pertimbangan praktis. Timbul pertanyaan: bagaimana sikap semacam itu dapat dipertemukan dengan jalan pikiran Kristen? Bukankah agama Kristen --yang dianggap sumber pokok peradaban Barat-- suatu kepercayaan yang berdasarkan etika transendental? Tentu saja agama Kristen berdasarkan etika transendental. Namun adalah satu kekeliruan yang sangat besar sekali apabila orang memandang peradaban Barat bersumber dari agama Kristen. Dasar intelektual yang real dari Barat modern harus diperoleh dari konsepsi hidup Romawi sebagai satu dasar pandangan akan perlunya melulu, tanpa sesuatu pandangan kerohanian. Ini dapat dinyatakan sebagai berikut: "Karena kita tidak tahu apapun yang definitif --yaitu dengan jalan eksperimen dan pemikiran ilmiah-- tentang asal kehidupan manusia, maka lebih baik kita memusatkan segala tenaga untuk perkembangan kemungkinan-kemungkinan material dan intelektual kita tanpa mengizinkan diri kita dihalangi oleh etika kerohanian dan dalil-dalil moral atas dasar anggapan-anggapan yang menantang bukti ilmiah." Tidak akan terdapat keraguan bahwa sikap ini, yang demikian khas dalam peradaban Barat modern, adalah sama tidak dapat diterima bagi agama Kristen maupun bagi Islam atau agama apapun, karena pandangan itu tidak religius dalam hakekatnya sendiri. Oleh karena itu untuk menggambarkan hasil-hasil capaian peradaban Barat modern atas kekuatan yang dianggap dari ajaran-ajaran Kristen adalah sangat memalukan. Agama Kristen telah memberikan sangat sedikit sumbangan pada perkembangan ilmiah dan material dimana kebudayaan Barat sekarang mengatasi segala sesuatu lainnya. Sesungguhnya hasil-hasil capaian itu timbul dari perjuangan intelektual Barat melawan gereja Kristen dan pandangan hidup Kristen. Selama berabad-abad semangat Barat ditekan oleh sistim religus yang menganut permusuhan terhadap alam. Nada kepertapaan yang memenuhi Bibel dari ujung ke ujung, tuntutan untuk menyerah secara pasif atas kesalahan yang menimpa, penyangkalan terhadap seks sebagai sesuatu yang berdasar atas kejatuhan Adam dan Hawa di surga, dosa warisan dan penebusannya melalui penyaliban Yesus, segala ini menuju pada satu penafsiran hidup manusia tidak atas dasar jenjang positif tetapi hampir sebagai kejahatan yang tak terelakkan --sebagai penghalang "edukatif" pada jalan kemajuan spiritual. Teranglah bahwa kepercayaan semacam itu tidak membangkitkan gairah bersemangat untuk usaha-usaha berhubung dengan ilmu pengetahuan dan perbaikan syarat-syarat kehidupan duniawi. Dan sesungguhnya selama masa yang sangat panjang intelek Eropa ditaklukkan oleh konsepsi kehidupan manusia yang muram itu. Selama abad-abad pertengahan ketika gereja sedang berkuasa, Eropa tidak memiliki gaya hidup dan tiada tempat apapun bagi dunia penyelidikan ilmiah. Eropa masa itu bahkan kehilangan hubungan dengan hasil-hasil capaian falsafah Romawi dan Yunani dari mana kultur Eropa dahulu bersumber. Intelek Eropa berontak lebih dari satu kali; tetapi berulang-ulang pemberontakan intelek itu dipatahkan oleh gereja. Sejarah jaman abad-abad pertengahan penuh dengan perjuangan sengit antara genius Eropa dan semangat gereja. Pembebasan pikiran Eropa dari belenggu intelektual yang telah dipasang gereja Kristen terjadi dalam jaman renaissance dan sangat besar sekali disebabkan oleh dorongan-dorongan dan ide-ide kultural baru yang telah disalurkan Islam ke Barat selama beberapa abad. Segala sesuatu yang terbaik dari kultur Yunani kuno dan masa Hellenisma kemudian telah dihidupkan oleh orang-orang Arab dalam usaha penyelidikan mereka dan diperbaiki dalam abad-abad setelah berdirinya awal imperium Islam. Saya tidak mengatakan bahwa penyerapan pikiran Hellenistik itu berupa manfaat yang tidak dapat disanggah terhadap bangsa Arab dan kaum Muslimin pada umumnya --karena keadaannya tidak demikian. Tetapi sementara segala jerih payah orang-orang Arab menghidupkan kembali kultur Hellenisma itu mungkin menyebabkan kerugian bagi kaum Muslimin pada umumnya dengan jalan memperkenalkan falsafah Aristoteles dan neoplatonisme ke dalam theologia dan yurisprudensi Islam, hal itu justru merupakan dorongan yang sangat besar bagi Eropa. Zaman abad-abad pertengahan telah menyia-nyiakan kekuatan-kekuatan produktif Barat. Ilmu pengetahuan macet, tahyul berkuasa paling tinggi, kehidupan moral primitif dan rendah sehingga hampir tidak dapat diterima akal pada zaman ini. Pada titik itu pengaruh kultural dunia Islam --mula-mula melalui pengalaman perang salib di Timur dan universitas-universitas Islam yang cemerlang di Spanyol dan kemudian melalui hubungan-hubungan perdagangan yang dibangun Republik Genua dan Venesia-- mulai berkumandang di pintu peradaban Eropa yang terkunci. Di hadapan mata sarjana-sarjana dan ahli-ahli pikir Eropa yang silau muncul suatu kebudayaan baru --indah, progresif, penuh gairah hidup dan penuh memiliki perbendaharaan kultural yang telah lama dihilangkan dan dilupakan Eropa. Yang telah dilakukan oleh orang-orang Arab itu jauh melebihi pembangkitan kembali kebudayaan Yunani kuno saja. Mereka telah menciptakan suatu dunia ilmiah mereka sendiri yang sama sekali baru dan memperkembangkan hingga pada masa itu jalan-jalan penelitian ilmiah dan falsafah. Semua ini mereka salurkan melalui berbagai saluran ke dunia Barat. Dan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa zaman ilmu pengetahuan modern dalam masa kita ini tidak dilahirkan di kota-kota Eropa Kristen tetapi di pusat-pusat Islam seperti di Damsyik, Baghdad, Kairo, Kordoba, Nishapur, Samarkand. Akibat pengaruh ini atas Eropa sangat besar. Dengan kedatangan peradaban Islam fajar intelektual baru bersinar di dunia Barat dan diresapi dengan hidup segar serta kehausan akan kemajuan. Bukan saja penghargaan atas nilainya maka ahli sejarah Eropa menamakan regenerasi itu renaissance --yakni kelahiran kembali. Renaisans itu sebenarnya adalah kelahiran kembali Eropa. Arus regenerasi yang memancar dari kebudayaan Islam menimbulkan otak-otak Eropa yang terbaik untuk berjuang dengan kekuatan baru melawan supremasi gereja Kristen yang berbahaya. Pada permulaannya pertandingan ini mengandung pandangan lahir dari gerakan-gerakan reformasi, yang timbul hampir serentak di berbagai negara Eropa dengan tujuan untuk menerapkan jalan pemikiran Kristen kepada tuntutan-tuntutan hidup yang baru ini. Gerakan-gerakan ini sehat dalam caranya dan apabila mereka beroleh sukses spiritual yang nyata mungkin mereka menghasilkan suatu kesesuaian antara ilmu pengetahuan dan pemikiran religius di Eropa. Tetapi sebagaimana yang terjadi, kesalahan yang disebabkan oleh gereja zaman abad-abad pertengahan sudah terlalu jauh untuk dapat diperbaiki oleh reformasi saja yang lagi pula dengan cepat menurun menjadi perjuangan-perjuangan politik antara golongan-golongan yang berkepentingan. Alih-alih daripada beroleh perbaikan yang sebenarnya, agama Kristen hanya terdesak pada sikap bertahan dan berangsur-angsur terpaksa mengambil sikap apologetik. Gereja --baik Katholik maupun Protestan-- sebenarnya tidak pernah melepaskan komedi-komedi mentalnya, dogma-dogma yang tak dapat dipahami, sikap menghinanya terhadap dunia, dukungannya pada kekuasaan-kekuasaan yang ada atas kerugian ummat manusia yang tertindas; gereja hanya mencoba memalsukan kegagalan-kegagalan yang parah ini dan dengan demikian "menerangkannya" dengan jalan keterangan-keterangan kosong. Tidaklah mengherankan bahwa ketika tahun-tahun dan abad-abad itu maju, pegangan dan pemikiran religius menjadi makin lama makin lemah di Eropa, hingga pada abad ke delapan belas kekuasaan gereja dengan tegas dilemparkan ke luar gelanggang oleh revolusi Perancis dan akibat-akibat kultural di negara-negara lain. Pada waktu itu lagi tampak seakan-akan kebudayaan spiritual baru yang bebas dari kegelapan tirani theologia skolastik abad-abad pertengahan beroleh kesempatan tumbuh di Eropa. Dan kenyataannya pada akhir abad ke delapan belas dan awal abad ke sembilan belas kita bertemu dengan beberapa tokoh spiritual Eropa yang terbaik dan paling kuat dalam bidang falsafah, kesenian, kesusasteraan dan ilmu pengetahuan. Tetapi konsepsi hidup spiritual religius ini tetap terbatas pada beberapa orang perorangan. Massa besar orang-orang Eropa, sesudah demikian lama terpenjara dalam dogma-dogma agama yang tidak ada hubungan dengan usaha-usaha alami manusia, tidak dapat dan tidak mau mendapatkan jalan mereka kembali kepada orientasi religius setelah sekali belenggu-belenggu itu dihancurkan. Barangkali faktor intelektual yang paling penting yang menghalangi regenerasi religius di Eropa adalah konsepsi yang ada pada waktu itu bahwa Yesus adalah Anak laki-laki Tuhan. Orang-orang Kristen yang berpikiran filosofis tentu saja tidak pernah menerima ide keanakan itu dalam pengertian harfiahnya; mereka mengartikan keanakan Yesus itu sebagai manisfestasi dari rahmat Tuhan dalam bentuk manusia. Tetapi sayang tidak setiap orang berpikiran filosofis. Bagi sebagian terbesar dari orang-orang Kristen ungkapan "anak" mengandung arti yang langsung, walaupun selalu ada bau mistik yang ditempelkan ke situ. Bagi mereka keanakan Yesus itu dengan sangat alaminya menuju kepada kepercayaan akan Tuhan sebagai manusia, yang mengambil rupa orang tua yang baik dengan janggut putih yang lebat: dan bentuk ini, diabadikan dalam lukisan-lukisan yang tak terhitung banyaknya yang bernilai seni yang tinggi, tinggal mengesan dalam bawah-sadar pikiran orang-orang Eropa. Sepanjang masa ketika dogma gereja paling berkuasa di Eropa tidak banyak kecenderungan untuk mempersoalkan konsepsi aneh ini. Tetapi dengan hancurnya belenggu intelektual abad-abad pertengahan, cara berpikir orang-orang Eropa tidak dapat mempertemukan dirinya dengan satu Tuhan-Bapak yang dimanusiakan; sebaliknya pemanusiaan Tuhan itu telah menjadi satu faktor penghalang yang tegak dalam konsepsi rakyat umum tentang Tuhan. Sesudah suatu masa kebangunan pemikiran, ahli-ahli pikir Eropa secara naluri mundur lagi dari konsepsi tentang Tuhan seperti yang digambarkan dalam ajaran gereja, dan karena ini adalah satu-satunya konsepsi yang mereka kenal, maka mereka mulai menolak ide tentang Tuhan sendiri dan bersama dengan itu mereka menolak agama. Lagi pula fajar zaman industri dengan kecemerlangan kemajuan material yang menyilaukan mulai mengarahkan manusia kepada kepentingan-kepentingan baru dan dengan demikian menyumbangkan kekosongan religius yang mengikutinya di Eropa. Dalam masa lowong itu perkembangan peradaban Barat beroleh giliran tragik-tragik dari sudut pandangan setiap orang yang memandang agama sebagai realitas yang paling kuat dalam kehidupan manusia. Setelah terbebas dari bentuk penghambatan dahulunya berupa agama Kristen, pikiran Eropa modern melangkahi batas itu dan membentengi dirinya dengan berangsur-angsur dalam suatu sikap tegas menentang setiap bentuk tuntutan atas manusia. Dari ketakutan bawah sadar kalau-kalau sekali lagi dilimpahi dengan kekuatan-kekuatan yang menuntut kekuasaan spiritual, Eropa menjadi juara dari segala sesuatu yang anti agama dalam prinsip dan dalam tindakan. Eropa kembali kepada warisan Romawi lama. Oleh karena itu orang tidak dapat disalahkan atas bantahan bahwa bukanlah superioritas potensial dari agama Kristen atas kepercayaan-kepercayaan lain yang memungkinkan Barat untuk mencapai hasil-hasil materialnya yang cemerlang: karena hasil-hasil yang dicapai ini tidak dapat dipikirkan tanpa perjuangan historik kekuatan-kekuatan intelektual Eropa melawan prinsip-prinsip gereja Kristen sendiri. Konsepsi hidup materialisme sekarang ini adalah pembalasan dendam Eropa terhadap "kerohanian" gereja yang telah kesasar dari kebenaran kebenaran hidup alami. Bukanlah urusan kita untuk masuk lebih jauh ke dalam hubungan intern antara agama Kristen dan peradaban Barat modern. Saya hanya berusaha menunjukkan tiga dari sebab-sebab, mungkin sebab-sebab utama, mengapa peradaban Barat itu begitu sempurna anti agama dalam konsepsi-konsepsi dan metoda-metodanya: pertama adalah warisan peradaban Romawi dengan sikapnya yang sama sekali materialistik berhubung dengan kehidupan manusia dan nilai-nilai yang terpadu padanya; yang kedua, pemberontakan alam insani melawan sikap benci pada dunia daripada agama Kristen dan sikap Kristen menindas hasrat-hasrat alami dan usaha-usaha yang halal daripada manusia (yang diikuti oleh sekutu-sekutu gereja dengan pemegang-pemegang kuasa politik dan ekonomi dan pengesahannya dengan diam-diam atas setiap eksploitasi yang dapat dirancangkan pemegang-pemegang kuasa itu); dan yang ketiga, konsepsi ketuhanan yang anthropomorfis. Pemberontakan terhadap agama ini sepenuhnya berhasil --demikian berhasilnya sehingga berbagai sekte dan gereja Kristen berangsur-angsur terpaksa menyesuaikan beberapa doktrin mereka dengan kondisi-kondisi sosial dan intelektual Eropa. Alih-alih daripada mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial dari penganut-penganutnya sebagai kewajiban agama yang utama, agama Kristen telah mengundurkan diri dalam peranan satu konvensi yang ditolerir dan menjadi jubah bagi usaha-usaha politik. Bagi rakyat banyak agama Kristen sekarang hanya mempunyai arti formal sebagaimana halnya dengan dewa-dewa Romawi kuno yang tidak diizinkan dan tidak pula dipandang mempunyai pengaruh nyata apapun atas masyarakat. Tentu masih banyak individu di Barat yang merasa dan berpikir secara religius dan berusaha mati-matian untuk mempertemukan kepercayaan mereka dengan jiwa kebudayaannya --tetapi mereka hanya pengecualian. Rata-rata orang Barat --baik ia seorang demokrat atau fascis, kapitalis atau komunis, seorang pekerja kasar atau intelektual-- hanya mengenal satu "agama" yang positif yaitu pengabdian pada kemajuan material, kepercayaan bahwa tidak ada tujuan lain daripada hidup ini selain dari membuat hidup ini terus menjadi mudah, seperti ungkapan orang sekarang, "bebas dari alam." Kelenteng "agama" itu adalah pabrik-pabrik raksasa, bioskop-bioskop, laboratorium-laboratorium kimia, rumah-rumah dansa, karya-karya hydro-elektrik; pendeta-pendetanya adalah bankir-bankir, insinyur-insinyur, bintang-bintang film, industriawan-industriawan, ahli-ahli penerbangan. Akibat yang tak terelakkan dari perburuan terhadap kekuasaan dan kesenangan ini adalah terciptanya golongan-golongan yang bermusuhan yang dipersenjatai hingga ke gigi-giginya dan telah memutuskan untuk saling menghancurkan kapan dan di mana saja kepentingan mereka masing-masing berbenturan. Dan pada segi kebudayaan akibatnya adalah penciptaan suatu tipe manusia yang moralitasnya terbatas pada masalah kepentingan praktis melulu dan kriterianya yang tertinggi tentang baik dan buruk adalah sukses material. Dalam transformasi yang seksama itu kehidupan sosial Barat sekarang sedang mengalami moralitas utilitarian baru yang makin lama makin tampak. Segala sifat-sifat kebajikan yang mengandung arti langsung pada kesejahteraan material masyarakat itu --umpamanya efisiensi teknik, patriotisme, rasa kelompok nasional-- diangkat dan sering dibesar-besarkan dengan kaburnya dalam nilainya; sedang kebajikan-kebajikan yang hingga kini dinilai dari sudut pandangan etika melulu, seperti kecintaan anak, kesetiaan dalam perkawinan, dengan cepatnya kehilangan arti pentingnya --karena hal itu tidak memberikan manfaat material yang dapat dirasakan pada masyarakat. Zaman dimana dorongan atas keakraban ikatan kekeluargaan adalah menentukan bagi kesejahteraan golongan atau klan sedang diatasi di Barat oleh satu zaman organisasi kolektif di bawah pokok-pokok yang jauh lebih luas. Dan dalam suatu masyarakat yang pada hakekatnya teknologik dan sedang diorganisir dalam langkah-langkah yang terus bertambah cepat atas garis-garis mekanik melulu, perilaku anak terhadap ayahnya tidak mengandung arti sosial yang penting selama individu-individu itu berperilaku dalam batas-batas kesopanan umum yang diletakkan oleh masyarakat pada saling hubungan di antara anggota-anggotanya. Akibatnya ayah Barat makin kehilangan kekuasaan atas anaknya dan secara logis sekali si anak kehilangan respek pada ayahnya. Hubungan timbal balik di antara mereka perlahan-lahan diatasi dan --atas segala tujuan-tujuan praktis-- menjadi lapuk oleh dalil-dalil masyarakat ekonomi yang mempunyai kecenderungan untuk menghapus segala hak-hak istimewa atas seorang individu terhadap lainnya, dan --juga hak istimewa yang disebabkan ikatan kekeluargaan. Sejajar dengan ini berjalanlah penghancuran terhadap moralitas seksual "lama." Kejujuran seksual dan disiplin seksual dengan cepatnya menjadi bagian dari masa lalu di Barat modern, karena hal-hal itu terutama didasari oleh etika, dan pertimbangan-pertimbangan etika tidak mengandung pengaruh langsung yang dapat dirasakan dalam kesejahteraan material daripada masyarakat itu. Dan dengan demikian disiplin dalam hubungan-hubungan seksual dengan cepat kehilangan arti pentingnya dan diganti oleh suatu moralitas baru yang menyerukan kebebasan individual tidak terbatas jasad manusia. Di masa depan batas seksual satu-satunya, paling banyak, diambil dari pertimbangan-timbangan jumlah penduduk dan perbaikan ras. Bukanlah tanpa kepentingan untuk meninjau betapa evolusi anti agama yang digambarkan di atas telah dibawa kepada klimaksnya yang logis di Soviet Rusia, dimana dalam segi kulturalnya tidak menunjukkan suatu perkembangan yang berbeda secara hakiki dari dunia Barat lainnya. Sebaliknya tampak bahwa eksperimen komunis tidak lain daripada puncak dan pemenuhan dari hal-hal anti religius yang tegas dan --pada akhirnya-- tendensi-tendensi anti spiritual dari peradaban Barat modern. Bahkan mungkin pertentangan yang tajam sekarang antara Barat kapitalis dan komunisme pada akarnya hanya disebabkan oleh perbedaan langkah dimana gerakan-gerakan paralel pada hakekatnya sedang menuju ke tujuan yang sama. Persamaan isinya tiada ragu akan lebih disebut-sebut di masa depan; tetapi bahkan tampak dalam kecenderungan fundamental dari kapitalisme Barat maupun komunisme untuk menaklukkan individualitas spiritual manusia dan etikanya kepada tuntutan-tuntutan material melulu dari jaringan mesin kolektif yang disebut "masyarakat" di mana individu hanyalah berupa satu jeruji daripada satu roda. Satu-satunya konklusi yang mungkin disimpulkan daripadanya adalah bahwa peradaban semacam itu akan menjadi racun maut bagi setiap kebudayaan yang berdasar nilai-nilai keagamaan. Pertanyaan asal kita, apakah mungkin untuk menerapkan jalan pemikiran dan jalan hidup Islam pada tuntutan-tuntutan hidup peradaban Barat dan sebaliknya, harus dijawab dengan "tidak." Dalam Islam tujuan pertama dan paling utama adalah kemajuan moral manusia, dan oleh karena itu pertimbangan-pertimbangan etika mengatasi pertimbangan-pertimbangan kemanfaatan material. Di Barat di mana pertimbangan-pertimbangan kemanfaatan material menguasai segala manifestasi-manifestasi kegiatan manusia, dan etika sedang diundurkan ke latar belakang yang kabur dari kehidupan masyarakat dan dipojokkan kepada keadaan teoritis melulu; tanpa sedikitpun kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat. Berbicara tentang etika --dalam keadaan-keadaan semacam itu-- tidak jauh bedanya dari bersikap munafik; dan dengan demikian orang-orang yang jujur secara intelektual di antara pemikir-pemikir Barat secara subyektif dibenarkan, apabila dalam pemikiran-pemikiran mereka atas nasib peradaban Barat, mereka mengelakkan setiap singgungan --pada etika kerohanian. Bagi orang-orang yang kurang jujur --seperti juga orang-orang yang kurang tegas dalam sikap moral mereka-- konsepsi etika kerohanian mereka hidup terus sebagai satu faktor pemikiran yang tidak rasional, sama halnya dengan seorang ahli matematika terpaksa menggunakan angka-angka "tidak rasional" tertentu yang dalam sendirinya tidak menunjukkan apapun yang dapat dirasakan, tetapi betapapun juga diperlukan untuk menjembatani celah kayalan karena batas-batas struktural pikiran manusia. Sikap penyimpangan kepada etika semacam itu tentu saja tidak dapat dipertemukan dengan pandangan keagamaan; dan oleh karena itu dasar moral kebudayaan Barat modern tidak dapat dipertemukan dengan Islam. Ini sama sekali tidak harus membuang kemungkinan bagi kaum Muslimin untuk menerima dorongan-dorongan tertentu dari Barat dalam bidang eksakta dan ilmu pengetahuan yang telah diterapkan; tetapi hubungan kulturalnya harus mulai dan berakhir di situ saja. Untuk melangkah lebih jauh dan meniru jiwa kebudayaan Barat, mode hidup dan organisasi kemasyarakatannya, tidaklah mungkin tanpa memberikan pukulan maut terhadap kehidupan Islam sebagai bentuk pemerintahan ketuhanan dan agama yang praktis. 3. Bayangan Perang Salib Terlepas dari ketidaksesuaian spiritual antara Islam dan Barat modern, masih ada satu sebab lagi mengapa kaum Muslimin harus mengelakkan diri dari meniru peradaban Barat modern; pengalaman sejarahnya diwarnai oleh sikap permusuhan yang aneh terhadap Islam. Dalam ukuran tertentu masalah ini juga adalah warisan dari Eropa lama. Orang-orang Yunani dan Romawi menganggap diri mereka sendiri sajalah yang "beradab," sedang segala sesuatu yang asing, khususnya segala yang tinggal di bagian timur Laut Tengah, diberi cap "barbar" atau biadab. Sejak masa itu orang-orang Barat percaya bahwa kelebihan ras mereka diatas segala bangsa manusia lainnya merupakan bukti yang tak terbantah; dan pandangan yang bernada melecehkan ras-ras atau bangsa-bangsa bukan Eropa adalah salah satu segi yang menonjol dari sifat peradaban Barat. Tetapi ini saja tidak cukup untuk menerangkan perasaan-perasaan Eropa terhadap Islam. Rasa ketidaksenangan mereka terhadap Islam lebih pekat dari perasaan ketidaksenangan mereka terhadap berbagai agama dan kultur asing lainnya. Perasaan ini telah merupakan suatu kebencian yang berakar dalam dan hampir fanatik; dan ini tidak bersifat intelektual melulu tetapi mengandung warna emosional yang tebal. Eropa mungkin tidak menerima doktrin-doktrin falsafah Budha dan Hindu, tetapi Eropa selalu akan mempertahankan pemikiran reflektif yang berimbang berhubung dengan sistem-sistem itu. Namun, segera, apabila ia menghadapi Islam maka keseimbangan itu terganggu dan suatu prasangka emosional segera menjalar masuk. Dengan sangat sedikit pengecualian, bahkan orientalis-orientalis Eropa yang paling menonjolpun terlibat dalam sikap memihak yang tidak ilmiah dalam penulisan-penulisan mereka tentang Islam. Dalam penyelidikan-penyelidikan mereka hampir selalu tampak seakan-akan Islam tidak dapat diperlakukan sebagai bahan obyek penyelidikan ilmiah saja, tetapi sebagai seorang tertuduh yang berdiri di hadapan hakim-hakimnya. Sebagian dari orientalis-orientalis itu memainkan peranan penuntut umum yang bersikeras mempertahankan tuduhannya; yang lainnya seperti dewan pembela yang secara peribadi telah yakin bahwa klientnya bersalah dan hanya dengan separuh-separuh hati membela untuk "hal-hal yang meringankan." Teknik deduksi-deduksi dan kesimpulan-kesimpulan yang dianut oleh kebanyakan orientalis Eropa itu selalu mengingatkan kita kepada sistem pengadilan inquisisi yang terkenal kejahatannya itu, yang didirikan oleh gereja terhadap lawan-lawannya pada zaman abad-abad pertengahan; mereka hampir tidak pernah menyelidiki fakta-fakta historik dengan pikiran terbuka, tetapi hampir dalam segala hal mereka mulai dengan kesimpulan-kesimpulan sebelumnya yang telah didiktekan oleh prasangka. Mereka memilih bukti-bukti sesuai dengan kesimpulan yang secara a priori hendak mereka capai. Apabila tidak mungkin memiliki bukti semacam itu, mereka memotong-motong bagian-bagian bukti dari rangkaian konteksnya atau "menafsirkan" pernyataan-pernyataannya dalam semangat kejahatan yang tidak ilmiah tanpa memberikan sedikit perhatian pada penyaksian pihak lain, yaitu kaum Muslimin sendiri. Hasil dari cara semacam itu adalah gambaran tentang Islam dan hal-hal yang bersangkutan dengan Islam yang telah dirusak secara dahsyat yang kita baca dalam penulisan-penulisan orientalis-orientalis Barat. Kegiatan merusak itu tidak terbatas pada sesuatu negara Eropa tertentu: hal semacam itu terdapat di Inggris dan Jerman, di Rusia dan Perancis, di Italia dan negeri Belanda --singkatnya dari negeri mana saja orientalis-orientalis Eropa memalingkan matanya kepada Islam. Tampaknya mereka seperti dikilik-kilik oleh semacam perasaan kebencian yang menyenangkan bilamana saja ada kesempatan --secara nyata atau khayali-- menimbulkan kritik melawan Islam. Dan karena orientalis-orientalis itu bukanlah suatu ras istimewa dari Eropa tetapi hanyalah wakil-wakil peradaban dan alam sekitar mereka, kita hanya dapat sampai pada satu kesimpulan bahwa pikiran Eropa, pada keseluruhannya, karena sesuatu sebab, berprasangka terhadap agama dan kebudayaan Islam. Salah satu dari sebab-sebab itu mungkin berasal dari pandangan kuno yang membagi-bagi seluruh dunia ini menjadi "Eropa" dan "barbar"; dan sebab lain, yang lebih langsung berhubungan dengan Islam, dapat diperoleh dengan melihat ke belakang, ke masa silam sejarah zaman abad-abad pertengahan. Tabrakan besar yang pertama antara sekutu Eropa di satu pihak dan Islam di pihak lain, yaitu peperangan Salib, terjadi bersama-sama dengan awal permulaan peradaban Eropa. Pada waktu itu peradaban Eropa masih dalam persekutuan dengan gereja, baru saja mulai melihat jalannya sendiri sesudah abad-abad gelap yang telah mengikuti kejatuhan Romawi. Kesusasteraan pada saat itu baru melalui suatu masa berkuncup di musim semi. Kesenian mulai bangun perlahan-lahan dari ketidurannya yang disebabkan migrasi-migrasi peperangan bangsa-bangsa Goth, Hun dan Avar. Eropa baru muncul dari keadaan-keadaan kasar permulaan abad-abad pertengahan; Eropa baru beroleh suatu kesadaran kultural baru, dan mulai saat itu baru memperoleh cita rasa yang meningkat. Dan tepat pada masa yang sangat kritis sekali itu peperangan peperangan salib membawanya ke dalam kontak permusuhan dengan dunia Islam. Sesungguhnyalah telah ada peperangan-peperangan antara kaum Muslimin dan Eropa sebelum zaman perang Salib itu: orang-orang Arab menaklukkan Sisilia dan Spanyol serta menyerang Perancis Selatan. Tetapi peperangan-peperangan itu terjadi sebelum kebangkitan Eropa kepada kesadaran kultural yang baru, dan oleh karena itu pada waktunya sekurang-kurangnya dari segi pandangan Eropa, mengandung karakter aliran setempat dan belum dipahami sepenuhnya dalam segala kepentingannya. Peperangan Salib adalah yang pertama dan paling utama yang menentukan sikap Eropa terhadap Islam untuk abad-abad panjang kemudian. Peperangan salib itu menentukan karena hal itu terjadi pada masa kanak-kanaknya Eropa, suatu masa dimana segala gaya kulturalnya yang khas sedang menegaskan dirinya untuk pertama kalinya dan masih dalam proses pembentukan. Seperti halnya pada individu perorangan; demikian pula pada bangsa-bangsa, kesan dahsyat dari masa kanak-kanak bertahan, dalam sadar atau tidak sadar, sepanjang hidupnya kemudian. Mereka demikian terserap sehingga mereka hanya dapat dengan susah payah, dan jarang sepenuhnya terlepas dari pengalaman-pengalaman intelektual zaman kemudian yang lebih reflektif dan lebih emosional. Demikianlah keadaannya dengan peperang an Salib. Peperangan itu menghasilkan satu dari kesan-kesan Eropa yang paling dalam dan paling permanen dalam psikologi massa Eropa. Gairah universal yang dibangkitkannya pada masanya tidak dapat dibandingkan dengan segala yang pernah dialami Eropa sebelumnya, dan hampir tak dapat dibandingkan dengan pengalaman-pengalamannya sesudah itu. Suatu gelombang rangsangan menyapu seluruh benua itu, suatu kegirangan yang melangkah ke luar batas-batas negara-negara, bangsa-bangsa dan golongan-golongan, sekurang-kurangnya pada satu waktu. Masa itulah yang pertama-tama dalam sejarahnya Eropa merasa satu --dan itulah persatuan melawan dunia Islam. Dengan tidak hendak terseret kepada kelebih-lebihan yang tidak patut, kita dapat mengatakan bahwa Eropa modern lahir dari semangat peperangan Salib. Sebelum waktu itu terdapat Anglo-Saxon dan Jerman, Perancis dan Normandia, Italia dan Denmark; tetapi selama peperangan Salib konsep baru dari "peradaban Eropa," satu tujuan sama bagi seluruh bangsa-bangsa Eropa, telah diciptakan: dan kebencian terhadap Islamlah yang tegak seperti tuhan-bapak di balik ciptaan baru itu ". Adalah satu dari ironi besar sejarah bahwa bapak pertama kesadaran kolektif dari dunia Barat ini, konstitusi intelektual kita namakan dia, disebabkan oleh gerakan-gerakan yang ditopang sepenuhnya tanpa reserve oleh gereja Kristen, sedang hasil-hasil yang diperoleh karena itu oleh dunia Barat hanya mungkin melalui pemberontakan intelektual menentang hampir segala sesuatu yang telah ditegakkan dan sedang ditegakkan gereja. Hal itu merupakan suatu perkembangan tragik, baik dari segi pandangan gereja Kristen sendiri maupun dari segi pandangan Islam. Tragik bagi gereja karena sesudah permulaan yang menyilaukan, gereja kehilangan pegangannya terhadap alam pikiran Eropa. Dan tragik bagi Islam karena Islam harus menanggung api peperangan Salib itu, dalam aneka bentuk dan dalam berbagai samaran, selama abad-abad panjang kemudian. Dan kekejaman-kekejaman yang tak terpikirkan, penghancuran dan penghinaan yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan Salib yang "suci-suci" itu pada negeri-negeri Islam, mereka menaklukkannya dan sesudah itu mereka kalah, timbullah bibit-bibit beracun dari permusuhan panjang yang mulai saat itu memahitkan hubungan antara Timur dan Barat. Kalau tidak demikian maka tidak ada satu keperluan terpadu pada perasaan semacam itu. Walaupun kebudayaan Islam dan kebudayaan Barat seluruhnya berbeda dalam dasar-dasar spiritual dan tujuan-tujuan sosialnya, keduanya tentu sanggup bersikap toleran dan hidup berdampingan dalam hubungan bersahabat. Kemungkinan ini bukan saja diberikan dalam teori tetapi juga dalam kenyataan. Di pihak kaum Muslimin selalu ada harapan ikhlas untuk toleransi dan respek. Ketika khalifah Harun al-Rasyid mengirimkan dutanya kepada Kaisar Karel, terutama ia terdorong oleh hasrat ini dan bukan untuk mengambil keuntungan material dari persahabatan dengan orang-orang Frank. Pada masa itu Eropa terlalu primitif dalam kulturnya untuk dapat menilai kesempatan ini secara penuh, tetapi jelas mereka tidak memperlihatkan rasa tidak suka. Tetapi kemudian, secara tiba-tiba, peperangan Salib muncul di cakrawala dan menghancurkan hubungan antara Islam dan Barat. Bukan karena hal-hal ini lumrah sebagai akibat peperangan: demikian banyak peperangan telah berlangsung antara bangsa-bangsa dan kemudian dilupakan dalam perjalanan sejarah ummat manusia, dan sekian banyak permusuhan telah berubah menjadi persaudaraan. Tetapi setan yang ditimbulkan peperangan Salib tidak terbatas pada gemerencing pedang: setan itu pertama dan terutama berupa setan intelektual. Kejahatan itu terjadi dari peracunan pikiran Barat terhadap dunia Islam melalui penyalahtafsiran yang dilakukan dengan sengaja yang ditempa oleh gereja terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada masa peperangan Saliblah pengertian memalukan tentang Islam sebagai satu agama sensualisme yang kasar dan keganasan keji, agama upacara-upacara formalitas --alih-alih dari agama pembersihan hati-- memasuki pikiran Eropa dan tinggal tetap dalam pikiran mereka; pada waktu itulah pertama kalinya Nabi Muhammad saw. disebut "Mahound" (nabi palsu) di Eropa. Benih permusuhan telah ditaburkan. Gairah peperangan Salib segera beroleh kelanjutannya di mana-mana di Eropa: ia memberi semangat pada orang-orang Kristen Spanyol untuk berjuang melepaskan negeri itu dari "belenggu orang-orang biadab". Penghancuran terhadap Spanyol Islam meminta waktu berabad-abad untuk diselesaikan. Tetapi justru karena sebab lama berlangsungnya peperangan itu, perasaan anti Islam dari Eropa diperdalam dan tumbuh menjadi permanen. Ini berakibat pada pelenyapan unsur Muslimin di Spanyol sesudah penghukuman-penghukuman paling buas dan paling keji yang pernah disaksikan dunia dan kemenangan ini digemakan oleh kegembira-riaan Eropa --walaupun efeknya kemudian adalah kehancurkan kultur yang paling jaya dan penindasannya oleh kebodohan dan kekasaran zaman abad-abad pertengahan. Sebelum peristiwa-peristiwa itu beroleh waktu untuk hilang, peristiwa yang penting sekali, yang memperburuk hubungan antara dunia Barat dan Islam: kejatuhan Konstantinopel ke tangan orang Turki. Bagi mata orang Eropa di Konstantinopel masih ada gemerlap palsu Yunani dan Romawi yang diwariskan pada Byzantium, dan kota ini dipandang sebagai kubu terhadap "orang-orang barbar" dari Asia. Dengan akhir kejatuhan pintu gerbang itu, Eropa terbuka bagi arus pasang Islam. Dalam abad-abad penuh peperangan yang menyusulnya, permusuhan Eropa terhadap Islam bukan saja menjadi soal kultural tetapi juga kepentingan politik; dan ini memperkuat intensitas permusuhan ini. Eropa beroleh keuntungan yang lumayan dari semua kontak dan konflik-konflik ini. Renaissance, kebangkitan kebudayaan dan pengetahuan Barat, berhutang besar pada sumber-sumber Islam, terutama dari orang-orang Arab, yang bagian besarnya disebabkan karena kontak material antara Timur dan Barat. Eropa yang beroleh untung daripadanya dalam lapangan kultur, jauh lebih banyak daripada yang pernah diperoleh Islam; tetapi Eropa tidak pernah mengakui hutangnya kepada kaum Muslimin dengan mengurangi kebencian lamanya terhadap Islam. Sebaliknya kebencian itu timbul bersama perjalanan waktu dan diperkeras menjadi adat. Ia membayangi perasaan umum dimana saja kata-kata "Islam" disebut, ia memasuki wilayah peribahasa populer, ia dipatri ke dalam hati setiap orang Eropa laki-laki dan perempuan. Dan yang paling menonjol, ia hidup terus melewati segala perubahan-perubahan kultural. Waktu timbul reformasi, ketika perpecahan-perpecahan membagi Eropa dan sekte-sekte saling berperang: kebencian terhadap Islam sama bagi mereka semua. Suatu masa pernah datang ketika perasaan keagamaan mulai lenyap di Eropa: tetapi kebencian terhadap Islam tinggal menetap. Adalah satu fakta yang paling khas bahwa filosof dan pujangga besar Perancis, Voltaire, satu dari musuh-musuh keras gereja dan agama Kristen dalam abad kedelapan belas, pada saat yang sama juga adalah pembenci fanatik terhadap Islam dan Nabinya. Beberapa puluh tahun kemudian datanglah waktu di mana orang-orang terpelajar Barat mulai mempelajari kultur-kultur asing dan untuk mendekatinya secara simpatik: tetapi dalam perkara Islam, cemoohan tradisional menjalar sebagai prasangka tidak rasional kedalam penyelidikan-penyelidikan ilmiah mereka, dan jurang kultural yang sayangnya telah diletakkan sejarah antara Eropa dan dunia Islam tetap tak beroleh jembatan. Kebencian terhadap Islam telah menjadi bagian pokok --dari pikiran Eropa. Memang orientalis-orientalis pertama di zaman modern adalah dari misionari Kristen yang beroperasi di negeri-negeri Islam, dan gambar yang telah dirusak yang mereka tarik dari ajaran dan sejarah Islam diperhitungkan untuk mempengaruhi Eropa dalam sikap mereka terhadap "orang-orang biadab" itu: tetapi penyimpangan pikiran ini menetap bahkan hingga pada zaman sekarang ini ketika pengetahuan orientalism telah lama dilepaskan dari pengaruh-pengaruh misionari dan tidak memiliki semangat religius sebagai landasannya. Prasangka mereka terhadap Islam hanyalah naluri warisan, suatu keganjilan pandangan berdasarkan kesan yang disebabkan peperangan Salib dengan segala akibat pada pikiran Eropa awal itu. Tetapi bagi ahli ilmu jiwa penyeretan semacam itu sama sekali tidak mengejutkan. Ahli ilmu jiwa tahu dengan pasti sekarang bahwa seseorang dapat dengan sempurna kehilangan kepercayaan-kepercayaan agamanya yang telah diberikan kepadanya pada masa kanak-kanaknya sedang sesuatu takhyul aneh yang mulanya berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang sekarang telah dikesampingkan tetap kuat dan menantang segala keterangan rasional sepanjang hidup orang itu. Demikianlah halnya sikap Eropa terhadap Islam. Walaupun asal akarnya adalah perasaan religius, kebencian anti Islam terseret kepada pandangan hidup yang lebih materialistik, sehingga kebencian lama itu sendiri menetap sebagai faktor bawah sadar dalam pikiran Eropa. Tingkat kekuatannya tentu saja berbeda-beda pada setiap individu, tetapi adanya tidak dapat dibantah. Jiwa peperangan salib --dalam bentuk yang pasti sangat dilancungkan-- masih berkelana di Eropa, dan sikap peradabannya terhadap dunia Islam mengandung jejak-jejak yang nyata dari hantu yang tidak mau mati itu. Dalam lingkungan-lingkungan Islam kita sering mendengar penegasan bahwa kebencian Eropa terhadap Islam karena konflik-konflik dahsyat di masa lampau sedang berkurang berangsur-angsur pada zaman kita ini. Bahkan dikira bahwa Eropa sudah menunjukkan tanda-tanda kecenderungan kepada Islam sebagai ajaran agama dan ajaran sosial dan banyak kaum Muslimin yang dengan sangat sungguh-sungguh percaya bahwa masuknya orang-orang Eropa secara besar-besaran ke dalam Islam segera akan terjadi. Kepercayaan ini bukan tidak beralasan bagi kita yang berpegangan bahwa dari segala sistem-sistem agamawi hanya Islam saja yang dapat tegak dengan jaya di hadapan ujian kritik yang adil. Lagi pula telah dikatakan oleh Nabi bahwa akhirnya Islam akan diterima oleh seluruh ummat manusia. Tetapi di pihak lain, tidak ada bukti yang kecil sekalipun bahwa hal ini akan terjadi di waktu akan datang yang dapat dirasakan. Sejauh berhubungan dengan peradaban Barat, hal itu hanya mungkin terjadi sesudah serentetan gejolak sosial dan mental yang dahsyat yang akan menghancurkan penipuan-diri kultural Eropa sekarang dan mengubah mentalitasnya sehingga memungkinkan ia menjadi cakap dan sedia menerima keterangan religius tentang kehidupan. Sekarang dunia Barat masih tenggelam seluruhnya dalam pemujaan hasil-hasil capaian materialnya dan dalam kepercayaan bahwa keenakan, dan hanya keenakan saja, yang merupakan tujuan yang patut diperjuangkan. Materialismenya, penolakannya terhadap pandangan pikiran religius tentulah sedang bertambah kuat dan tidak berkurang seperti hendak dipercayakan oleh sebagian peninjau Muslimin yang optimis. Telah dikatakan bahwa pengetahuan modern mulai mengakui adanya satu kesatuan tenaga kreatif dibalik kerangka alam yang tampak; dan ini dalam anggapan orang-orang yang optimis itu adalah fajar kesadaran religius baru di dunia Barat. Tetapi dugaan ini hanya mengungkapkan rahasia suatu salah paham pikiran ilmiah Eropah. Tidak ada ahli ilmu pengetahuan yang sungguh-sungguh pernah menolak atau dapat menolak bahwa semesta alam ini disebabkan pada asalnya oleh satu sebab dinamik yang tunggal. Tetapi masalahnya selalu adalah sifat-sifat yang dapat diberikan pada "sebab" itu. Segala sistem kerohanian religius menegaskan bahwa itulah tenaga yang memiliki kesadaran dan budi mutlak, suatu kekuatan yang menciptakan dan mengatur semesta alam ini sesuai dengan satu rencana dan tujuan, tanpa ia sendiri dibatasi oleh hukum apapun: singkatnya, adalah Allah. Tetapi ilmu pengetahuan modern semacam itu tidak dipersiapkan dan tidak cenderung untuk maju sejauh itu (dan memang ini bukan wilayah sains) dan meninggalkan soal kebebasan dan tidak bergantung --dalam kata lain, soal keilahian-- dari tenaga kreatif itu sangat terbuka. Sikapnya kira-kira begini: "Mungkin demikian, tetapi aku tidak mengetahuinya dan aku tidak punya jalan ilmiah untuk mengetahuinya." Di masa depan falsafah ini barangkali akan berkembang menjadi semacam agnotisisme pantheistik dimana ruh dan benda, tujuan dan wujud, pencipta dan ciptaan, dianggap satu dan sama. Sukarlah untuk mengakui bahwa kepercayaan semacam itu dapat dianggap satu langkah maju menuju konsepsi Islam yang positif tentang Tuhan: karena hal itu tidak merupakan suatu perpisahan dengan materialisme, tetapi hanya satu peningkatannya pada taraf intelektual yang lebih tinggi dan lebih muluk. Sebagai kenyataan Eropa tidak pernah lebih jauh dari Islam daripada di masa sekarang ini. Permusuhan aktifnya terhadap agama kita mungkin sedang mundur; tetapi ini bukan karena suatu penilaian terhadap ajaran-ajaran Islam, melainkan karena kelemahan kultural dan perpecahan dari dunia Islam yang sedang tumbuh. Eropa sekali pernah takut kepada Islam dan ketakutan ini memaksa Eropa mengambil sikap permusuhan terhadap segala sesuatu yang bercorak Islam bahkan dalam soal-soal spiritual dan sosial pun juga. Tetapi pada saat ketika Islam telah kehilangan segala peranannya sebagai satu faktor yang berhadap-hadapan dengan kepentingan-kepentingan politik Eropa, sangatlah alami bahwa dengan berkurangnya ketakutan itu Eropa sewajarnya pula menghilangkan sebagian intensitas perasaan anti Islamnya. Kalau hal-hal ini telah menjadi kurang menonjol dan kurang aktif, ini tidak harus membawa kita pada kesimpulan bahwa Eropa dalam batinnya sedang datang lebih mendekat pada Islam: ini hanya menunjukkan sikap tidak acuhnya pada Islam. Sekali-kali tidaklah peradaban Barat mengubah sikap mentalnya yang khas. Eropa sekarang sama kuatnya menentang kosepsi hidup religius sebagaimana sebelumnya; dan seperti telah saya katakan, tidak ada bukti meyakinkan bahwa suatu perubahan akan tampak terjadi dalam waktu singkat di masa depan. Adanya misi Islam di Barat dan kenyataan bahwa sebagian orang Eropa dan Amerika telah memeluk agama Islam sama sekali bukan alasan. Dalam masa dimana materialisme sedang jaya diatas segala basis, hanyalah alami saja bahwa di sana-sini beberapa orang yang masih merindukan regenerasi spiritual mendengar penuh semangat pada kepercayaan apapun yang berdasarkan konsepsi-konsepsi religius. Dalam pandangan ini misi Islam tidak berdiri sendiri di Barat. Di sana terdapat sekte-sekte mistik Kristen yang tak terhitung jumlahnya dengan tendensi-tendensi "revivalist", di sana ada gerakan theosofi yang agak kuat, di sana ada kelenting-kelenting Budha serta misi-misi dan ada pemeluk-pemeluk agama baru pada berbagai kota-kota Eropa. Justru dengan menggunakan argumen-argumen yang sama dengan argumen dari misi-misi Islam itu, misi-misi agama Budha dapat mengakui (dan memang mereka mengakui) bahwa Eropa sedang "datang mendekat" pada Budhisme. Penerimaan agama oleh beberapa orang kedalam Budhisme atau agama Islam sekali-kali tidak membuktikan bahwa kedua aliran kepercayaan itu sesungguhnya telah mulai mempengaruhi kehidupan Barat dalam bandingan yang patut dinilai. Orang malah dapat maju lebih jauh lagi bahwa tidak ada dari misi itu yang telah sanggup membangkitkan lebih dari sekedar rasa ingin tahu terutama karena perkosaan yang dibuat oleh kepercayaan-kepercayaan atas pikiran-pikiran bangsa yang cenderung pada romantika. Tentu saja ada kekecualian-kekecualian dan sebagian dari pemeluk agama ini adalah orang-orang yang dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran; tetapi kekecualian tidaklah cukup untuk mengubah aspek satu peradaban. Sebaliknya apabila kita bandingkan jumlah pemeluk-pemeluk baru yang terkecuali ini dengan jumlah orang-orang Barat yang setiap hari mengalir masuk pada kepercayaan-kepercayaan sosial materialistik seperti Marxisme dan Fascisme, kita akan sanggup untuk menilai lebih benar tentang kecenderungan-kecenderung kebudayaan Barat modern. Mungkin, seperti telah ditunjukkan sebelumnya, bahwa ketegangan sosial dan ekonomi yang terus tumbuh dan mungkin juga satu rangkaian baru dari peperangan-peperangan dunia dalam dimensi-dimensi yang hingga kini belum dikenal serta terror-terror ilmiah akan membawa sorotan dahsyat terhadap penipuan diri materialistik dari peradaban Barat, sehingga ummatnya akan mulai sekali lagi dalam kesederhanaan dan kesungguhan, untuk mencari kebenaran-kebenaran spiritual; dan kemudian memungkinkan khotbah Islam di Barat. Tetapi perubahan-perubahan itu masih tersembunyi di balik cakrawala masa depan; karena itu adalah optimisme menipu diri yang berbahaya bagi kaum Muslimin untuk berbicara tentang pengaruh Islam seakan-akan sedang dalam perjalanan untuk menaklukkan semangat Eropa. Pembicaraan semacam itu pada hakekatnya tidak lain daripada kepercayaan Mahdi kuno dalam samarannya yang "rasional" --kepercayaan akan satu kekuatan yang tiba-tiba muncul dan membuat bangunan Islam yang sedang goncang tiba-tiba menjadi jaya. Kepercayaan itu berbahaya karena enak dan mudah dan cenderung untuk meninabobokkan kita, menjauh dari kenyadaran akan kenyataan bahwa secara kultural kita belum sampai ke mana-mana, sedang pengaruh Barat sekarang ini makin mencekam dalam dunia Islam; bahwa kita sedang tidur sementara pengaruh-pengaruh Barat membongkar dan menghancurkan masyarakat Islam di mana-mana. Menghasratkan perluasan penyebaran Islam tidaklah sama dengan membangun harapan palsu di atas hasrat itu. Kita sedang memimpikan sinar Islam memancar ke wilayah-wilayah jauh, sementara dalam wilayah sekitar kita sendiri pemuda Islam sedang meninggalkan medan harapan kita. 4. Tentang Pendidikan Selama kaum Muslimin memandang kebudayaan Barat sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat meregenerasi kebudayaannya yang macet, maka mereka menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan secara tidak langsung menopang penegasan Barat bahwa Islam adalah satu "kekuatan yang telah habis dikerahkan." Dalam pasal-pasal sebelumnya telah diberikan beberapa alasan bagi pendapat bahwa Islam dan peradaban Barat, karena didirikan di atas konsepsi-konsepsi hidup yang bertentangan sama sekali, tidak dapat dipertemukan dalam jiwanya. Karena demikian halnya, betapa kita dapat mengharapkan bahwa pendidikan angkatan muda Islam atas garis-garis Barat, satu sistem pendidikan yang seluruhnya didasarkan atas pengalaman-pengalaman dan nilai-nilai kultural Eropa, akan tetap bebas dari pengaruh-pengaruh anti-Islam? Kita tidak dibenarkan untuk mengharapkan ini. Kecuali dalam hal-hal yang jarang dimana pikiran cemerlang yang istimewa dapat menang atas hal-hal yang bersangkutan dengan pengaruh pendidikan, pendidikan Barat bagi angkatan muda Islam tentu akan membuang kemauan mereka untuk percaya pada risalah Nabi, membuang kemauan mereka untuk memandang diri mereka sebagai orang-orang yang mewakili kebudayaan Islam yang khas itu. Dapat dipastikan bahwa kepercayaan religius dengan pesat telah kehilangan tempat berpijak di kalangan inteligensia yang dididik menurut garis-garis Barat. Tentu saja ini tidak berarti bahwa Islam telah mempertahankan kemurniannya sebagai agama praktis di kalangan tidak terpelajar; tetapi betapapun juga, pada umumnya dari golongan ini kita mendapatkan sambutan sentimentil yang jauh lebih besar terhadap panggilan Islam --dalam jalan pengertian mereka yang sederhana-- daripada di kalangan kaum inteligensia yang telah dibaratkan. Menyingkirnya kaum inteligensia hasil pendidikan Barat ini tidaklah berarti bahwa ilmu pengetahuan, yang telah dihidangkan untuk santapan mereka telah memberikan argumentasi ilmiah --menentang kebenaran-kebenaran ajaran-ajaran agama kita, tetapi bahwa suasana intelektual peradaban Barat modern demikian keras anti agama, sehingga ia menekan sebagai beban maut atas kemungkinan-kemungkinan religius dari generasi muda Islam. Kepercayaan dan ketidakpercayaan religius sangat jarang yang hanya merupakan masalah argumentasi. Dari beberapa hal salah satunya diperoleh melalui jalan intuisi, atau marilah kita namakan dia "budi." Tetapi kebanyakan ia tersalur pada manusia melalui lingkungan kulturalnya. Ingatlah bahwa seorang anak yang sejak permulaan usianya secara sistematik mendengarkan lagu-lagu yang dibunyikan dengan sempurna, pendengarannya menjadi biasa untuk membeda-bedakan nada ritme dan harmoni: dalam usianya yang lebih lanjut ia akan sanggup, apabila tidak untuk mencipta lagu atau melagukannya, sekurang-kurangnya ia akan dapat memahami musik yang sulit sekalipun. Tetapi anak yang selama usia mudanya tidak pernah mendengar apapun yang menyerupai musik, di kemudian hari akan merasa sukar untuk menilai sekalipun hanya unsur-unsurnya saja. Demikian pula halnya dengan asosiasi-asosiasi religius. Seperti mungkin ada individu yang tidak beroleh "telinga" untuk musik, demikianlah --mungkin tetapi tidak bakal-- ada individu-invidu yang "tuli" sama sekali terhadap suara agama. Tetapi bagi bagian yang terbesar sekali dari makhluk manusia yang normal alternatif antara percaya dan ketidakpercayaan religius ditentukan oleh suasana di mana mereka dibesarkan. Itulah maka Nabi bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam kesucian asli; orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi, Masehi atau Majusi " (Hadits shahih Bukhari). Perkataan "orang tua" yang dipergunakan dalam hadits di atas secara logis dapat diartikan secara umum sebagai alam sekitar --kehidupan keluarga, sekolah, masyarakat dan sebagainya-- yang menentukan perkembangan permulaan si anak. Tidak dapat disangkal bahwa dalam keadaan kemunduran sekarang, suasana agama pada kebanyakan rumah tangga kaum Muslimin demikian rendah, menurun secara intelektual, sehingga dapat menimbulkan rangsangan pertama bagi si anak yang sedang tumbuh untuk membelakangi agama. Tentu ada kemungkinan demikian; tetapi dalam hal pendidikan pemuda-pemuda Muslimin menurut garis-garis Barat, efeknya bukan saja mungkin, tetapi sangat boleh jadi sekali, akan menimbulkan sikap anti agama dalam kehidupannya di kemudian hari. Tetapi dari sini datang pertanyaan besar: bagaimanakah mestinya sikap kita terhadap pengajaran modern? Protes terhadap pendidikan ala Barat bagi kaum Muslimin sama sekali tidak berarti bahwa Islam menentang pendidikan ilmu pengetahuan. Lawan-lawan menuduh bahwa Islam tidak mempunyai dasar theologik maupun historik. Kitab suci al-Qur'an penuh dengan penegasan-penagasan seperti: "supaya kamu jadi bijaksana", "supaya kamu berpikir", "supaya kamu tahu". Dikatakan di bagian permulaan kitab suci al-Qur'an: "Dan Ia mengajarkan Adam akan segala nama-nama itu." (Qur'an Suci, 2: 21) dan ayat-ayat bersangkutan dengan itu, menunjukkan bahwa karena pengetahuannya tentang "nama-nama" itu maka dalam pandangan tertentu manusia bahkan lebih tinggi derajatnya dari malaikat. "Nama-nama" di sini merupakan pernyataan simbolik untuk kemampuan memberi definisi yang khas bagi makhluk manusia, yang memungkinkan dia, dalam kata-kata al-Qur'an, untuk menjadi khalifah Allah di atas bumi. Dan untuk membuat penggunaannya secara sistematik, manusia harus belajar. Dan sehubungan dengan itu Nabi s.a.w. bersabda: "Apabila seseorang pergi dalam jalan menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan bagi dia jalan ke surga." (Hadits shahih Muslim) "Kelebihan orang berilmu pengetahuan atas orang yang (hanya) bersembahyang saja seperti kelebihan derajat bulan pada malam apabila (bulan) itu penuh atas segala bintang-bintang." (Musnad Ibn Hambal, Jami' At-Tirmidzi, Sunan Abi Da'ud, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi). Tetapi sebenarnya bahkan tidak perlu mengutip ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi untuk membela sikap Islam terhadap penuntutan ilmu pengetahuan. Sejarah Islam membuktikan di luar batas kemungkinan ragu bahwa tidak ada agama yang pernah memberikan dorongan semangat bagi kemajuan ilmiah seperti yang diberikan Islam. Dorongan semangat yang diperoleh penyelidikan ilmu pengetahuan dan pendidikan dari agama Islam berhasil dalam bentuk capaian kultural yang cemerlang dalam zaman Umayyah dan Abasiyyah dan zaman pemerintahan Islam di Spanyol. Eropa harus benar-benar mengetahui bahwa kulturnya tidak kurang berhutang kepada Islam daripada hutangnya pada renaissance sesudah berabad-abad dalam kegelapan. Saya tidak menyebut ini supaya kita kaum Muslimin boleh membanggakan diri dalam kenangan-kenangan jaya itu pada zaman ketika dunia Islam telah meninggalkan tradisinya sendiri dan jatuh ke dalam kebutaan dan kemiskinan intelektual ini. Dalam kemelaratan kita sekarang ini kita tidak punya hak untuk membanggakan kejayaan-kejayaan kita di masa lalu. Tetapi kita harus menyadari bahwa karena kelalaian kaum Musliminlah, dan bukan karena kekurangan dalam ajaran-ajaran Islam, yang menyebabkan kemunduran kita sekarang. Islam tidak pernah jadi penghalang bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Islam menghargai kegiatan intelektual manusia sampai tingkat demikian tinggi sehingga menempatkan dia di atas derajat malaikat. Tidak ada agama yang sampai sejauh itu dalam menegaskan dominasi akal pikiran, dan sebagai konsekuensinya, juga atas ilmu pengetahuan, diatas segala manifestasi-manifestasi hidup lainnya. Apabila kita berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama ini, kita tidak dapat berkehendak untuk melenyapkan pengetahuan modern dari kehidupan kita. Kita harus punya kemauan untuk belajar dan untuk maju dan menjadi efisien seperti bangsa-bangsa Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi. Tetapi yang tidak boleh dikehendaki oleh kaum Muslimin adalah melihat dengan mata Barat, berpikir dengan pikiran Barat; mereka tidak boleh, kalau mereka berhasrat untuk tetap Muslim, berkehendak untuk menukar peradaban spiritual Islam dengan eksperimen-eksperimen Barat yang materialistik. Pengetahuan itu sendiri tidak Barat dan tidak Timur; pengetahuan itu universal --tepat sebagaimana fakta-fakta alam itu universal. Tetapi sudut pandangan dari mana fakta-fakta dapat dipandang dan disuguhkan berbeda-beda menurut tabiat kebudayaan bangsa-bangsa. Biologi atau fisika sendiri umpamanya, tidak materialistik dan tidak spiritual dalam cakupan dan tujuannya; ilmu pengetahuan itu bersangkutan dengan observasi, koleksi dan defenisi dari fakta-fakta dan pengambilan hukum-hukum umum daripadanya. Tetapi kesimpulan-kesimpulan ini --yaitu falsafah ilmu pengetahuan-- tidak didasarkan atas fakta-fakta dan observasi-observasi saja, tetapi dipengaruhi dengan sangat luasnya oleh sikap intentif dan sikap temperamental yang ada sebelumnya kepada hidup dan problema-problema hidup. Filosof besar Jerman, Kant, mengatakan: "Tampaknya mengherankan pada mulanya, tetapi sama sekali tidak kurang pastinya, bahwa pemikiran kita tidak menarik kesimpulan dari alam, tetapi menerapkan pemikiran kita padanya." Singkatnya hanyalah segi pandangan subyektif yang menjadi soal di sini karena hal itu dapat mengubah seluruh penafsiran kita tentang alam semesta, interpretasi-interpretasi yang mungkin spiritual atau materialistik sesuai dengan pembawaan kita. Barat, walaupun intelektualismenya sangat indah, telah terbawa dalam arus materialistik dan oleh karena itu anti-agama dalam konsepsi-konsepsi dan pengiraan-pengiraan fundamentalnya; dan demikianlah wajarnya sistem pendidikan Barat pada keseluruhannya. Dengan kata lain, bukan studi tentang pengetahuan empirik yang merugikan pada realitas kultural Islam, tetapi jiwa peradaban Barat yang ditempuh kaum Muslimin dalam mendekati ilmu- lmu pengetahuan itu. Sangat tidak beruntung bahwa sikap tak acuh kita dan kelalalaian kita berabad panjang sejauh berhubungan dengan penyelidikan ilmiah, telah membuat kita seluruhnya bergantung pada sumbersumber pengetahuan Barat. Kalau kita selalu mengikuti prinsip yang menetapkan kewajiban belajar dan menuntut ilmu pengetahuan pada setiap Muslim, sekarang kita tidak harus mencari ilmu pengetahuan modern dari Barat dan dalam cara yang sama seperti orang yang sedang sekarat kehausan di padang pasir melihat bayangan air di cakrawala. Tetapi karena telah meninggalkan kemungkinan-kemungkinan kita sendiri selama waktu panjang, maka kita telah jatuh kedalam kebodohan dan kemiskinan, sementara Eropa melangkah maju dengan pesat. Akan makan waktu lama untuk menjembatani perbedaan ini, sehingga kita secara alami akan terpaksa menerima ilmu pengetahuan modern melalui media pendidikan Barat. Tetapi satu-satunya alat yang harus kita terima adalah hal-hal dan metoda-metoda ilmiah, dan tidak lain. Dengan kata lain kita tidak harus ragu-ragu untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan eksakta atas garis-garis Barat, tetapi tidak boleh kita memasukkan falsafah mereka walaupun sebagian kecil, dalam pendidikan generasi muda Islam. Tentu saja orang dapat mengatakan bahwa sekarang ini kebanyakan dari ilmu-ilmu pengetahuan eksakta, fisika atom umpamanya, telah maju melampaui batas penyelidikan empiris melulu dan telah memasuki bidang falsafah; dan dalam banyak hal sukar luar biasa untuk menarik garis batas antara ilmu pengetahuan empiris dan falsafah spekulatif. Ini benar. Tetapi pada segi lain, inilah justeru tepatnya titik dimana kultur Islam harus mengesahkan idenditas dirinya lagi. Menjadi kewajiban dan merupakan kesempatan bagi ahli ilmu pengetahuan Muslimin, ketika sekali mereka mencapai garis batas penyelidikan ilmiah itu, untuk menggunakan kemampuan mereka sendiri dalam wilayah pemikiran spekulatif dengan tidak bergantung pada teori-teori falsafah Barat. Dari sikap mereka sendiri --yang islami-- boleh jadi mereka akan tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan-kesimpulan ahli ilmu pengetahuan Barat modern. Tetapi apapun yang mungkin disuguhkan oleh masa depan, pastilah mungkin, bahkan sekarang juga, untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa penyerahan membudak pada sikap intelektual Barat. Yang paling mendesak dari yang diperlukan dunia Islam sekarang bukanlah pandangan filosofs tetapi sekedar perlengkapan ilmiah dan teknik modern. Kalau saya harus membuat usul-usul untuk dewan pendidikan ideal yang dikuasai oleh pertimbangan-pertimbangan Islam saja, saya akan mendesakkan bahwa dari segala hasil-hasil capaian intelektual Barat hanya ilmu-ilmu pengetahuan alam (dalam sikap terbatas seperti tersebut di atas) dan ilmu pasti saja yang harus diajarkan di sekolah-sekolah Islam, sedang pendidikan falsafah Barat harus bersih dari permulaannya. Dan tentang kesusasteraan Eropah, tentu saja tidak boleh diambil seluruhnya, tetapi harus ditempatkan pada posisi-posisi falsafahnya yang semestinya. Cara kesusasteraan ini diajarkan sekarang di negeri-negeri Islam terang-terang berat sebelah. Membesar-besarkan nilai-nilainya secara tidak terbatas, secara alami membawa pikiran muda dan belum matang untuk menghirup semangat peradaban Barat dengan sepenuh hati sebelum aspek-aspek negatifnya dapat dinilai dengan cukup. Dan dengan demikian bumi telah dipersiapkan bukan saja bagi pemujaan platonik tetapi juga peniruan praktis peradaban Barat --yang tidak mungkin dapat berjalan bersama jiwa Islam. Peranan kesusasteraan Eropa di sekolah-sekolah kaum Muslimin sekarang harus diambil alih oleh mata pelajaran kesusasteraan Islam yang berpandangan tajam dan layak, dengan suatu orientasi untuk memberikan kesan kepada pelajar dengan kedalaman dan kekayaan kultur Islam, dan dengan demikian untuk meresapkan kedalam dirinya harapan baru bagi masa depannya. Apabila mata pelajaran kesusasteraan, dalam bentuk yang sekarang lazim pada kebanyakan lembaga-lembaga Islam, turut membantu pengasingan pemuda-pemuda Muslim dari Islam, maka dalam ukuran yang jauh lebih besar sama benarlah itu dengan interpretasi Eropa tentang sejarah dunia. Dalam interpretasi Eropa tentang sejarah jelas disuguhkan kepada kita sikap kuno "Romawi lawan barbar." Interpretasi sejarah mereka bertujuan --tanpa mengakui tujuan itu-- untuk membuktikan bahwa bangsa-bangsa Barat dan peradaban mereka lebih tinggi daripada apapun yang telah dihasilkan dunia; dan dengan demikian ia memberi semacam pembenaran moral bagi usaha Barat untuk menguasai seluruh bagian dunia lainnya. Sejak dari zaman Romawi bangsa-bangsa Eropa telah membiasakan diri memandang perbedaan-perbedaan Timur dan Barat dari titik pijak norma Eropa yang salah itu. Dalam pertimbangannya, mereka bekerja atas dasar anggapan bahwa perkembangan ummat manusia hanya dapat dinilai atas dasar pengalaman-pengalaman kultural Eropa. Sewajarnyalah apabila pandangan yang disempitkan semacam itu menghasilkan perspektif yang rusak dan makin jauh, garis-garis observasi menyimpang dari basis kebiasaan pandangan Eropa, makin sulit bagi orang-orang Eropa untuk menangkap wajah dan struktur sebenarnya dari obyek-obyek historik yang dipertimbangkannya. Karena sikap ego-sentrik dari orang-orang Eropa, sejarah deskriptif mereka tentang dunia, sekurang-kurangnya hingga waktu ini, dalam kenyataannya tidak lain dari sejarah Barat yang diperluas. Bangsa-bangsa bukan Eropa hanya diperhatikan sejauh adanya dan perkembangannya berhubungan langsung dengan nasib Eropa dalam detail-detailnya yang banyak dan dalam warna-warna hidup, dan hanya mengizinkan pandangan-pandangan sepintas lalu di sana-sini pada bagian dunia lainnya; pembaca cenderung untuk menyerah pada ilusi bahwa kebesaran hasil-hasil capaian Barat dalam pandangan sosial dan intelektual tidak dapat dibandingkan dengan seluruh bagian dunia lainnya. Maka nyaris tampak seakan-akan dunia ini diciptakan untuk Eropa dan peradabannya saja, sedang seluruh peradaban lainnya hanya dimaksudkan.untuk membentuk satu bingkai yang cocok bagi seluruh kejayaan Barat itu. Satu-satunya efek yang dapat dicapai pendidikan Barat semacam itu pada pikiran pemuda bukan Eropa adalah perasaan kurang-harga-diri sejauh berhubungan dengan kultur-kultur mereka, sejarah masa lalu mereka serta kemungkinan-kemungkinan masa depan mereka sendiri. Mereka dididik secara sistematik untuk memungkiri masa depan mereka sendiri --kecuali apabila masa depan mereka itu diserahkan pada ideal-ideal Barat. Demi untuk merintangi efek-efek kejahatan ini, pemimpin-pemimpin pemikir Islam yang bertanggungjawab harus berusaha sekuat mungkin untuk merevisi pelajaran sejarah dalam lembaga-lembaga Islam. Tentu saja ini satu tugas yang sukar, dan ini akan meminta satu penyelidikan dan penelitian sejarah sebelum dihasilkan sejarah dunia baru seperti dilihat dengan mata Muslim. Tetapi walaupun tugas ini sulit, sama sekali bukanlah mustahil, dan lebih-lebih lagi: hal ini wajib. Kalau tidak demikian maka generasi muda akan terus disuguhi dengan arus-bawah kebencian terhadap Islam: dan hasilnya akan memperdalam perasaan kurang-harga-diri. Perasaan kurang-harga-diri ini tentu saja pasti akan teratasi apabila kaum Muslimin bersedia mengasimilasi kultur Barat dalam keseluruhannya dan melenyapkan Islam dari kehidupan mereka. Tetapi apakah mereka bersedia melakukannya? Kita percaya, dan perkembangan Barat sekarang ini menguatkan lagi kepercayaan ini, bahwa etika Islam, konsep-konsepnya tentang moral, keadilan sosial dan perorangan, tentang kemerdekaan, tidak terbatas lebih tingginya, tidak terbatas lebih sempurnanya daripada konsep-konsep dan ide-ide yang berhubungan dengan itu dalam peradaban Barat. Islam telah melenyapkan kebencian rasial dan membuka jalan bagi persaudaraan dan persamaan sesama manusia, sedang peradaban Barat masih tetap tidak sanggup melihat kebalik cakrawala antagonisme rasional dan nasional. Islam tidak pernah mengenal kelas-kelas dan perjuangan kelas dalam masyarakatnya, tetapi seluruh sejarah Eropa sejak dari zaman Yunani dan Romawi hingga pada zaman kita sekarang, penuh dengan perjuangan kelas dan kebencian rasial. Berkali-kali harus diulang bahwa hanya satu hal saja yang dapat diperoleh dengan manfaatnya dari Barat, yaitu ilmu-ilmu pengetahuan eksakta dalam bentuknya yang murni dan yang diterapkan. Keperluan untuk menuntut ilmu pengetahuan dari luar tidak boleh membawa akibat seorang Muslim memandang peradaban Barat lebih tinggi dari kebudayaannya sendiri --kalau tidak demikian maka ia sebenarnya tidak mengerti apa arti Islam. Kelebihan satu kultur atau civilisasi atas kultur atau civilisasi lainnya tidak terletak pada pemilikan jumlah lebih besar ilmu pengetahuan material (walaupun ini lebih disukai), tetapi pada enersi etiknya, pada kemungkinannya yang lebih besar untuk menerangkan dan mengkordinasi segala aspek-aspek kehidupan manusia. Dan dalam pandangan ini Islam mengatasi segala macam kultur. Kita hanya harus mengikuti hukum-hukumnya supaya mencapai setinggi mungkin yang dapat dicapai makhluk manusia. Tetapi kita tidak dapat dan tidak boleh meniru peradaban Barat kalau kita hendak mempetahankan dan menghidupkan nilai-nilai Islam. Kejahatan yang disebabkan pengaruh intelektual dari peradaban itu dalam tubuh Islam jauh lebih besar daripada keuntungan material yang mungkin diberikannya. Kalau di masa lalu kaum Muslimin lalai dalam penuntutan ilmu pengetahuan, mereka tidak patut mengharap untuk memperbaiki kesalahan itu sekarang dengan jalan menerima pengetahuan Barat tanpa terkendali. Segala kemunduran kita dalam bidang ilmu pengetahuan dan segala kemiskinan kita tidak dapat dibandingkan dengen efek maut, terhadap kemungkinan-kemungkinan religius dunia Islam, akibat dari perbuatan kita meniru buta struktur pendidikan Barat. Apabila kita hendak mempertahankan realitas Islam sebagai satu faktor kultural maka kita haus waspada terhadap suasana intelektual peradaban Barat yang kini sedang menaklukkan masyarakat kita dan kecenderungan-kecenderungan kita. Dengan jalan meniru cara-cara dari mode hidup Barat kaum Muslimin berangsur-angsur didesak untuk menerima pandangan Barat: karena meniru pandangan lahir secara berangsur-angsur akan membawa asimilasi yang bersangkutan dengan pandangan dunia yang mendasari wajah lahir itu. 5. Tentang Meniru Peniruan mode hidup Barat --secara individual dan sosial-- oleh kaum Muslimin, pastilah merupakan bahaya yang terbesar bagi kehidupannya; atau lebih tepat: yang besar bagi kebangkitan kembali peradaban Islam. Asal dari penyakit kultural ini (hampir tidak mungkin menyebutnya dengan kata lain) mulai beberapa puluh tahun lalu dan berhubungan dengan rasa frustrasi kaum Muslimin yang melihat kekuatan dan kemajuan material Barat dan mengemukakan kontrasnya dengan masyarakat mereka sendiri yang menyedihkan. Karena ketidaktahuan kaum Muslimin akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya --sangat besar disebabkan oleh sikap berpikir sempit golongan yang disebut ulama, timbul dalam idea kaum Muslimin bahwa mereka tidak akan sanggup mengikuti langkah bersama kemajuan bagian dunia lainnya kecuali apabila mereka menerima hukum-hukum sosial dan ekonomi Barat. Dunia Islam macet dan banyak orang Muslimin datang pada kesimpulan yang paling dangkal bahwa sistem sosial dan ekonomi Islam tidak dapat disepakatkan dengan tuntutan-tuntutan kemajuan, dan oleh karena itu harus disesuaikan dengan garis-garis Barat. Orang-orang "yang telah menerima sinar penerangan" itu tidak ambil pusing untuk bertanya betapa Islam, sebagai satu ajaran, bertanggungjawab atas kemunduran kaum Muslimin; mereka tidak mau berhenti untuk menyelidiki sikap Islam yang sesungguhnya, yaitu sikap al-Qur'an dan Sunnah; mereka hanya menunjukkan bahwa ajaran-ajaran ahli-ahli agama pada zamannya adalah dalam kebanyakan hal-hal itu merupakan rintangan bagi kemajuan dan capaian material. Alih-alih daripada mengarahkan perhatian pada sumber-sumber asli ajaran Islam, mereka menyamakan Syari'ah dengan fiqih yang telah kejang pada masanya, dan mendapatkan bahwa fiqih dalam zaman itu kekurangan dalam berbagai segi: akibatnya mereka kehilangan kepentingan praktis pada Syari'ah dan meninggalkannya pada wilayah sejarah dan pengetahuan-buku. Dan dengan demikian peradaban Barat muncul pada mereka sebagai satu-satunya jalan keluar dari bencana degenerasi Islam. Karya-karya sekarang yang lebih bijaksana --diantaranya buku cemerlang Islamlasmaq oleh Pangeran Sa'id Halim Pasya yang secara konklusif membuktikan bahwa Syari'ah Islam bukanlah halangan bagi kemajuan modern --datang terlambat untuk membendung kekaguman buta pada Barat oleh sekian banyak kaum Muslimin. Efek penyembuhan dari karya-karya itu dinetralisir oleh pasang naik kesusasteraan apologetik yang kurang baik yang --sementara tidak menyangkal ajaran-ajaran praktis Islam-- berusaha menunjukkan bahwa Syari'ah dapat dipasang dibawah konsepsi-konsepsi sosial dan ekonomi Barat. Dengan demikian peniruan peradaban Barat oleh kaum Muslimin mereka anggap patut dibenarkan dan dirintislah jalan ke arah penyangkalan berangsur-angsur dari prinsip-prinsip Islam yang paling elementer --selalu di bawah samaran "kemajuan" Islam-- yang sekarang menandakan evolusi dari beberapa negeri Islam yang paling maju. Adalah sia-sia untuk berbantah, seperti banyak dilakukan oleh kaum "intelektual" Muslim, bahwa tidaklah mengandung konsenkuensi spiritual apapun baik kita hidup dalam cara ini atau cara itu, baik kita memakai pakaian Eropa atau memakai pakaian orang tua kita, baik kita konservatif dalam cara kita berpakaian atau tidak. Tentu saja tidak ada pikiran sempit dalam Islam. Seperti telah dikatakan dalam pasal permulaan buku ini, Islam memberikan pada manusia satu wilayah kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas sejauh ia tidak bertindak bertentangan dengan perintah-perintah agama. Tetapi lepas sama sekali dari kenyataan bahwa banyak hal yang merupakan bagian struktur sosial Barat --seperti umpamanya hubungan bebas pria dan wanita atau kepentingan modal sebagai basis aktivitas ekonomi-- pastilah bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam; karakter asli dari peradaban Barat secara definitif menyingkirkan orientasi religius manusia, seperti telah saya usahakan memperlihatkannya. Dan hanya manusia-manusia yang sangat dangkal pandangannya dapat percaya bahwa kita mungkin meniru satu kebudayaan dalam pandangan lahirnya tanpa sementara itu dipengaruhi oleh jiwa peradaban itu. Peradaban bukanlah satu bentuk kosong tetapi satu energi yang hidup. Pada saat kita mulai menerima bentuk kebudayaan lahir itu maka arus-arus yang terpadu padanya dan pengaruh-pengaruh dinamiknya mulai bekerja dalam diri kita dan dengan perlahan-lahan, tidak tampak, membentuk seluruh sikap mental kita. Adalah dalam penilaian sempurna pengalaman-pengalaman ini maka Nabi bersabda: "Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia menjadi satu dari mereka." (Musnad Ibnu Hambal, Sunan Abi Da'ud). Hadits yang terkenal ini bukan saja satu isyarat moral, tetapi juga merupakan satu pernyataan obyektif yang menegaskan bahwa tidak mungkin terelakkan kemungkinan kaum Muslimin terasimilasi oleh peradaban nonmuslim, apapun yang mereka tiru dalam wajah lahirnya. Dalam pandangan ini hampir tidak mungkin untuk melihat perbedaan antara aspek-aspek "penting" dan "tidak penting" dari kehidupan sosial. Tidak ada yang tidak penting dalam rangkaian ini. Tidak akan ada kesalahan yang lebih besar daripada menganggap bahwa pakaian umpamanya hanyalah sesuatu yang bersifat "lahir" melulu dan dengan demikian tidak berakibat apa-apa pada wujud intelektual dan spiritual manusia. Pada umumnya pakaian adalah hasil dari perkembangan beradab-abad dari cita rasa manusia dalam arah yang khas. Modenya berhubungan dengan konsepsi-konsepsi estetik bangsa itu, dan demikian pula kecenderungan-kecenderungannya. Mode pakaian itu telah dibuat bentuknya dan terus menerus dibentuk lagi sesuai dengan perubahan-perubahan yang dilalui karakter dan kecenderungan-kecenderungan bangsa itu. Mode Eropa sekarang umpamanya, berhubungan sempurna dengan karakter intelektual dan moral Eropa. Sementara memakai pakaian Eropa kaum Muslimin dengan tidak sadar meniru cita rasa Eropa dan memalingkan wujud intelektual dan moralnya dalam cara demikian rupa yang kesudahannya sesuai dengan pakaian baru itu. Dan dengan berbuat demikian itu ia menyangkali kemungkinan-kemungkinan kultural ummatnya sendiri, ia menentang cita rasa tradisional mereka, kesukaan dan kebencian mereka, dan mengenakan pakaian budak intelektual dan moral yang diberikan oleh peradaban asing kepadanya. Apabila seorang Muslim meniru pakaian, cara dan mode hidup Eropa, ia berkhianat memihak pada kebudayaan Eropa, betapapun juga sikap pura-puranya dalam pengakuannya. Praktis tidak mungkin meniru satu peradaban asing dalam kerangka intelektual dan estetiknya tanpa menerima penilaian jiwanya. Dan sama tidak mungkinnya untuk meniru jiwa satu peradaban yang bertentangan dengan pandangan hidup religius --tetapi tetap sebagai seorang Muslim yang baik. Kecenderungan untuk meniru suatu peradaban asing adalah akibat dari satu perasaan kurang-harga-diri. Perasaan kurang-harga-diri ini, dan hanya ini saja, yang mendorong kaum Muslimin meniru peradaban Barat. Mereka memperbandingkan kekuatannya dan kecakapan teknik dan permukaannya yang cemerlang dengan kemelaratan sedih dari dunia Islam, dan mereka mulai percaya bahwa dalam masa kita tidak ada jalan selain jalan Eropa. Mempersalahkan Islam karena kekurangan-kekurangan kita sendiri mulai menjadi mode. Paling-paling yang disebut kaum intelektual mengambil satu sikap apologetik dan berusaha meyakinkan diri mereka sendiri dan orang-orang lain bahwa Islam dapat dipertemukan dengan peradaban Barat. Untuk mencapai regenerasi Islam, kaum Muslimin harus membebaskan diri mereka seluruhnya dari jiwa apologia bagi agamanya sebelum mengambil tindakan-tindakan reformasi. Seorang Muslim harus hidup dengan kepala terangkat. Ia harus menyadari bahwa ia bersifat khas dan berbeda dari bagian dunia lainnya dan ia harus belajar merasa bangga karena perbedaannya itu. Ia harus berusaha, untuk memelihara perbedaan itu sebagai sifat yang mahal dan menyerukannya dengan bangga kepada dunia --alih-alih daripada sikap apologetik untuk itu dan mencoba untuk menyerapkan diri ke dalam lingkungan kultural lain. Ini tidak berarti bahwa kaum Muslimin harus memencilkan diri dari suara-suara yang datang, dari luar. Selalu boleh menerima pengaruh-pengaruh baru yang positif dari peradaban asing tanpa harus menghancurkan peradabannya sendiri. Contoh hal semacam itu adalah renaissance Eropa. Di sana kita lihat betapa bersedia Eropa menerima pengaruh-pengaruh Arab dalam isi dan metoda belajar. Tetapi Eropa tidak pernah meniru wajah lahir dan jiwa kultur Arab dan tidak pernah mengkorbankan kebebasan intelektual dan estetikanya sendiri. Eropa menggunakan pengaruh-pengaruh Arab hanya sebagai pupuk atas tanahnya sendiri, tepat seperti orang-orang Arab menggunakan pengaruh-pengaruh Hellenisme pada masanya. Dalam kedua hal ini hasilnya adalah yang berupa tumbuhan baru yang kuat dari peradaban asli, penuh kepercayaan pada diri sendiri. Tidak ada satu peradaban dapat menjadi makmur, ataupun hidup, sesudah kehilangan kebanggaan ini dan sesudah kehilangan hubungan dengan masa lalunya sendiri. Tetapi dunia Islam, dengan kecenderungannya yang meningkat untuk meniru Eropa dan mengasimilasi idea-idea Barat, berangsur-angsur sedang memotong ikatan-ikatan yang menyambung dia dengan masa lalunya, dan oleh karena itu bukan saja kehilangan dasar kulturalnya tetapi juga dasar spiritualnya. Tetapi banjir dahsyat kebudayaan Barat telah menyapu akar-akar itu menjadi telanjang; dan pohon itu perlahan-lahan luruh karena kekurangan zat makanan. Daun-daunnya gugur, dahannya layu. Pada akhirnya batangnya sendiri dalam bahaya keruntuhan. Demikianlah peradaban Barat tidak dapat menjadi jalan yang benar untuk menghidupkan lagi kaum Muslimin dari kemabukan mental dan sosial yang disebabkan oleh degenerasi agama praktis menjadi kebiasaan melulu tanpa hidup dan tanpa kepentingan moral. Maka dimana lagi kaum Muslimin harus mencari dorongan spiritual dan intelektual yang sangat dibutuhkan pada masa-masa ini? Jawabnya sama sederhananya dengan pertanyaan itu sendiri; sesungguhnya jawabannya telah termasuk dalam pertanyaan itu sendiri. Seperti telah dikatakan berulang-ulang sebelumnya, Islam bukan saja satu "kepercayaan hati" tetapi juga satu program hidup individual dan sosial dengan ketentuan-ketentuan yang sangat jelas sekali. Ini dapat dihancurkan dengan diasimilasikannya pada kultur asing yang mempunyai dasar-dasar moral yang berbeda secara hakiki. Sama seperti itu, dapat diregenerasi pada saat ia dibawa kembali pada realitasnya sendiri dan diberi nilai dari satu faktor yang menentukan dan membentuk kehidupan pribadi dan kehidupan sosial dalam segala aspek-aspeknya. Di tengah-tengah tabrakan ide-ide baru dan arus-arus kultural bersimpang siur, yang demikian khas bagi zaman kita ini, Islam tidak lagi dapat tinggal dalam bentuk kosong. Ia telah terbangun dari tidur tersihirnya selama berabad-abad; tetapi itu berarti kelaparan; ia harus bangkit atau mati. Permasalahan yang menantang kaum Muslimin sekarang adalah problema musafir yang tiba di simpang jalan. Ia dapat diam di tempatnya, tetapi ini berarti mati kelaparan. Ia dapat memilih jalan yang bertanda "Menuju Peradaban Barat" tetapi kalau demikian maka ia harus meninggalkan masa lalunya untuk selama-lamanya. Atau ia memilih jalan yang bertanda: "Menuju Realitas Islam". Jalan ini saja yang dapat tampil bagi mereka yang percaya akan masa lulu mereka dan percaya akan kemungkinan peralihan ke dalam masa depan yang hidup. 6. Hadits dan Sunnah Banyak usul pembangunan kembali telah dimajukan ulama puluhan tahun yang lalu, dan banyak dokter-dokter kerohanian telah berusaha meramu obat paten bagi tubuh Islam yang sedang sakit, tetapi hingga sekarang segalanya sia-sia karena semua dokter-dokter pintar itu --sekurang-kurangnya mereka yang terdengar sekarang memang telah memberikan resep obat mereka bersama berbagai vitamin dan perangsang, tetapi semua lupa memberikan resep diet alami yang seharusnya menjadi dasar perkembangan pertama pasien itu. Diet ini, satu-satunya yang dapat diterima secara positif, yang dapat diasimilasi oleh si sehat maupun si sakit, adalah Sunnah Nabi kita Muhammad s.a.w. Sunnah adalah kunci pengertian kebangkitan Islam lebih dari tiga belas abad yang silam; dan mengapa ia tidak harus menjadi kunci bagi regenerasi kita sekarang? Peninjauan daripada Sunnah adalah sama dengan peninjauan kehidupan dan kemajuan Islam. Mengabaikan Sunnah adalah sama dengan kekacauan dan kemunduran Islam. Sunnah adalah kerangka besi dari rumah Islam; dan kalau anda lepaskan kerangka itu dari suatu bangunan akan terkejutkah anda apabila gedung itu ambruk seperti rumah-rumah kartu? Kebenaran sederhana, hampir diterima secara bulat oleh seluruh orang-orang berilmu sepanjang sejarah Islam --kita mengetahuinya dengan baik adalah paling tidak populer sekarang karena sebab-sebab berhubungan dengan pengaruh peradaban Barat yang terus berkembang. Walau demikian keadaannya, namun hal ini tetap benar dan dalam kenyataan merupakan satu-satunya kebenaran yang dapat menyelamatkan kita dari kekacauan dan kemunduran kita yang memalukan sekarang ini. Perkataan Sunnah dipergunakan di sini dalam pengertiannya yang paling luas, yaitu teladan yang telah diberikan Nabi kepada kita dalam tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan beliau. Hidup beliau yang mengagumkan adalah gambaran yang hidup dan keterangan dari al-Qur'an dan tidak mungkin kita dapat membuat keadilan yang lebih besar terhadap Kitab Suci itu kecuali dengan mengikuti beliau yang menjadi alat wahyu. Kita telah melihat bahwa salah satu dari hasil-hasil yang dicapai Islam, satu-satunya yang membedakannya dari segala sistem-sistem kerohanian, adalah pertemuan antara segi moral dan segi material dari kehidupan insani. Ini merupakan satu dari sebab-sebab mengapa Islam pada permulaannya memperoleh sukses dan demikian jaya dimana saja ia tampil. Ia membawa pada manusia pesan baru yang tidak perlu direndahkan supaya langit dapat dicapai. Pandangan Islam yang menonjol ini menerangkan mengapa Nabi kita dalam tugas suci beliau sebagai Rasul pembimbing ummat manusia demikian mendalam berurusan dengan kehidupan dalam kecenderungannya sebagai gejala spiritual dan material. Oleh karena itu maka tidaklah menunjukkan pengertian yang dalam tentang Islam apabila orang membeda-bedakan perintah-perintah dari Nabi yang berbicara tentang hal-hal peribadatan dan kerohanian dengan yang berhubungan dengan soal-soal kemasyarakatan dan kehidupan kita sehari-hari. Sanggahan bahwa wajib kita mengikuti perintah-perintah dari kelompok 'ubudiyah dan kerohanian tetapi tidak wajib mengikuti perintah-perintah kelompok kemasyarakatan dan kehidupan sehari-hari adalah sama dangkal dari segi jiwanya, sama anti-Islam, seperti idea bahwa ketentuan-ketentuan umum daripada al-Qur'an hanya dimaksudkan bagi orang-orang Arab awam pada masa turunnya wahyu dan bukan bagi tuan-tuan yang telah maju dalam abad ke dua puluh. Pada akarnya terletak sikap pandang enteng tentang risalah Nabi besar itu. Karena hidup seorang Muslim harus diarahkan atas kerja sama yang penuh dan tanpa reserve antara wujud rohani dan jasadi, demikianlah pimpinan Nabi kita merangkul sebagai satu keseluruhan terpadu, satu keseluruhan total manifestasi-manifestasi moral dan praktek, individual dan sosial. Inilah arti yang paling dalam daripada Sunnah. Al-Qur'an berkata: "Apa saja yang diberikan Nabi kepadamu, terimalah; dan barang apa saja yang dilarangnya, jauhkanlah." (Qur'an Suci, 59:7). Dan Nabi mengatakan pula: "Orang Yahudi telah terpecah pecah menjadi tujuh puluh satu firqah, orang Kristen menjadi tujuh puluh dua firqah, dan kaum Muslimin akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah." (Sunan Abu Da'ud, Jami' at-Tirmidzi, Sunan ad-Darimi, Musnad Ibnu Hambal) Dalam hubungan ini dapat disebut bahwa bilangan "tujuh puluh" sering berarti banyak dan tidak mesti menunjukkan angka hitung yang sesungguhnya. Dengan angka itu terang Nabi bermaksud mengatakan bahwa firqah-firqah dan perpecahan-perpecahan di antara kaum Muslimin akan sangat banyak, bahkan lebih dari orang-orang Yahudi dan Kristen, dan beliau menambahkan: "Mereka semua masuk neraka, kecuali satu." Ketika para sahabat bertanya satu yang mana yang terpimpin ke jalan benar itu, Nabi menjawab: "Yaitu yang didasarkan pada Sunnahku dan sunnah para sahabatku." Ayat-ayat tertentu membuat pokok ini menjadi terang di luar segala kemungkinan salah pengertian: "Tidak, demi Tuhanmu! Mereka belum sebenarnya beriman sebelum mereka meminta keputusan kepada engkau (Muhammad) dalam perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menaruh keberatan dalam hatinya terhadap putusan yang engkau adakan dan mereka patuh dengan sesungguhnya." (Qur'an Suci, 4:65) "Katakanlah (Muhammad): Kalau kamu betul-betul mencintai Allah, turutlah aku, niscaya kamu akan dicintai oleh Allah dan diampuniNya dosamu, dan Allah pengampun dan penyayang. Katakanlah: Patuhlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi kalau mereka berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang tidak beriman." (Qur'an Suci, 3:31-32) Oleh karena itu maka Sunnah Nabi, sesudah al-Qur'an, adalah sumber kedua dari hukum Islam tentang perilaku masyarakat dan individu. Memang kita harus memandang Sunnah sebagai satu-satunya keterangan yang kuat dari ajaran-ajaran al-Qur'an, satu-satunya alat untuk menjauhkan perbedaan-perbedaan pendapat mengenai tafsirannya dan peneterapannya untuk penggunaan praktis. Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai arti kiasan dan dapat diartikan dalam cara berbeda-beda kecuali ada sistem penafsiran yang definitif. Dan oleh karena itu pula maka banyak hal-hal yang penting secara praktis tidak dibicarakan secara terurai dalam al-Qur'an. Jiwa yang meliputi al-Qur'an itu sebenarnyalah seragam seluruhnya; tetapi untuk menarik deduksi sikap praktis yang harus kita ambil dari padanya tidaklah selalu mudah. Selama kita percaya bahwa Kitab ini adalah Firman Allah, sempurna dalam bentuk dan tujuannya, maka satu-satunya kesimpulan logis adalah bahwa ia tidaklah dimaksudkan untuk dipergunakan terlepas dari pimpinan pribadi Nabi yang tercakup dalam sistem Sunnah. Dalam pasal berikut akan diusahakan untuk menerangkan sebab-sebab terkahir untuk menghubungkan al-Qur'an, untuk selama-lamanya, dengan pribadi Nabi yang membimbing dan memberi inspirasi. Untuk tujuan-tujuan pasal ini jalan pemikiran yang berikut ini seharusnya sudah cukup. Jalan pemikiran kita mengatakan bahwa tidak mungkin ada juru tafsir yang lebih baik dari ajaran-ajaran al-Quran daripada melalui orang pada siapa firman itu diwahyukan untuk umat manusia Slogan yang paling sering kita dengar pada zaman kita, "Mari kembali kepada al-Quran, tetapi jangan kita menjadi pengikut membudak pada Sunnah", hanya menunjukkan ketidaktahuan kita tentang Islam. Orang-orang yang berkata demikian menyerupai orang yang hendak masuk ke satu istana tetapi tidak hendak menggunakan kunci yang asli, satu-satunya kunci yang cocok untuk membuka pintu itu. Sampailah kita sekarang pada soal yang sangat penting tentang keaslian dari sumber-sumber yang membentangkan kehidupan dan ucapan-ucapan Nabi Besar kepada kita. Sumber-sumber ini ialah Hadits, catatan turun-temurun tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi yang dilaporkan dan disalurkan oleh sahabat-sahabat beliau dan dikumpulkan dengan kritis dalam abad-abad pertama Islam. Banyak orang Muslimin modern berpaham bahwa mereka akan sedia mengikuti Sunnah, tetapi mereka berpendapat bahwa mereka tidak dapat bersandar pada tubuh Hadits di mana Sunnah itu terletak. Telah menjadi mode dalam zaman kita untuk secara prinsip menolak keaslian Hadits dan oleh karena itu menolak seluruh struktur Sunnah. Adakah satu jaminan ilmiah bagi sikap ini? Adakah satu pembenaran ilmiah untuk menolak Hadits sebagai sumber hukum Islam yang patut dijadikan panutan? Orang sering berpikir bahwa lawan-lawan pikiran orthodoks akan sanggup mengemukakan argumen-argumen yang sesungguhnya meyakinkan yang akan mengukuhkan, sekali untuk selamanya, tentang pendapat bahwa hadits-hadits yang dikatakan berasal dari Nabi tidak dapat dijadikan sandaran. Tetapi tidaklah demikian halnya. Walau telah dipergunakan segala jalan untuk menantang keaslian Hadits sebagai satu badan, oleh kritikus-kritikus modern dari Timur dan dari Barat, tetapi mereka tidak mampu menopang kritik mereka yang bersifat temperamental melulu dengan hasil penelitian ilmiah. Malah lebih sulit berbuat demikian karena penyusun-penyusun kumpulan Hadits dahulu, terutama Imam Bukhari dan Imam Muslim, telah melakukan segala apa yang mungkin dapat dilakukan manusia untuk menempatkan keaslian setiap Hadits pada ujian yang paling keras --ujian yang jauh lebih keras dari yang biasa dilakukan ahli-ahli sejarah Barat terhadap suatu dokumen historik. Akan jauh keluar batas-batas buku ini untuk membicarakan berpanjang-panjang di sini tentang metoda penelitian yang keras yang dipergunakan untuk menyelidiki kebenaran Hadits oleh para muhadditsuun, yaitu orang-orang berilmu yang mengabdi pada studi tentang Hadits. Untuk maksud kita sekarang akan cukuplah apabila dikatakan bahwa satu cabang ilmu pengetahuan yang sempurna telah dikembangkan, obyeknya semata-mata adalah penyelidikan tentang arti, bentuk dan cara penyaluran Hadits Nabi. Cabang sejarah dari penegetahuan ini berhasil dalam menegakkan satu rantai tak terputus dari riwayat hidup mendetail dari pribadi-pribadi yang pernah disebut oleh perawi-perawi Hadits. Kehidupan orang-orang laki-laki dan perempuan telah diselidiki dengan sempurna dari segala segi pandangan, dan hanya orang-orang yang telah diterima sebagai orang-orang yang terpercaya, yang jalan hidup mereka dan cara mereka menyalurkan Hadits, sempurna memenuhi standar yang ditentukan oleh muhadditsuun terkenal dan dipercayai sebagai paling tepat yang dapat dipikirkan. Oleh karena itu apabila sekarang seseorang hendak menyangkal akan keaslian satu Hadits tertentu atau keseluruhan sistemnya, maka tugas untuk membuktikan ketidaktepatannya jatuh pada orang itu sendiri. Secara ilmiah sama sekali tidak dibenarkan untuk menyangkal kebenaran suatu sumber historik, kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa sumber itu bercela. Apabila tidak ada argumen yang dapat diterima, yaitu apabila tidak dapat diperoleh argumen ilmiah untuk menentang sumber itu sendiri atau terhadap salah satu atau lebih dari musnad-musnadnya, dan apabila sebaliknya tidak ada laporan bertentangan tentang hal itu, maka kita harus menerima kebenaran Hadits itu. Bayangkan umpamanya apabila orang berbicara tentang peperangan-peperangan Mahmud dan Ghasna di India lalu anda bangkit dan berkata: "Saya tidak percaya bahwa Mahmud pernah datang ke India. Itu dongengan tanpa dasar sejarah!" Apa yang akan terjadi dalam hal seperti itu? Seseorang yang mengenal sejarah segera akan berusaha memperbaiki kekeliruan anda dan akan mengutip catatan-catatan sejarah yang didasarkan pada laporan-laporan orang yang hidup di zaman itu tentang sultan yang termasyhur itu, sebagai bukti definitif dari fakta bahwa Mahmud pernah di India. Dalam hal ini anda harus menerima bukti itu --atau anda akan dipandang sebagai orang sakit yang tanpa alasan yang terang menolak fakta-fakta sejarah yang kuat. Kalau demikian halnya maka orang akan bertanya-diri: mengapa kritikus-kritikus modern ini tidak mengemukakan pemikiran jujur yang logis yang sama seperti itu pada masalah Hadits? Dasar pertama akan palsunya Hadits berarti telah terjadi kebohongan yang disengaja pada pihak sumber pertama, yaitu yang bersangkutan dengan para sahabat, atau penyalur-penyalur kemudian. Tentang para sahabat, kemungkinan semacam itu dapat dikecualikan secara a priori. Hanya diperlukan tinjauan psikologik kedalam masalah ini untuk menyingkirkan anggapan-anggapan semacam itu kedalam wilayah khayal melulu. Kesan cemerlang yang telah dipancarkan pribadi Nabi pada orang-orang laki-laki dan perempuan di sekitarnya adalah satu fakta menonjol dari sejarah ummat manusia; lagi pula hal itu terdokumentasi dengan baik sekali oleh sejarah. Dapatkah diterima bahwa orang-orang yang siap sedia mengorbankan diri mereka dan segala yang mereka miliki apabila dikehendaki Rasulullah akan memainkan tipu daya dengan kata-kata beliau? Nabi telah berkata: "Barangsiapa dengan sengaja berbohong tentang saya akan tersedialah tempatnya di neraka". (Shahih Bukhari, Sunan Abi Da'ud, Jami' at-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, Musnad Ibn Hambal). Ini diketahui para sahabat; secara mendalam mereka percaya akan kata-kata Nabi yang mereka pandang sebagai juru bicara dari Allah SWT; dan mungkinkah dari segi pandangan psikologi bahwa mereka akan mengabaikan perintah yang sangat tegas ini? Dalam proses peradilan pidana, pertanyaan pertama yang menantang hakim adalah cui bono --demi keuntungan siapa-- kejahatan itu mungkin dilakukan? Prinsip hukum ini dapat dipergunakan juga bagi masalah Hadits. Kecuali hadits-hadits yang langsung berhubungan dengan tuntutan-tuntutan politik dari berbagai partai dalam abad pertama sesudah wafatnya Nabi, tidak akan ada alasan untuk "mengambil keuntungan" bagi seseorang individu untuk mengatakan bahwa kata-kata Nabi itu palsu. Justru karena pertimbangan kemungkinan kalau-kalau Hadits diada-adakan untuk sesuatu tujuan individual maka kedua sarjana yang paling berwenang tentang Hadits, Bukhari dan Muslim, dengan sangat keras telah mengesampingkan segala hadits-hadits yang berhubungan dengan politik kepartaian dari kumpulan-kumpulan hadits mereka. Yang tertinggal adalah di luar prasangka akan memberikan keuntungan peribadi pada siapapun. Ada satu argumen dimana keaslian Hadits dapat ditantang. Dapat dimengerti bahwa baik sahabat yang mendengarnya dari Nabi sendiri atau seseorang dari perawi-perawi kemudian --sementara ia benar secara subyektif-- telah melakukan sesuatu kekeliruan karena salah pengertian tentang kata-kata Nabi itu, atau suatu kekeliruan ingatan, atau sesuatu sebab psikologik lain. Tetapi bukti internal, yaitu bukti-bukti psikologik, berbicara menentang setiap kemungkinan besar dari kekeliruan semacam itu, sekurang-kurangnya pada pihak para sahabat. Bagi orang-orang yang hidup dengan Nabi, setiap ucapan dan tindakan beliau sangat berarti sekali, bukan saja karena mereka sangat tertarik pada kepribadian beliau yang berpengaruh atas diri mereka, tetapi juga pada kepercayaan mereka bahwa adalah kehendak Allah maka mereka harus mengatur hidup mereka, bahkan dalam detail-detailnya yang kecil, sesuai dengan petunjuk dan teladan Nabi. Oleh karena itu tidak dapat mereka menangkap ucapan beliau secara sepintas ,lalu, tetapi berusaha memeliharanya dalam ingatan mereka bahkan dengan mengorbankan kesenangan-kesenangan pribadi sendiri. Diriwayatkan bahwa para sahabat yang secara langsung berhubungan dengan Nabi membuat kelompok-kelompok diantara sesama mereka, masing-masing terdiri dari dua orang, satu daripadanya harus selalu dalam lingkungan Nabi sementara yang seorang sibuk mencari nafkah atau urusan-urusan lain; dan apa saja yang mereka dengar atau yang mereka lihat dari guru mereka itu mereka sampaikan pada sesamanya: demikian cemas mereka kalau-kalau sesuatu ucapan atau perbuatan Nabi akan luput dari perhatian mereka. Tidaklah boleh jadi bahwa dengan sikap semacam itu mereka akan lalai menjaga kata-kata dari sesuatu Hadits. Dan kalau mungkin bagi ratusan sahabat itu untuk memelihara seisi al-Qur'an hingga pada detail-detail kecil ejaan dalam ingatan mereka, maka pastilah mungkin pula bagi mereka dan pengikut-pengikut mereka yang langsung untuk menyimpan ucapan Nabi dalam ingatan mereka tanpa menambahkan atau mengurangi sesuatu. Lagi pula ahli-ahli Hadits hanya mengakui keaslian sempurna pada hadits-hadits yang dilaporkan dalam bentuk yang sama melalui rangkaian perawi-perawi yang berbeda-beda dan tidak saling bergantung. Ini belum pula semua. Untuk dinyatakan shahih (sehat), suatu hadits harus disepakati pada setiap tingkat penyaluran oleh bukti yang tidak bergantung paling kurang dari dua penyalur, dan mungkin lebih, sehingga pada setiap tingkatan laporan itu tidak akan bersandar pada asal dari satu orang saja. Tuntutan tentang pengesahan ini demikian tepat sehingga --katakanlah-- satu hadits yang dilaporkan melalui tiga "generasi" penyalur-penyalur hadits antara sahabat yang bersangkutan dan penyusun terakhir, sesungguhnya adalah dua puluh orang penyalur atau lebih, terbagi-bagi sekitar tiga "generasi" yang tercakup di dalamnya. Dengan segala inipun, tidak juga ada orang Muslim pernah percaya bahwa hadits-hadits Nabi dapat beroleh status seperti al-Qur'an atau bahkan beroleh status keaslian yang tak tergugat. Tidak pernah terhenti penelitian kritis tentang Hadits. Kenyataan bahwa ada terdapat banyak hadits palsu tidak lepas dari perhatian muhadditsuun, seperti yang dikira dengan dhaifnya oleh kritikus-kritikus Barat. Sebaliknya ilmu pengetahuan kritis tentang Hadits dimulai oleh kepastian membedakan antara yang asli dan yang tidak asli. Imam Bukhari dan Imam Muslim sendiri, belum lagi ahli-ahli hadits yang lebih kecil, adalah hasil langsung dari sikap kritis ini. Oleh karena itu maka adanya hadits-hadits palsu sekali-kali tidak membuktikan apa-apa dalam menolak sistem hadits pada keseluruhannya --tidak lebih dari satu dongengan seribu satu malam dapat dipandang sebagai satu argumen menentang status laporan sejarah pada zaman itu. Hingga kini tidak ada satupun kritikus yang telah sanggup membuktikan secara sistematik bahwa tubuh Hadits yang dipandang asli menurut ukuran pengujian dari ahli-ahli hadits yang paling terkenal sebagai tidak tepat. Penolakan terhadap hadits-hadits otentik, baik sebagai keseluruhan maupun sebagian-sebagian sejauh itu hanyalah masalah temperamen melulu, dan telah gagal menegakkan diri sebagai hasil usaha penelitian yang tidak berprasangka. Tetapi motif dari sikap oposisi semacam itu diantara kebanyakan kaum Muslimin di zaman kita dapat dilihat jejaknya dengan mudah. Motifnya terletak pada ketidakmampuan mereka membawa cara-cara hidup dan cara-cara berpikir kita sekarang yang terbelakang, menurut semangat Islam yang sebenarnya seperti terpantul dari Sunnah Rasul. Untuk membenarkan kekurangan-kekurangan mereka sendiri dan kekurangan alam sekitar mereka, kritikus-kritikus palsu tentang Hadits itu berusaha membuang perlunya mengikuti Sunnah; karena apabila ini dilakukan, mereka akan sanggup menafsirkan ajaran-ajaran al-Quran sesuka hati mereka, atas garis "rasionalisme" yang dangkal --yaitu masing-masing sesuai dengan kecenderungan dan palingan pikirannya. Dan dengan cara ini kedudukan Islam yang khas sebagai aturan moral dan aturan praktek, sebagai aturan individual dan aturan sosial, akan hancur berantakan. Dalam masa-masa ini, ketika pengaruh peradaban, Barat makin lama makin terasa di negeri-negeri Islam, satu motif lagi bertambah pada sikap aneh dari yang disebut kaum "intelektual" Muslimin dalam hal ini. Tidak mungkin hidup menurut Sunnah Rasul dan mengikuti mode hidup Barat pada saat yang sama sekaligus. Tetapi generasi kaum Muslimin sekarang telah siap sedia memuja apa saja yang dari Barat, memuja peradaban asing itu karena asingnya, karena kuat dan cemerlang secara material. Westernisasi ini adalah sebab yang paling kuat maka hadits-hadits Nabi kita, dan bersamaan dengan itu struktur Sunnah, telah menjadi demikian tidak populer sekarang. Begitu terang Sunnah bertentangan dengan ide-ide fundamental yang mendasari peradaban Barat itu sehingga mereka yang terpukau pada ide-ide beradaban Barat itu tidak melihat jalan keluar dari jerat itu kecuali menggambarkan Sunnah sebagai satu aspek Islam yang tidak mengena dan oleh karena itu tidak mengikat --karena Sunnah "berdasar pada tradisi-tradisi yang tidak dapat disandari." Sesudah itu menjadi lebih mudah untuk mengesampingkan ajaran-ajaran al-Qur'an dalam cara demikian rupa sehingga ajaran-ajaran itu tampak sesuai dengan semangat peradaban Barat. 7. Jiwa Sunnah Hampir sama pentingnya dengan pembenaran formal daripada Sunnah, yaitu tentang sahnya Hadits, atas dasar pembuktian-pembuktian tentang dapat dipercayainya Hadits secara historik, adalah pertanyaan tentang pembenaran spiritual batinnya. Mengapa maka pelaksanaan praktis Sunnah harus dipandang sebagai sesuatu yang tidak boleh dielakkan untuk satu kehidupan dalam pengertian Islam yang sebenarnya? Tidak adakah jalan lain menuju realitas Islam selain melalui sistem luas tentang tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan, tentang perintah-perintah dan larangan-larangan, sebagian daripadanya bersifat sepele, tetapi seluruhnya berasal dari teladan hidup Nabi? Tiada ragu, beliau adalah seorang yang paling besar; tetapi tidakkah keharusan meniru kehidupannya dalam segala detail-detail formalnya merupakan satu pelanggaran terhadap kebebasan individual dari keperibadian manusia? Ini adalah satu keberatan lama yang sering dikemukakan pengeritik-pengeritik terhadap Islam yang tidak bersikap bersahabat; bahwa perlunya mengikuti Sunnah dengan keras adalah satu dari sebab-sebab pokok kemunduran dunia Islam berikutnya, karena sikap semacam itu dikira lambat laun melanggar batas kebebasan tindakan manusia dan perkembangan masyarakat secara alami. Adalah yang paling penting bagi masa depan Islam apakah kita sanggup membantah keberatan ini atau tidak. Sikap kita terhadap masalah Sunnah akan menentukan sikap masa depan kita kepada Islam. Kita merasa bangga, dan wajar, akan kenyataan bahwa Islam, sebagai satu agama, tidak berdasarkan dogmatisme mistik, tetapi selalu terbuka bagi penyelidikan akal yang kritis. Oleh karena itu kita bukan saja mempunyai hak untuk mengetahui apakah pelaksanaan terhadap Sunnah telah diletakkan pada kita, tetapi juga untuk mengerti hikmahnya mengapa maka ditekankan demikian. Islam membimbing manusia pada penyataan segala aspek-aspek kehidupan. Karena merupakan alat untuk tujuan itu, agama ini sendiri mewakili satu totalitas konsepsi-konsepsi kemana tiada sesuatu dapat ditambahkan dan dari mana tiada sesuatu dapat dikurangkan. Tidak ada tempat bagi elektisisme dalam Islam. Dimana saja ajaran-ajarannya diakui sebagai yang sesungguhnya diperintahkan oleh al-Qur'an atau Nabi, kita harus menerimanya dalam kesempurnaannya; kalau tidak demikian maka nilai-nilainya akan hilang. Adalah suatu salah paham fundamental untuk berpikir bahwa karena Islam agama reason, agama akal, agama pemikiran sehat, maka Islam menyerahkan ajaran-ajarannya terbuka bagi pemilihan individual --suatu pengakuan yang dimungkinkan oleh salah penerimaan populer tentang "rasionalisme." Adalah satu jurang besar --dan cukup diakui oleh falsafah sepanjang zaman-- antara reason dan "rasionalisme" seperti yang umum diartikan pada zaman ini. Fungsi reason (akal) berkenaan dengan ajaran-ajaran agama bersifat pengontrol; tugasnya adalah menjaga agar tidak ada sesuatu ditekankan pada pikiran manusia yang tidak dapat ditanggungnya dengan wajar yaitu tanpa bantuan sulapan filosofis. Sepanjang berhubungan dengan Islam, akal (reason) yang tak berprasangka berulang-ulang diberi suatu kepercayaan tanpa kekangan. Ini tidak berarti bahwa setiap orang yang bertemu dengan Islam harus menerima ajaran-ajarannya sebagai kewajiban baginya; ini adalah soal temperamen --dan last but not least-- dari illuminasi spiritual. Tetapi tentu dan pasti tidak ada orang yang tidak berprasangka akan puas bahwa ada sesuatu dalam Islam yang bertentangan dengan akal. Tiada diragukan bahwa ada hal-hal dalam Islam yang terletak di luar batas-batas pengertian insani, tetapi tidak ada yang bertentangan dengan pengertian manusia. Peranan akal dalam masalah-masalah agamawi, seperti telah kita lihat, adalah dalam fungsi suatu kontrol --suatu alat pencatat yang mengatakan "ya" atau "tidak" sesuai dengan tempatnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan yang disebut rasionalisme. Rasionalisme tidak puas dengan pencatatan dan kontrol, tetapi meloncat kedalam bidang spekulasi; ia tidak reseptif dan terlepas sebagai reason murni, tetapi sangat subyektif dan temperamental. Reason tahu akan batas-batasnya sendiri; tetapi rasionalisme melanggar batas dalam tuntutannya untuk mencakup dunia dan segala rahasia-rahasianya dalam lingkungan individualnya sendiri. Dalam masalah-masalah agamawi ia hampir tidak sama sekali menerima kemungkinan hal-hal tertentu, temporal atau kekal, yang berada di luar pengertian manusia; tetapi pada saat itu pula cukup tidak logis untuk menerima kemungkinan itu pada ilmu pengetahuan --dan dengan demikian menentang dirinya sendiri. Penilaian yang berlebih terhadap rasionalisme yang imaginatif ini adalah satu dari sebab-sebab mengapa demikian banyak kaum Muslimin menolak untuk berserah diri pada bimbingan Nabi. Tetapi tidak diperlukan seorang filosof besar sekarang untuk membuktikan bahwa pengertian insani sangat terbatas dalam kemungkinan-kemungkinannya. Pikiran itu, menurut alamnya, tidak sanggup memahami ide-ide totalitas. Kita tidak mengetahui apa itu infinitas dan eternitas, ketidakterbatasan dan kekekalan; kita bahkan tidak tahu apakah hidup itu. Oleh karena itu dalam problema-problema satu agama yang bertumpu pada dasar-dasar kerohanian, kita memerlukan seorang penunjuk yang pikirannya memiliki sesuatu yang lebih dari sifat-sifat pemikiran normal dan rasionalisme subyektif yang umum bagi kita semua; kita memerlukan seorang yang beroleh wahyu --seorang Nabi. Kalau kita percaya bahwa al-Qur'an adalah kata-kata Allah dan Muhammad saw. adalah Rasul Allah, maka kita tidak saja terikat secara moral tetapi juga secara intelektual, untuk mengikuti bimbingannya secara "membuta." Ungkapan "membuta" di sini tidak berarti bahwa kita harus mengesampingkan daya pemikiran kita. Sebaliknya kita harus menggunakan daya pemikiran itu sebaik mungkin menurut kesanggupan dan pengetahuan kita; kita harus berusaha menemukan arti dan hikmah dan maksud yang terkandung dalam perintah-perintah yang disalurkan Nabi kepada kita. Tetapi bagaimanapun juga --baik kita sanggup memahami tujuannya yang terakhir atau tidak-- kita harus mematuhi perintah itu. Ingin saya menggambarkan contoh seorang prajurit yang menerima perintah dari jenderalnya untuk menduduki satu posisi strategis. Prajurit yang baik akan mengikuti dan melaksanakan perintah itu dengan serta merta. Apabila sementara melakukannya ia sanggup menerangkan pada dirinya sendiri tujuan strategi itu yang sebenarnya dalam pandangan jenderal itu maka lebih baik baginya dan bagi karirnya; tetapi apabila tujuan yang lebih dalam yang menjadi dasar perintah jenderal itu tidak segera tampak olehnya, prajurit itu betapapun juga tidak berhak untuk tidak melakukan atau bahkan menangguhkan pelaksanaannya sekalipun. Kita kaum Muslimin berpegang bahwa Nabi adalah komandan yang terbaik yang pernah diperoleh manusia. Kita tentu percaya bahwa beliau mengetahui wilayah agama dalam aspek spiritual maupun aspek sosialnya, jauh lebih baik daripada yang pernah dapat kita ketahui. Dalam memberi perintah kepada kita untuk melakukan ini dan meninggalkan itu, beliau selalu mempunyai sesuatu tujuan pandangan "strategis" yang menurut pikiran beliau tidak dapat dielakkan untuk kemaslahatan spiritual dan sosial manusia. Kadang-kadang tujuan itu tampak jelas dan kadang-kadang, banyak atau sedikit, tersembunyi dari hadapan mata yang kurang terlatih dari kebanyakan manusia; kadang-kadang kita dapat memahami tujuan yang paling dalam dari perintah Nabi dan kadang-kadang hanya tujuan yang dangkal yang sangat langsung. Bagaimanapun halnya, kita terikat untuk mengikuti perintah-perintah Nabi, asal saja keaslian perintah itu telah ditegakkan secara patut. Tidak ada lainnya yang menjadi soal. Tentu saja ada perintah-perintah Nabi yang terang dan utama pentingnya dan yang lainnya kurang penting, dan kita harus mengutamakan yang lebih penting dari yang kurang penting. Tetapi sekali-kali kita tidak berhak mengabaikan salah satu daripadanya, karena tampak pada kita "tidak penting sekali" --karena dikatakan dalam al-Qur'an tentang Nabi: "Ia tidak berkata-kata atas kehendaknya sendiri." (Qur'an Suci, 53: 3). Ini berarti bahwa beliau hanya berkata-kata apabila timbul keharusan obyektif, dan beliau melakukannya karena Allah memerintahkan beliau berkata demikian. Dan karena sebab ini maka wajib kita mengikuti Sunnah Nabi dalam jiwa dan bentuknya, kalau kita hendak bersikap benar terhadap nur Islam. Sekali keharusan obyektif ini ditegakkan bagi seorang Muslim untuk mengikuti Sunnah Nabinya, ia berhak bahkan wajib, untuk menyelidiki peranannya dalam struktur Islam, religius dan sosial. Apakah arti spiritual dalam sistem hukum-hukum yang berdetail dan mengatur peri kelahirannya hingga menjelang maut, dan mengatur perilakunya dalam fase-fase hidupnya yang paling penting dan paling berarti? Atau adakah itu tidak berarti apa-apa? Adakah sesuatu kebaikan dalam Nabi memerintahkan pengikut-pengikut beliau untuk melakukan segala sesuatu dalam cara beliau melakukannya? Perbedaan apakah yang dapat dibuatnya, apakah saya makan dengan tangan kanan atau tangan kiri --apabila keduanya sama bersih? Apakah bedanya saya memelihara janggut saya atau mencukurnya? Bukankah soal-soal semacam itu hanya soal formalitas melulu? Adakah itu mengandung sesuatu atas kemajuan manusia atau kemaslahatan masyarakat? Dan kalau tidak, maka mengapakah hal-hal itu ditekankan pada kita? Sudah lama tiba waktunya bagi kita yang percaya bahwa tegak jatuhnya Islam bersama-sama dengan tegak jatuhnya pelaksanaan Sunnah, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Hikmahnya yang pertama ialah untuk melatih manusia dalam cara metodik, untuk hidup secara tetap dalam keadaan sadar, bangun dan menguasai diri. Dalam kemajuan spiritual manusia, tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan serampangan adalah seperti balok-balok penghalang dalam medan perlombaan; penghalang-penghalang itu harus dikurangi hingga minimumnya, karena tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan serampangan itu memusnahkan konsentrasi spiritual. Segala sesuatu yang kita lakukan seharusnya ditentukan oleh kemauan kita dan diletakkan dibawah penguasaan moral kita. Tetapi untuk dapat berbuat demikian kita harus belajar meninjau diri kita sendiri. Keperluan pengawasan diri yang permanen ini, bagi seorang Muslim, telah dilahirkan dengan indahnya oleh 'Umar Ibn Khatthab: "Laporkanlah kepada dirimu sendiri tanggung jawab tentang dirimu sebelum kau dipanggil melaporkan tanggung jawabmu. Dan Nabi bersabda: "Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kau melihat Dia". (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Da'ud, Sunan Ari-Nasa'i). Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa ide Islam tentang ibadat bukan saja mencakup kewajiban-kewajiban peribadatan yang wajib, tetapi sebenarnya meliputi seluruh kehidupan kita. Tujuannya adalah pengesaan wujud rohani dan jasmani menjadi satu kesatuan tunggal. Oleh karena itu maka usaha kita harus tegas-tegas ditujukan ke arah melenyapkan faktor-faktor tidak-sadar dan tidak terkontrol dalam kehidupan kita sejauh yang mungkin bagi manusia. Peninjauan diri adalah langkah pertama pada jalan ini dan metoda yang pasti untuk melatih dalam peninjauan diri untuk meletakkan dibawah kontrol tindakan-tindakan kebiasaan yang tampaknya seakan-akan tidak penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal yang kecil-kecil itu, tindakan-tindakan dan kebiasaan-kebiasaan "tidak penting" itu adalah dalam rangkaian latihan mental yang kita bicarakan di atas, dalam realitasnya jauh lebih penting daripada kegiatan-kegiatan "besar" dalam kehidupan kita. Hal-hal yang besar itu, karena besarnya, selalu dapat dilihat dengan nyata; dan oleh karena itu hal-hal yang besar itu kebanyakan tetap dalam bidang kesadaran kita. Tetapi hal-hal yang "kecil" dengan mudah dapat luput dari perhatian dan lepas dari kontrol kita. Oleh karena itu hal-hal yang kecil adalah obyek-obyek yang jauh lebib berharga dalam mempertajam kekuatan-kekuatan penguasaan diri kita. Barangkali dalam hal ini tidak penting dengan tangan apa kita makan atau apakah kita mencukur janggut atau tidak, tetapi secara psikologis adalah paling penting melakukan hal-hal menurut satu putusan sistematik: karena dengan berbuat demikian kita membuat diri kita terkunci pada satu pendekatan yang lebih dekat pada observasi diri dan kontrol moral. Ini tidak mudah --karena kemalasan pikiran tidak kurang nyatanya dari kemalasan jasmani. Apabila anda meminta kepada orang yang telah membiasakan diri dengan cara duduk terus-terusan untuk berjalan jarak jauh maka ia akan segera letih dan tidak akan sanggup meneruskan perjalanannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang yang selama hidupnya telah melatih diri berjalan kaki. Bagi dia pekerjaan otot semacam itu sama sekali tidak berat malah merupakan tindakan jasmani yang menyenangkan dimana ia telah biasa. Ini merupakan keterangan lebih lanjut mengapa Sunnah hampir mencakup seluruh segi kehidupan manusia. Apabila kita secara tetap membawahkan segala tindakan-tindakan kita kepada pembedaan yang sadar, kekuatan observasi diri kita tumbuh terus-menerus dan pada suatu saat akan menjadi sifat kita yang kedua. Setiap hari selama latihan ini maju, kemalasan moral kita berkurang bersama-sama dengan itu. Penggunaan istilah "latihan" tentu sewajarnya mencakup pengertian bahwa hasilnya tergantung dari kesadaran pada pelaksanaannya. Pada saat praktek Sunnah terbelakang menjadi kebiasaan mekanik, maka ia sama sekali kehilangan nilai pendidikannya. Demikianlah jadinya kaum Muslimin pada abad-abad terakhir ini. Ketika para sahabat dan generasi berikutnya berusaha untuk menyesuaikan segala detail kehidupannya pada contoh Rasul Allah itu, mereka melakukannya dengan penyerahan yang sadar pada kehendak terarah yang akan membentuk kehidupannya dalam sinar al-Qur'an. Berhubungan dengan putusan sadar itu mereka dapat mengambil manfaat dengan jalan latihan melalui Sunnah hingga sepenuhnya. Bukanlah kesalahan daripada sistem itu apabila kaum Muslimin yang kemudian tidak membuat penggunaan yang benar dari jalan jalan psikologik yang dibuka oleh sistem itu. Pengabaian ini boleh jadi --dalam ukuran yang sangat besar-- dipengaruhi oleh Sufisme dengan kebenciannya yang menonjol, yang banyak atau sedikit, terhadap enersi-enersi aktif dan penekanannya pada enersi-enersi reseptif dalam diri manusia. Karena praktek Sunnah telah ditegakkan sebagai satu komponen kehidupan keagamaan Islam sejak permulaan Islam, Sufisme tidak berhasil dalam mencabut akar-akarnya dalam prinsip. Tetapi ia berhasil dalam menetralisir kekuatan aktif itu dan dengan demikian hingga ukuran tertentu menetralkan kegunaannya hingga ukuran tertentu. Bagi kaum Sufi, Sunnah itu tinggal sebagai satu ideogram kepentingan platonik dengan latar belakang mistik; bagi ahli-ahli theologia dan ahli-ahli hukum sebagai satu sistem hukum-hukum; dan bagi masa Muslimin tidak lain dari suatu kulit kerang kosong tanpa sesuatu arti yang hidup. Tetapi walaupun kaum Muslimin telah gagal untuk mengambil manfaat dari ajaran-ajaran al-Qur'an dan tafsirannya melalui Sunnah Rasul, idea yang mendasari ajaran-ajaran maupun tafsiran-tafsirannya tetap tinggal utuh dan tidak ada alasan mengapa ia tidak dapat diterapkan dalam praktek sekali lagi. Tujuan nyata dari pada Sunnah bukanlah seperti yang dianggap kritikus-kritikus agnostik itu, untuk mendidik orang ala kaum Parisi dan formalisme gersang, tetapi mendidik manusia menjadi sadar, teguh, berhati dalam dan siap untuk bertindak. Kaum pria dan wanita dalam gaya semacam itu adalah para Sahabat Nabi. Kesadaran permanen, kebangunan batin dan rasa tanggung jawab dalam segala yang mereka lakukan- didalamnyalah terletak rahasia efisiensinya yang seperti mukjizat dan sukses historisnya yang cemerlang. Inilah yang pertama, dan kita katakanlah aspek individual daripada Sunnah. Aspeknya yang kedua adalah kepentingan dan manfaat sosial. Hampir tidak dapat diragukan sedikitpun bahwa kebanyakan dari konflik-konflik sosial disebabkan oleh salah pengertian manusia antara tindakan-tindakan dan maksud-maksud diantara sesamanya. Sebab dari salah paham semacam itu adalah perbedaan-perbedaan ekstrim antara temperamen-temperamen dan kecenderungan-kecenderungan dari anggota-anggota individu masyarakat. Temperamen-temperamen yang berbeda memaksakan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda pada manusia, dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda itu, yang diperkuat oleh pembiasaan-pembiasaan lama bertahun-tahun menjadi penghalang-penghalang antara individu. Sebaliknya seandainya beberapa individu kebetulan mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang sama sepanjang hidupnya, sangat mungkin sekali hubungan mereka menjadi saling simpati dan pikiran-pikiran mereka siap untuk saling mengerti. Oleh karena itu maka Islam, yang sama berurusan dengan kemasyarakatan maupun kesejahteraan individual, menganggapnya; satu titik hakiki bahwa anggota-anggota individual dari pada masyarakat harus diajak secara sistematik untuk membuat kebiasaan-kebiasaan dan adat-adat mereka menjadi serupa, betapapun perbedaan status masing-masing dalam bidang sosial dan ekonomi. Tetapi di atas segala ini Sunnah dalam keadaannya yang disebut "kaku" malah memberikan pengabdian lebih besar pada masyarakat; ia membuat masyarakat menjadi akrab dan stabil dalam bentuk, dan menyingkirkan perkembangan antagonisme dan konflik-konflik seperti, dengan nama "masalah-masalah sosial," telah menyebabkan kekacauan-kekacauan penting dalam masyarakat Barat. Masalah sosial semacam itu timbul apabila lembaga-lembaga atau kebiasaan-kebiasaan tertentu terasa tidak sempurna dan oleh karena itu terbuka terhadap kritik dan perubahan-perubahan ke arah kemajuan. Tetapi bagi mereka yang merasa dirinya terikat oleh hukum al-Qur'an, dan konsekuensinya terikat oleh petunjuk-petunjuk Nabi --kondisi-kondisi masyarakat harus mempunyai satu pandangan yang transendental. Selama tidak ada keraguan atas keasliannya ini, tidak akan ada timbul hasrat untuk mempersoalkan organisasi sosial dalam hal-hal fundamentalnya. Hanya dengan demikian kita dapat menerima satu kemungkinan praktis bagi dalil al-Qur'an bahwa kaum Muslimin harus menjadi seperti satu "bangunan yang padu." Apabila kita menerapkan prinsip kehidupan kemasyarakatan kita, maka tidak akan ada perlunya bagi masyarakat untuk membuang-buang energinya dalam perkara-perkara kecil dan "pembentukan kembali" yang separuh-separuh yang berhubung sifat alaminya sendiri hanya dapat beroleh nilai-nilai sepintas lalu. Terlepas dari kekacauan dialektik dan dibangun atas landasan kuat dari hukum Ilahi itu dan teladan hidup Nabi, masyarakat Islam dapat menggunakan segala kekuatan-kekuatannya untuk masalah-masalah kesejahteraan material, moral dan intelektual, dan dengan demikian membuka jalan bagi individu dalam usaha-usaha spiritualnya. Ini, dan tiada lainnya, adalah tujuan agamawi yang nyata dari organisasi sosial Islam. Dan sekarang kita tiba pada aspek ketiga daripada Sunnah, dan perlunya kita mengikuti Sunnah secara keras. Dalam sistem ini banyak detail dari kehidupan kita sehari-hari didasarkan pada teladan yang diberikan Nabi. Dalam segala yang kita lakukan, kita secara permanen didorong untuk memikirkan perbuatan dan perkataan Nabi yang bersangkutan dengan itu. Dengan demikian maka pribadi manusia terbesar itu terserap dalam-dalam pada kebiasaan kehidupan kita sehari-hari, dan pengaruh spiritualnya menjadi faktor nyata yang terus berlangsung dalam kehidupan kita. Secara sadar dan dibawah sadar kita terbimbing untuk mempelajari sikap Nabi dalam hal ini dan hal itu; kita belajar memandang beliau bukan saja sebagai pembawa pembentangan moral, tetapi juga sebagai penunjuk ke arah kehidupan sempurna. Disinilah kita harus memutuskan apakah kita harus memandang Nabi hanya sebagai seorang bijaksana diantara manusia-manusia bijaksana, atau sebagai Rasul Allah yang paling tinggi yang selalu bertindak atas ilham Ilahi. Titik pandangan al-Qur'an dalam hal ini terang diatas segala kemungkinan salah paham. Seorang manusia yang telah direncanakan sebagai Nabi terakhir dan sebagai rahmat bagi seisi alam tidak dapat tidak pastilah beroleh ilham secara permanen. Untuk menolak petunjuk ini, atau unsur-unsur tertentu dari bimbingan itu, akan berarti tidak kurang dari menolak atau memandang enteng bimbingan Allah sendiri. Ini selanjutnya akan berarti, dalam kelanjutan logis dari pikiran ini, bahwa seluruh amanat Islam tidak dimaksudkan sebagai pemecahan sempurna masalah-masalah manusia tetapi hanya sebagai pemecahan alternatif dan bahwa ia meninggalkan kebebasan pada kita untuk memilih ini atau sesuatu yang lain, yang barangkali sama benarnya dan sama bermanfaat. Prinsip seenaknya ini dapat membawa kita kemana-mana tetapi pastilah tidak akan membawa kita kepada jiwa Islam, yang dikatakan dalam al-Qur'an "Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku pada kamu dan telah Aku relakan Islam sebagai agama kamu." (Qur'an Suci, 5: 3 ) Kita memandang Islam lebih tinggi dari segala sistem-sistem agama manapun karena Islam mencakup kehidupan dalam seluruh kebulatannya. Islam mencakup masalah dunia dan akhirat, rohani dan jasmani, perorangan dan kemasyarakatan; dalam wilayah pertimbangannya, Islam mencakup bukan saja kemungkinan-kemungkinan luhur dari alam insani, tetapi juga batasan-batasan dan kelemahan-kelemahannya yang terpadu. Islam tidak menekankan yang tidak mungkin pada kita tetapi mengarahkan kita bagaimana mengambil manfaat yang sebaik-baiknya dari segala kemungkinan-kemungkinan kita dalam mencapai wilayah realitas yang lebih tinggi dimana tidak ada penyimpangan dan dimana tidak ada tabrakan antara ide dan perbuatan. Islam bukan salah satu dari jalan-jalan tetapi jalan; dan manusia yang menyampaikan ajaran ini kepada kita bukan hanya salah satu diantara penunjuk-penunjuk jalan, tetapi penunjuk jalan. Mengikuti segala yang dilakukannya dan yang diperintahkannya adalah mengikuti Islam, meninggalkannya berarti meninggalkan realitas Islam. Kesimpulan Sebelum ini saya telah berusaha menunjukkan bahwa Islam, dalam artinya yang benar, tidak mendapatkan manfaat dengan satu asimilasi peradaban Barat. Tetapi di pihak lain dunia Muslimin sekarang mempunyai energi demikian kecilnya yang tertinggal sehingga ia tidak mengajukan perlawanan yang cukup. Sisa-sisa kehidupan kulturalnya di mana-mana sedang diratakan dengan tanah di bawah tekanan-tekanan idea-idea dan adat istiadat Barat. Suatu nada pengunduran diri sedang terdengar; dan pengunduran diri dalam kehidupan bangsa-bangsa dan kebudayaan berarti mati. Ada apa dengan Islam? Apakah sesungguhnya Islam, seperti sering hendak diyakinkan kepada kita oleh lawan-lawan dan orang-orang yang hendak mengelabui dari dalam barisan kita sendiri, adalah suatu "kekuatan yang telah habis dikerahkan"? Apakah Islam telah kehabisan kemanfaatannya dan telah memberikan kepada dunia segala yang harus diberikannya? Sejarah mengatakan kepada kita bahwa segala kebudayaan dan peradaban manusia adalah keseluruhan organik dan menyerupai makhluk-makhluk hidup. Kebudayaan dan peradaban melintas melalui segala tingkat-tingkat kehidupan organik yang harus dilaluinya; kebudayaan dan peradaban-peradaban dilahirkan, melalui masa remajanya, masa dewasa dan matang, dan pada akhirnya datanglah masa gugur. Seperti tumbuh-tumbuhan yang layu dan gugur ke debu, kultur-kultur mati pada akhir masanya dan memberikan tempat pada kultur-kultur lain yang lahir dengan segar. Apakah demikian halnya dengan Islam? Pada pandangan kulit sepintas lalu akan tampak demikian. Tiada diragukan bahwa kebudayaan Islam telah mengalami kebangunannya yang cemerlang dan masa berkembangnya; ia mempunyai kekuatan untuk mengilhami manusia untuk berbuat dan berkurban, ia mengubah bangsa-bangsa dan mengubah permukaan bumi, dan sudah itu ia berdiri diam dan macet, kemudian ia menjadi kata kosong dan sekarang kita melihat kerendahannya yang sangat dan kebobrokannya. Tetapi apakah hanya sekedar demikian itu? Apabila kita percaya bahwa Islam bukanlah satu kultur diantara kultur-kultur, bukan hanya sekedar hasil pemikiran dan usaha manusia, tetapi satu hukum yang dititahkan Allah SWT untuk diikuti ummat manusia pada sepanjang zaman dan di setiap tempat, maka aspek itu berubah dengan sempurna. Kalau kultur Islam merupakan hasil kita mengikuti hukum yang diwahyukan, maka sekali-kali tidak dapat kita mengatakan bahwa, seperti kultur-kultur lain, ia terbelenggu dengan rantai waktu dan terbatas pada satu masa tertentu. Yang sesungguhnya tampak sebagai kebobrokan Islam tidaklah lain dari pada kematian dan kekosongan hati kita yang terlalu bersikap masa bodoh dan malas untuk mendengar suara abadi. Tidak terlihat tanda-tanda bahwa ummat manusia, dalam keadaan yang telah dicapainya sekarang, telah mengatasi Islam. Ummat manusia ternyata tidak sanggup untuk menghasilkan satu sistem etika yang lebih baik dari pada sistem etika Islam; ia ternyata tidak sanggup meletakkan idea persaudaraan ummat manusia atas dasar tumpuan praktis seperti dihasilkan Islam dalam konsep supranasional dalam bentuk Ummah; ia ternyata tidak sanggup menciptakan satu struktur kemasyarakatan dimana konflik-konflik diturunkan secara efisien ke batas minimal, dalam gagasan kemasyarakatannya ia tidak sanggup membangunkan keluruhan manusia, perasaan keamanannya, pengharapan spiritualnya, dan terakhir tetapi pasti bukan terkecil, kebahagiannya. Dalam segala hal ini hasil capaian ummat manusia sekarang jauh sangat tidak mencapai program Islam. Maka dimanakah dasar kebenaran untuk mengatakan bahwa Islam "telah ketinggalan zaman"? Apakah hanya karena dasar-dasarnya adalah religius dan orientasi religius sudah bukan modenya sekarang? Tetapi apabila kita lihat bahwa satu sistem berdasarkan agama telah sanggup memajukan satu program hidup praktis yang lebih sempurna, lebih konkrit dan lebih patut bagi konstitusi psikologik dari pada apapun yang telah pernah dihasilkan akal pikiran dengan jalan pembentukan kembali usul-usul baru --tidakkah ini justru satu argumen yang sangat kuat menopang pandangan religius? Kita mempunyai segala alasan untuk percaya bahwa Islam telah dipertahankan sepenuhnya oleh hasil-hasil capaian positif manusia, karena Islam telah menghadapinya dan menunjuknya sebagai barang yang sepatutnya lama sebelum hal itu ditemukan; dan sama seperti itu pula ia telah dipertahankan oleh kenyataan akan kekurangan-kekurangan, kekeliruan-kekeliruan dan ceruk-ceruk penghalang perkembangan manusia, karena Islam telah memperingatkan dengar nyaring dan lantang menentangnya lama sebelum manusia menyadarinya sebagai kekeliruan-kekeliruan. Sangat terlepas dari kepercayaan-kepercayaan religius seseorang, semata-mata dari sudut pandang intelektual, terdapat segala dasar pendorong untuk mengikuti dengan yakin petunjuk praktis Islam. Apabila kita pandang kultur dan kebudayaan dari segi pandangan ini maka pasti kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kebangkitan Islam pasti mungkin. Kita tidak perlu me-"reform" Islam, seperti dikira oleh sebagian kaum Muslimin, karena Islam telah sempurna sendirinya. Yang harus kita perbaharui ialah sikap kita terhadap agama, kemalasan kita, singkatnya kekurangan-kekurangan kita, bukan kekurangan-kekurangan yang dikira ada pada Islam. Untuk mencapai kebangkitan Islam kita tidak perlu mencari prinisip-prinsip perilaku baru dari luar, tetapi kita hanya harus menerapkan perilaku lama yang telah kita tinggalkan. Tentu kita boleh menerima rangsangan-rangsangan baru dari kebudayaan asing, tetapi kita tidak dapat mengganti bangunan Islam yang sempurna dengan sesuatu yang bukan Islam, baik ia datang dari Barat ataupun dari Timur. Islam sebagai lembaga spiritual dan sosial tidak dapat "diperbaiki." Dalam hal-hal demikian setiap perubahan pada konsepsi-konsepsinya atau pada organisasi sosialnya yang disebabkan oleh gangguan-gangguan kultural asing adalah dalam realitasnya berarti kemunduran dan merusak dan oleh karena itu harus sangat disesalkan. Suatu perubahan harus ada, tetapi perubahan itu haruslah perubahan dari dalam diri kita sendiri --dan perubahan itu harus menuju kepada Islam, bukan menyimpang dari Islam. Tetapi dengan segala ini kita tidak boleh menipu diri. Kita tahu bahwa dunia Islam hampir telah kehilangan realitasnya sebagai satu faktor kultural yang tidak tergantung. Di sini saya tidak berbicara tentang aspek politik dari kemunduran kaum Muslimin. Segi yang jauh lebih penting bagi keadaan kita sekarang harus diperoleh dalam bidang intelektual dan sosial, dalam menghilangnya kepercayaan kita dan pengoyakan struktur sosial kita. Tampaknya sangat sedikit yang masih tertinggal dari kesehatan aslinya yang seperti telah kita lihat, merupakan satu karakter yang demikian khas dari masyarakat Islam awal itu. Kekacauan kultural dan sosial yang sedang kita alami sekarang menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan yang mengimbangi yang dahulu menjadi sebab bagi kebesaran dunia Islam sudah hampir padam sekarang. Kita sedang mengapung hanyut dan tiada seorangpun tahu ke arah tujuan kultural yang mana. Tidak ada kebenaran kultural tertinggal, tidak ada kemauan untuk menentang banjir pengaruh asing yang merusak agama dan masyarakat kita. Kita telah mengesampingkan ajaran-ajaran moral yang paling baik yang pernah disaksikan dunia. Kita memungkiri agama kita, sedang bagi orang-orang tua kita dahulu agama itu merupakan pendorong hidup; kita merasa malu sedang nenek moyang kita bangga; kita pelit dan mementingkan diri sendiri, sedang mereka dengan murah hati membukakan diri kepada dunia luar, kita kosong sedang mereka penuh berisi. Keluhan ini dikenal oleh setiap Muslim yang berpikir. Setiap orang telah mendengarnya diulang-ulang berkali-kali. Kalau demikian, orang dapat bertanya: masih perlukah itu diulang sekali lagi? Saya pikir perlu. Karena bagi kita tidak akan ada jalan keluar dari rasa malu akan kemunduran kita kecuali satu: mengakui rasa malu itu, melihatnya siang malam di depan mata kita dan merasakan kepahitannya, sehingga kita memutuskan untuk menyingkirkan sebab-sebabnya. Tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan pahit dari diri kita sendiri dan berpura-pura bahwa dunia Islam sedang bangkit dalam kegiatan-kegiatan Islami, bahwa misi-misi Islam sedang bekerja di empat benua, bahwa bangsa Barat makin lama makin menyadari akan keindahan Islam … Tidak ada gunanya berpura-pura tentang semua ini dan menggunakan argumen-argumen kebetulan untuk meyakinkan diri kita sendiri bahwa kerendahan kita bukanlah tidak bertumpuan, karena sesungguhnyalah memang sebenarnya demikian. Tetapi inikah yang akan menjadi akhir kesudahannya? Tidak dapat demikian. Hasrat kita akan regenerasi, hasrat sekian banyak dari kita untuk menjadi lebih baik daripada keadaan kita sekarang, memberikan hak kepada kita untuk mengharapkan bahwa kita belum selesai. Ada jalan menuju regenerasi, dan jalan ini dapat dilihat dengan nyata bagi setiap orang yang punya mata untuk melihat. Langkah kita yang pertama haruslah membuang jiwa apologia bagi Islam, karena itu hanyalah satu nama lain bagi pengelabuan intelektual. Dan jenjang kita selanjutnya adalah mengikuti Sunnah Nabi kita dengan sadar dan sungguh-sungguh. Karena Sunnah berarti, tidak lebih dan tidak kurang, ajaran-ajaran Islam yang diterapkan dalam praktek. Dengan menggunakannya sebagai test terakhir kedalam tuntutan-tuntutan kehidupan kita sehari-hari, dengan mudah kita akan mengenal pengaruh-pengaruh dari kebudayaan Barat, yang mana dapat diterima dan yang mana yang harus ditolak. Sebagai ganti daripada menyerahkan Islam dengan halusnya kepada norma-norma intelektual asing, kita harus belajar --sekali lagi-- memandang Islam sebagai norma; dengan norma inilah kita harus menilai dunia. Namun benarlah bahwa banyak tujuan-tujuan Islam yang orisinal telah dibawa kedalam perspektif palsu melalui penafsiran-penafsiran tidak sempurna tetapi diterima umum, dan dari orang-orang Muslimin yang tidak dalam posisi untuk kembali sendiri kepada sumber-sumber asli dan dengan demikian memperbaiki lagi konsepsi-konsepsi mereka, dihadap-hadapkan dengan gambaran Islam dan hal-hal lain yang berhubungan dengan agama Islam yang sebagiannya telah dirusak. Proposisi-proposisi yang tidak dapat dipraktekkan yang sekarang dikemukakan oleh faham orthodoks seenaknya sendiri sebagai dalil-dalil Islam, dalam banyak hal tidaklah lain daripada --penafsiran-penafsiran konvensional dari dalil-dalil atas dasar logika neo-platonisme lama yang mungkin "modern", yaitu dapat berjalan, dalam abad kedua atau abad ketiga Hijriyah, tetapi sungguh-sungguh bukan lagi masanya sekarang. Seorang Muslim yang terdidik secara Barat, kebanyakan tidak mengenal bahasa Arab dan tidak mengenal masalah-masalah fiqih, secara alami cenderung untuk memandang penafsiran-penafsiran dan konsepsi-konsepsi usang dan subyektif sebagai hasil dari penafsiran-penafsiran yang benar dari Pembawa Hukum: dan dalam kekecewaannya atas ketidak-sempurnaannya ia sering menarik diri mundur dari apa yang dikiranya Syari'ah Islam. Dengan demikian, supaya mereka sekali lagi menjadi satu kekuatan kreatif dalam kehidupan kaum Muslimin, penilaian terhadap proposisi-proposisi Islam harus direvisi dalam sorotan sinar pengertian kita sendiri dari sumber-sumber aslinya dan dibersihkan dari lapisan-lapisan timbunan tebal penafsiran-penafsiran konvensional yang telah tertimbun selama berabad-abad dan terasa berkekurangan pada jaman sekarang. Hasil dari usaha semacam itu mungkin berupa timbulnya satu fiqih baru yang tepat sesuai dengan Dua Sumber Islam --al-Qur'an dan teladan hidup Nabi-- dan pada saat yang sama menjawab tuntutan-tuntutan kehidupan jaman ini: tepat seperti bentuk-bentuk fiqih lama itu menjawab tuntutan-tuntutan hidup dari suatu masa yang dikuasai falsafah Aristoteles dan Neo-Platonisme dan kondisi-kondisi hidup yang menguasai pada tingkat-tingkat permulaan itu. Tetapi hanya apabila kita memperoleh lagi kepercayaan diri sendiri yang telah hilang itu dapat kita mengharapkan untuk mengubah jalan maju kita sekali lagi. Tujuan itu tidak pernah akan tercapai apabila kita menghancurkan lembaga-lembaga sosial kita sendiri dan meniru suatu peradaban asing-asing bukan saja dalam pengertian historis dan geografis, tetapi juga asing dalam pengertian spiritual. Seperti halnya sekarang, Islam adalah seperti kapal yang akan karam. Segala tangan yang dapat membawa pertolongan diperlukan di kapal. Tetapi bahtera Islam akan selamat apabila kaum Muslimin mendengar dan mengerti panggilan al-Qur an: "Sesungguhnya dalam diri Rasul Allah kamu dapati teladan yang paling baik bagi setiap orang yang mengharap akan menghadap Allah dan hari kemudian." (al-Qur'an, 33:21)