Dosa Besar mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Hadist riwayat Abdullah ra., ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Dosa apakah yang paling besar menurut Allah? Rasulullah saw. bersabda: Engkau membuat sekutu bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu. Aku berkata: Sungguh, dosa demikian memang besar. Kemudian apa lagi? Beliau menjawab: Engkau membunuh anakmu karena takut miskin. Aku tanya lagi: Kemudian apa? Rasulullah saw. menjawab: Engkau berzina dengan istri tetanggamu Dosa-dosa yang Dilupakan Manusia TAK terasa kita sudah berada di ujung fase sepuluh hari kedua bulan Ramadan. Fase yang disebut maghfirah (ampunan). Beberapa hari lagi, kita masuk ke fase sepuluh terakhir yakni itqun minannari (pembebasan dari api neraka). Mumpung kita berada pada fase ampunan, sebaiknya dimanfaatkan untuk melakukan taubat nasuha. Tobat sebenar-benarnya tobat, agar dosa-dosa kita diampuni Allah SWT. Berikut ini penulis ungkapkan sebagian kecil dari dosa-dosa manusia, yang kadang-kadang luput dari perhatian sehingga ketika melakukannya merasa tidak berdosa, antara lain : 1.Tidak bersuci setelah buang air kecil (kencing) Banyak orang setelah kencing tidak membasuhnya dengan air atau benda lain yang kering dan bersih (kertas tisu, batu, atau potongan kayu kering). Hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, mengungkapkan, Nabi Muhammad Saw lewat pada dua kuburan. Kedua penghuninya sedang disiksa, bukan karena melakukan dosa besar. Yang seorang tidak suka bersuci setelah buang air kecil, yang seorang lainnya lagi suka memprovokasi. Pada hadis lain, riwayat Imam ad Daruqutni, disebutkan : Tanazzahu minal bauli fainna ammata adzabil qabri minhu. Bersucilah dari air kencing, karena umumnya siksa kubur disebabkan oleh hal itu. 2.Kesaksian palsu dan sumpah palsu. Zaman sekarang, kesaksian palsu dan sumpah palsu sudah dianggap lumrah. Baik di tengah kehidupan biasa maupun di sidang-sidang pengadilan. Tujuannya adalah untuk memenangkan perkara, mendukung atau memojokkan seseorang, dan sebagainya. Padahal, kesaksian palsu termasuk dosa paling besar di antara dosa-dosa besar. Rasulullah Saw, bersabda, "Dosa terbesar di antara dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, perkataan dusta, dan kesaksian palsu". (Hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim). 3. Membual. Berkata-kata melebihi dari yang diketahuinya, menceriterakan sesuatu yang tak pernah diketahui dan tak pernah dikerjakannya, termasuk kategori membual (al kadzdzabu fi ghalibil aqwali). Orang pembual tidak akan mendapat petunjuk Allah (Alquran Surah Al Mu'min ayat 28), dan Allah SWT juga mengutuknya (Alquran Surah Ali Imron ayat 61, Adz Dzariyat ayat 10). Menurut Rasulullah Saw, seorang Muslim memiliki semua karakter, kecuali karakter pengkhianat dan pendusta (hadis riwayat Imam Ahmad). Rasulullah Saw menegaskan lagi, bahwa ada tiga golongan yang tidak diajak berbicara oleh Allah SWT. Salah satunya adalah penguasa yang membual (riwayat Imam Muslim). 4.Menganggap sesuatu mendatangkan sial Suka ada orang menganggap segala sesuatu sebagai pertanda mendatangkan sial, sehingga muncul sikap pesimis dan buruk sangka. Rasulullah mengategorikan hal itu sebagai syirik (riwayat Imam Turmudzi). Nabi Saw bersabda (hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim), bahwa tak ada penularan dan kesialan (la 'adwa wa la thirata). Yang ada justru kata-kata dan dugaan baik yang mengandung optimisme (al fa'lu). 5.Memberi dan menerima suap Suap atau sogok juga sudah dianggap lumrah. Hampir semua bidang kehidupan di negeri kita sekarang, tak pernah luput dari suap-sogok. Sehingga sogok-menyogok menjadi "kewajiban" dan "jalan sukses" untuk mencapai hasil. Padahal Allah SWT melaknat pelaku sogok-menyogok dan juga melaknat penerimanya. La'natullahi alar rasyi wal murtasyi (hadis sahih Imam Turmudzi). 6.Merasa aman dari siksa Allah Bebas melakukan perbuatan maksiat. Korupsi, sogok-menyogok, berjudi, mabuk-mabukkan, dll. Seolah-olah perbuatan itu tidak akan mendapat hukuman dari Allah SWT, karena merasa luput dari hukum manusia (dunia). Tidak ditangkap polisi, tidak dijatuhi vonis. Bahkan, lepas dari tuduhan dan tuntutan. Orang semacam itu, menurut Alquran, adalah orang-orang merugi (Alquran Surah Al A'raf ayat 99). Mereka akan mendapat azab yang tiba-tiba (Alquran Surah Al An'am ayat 44), dan mendapat siksa neraka (Alquran Surah Yunus ayat 7-8). 7.Korupsi Korupsi di negeri kita sudah dianggap pekerjaan "sambilan" dan "mulia". Apalagi jika mencapai triliunan rupiah dan dapat memberi bagian ke berbagai pihak. Istilahnya "korupsi berjemaah". Padahal, korupsi jelas-jelas sangat haram. Dosa besar. Walaupun hasil korupsi dizakatkan atau disedekahkan. Sabda Rasulullah Saw, dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim menyebutkan, "La yaqbalullahu shalatan bi ghairi thuhurin, wa la shadaqatun min ghululin. Allah tidak menerima salat tanpa wudu dan bukanlah sedekah jika hartanya diperoleh dari korupsi.***  H. Usep Romli H.M./sumber : Kitab "Al Kabair" Syekh Syamsuddin Muhammad adz Apakah Dosa Syirik Tetap Tidak Diampuni Walau Bertaubat ? Pertanyaan: syirik adalah dosa yang tidak terampuni oleh Allah. tapi kalau kita mohon ampun kepada Allah, apakah yang terjadi? jika Allah mengampuninya, lalu bagaimana pengertian dari klausul Allah : "semua dosa akan diampuni oleh Allah kecuali dosa syirik". apakah dengan demikian dosa-dosa lain bisa diampuni walau kita tidak memohon ampun (dosa-dosa besar misalnya)?. Terima kasih. Allahummanshurnaa.. M Harry Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa bad. Dosa syirik itu tidak diampuni adalah apabila seseorang berbuat syirik dan meninggal sebelum meminta ampun. Bila dosa syirik itu dibawa mati, maka tidak akan diampuni Allah SWT. Sedangkan dosa lainnya, bila sampai mati belum minta ampun, maka bila Allah SWT menghendaki akan diampuninya dan bila tidak maka tidak diampuni. Karena itu bila pernah melakukan perbuatan syirik, maka harus segera bertobat dan minta ampun kepada Allah sebelum ajal menjemput. Karena bila sudah meninggal, dosanya tidak ada harapan lagi untuk diampuni. Demikian dijelaskan oleh At-Thabari dalam tafsir ayat surat An-Nisa` Allah berfirman : Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan syirik kepada-Nya dan mengampuni selain syirik kepada siapa yang dikehendakinya. (QS. An-Nisa : 48) Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 26/05/2006 09:42 WIB Ketika Zina tak Lagi Dianggap Dosa Besar [penulis: Zulkifli Arif | topik: Agama] Kitab suci Al-Quran telah melarang perbuatan zina dengan sangat tegas. Dalam surah Bani Israil (surah Al-Isra) ayat 32 Allah SWT berfirman: "Janganlah kamu sekalian mendekati zina, karena sesungguhnya perbuatan zina itu merupakan fahisyah dan jalan yang sangat buruk". Pengertian fahisyah dipahami sebagai suatu perbuatan keji, kotor dan menjijikkan. Sesungguhnya nafsu jahat yang ada dalam diri manusia selamanya mendorong orang melakukan perbuatan jahat, mungkar dan dimurkai Tuhan. Tidak terkecuali siapapun termasuk orang-orang salih bahkan para nabi sekalipun, sebagaimana diungkapkan oleh nabi Yusuf alaihi as salam. Nabi Yusuf AS, dalam surah Yusuf ayat 53 menegaskan bahwa dirinya tidak terbebaskan membuat kesalahan, karena nafsu itu selalu menyuruh berbuat kejahatan. Konon lagi manusia biasa, godaan demi godaan selalu saja melekat dengan dirinya, tidak terkecuali berbuat zina. Apalagi ketika perbuatan keji ini sudah dianggap ringan dan enteng, dapat dibayangkan kejahatan zina akan merajalela. Kejahatan zina dapat terjadi dan menjangkiti semua lapisan dan golongan masyarakat. Lebih-lebih jika kesempatan berbuat dan mencoba terbuka lebar, sebagaimana di tempat-tempat lokalisasi resmi di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Semoga bumi tercinta, Serambi Makah Nanggroe Aceh Darussalam terbebaskan dari kejahatan zina ini. Sebuah hasil penelitian di suatu kota pelajar di Tanah Air, sangat mengejutkan semua pihak. Lip Wijayanto sang peneliti menyebutkan dalam hasil laporan penelitiannya, 97,05 % mahasiswi telah kehilangan keperawanannya, selama kuliah. Ruslan Ismail Mage, menyebutkan sering terdengar dikalangan mahasiswa istilah “ayam kampus”. Yaitu ditujukan kepada para mahasiswi yang berprofesi menjajakan tubuhnya kepada sang hidung belang. Majalah kampus Retorika terbitan Senat Mahasiswa Fisipol Unair menyebutkan jumlah ayam kampus di Unair Sendiri ada 0,02 % dari total mahasiswi. Terbanyak mereka (tidak disebutkan angka pasti) berasal dari Fakultas Ekonomi. Ada 40 orang mahasiswi FISIP sendiri. Dilaporkan pula sebanyak 5,7 % mahasiswi Fisip Unair sebagai penganut sek bebas. Patut diprihatini apabila hidup bergelimang zina telah menjadi trend dan telah melanda gaya hidup kaum intelektual. Para mahasiswa dan mahasiswi adalah anak-anak bangsa calon pemimpin masa depan. Pupus sudah harapan untuk membangun umat dan bangsa, apabila kebejatan moral dan akhlak telah melanda hidup mereka. Ini semua terjadi ketika zina dianggap ringan dan enteng. Sebagai akibat laju pembangunan dan industrialisasi tanpa diimbangi atau tidak diikuti oleh pembangunan spiritual, keimanan dan agama yang tangguh, perzinaan juga akan tumbuh subur seirama dengan laju pembangunan itu sendiri. Sebagai contoh perkembangan industrialisasi di Pulau Batam, juga mengakibatkan berkembangnya industri seks disini, secara besar besaran. Dikatakan industri perzinaan di sini diramaikan oleh pendatang dari seluruh Indonesia, bahkan dari kawasan Asia Tenggara lainnya. Sangat ironis memang, karena sesungguhnya bisnis perzinaan sudah berlangsung lama di Republik ini. Sehubungan dengan ini sekarang muncul istilah baru pekerja seks komersial (PSK), sebagai penghalusan makna dan pelaku zina. Dengan istilah tersebut yang sangat dirugikan sebenarnya adalah perempuan sendiri. Perzinaan itu dapat berlangsung karena andil baik laki laki maupun perempuan. Ajaran agama (Islam), akan dapat membentengi diri melakukan perbuatan bejat dan terkutuk itu. Dalam sebuah hadist Nabi SAW, dijelaskan sebuah pandangan spiritual tatkala Rasul Saw melakukan perjalanan mikraj. Rasulullab Saw menyaksikan segerombolan manusia (laki-laki dan perempuan), memperebutkan piringan berisikan daging. Di hadapan mereka tersedia dua piringan berisi daging. Sebuah piringan berisikan daging yang gurih dan enak rasanya. Satu piring lagi berisikan daging yang sudah busuk. Yang sangat mengherankan adalah gerombolan manusia itu memperebutkan piring berisikan daging-daging yang sudah berulat dan busuk itu. Inilah tamsilan bagi orang-orang selama hidup di dunia ini, gemar melakukan perbuatan keji, kotor, dan berzina. Di dunia mereka enggan melakukan nikah secara sah menurut syariat. Selalu asyik mencari perempuan lacur, atau lelaki lacur. Daging yang rasanya enak tidak mau dicicipi, daging yang berbau busuk yang suka disantapnya. Istri yang sah dan halal dipergauli tidak disukai, tetapi berfoya-foya, pelesir dan mengikuti jalan setan itu yang digemari. Dalam pandangan spiritual lain tatkala Nabi Saw melakukan perjalanan mikraj, juga dikisahkan suatu peristiwa lain yang sangat mengerikan pula. Rasulullah Saw menyaksikan sekelompok manusia yang diikat dengan rantai api neraka, pada buah dada mereka. Melalui alat kemaluan mereka keluar danur dan nanah yang berbau busuk sekali. Demikian busuknya nanah tersebut, dikabarkan, penghuni neraka yang lain mengeluh berat, dan mengharapkan mereka yang berbau busuk itu dipindahkan jauh dari sisi mereka. Dalam sebuah hadis lain Nabi SAW memperingatkan umatnya: “Siapa saja yang berzina dengan seorang perempuan (tentu pula dengan suami orang, seorang lelaki) sewaktu dibangkitkan dari kuburnya kelak, akan merasakan sangat kehausan. Dalam sebuah hadis lain riwayat Imam Thabrani dari Ibnu Abbas Nabi bersabda: Jauhilah dirimu dari melakukan perbuatan zina. Perbuatan zina itu mendatangkan empat macam kecelakaan. Pertama hilang cahaya kebagusan raut wajahnya. Kedua Allah akan menyempitkan rizkinya. Ketiga Allah sangat memurkainya. Keempat Allah akan mengekalkannya dari siksaan azab neraka. Semoga semua kita akan terlindung dari melakukan perbuatan bejat, nista, murka, dan terkutuk itu. Seorang muslim yang sungguh-sungguh meyakini kebenaran Islam, tentu tidak akan ragu-ragu terhadap ketentuan Allah dan rasul. Sang muslim itu akan beriman dengan sepenuh hatinya dan jiwanya. Seorang muslim yang terus saja bergelimang dengan perbuatan zina, atau melakukan maksiat lainnya, tentu karena akidahnya tidak murni. Akidahnya masih goyang. Akidahnya belum mantap, bahkan akidahnya rusak samasekali. Semoga kita tetap menjadi mukmin dan muslim sejati. Amin. *) Penulis adalah Lektor Kepala, pengampu mata kuliah Pendidikan Agama pada UPT MKU Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh. Ke Orang Pintar, Minta Agar Anak Yang Durhaka Menjadi Penurut Pertanyaan: assalammu'alaikum, ustad yang ingin saya tanyakan, apakah boleh seorang orang tua datang ke orang pintar untuk menyembuhkan anaknya yang selalu durhaka dan mulai kenal dunia malam agar kembali menjadi anak yang baik dan penurut? apabila hal tsb ditentang oleh ajaran islam lalu sebaiknya apa yang mesti dilakukan?walau telah dilakukan upaya segala macam ibadah pada Allah,spt sholat malam, dzikir,puasa tp belum ada hasil.Apa ada yang kurang dari ibadah2 tersebut? demikian atas jawaban kami ucapkan terima kasih. wassalam, aj surabaya Ajeng Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa bad. Istilah `orang pintar` itu punya bias makna, namun biasanya sebutan itu identik dengan dukun, paranormal, orang yang punya kekuatan ghaib, hamba jin dan sejenisnya. Kalau yang mereka ini yang dimaksud dengan `orang pintar`, tentu sejak niat mendatanginya hingga meminta pertolongan dari mereka pun sudah haram. Sebab apa yang mereka lakukan itu tidak lepas dari praktek syirik mempersekutukan Allah SWT. Padahal dosa syirik itu adalah dosa yang tidak akan pernah diampuni di akhirat, selama di dunia ini pelakunya belum meminta ampun dan diampuni. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa: 48) Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS. Allah SWT-Nisa : 116) Meskipun apa yang dimintakan kepadanya adalah hal-hal yang baik, namun karena praktek orang pintar itu syirik, maka keharamannya jelas dan nyata. Anak Durhaka Agar seorang anak tidak menjadi durhaka kepada orang tuanya serta menjadi orang baik-baik yang shalih, pendidikan agama sejak kecil adalah hal yang mutlak diberikan. Dan pendidikan itu tidak boleh hanya sekedar formalitas belaka, namun harus dicontohkan secara benar oleh kedua orang tuanya. Sebab pendidikan dengan contoh nyata merupakan metode yang paling berhasil. Juga tidak boleh berhenti pada masa anak-anak saja, tetapi pendidikan itu harus terus menerus dilakukan hingga anak itu remaja dan dewasa. Selama itu, kedua orang tua bertanggung-jawab dalam masalah pergaulan sang anak dengan lingkungannya, termasuk dengan teman-temannya. Sebab biasanya, pergaulan dengan lingkungan yang buruk inilah yang akan merusak semua nilai yang pernah diajarkan. Kalau anak itu sudah terlanjur dipengaruhi secara negatif oleh teman dan linkungannya dan dibiarkan saja hingga menjadi parah, tentu menjadi kesalahan orang tuanya juga. Dia bertanggung-jawab untuk mengembalikan anaknya ke jalan yang benar. Diantara caranya adalah dengan berdoa langsung kepada Allah SWT, meminta dan memohon kepada Yang Maha Kuasa. Selain itu juga dengan mengajaknya berdialog secara baik-baik, bukan dengan dimarahi atau dibentak-bentak. Langkah lainnya tentu dengan mengusahakan lingkungan yang kondusif buat anak, sebab biasanya pengaruh negatif itu datang dari lingkungan pergaulan yang buruk. Termasuk dalam hal ini adalah pengaruh teman dekatnya. Upayakan agar dia bisa punya teman dekat dari kalangan baik-baik, sehingga diharapkan bisa memberikan pengaruh yang positif. Selain itu memang ada juga dengan cara hukuman, namun upayakan tidak dijadikan prioritas utama. Sebab bila seseorang terlalu sering diancam dengan hukuman, mungkin dia akan menjadi kebal. Tapi datang ke dukun, paranormal, atau pemuja jin serta meminta-minta kepadanya adalah tindakan yang sejak awal sudah salah. Itu bukan keputusan yang bijak dan jauh dari penyelesaian. Alih-alih mendapatkan barakah, justru diancam dengan dosa syirik yang tak terampuni. Nauzu billahi min zalik. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-2.html KRITERIA DOSA BESAR MENURUT Al-QUR'AN DAN HADIS Oleh : Burhan Djamaluddin Di dalam ajaran Islam, dikenal adanya dosa besar dan dosa kecil. Namun tidak didapati rincian dalam al-Qur'an dan Hadis, dua sumber agama Islam, tentang kesalahan apa saja yang dikategorikan dosa besar dan dosa kecil. Dalam al-Qur'an, misalnya surat al-Nisa' ayat 37, dan surat al-Najm ayat 32, disebut kata kaba'ir dan kaba'ir al-ism. Menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi, hanya 3 ayat dalam al-Qur'an yang mengandung kata kaba'ir atau kaba'ir al-ism. Dalam ayat-ayat itu, yang disebut kaba'ir tidak jelas. Kata kaba'ir atau kaba'ir al-ism, yang biasanya diterjemahkan dengan dosa besar dan muncul dalam al-Qur'an sebanyak 3 kali itu, semuanya tidak menyebut kesalahan apa saja yang disebut dosa besar. Hadis, yang fungsinya antara lain menjelaskan yang masih umum dalam al-Qur'an, tidak banyak membantu kita untuk dapat memahami kesalahan apa saja yang disebut dosa besar. Dalam Hadis, justeru yang terungkap hanya dosa-dosa yang paling besar diantara dosa-dosa besar (akbar al-kaba'ir), yaitu syirik, durhaka kepada kedua orang tua, saksi palsu, mundur dari medan perang melawan orang kafir, dan sihir. Jika ada dosa paling besar, tentu ada dosa besar dan dosa kecil. Dengan demikian, perincian dosa-dosa besar belum jelas adanya. Bahkan, ungkapan-ungkapan dalam al-Qur'an atau Hadis yang mengacu kepada arti dosa-dosa besar belum jelas. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengungkap kriteria-keriteria dosa besar, baik melalui sumber pertama (al-Qur'an) maupun sumber kedua (Hadis) Rasulullah, dengan cara menelusuri istilah atau ungkapan yang digunakan dalam dua sumber ajaran Islam tersebut. Sebelum dicoba diuraikan ungkapan-ungkapan yang mengacu kepada arti dosa besar dalam al-Qur'an dan Hadis, terlebih dahulu dikemukakan beberapa ungkapan yang biasa diterjemahkan dengan arti dosa dalam bahasa Indonesia. Istilah-Istilah Dosa Dalam Al-Qur'an Dalam al-Qur'an, terdapat sejumlah istilah atau kata yang biasa diterjemahkan dengan dosa dalam bahasa Indonesia. Istilah-istilah tersebut ,misalnya: al-itsm, al-zanb, al-khith'u, al -sayyi'at dan al-hub. Kata al-itsm dengan berbagai bentuk kata jadiannya, menurut perhitungan Muhammad Fuad 'Abd al-Baqi, muncul sebanyak 44 kali dalam al-Qur'an. Menurut Lewis Ma'luf, kata al-itsm, berarti 'amila ma la yahillu (mengerjakan sesuatu yang tidak halal atau tidak dibolehkan agama). Makna kata al-itsm, seperti diungkap Lewis Ma'luf, umum sekali, yaitu mencakup semua amal yang dilarang agama. Padahal al-Qur'an, ketika menunjuk hal-hal yang dilarang agama, misalnya zina, mengungkapnya dengan kata fahisyat. Jadi, tidak selamanya hal-hal yang dilarang agama disebut al-itsm oleh al-Qur'an. Berbeda dengan Lewis Ma'luf, Al-Raghib al-Asfahani, salah seorang pakar bahasa al-Qur'an, mengemukakan bahwa kata al-itsm berarti sebutan bagi perbuatan-perbuatan yang menghambat tercapainya pahala. Dengan kata lain, al-itsm adalah sebutan bagi tindakan yang menghambat terwujudnya kebaikan. Berbeda dengan Lewis Ma'luf dan al-Asfahani, al-Maraghi (penulis tafsir al-Maraghi), mengatakan bahwa al-itsm sama dengan al-zanb. Sesuatu perkataan atau tindakan baru dapat disebut al-itsm, demikian al-Maraghi, bila mendatangkan bahaya yang menimpa jasmani, jiwa, akal, dan harta benda (materi). Ibn Mandhur, penulis kamus Lisan al-Arab, lebih khusus lagi mengartikan al-itsm dengan al-khamar. Alasan yang dikemukakan Ibn Mandhur ialah bait syair Arab yang berbunyi "syaribtu al-itsm hatta dlalla 'aqliy, kazalika al-itsm tazhabu bi al-'uqul" (saya meminum al-ism, "al-khamar", maka ingatanku hilang. Memang khamar dapat menghilangkan ingatan). Dalam al-Qur'an, terdapat dua tindakan yang dapat dikategorikan al-itsm, yakni meminum khamar dan bermain judi, seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 219. Memang, mengartikan al-itsm dengan sesuatu yang menghambat perbuatan baik, mendatangkan bahaya, dan bahkan secara eksplisit sama dengan khamar, seperti yang dilakukan oleh ibn Mandhur, tidak jauh dari hakikat kata al-itsm, seperti yang ditunjukkan oleh al-Qur'an. Seseorang yang meminum khamar dan bermain judi, misalnya, dapat mengganggu aktifitas yang positif, dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani,dan dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan negatif lainnya. Dari sejumlah kata al-itsm yang muncul dalam al-Qur'an, terlihat bahwa kata al-ism digunakan untuk menyebut pelanggaran yang memiliki efek negatif dalam kehidupan seseorang dan masyarakat. Kata al-zanb dengan berbagai bentuk kata jadiannya disebut sebanyak 48 kali dalam al-Qur'an. Menurut Lewis Ma'luf, kata al-zanb berarti tabi'ahu falam yufarriq israh (menyertai dan tidak pernah berpisah). Kata al-zanab yang dirangkai dengan binatang, misalnya zanab al-hayawan berarti ekor binatang. Ekor binatang biasanya terletak di belakang, dekat dengan tempat keluarnya kotoran. Ekor, kalau begitu, menggambarkan keterbelakangan atau kehinaan. Ungkapan zanab al-qawm berarti masyarakat terkebelakang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ungkapan al-zanb yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan dosa, ditujukan kepada perbuatan-perbuatan yang mengandung nilai kehinaan dan keterbelakangan, seperti letak ekor binatang yang dekat dengan tempat keluarnya kotoran. Diantara 48 kata al-zanb yang muncul dalam al-Qur'an adalah terdapat dalam surat Ali Imran ayat 135. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang meminta ampun dari dosa (al-zanb), karena mengerjakan fahisyat, maka Allah akan mengampuni dosa mereka. Kata fahisyat berarti al-zina atau ma yusytaddu qubhuh min al-zunub (dosa yang paling jelek atau paling besar). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kata al-zanb mengacu juga kepada perbuatan dosa yang paling jelek termasuk zina. Apalagi, diantara ulama tafsir, misalnya al-Maraghi, memang mengartikan kata fahisyat dalam ayat itu dengan arti zina. Tindakan lain yang dikatakan al-zanb oleh al-Qur'an adalah mengubur hidup-hidup anak perempuan, seperti yang dilakukan masyarakat Jahiliyah. Tindakan mereka disebutkan dalam surat al-Takwir ayat 9. Perbuatan masyarakat Jahiliyah seperti diungkap dalam ayat itu termasuk perbuatan keji, sebab tindakan itu tidak mengenal perikemanusiaan sama sekali. Dalam Islam, merusak tubuh manusia yang telah meninggal, jika tidak ada kepentingan keilmuan atau kepentingan lain, diketegorikan dosa, apalagi mengubur hidup-hidup manusia. Mendustakan ayat-ayat Allah diungkap pula dengan kata al-zanb, seperti terdapat dalam surat al-Anfal ayat 54. Hal ini, menurut pandangan Allah, karena dosa mendustakan ayat-ayat Allah termasuk dosa paling besar. Dalam ajaran Islam, puncak ajaran agama adalah tauhid (mengesakan Allah). Oleh karena ajaran tauhid paling penting dalam ajaran Islam, maka orang-orang yang menganggap Allah memiliki anak, seperti dalam surat al-Maidah ayat 18, dikatakan sebagai orang berdosa besar. Dari sekian banyak ayat yang mengadung kata al-zanb dalam al-Qur'an, dapat dipahami bahwa kata al-zanb digunakan untuk menyebut dosa terhadap Allah dan dosa terhadap sesama manusia. Kebanyakan kata al-zanb muncul dalam bentuk yang sangat umum, sehingga tidak dapat diketahui apakah dosa yang ditunjukkannya termasuk dosa besar atau dosa kecil. Untuk mengetahui besar kecilnya dosa yang ditunjuk oleh kata al-zanb harus didukung oleh petunjuk lain yang terdapat dalam konteks ayat yang memuat kata al-zanb itu, atau petunjuk dari Hadis Rasulullah. Al-khith'u juga termasuk salah satu kata yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti dosa. Bentuk kata kerja madli (kata kerja lampau) dari kata al-khith'u ialah khati'a. Penggunaan kata khathi'a fi dinih berarti salaka sabila khatha'in amidan aw ghaira amidin (mengikuti jalan yang salah, baik disengaja maupun tidak disengaja). Nampaknya, kata al-khith'u ini dianggap sama dengan kata al-zanb oleh Lewis Ma'luf. Namun, Lewis menambahkan pendapat lain bahwa al-khith'u khusus digunakan untuk mengungkap kesalahan yang tidak disengaja. Berbeda dengan Lewis, al-Raghib al-Asfahani, mengartikan kata al-khith'u dengan arti melenceng dari arah yang sebenarnya. Pengertian melenceng seperti diungkap al-Asfahani ini, memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, niat mengerjakan sesuatu yang salah, kemudian benar-benar dikerjakan. Kesalahan seperti ini dinamakan al-khith'u al-tamm (betul-betul salah). Kedua, niat mengerjakan sesuatu yang boleh dikerjakan tetapi yang dikerjakan justru sebaliknya. Dengan kata lain, benar niatnya, tetapi tindakannya salah. Ketiga, niat mengerjakan yang tidak boleh dikerjakan, tetapi yang dilakukan sebaliknya, yaitu mengerjakan perbuatan yang boleh dilakukan. Yang disebut ketiga ini, salah niatnya tetapi benar tindakannya. Kata al-khith'u dalam al-Qur'an, menurut perhitungan Muhammad Fu'ad Abd al-Baqi, muncul sebanyak 22 kali. Diantara kata al-khith'u yang muncul dalam al-Qur'an ialah dalam surat al-Isra' ayat 31. Kata al-khith'u dalam ayat ini dirangkai dengan kata kabiran (besar). Kata kabiran adalah sifat dari kata al-khith'u, sehingga rangkaian dua kata yang disebut terakhir ini berarti dosa besar. Dengan demikian, kata al-khith'u dalam ayat ini dapat diterjemahkan sebagai dosa besar jika dirangkai dengan kata kabiran. Dari sekian banyak ayat al-Qur'an yang mengandung kata al-khith'u dapat dipahami bahwa kata ini digunakan untuk menyebut dosa yang cukup bervariasi, misalnya dosa terhadap Allah, dan dosa terhadap sesama manusia. Juga dapat dipahami bahwa al-Qur'an, ketika menggunakan kata al-khith'u atau al-khathiat, tidak menjelaskan secara tersurat, apakah dosa yang ditunjukkannya dosa besar atau dosa kecil. Untuk membedakan dosa yang ditunjukkannya, dibutuhkan petunjuk lain, seperti adanya kata kabiran dalam ayat 31 surat al-isyra' yang dikutip di depan. Seperti disebut di depan, kata al-sayyi'at juga termasuk kata yang diterjemahkan dalam bahasa Indoenesia dengan arti dosa. Kata ini dengan segenap kata jadiannya, menurut perhitungan Muhammad Fu'ad 'Abd al-Baqi, muncul sebanyak 167 kali. Seorang pakar bahasa al-Qur'an, al-Raghib al-Asfahani, mengartikan kata al-sayyi'at atau al-su' dengan kullu ma yaghummu al-insan min al-umur al-dunyawiyyat wa al-ukhrawiyyat wa min al-ahwal al-nafsiyyat wa al-badaniyyat wa al-kharijat min fawat malin wa jahin wa faqd hamim (segala sesuatu yang dapat menyusahkan manusia, baik masalah keduniaan maupun masalah keakhiratan, atau baik masalah yang terkait dengan kejiwaan atau jasmani, yang diakibatkan oleh hilangnya harta benda, kedudukan dan meninggalnya orang-orang yang disayangi). Ternyata kata al-sayyi'at yang muncul dalam al-Qur'an, semuanya merujuk kepada arti yang disebutkan al-Asfahani tersebut. Dalam al-Qur'an, surat Thaha ayat 22, dikatakan bahwa Tuhan memerintahkan Nabi Musa untuk memasukkan tangannya ke ketiaknya, niscaya tangan Nabi Musa akan keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacad. Hal itu sebagai mu'jizat lain yang dimiliki Nabi Musa dari Tuhannya. Kata al-su', dalam ayat ini berarti penyakit, yaitu al-barash (belang), yang banyak menimpa tangan, penyakit yang selalu menyusahkan orang yang ditimpanya. Oleh karena itu, sangat tepat bila kata al-su' diartikan juga dengan al-huzn (susah). Sesuatu hal yang jelek juga dikatakan al-su', dan karena itu kata al-su' dalam hal ini dilawankan dengan al-husna (baik), dan al-sayyiat dilawankan dengan kata al-hasanat, seperti terdapat dalam surat al-Nisa' ayat 79. Dalam al-Qur'an, perbuatan-perbuatan yang dikategorikan al-su antara lain: perzinaan (Surat al-Nisa' ayat 22), menjadikan syetan sebagai teman (surat al-Nisa' ayat 38), mengubur hidup-hidup anak perempuan seperti yang dilakukan masyarakat Jahiliyah (surat al-Nisa' ayat 58-59). Dari sekian banyak kata al-su' atau al-sayyi'at yang muncul dalam al-Qur'an, kelihatannya tidak selalu mengacu kepada arti dosa besar (seperti yang disebutkan dalam Hadis Rasulullah) atau dosa kecil. Terkadang kata al-su' digunakan untuk menyebut dosa besar, seperti zina (surat al-Isra' ayat 32), membunuh anak perempuan hidup-hidup (surat al-Nahl ayat 59), dan sebagainya. Terkadang juga kata al-su' ada yang mengacu kepada dosa kecil, seperti yang muncul dalam surat al-Nisa' ayat 31. Disamping itu, ada lagi kata al-su' dalam al-Qur'an yang tidak jelas mengacu kepada dosa besar atau dosa kecil, seperti yang muncul dalam surat al-A'raf ayat 95, surat al-Ra'd ayat 6, surat Yunus ayat 28, surat al-Naml ayat 90, surat Ghafir ayat 40, dan lain-lain. Kata al-hub, yang diterjemahkan dengan arti dosa, muncul dalam al-Qur'an sebanyak satu kali, yaitu dalam surat al-Nisa' ayat 2. Menurut al-Asfahani, kata al-hub sama dan sinonim dengan kata al-itsm. Oleh karena kata al-hub ini muncul hanya satu kali dalam al-Qur'an, tidak dapat diketahui berbagai makna yang timbul dari kata tersebut, apakah ia mengacu kepada arti dosa besar atau dosa kecil, atau dosa secara umum. Khusus dalam surat al-Nisa' ayat 2 di atas, karena kata al-hub dirangkai dengan kata kabiran, maka rangkaian itu diterjemahkan dengan dosa besar.  Kriteria Dosa Besar Tidak mudah untuk menentukan kriteria dosa besar dalam al-Qur'an. Kesulitan itu tetap terasa, walaupun istilah-istilah yang biasa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan dosa telah dijelaskan sebelum ini. Diantara lima istilah tersebut, tidak satu pun yang secara eksplisit dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan dosa besar. Bila al-Qur'an menyebut dosa besar, maka istilah-istilah tersebut dirangkai dengan kata kabir atau adim (dua kata yang berarti besar). Oleh karena itu, ditemukan rangkaian kata-kata: isman adiman, isman kabiran, zanban adiman, khith'an kabiran, atau huban kabiran, untuk merujuk dosa-dosa besar. Dengan demikian, jika ditemukan kata ism, zanb, khith' saja, maka tidak dihukumi sebagai dosa besar, tanpa melihat indikator lain yang dapat mengantarkan kita memahaminya sebagai dosa besar. Sebagai dikatakan di atas, Hadis pun tidak banyak membantu kita menjelaskan kekaburan itu. Yang disebut dalam Hadis hanyalah dosa-dosa terbesar diantara dosa-dosa besar. Sedangkan dosa besar itu sendiri masih kabur. Setelah tidak jelas macam-macam dosa besar, menurut al-Qur'an dan Hadis, maka ijtihadlah yang harus difungsikan untuk mengetahui macam-macam dosa besar. Oleh karena dasar untuk mengetahui dosa besar itu ijtihad, maka hasilnya menjadi relatif. Jika dampak negatif yang ditimbulkan suatu tindakan pelanggaran dijadikan tolok ukur untuk mengetahui dosa besar, kesulitan yang ditemui ialah bahwa dampak negatif itu sendiri relatif juga. Suatu pelanggaran, yang dianggap oleh seseorang memiliki dampak yang relatif cukup besar bagi dirinya, belum tentu dirasakan sebagai hal yang sama oleh orang lain. Dalam menyelesaikan problem ini, akan digunakan tolok ukur lain, yaitu istilah apa yang digunakan al-Qur'an ketika mengancam pelanggar suatu aturan. Tentu yang dianalisa adalah bahasa yang digunakan oleh al-Qur'an atau Hadis tersebut. Berdasarkan tolok ukur kebahasaan itu, dosa besar menurut al-Baruzi, seperti dikutip al-Ghimari setidak-tidaknya ada lima belas kategori, yaitu dosa besar yang diancam dengan hukuman had, dosa besar yang ditandai dengan ungkapan "fahisyah", dosa besar karena pelanggaran yang dilakukan termasuk perbuatan syetan, dosa besar karena Allah tidak menyenangi tindakan itu termasuk pelakunya, dosa besar karena pelaku dosa diancam dengan laknat, dosa besar karena Allah marah terhadap pelakunya, dosa besar ditandai dengan ungkapan "shalat yang dikerjakan seseorang ditolak Allah", dosa besar karena pelakunya dikecam sebagai orang merugi, dosa besar ditandai dengan ungkapan "bukan dari golongan kami", dosa besar ditandai dengan ungkapan "Allah menutup pintu taubat bagi pelaku dosa", dosa besar ditandai dengan ungkapan "kemaksiatan menghabiskan kebaikan", dosa besar ditandai dengan ancaman wayl, dosa besar karena tindakan itu membatalkan amalan shaleh, dosa besar ditandai dengan ungkapan "Allah tidak menyenangi pelaku dosa", dan dosa besar ditandai dengan ungkapan "tidak perlu ditanyakan resiko yang akan diterima pelaku dosa". Macam-macam dosa besar yang dikemukakan al-Baruzi tersebut, tidak dijelaskan semua di sini, karena disamping tidak memungkinkan dari segi tempat yang disediakan, juga karena sebagian besar dari dosa-dosa tersebut, sudah disebutkan dalam Hadis Rasulullah, bahkan ada yang termasuk dosa terbesar. Oleh karena itu hanya sebagian saja yang akan diuraikan di sini.  1. Dosa Besar Karena Diancam Dengan Hukuman Had. Terdapat sejumlah ayat al-Qur'an yang mengancam sebuah pelanggaran dengan hukuman had, misalnya surat al-Baqarah ayat 178. Ayat ini membicarakan hukuman had bagi pembunuh, atau terkenal dengan qishash. Secara eksplisit, memang sudah dikatakan dalam Hadis bahwa dosa pembunuhan termasuk dosa besar. Namun, tidak semua pelanggaran yang diancam dengan hukuman had disebut oleh Hadis Rasulullah. Dalam Hadis disebutkan bahwa dosa besar karena diancam hukuman had hanyalah zina, dan saksi palsu. Padahal dosa besar dengan tolok ukur ancaman had bagi sebuah pelanggaran cukup banyak, misalnya: membunuh, zina, qazaf (tuduhan palsu), mencuri, pengacau di jalan, liwath (homo seksual) . Kata had berasal dari kata kerja hadda. Kalimat hadda Allah 'anna al-syarra, berarti kaffahu wa sharrafahu (menjauhkan atau memalingkan). Tegasnya, Allah menjauhkan kita dari bahaya. Ungkapan hadda al-muzniba berarti aqama 'alyhi al-had bima yamna'u ghairahu wa yamna'uhu min irtikab al-zanb (menerapkan hukuman had kepada seseorang yang berbuat dosa, agar dia jera dan agar orang lain yang mengetahui hukuman tersebut dapat juga jera). Kemudian muncullah istilah had dan dalam bentuk jamaknya hudud, yang berarti hukuman yang diterapkan di dunia bagi pelanggar hukum tertentu, seperti pencurian dengan hukuman potongan tangan, zina dengan hukuman rajam, pembunuhan dengan hukuman qishash, dan sebagainya. Hukuman bagi pembunuhan, perzinaan, qazaf, mencuri, mengacau di jalan, dan liwath (homoseksual) dikategorikan dosa besar, bukan saja karena diancam dengan hukuman had, tetapi karena dampak negatif dari tindakan- tindakan tersebut memang besar. Di sini, untuk menilai tindakan-tindakan tersebut sebagai dosa besar, bukan saja acuan kebahasaan tetapi juga acuan dampak negatif yang ditimbulkannya. Pembunuhan, misalnya, memiliki dampak negatif yang cukup besar, sebab pembunuhan tidak saja menghilangkan nyawa orang yang terbunuh. Lebih dari itu, pembunuhan dapat menambah penderitaan keluarga yang ditinggalkannya, terutama jika yang terbunuh itu orang yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga. Demikian juga perzinaan, dikategorikan dosa besar, karena disamping diancam dengan hukuman had, juga karena dampak negatif yang ditimbulkan zina cukup besar. Penyakit kelamin, anak lahir tanpa orang tua sah dan hidup terlantar, cemoohan masyarakat dan masih banyak lagi yang lainnya, adalah dampak-dampak yang ditimbulkan perzinaan. Qazaf pun tidak kalah besar dampaknya bila dibandingkan dengan pembunuhan dan perzinaan. Orang yang dituduh palsu, dalam hal ini wanita baik-baik yang dituduh berzina, nama baiknya akan tercemar, termasuk nama baik keluarganya. Wanita itu juga akan dikucilkan dari masyarakat, dan akan mengalami penderitaan batin yang cukup hebat. Tidak mudah untuk memulihkan nama baiknya, dan kalaupun bisa, membutuhkan waktu yang cukup lama dan membutuhkan mental yang cukup prima. Wajar bila penuduh palsu diancam dengan hukuman berat, yaitu dipukul delapan puluh kali (hukuman had), kesaksian mereka ditolak selamanya, dan mereka dikategorikan orang fasik. Demikian juga mencuri dan mengacau di jalan, termasuk yang diancam dengan hukuman had oleh al-Qur'an. Hukuman-hukuman yang diancamkan kepada pezina, pencuri, penuduh palsu, dan pengacau di jalan tersebut cukup berat. Dengan melihat ancaman hukuman tersebut, tidak salah jika pelanggaran-pelanggaran yang diancam dengan hukuman had dikategorikan dosa besar. 2.Dosa Besar Ditandai Ungkapan "Fahisyat'. Dosa besar dapat dikenal juga dengan adanya ungkapan fahisyat bagi tindakan pelanggaran. Diantara ayat yang menggunakan kata fahisyat untuk menunjuk suatu pelanggaran adalah ayat 15 surat al-Nisa'. Dalam ayat ini, Allah menetapkan bahwa para isteri yang dituduh mengerjakan perbuatan fahisyat, harus dibuktikan kebenarannya oleh empat orang saksi. Kata fahisyat berarti qabihat dan syani'at (jelek dan keji). Banyak mufassir menafsirkan kata fahisyat dalam ayat ini dengan arti zina. Namun dalam beberapa ayat lain, kata fahisyat muncul dalam makna yang sangat umum, misalnya dalam ayat 45 surat al-Ankabut. Dalam ayat disebut terakhir, dikatakan bahwa shalat dapat mencegah seseorang dari perbuatan fahsya' (bentuk jamak dari fahisyat). Kata fahisyat dalam ayat ini tidak dapat dipahami dengan makna zina, karena tidak ada petunjuk yang mengantarkan kita untuk dapat memahaminya dengan arti zina. Demikian pula kata fahsya' dalam ayat 169 surat al-Baqarah, ayat 28 surat al-A'raf, ayat 24 surat Yusuf, ayat 22 surat al-Nisa' dan sebagainya, muncul dengan makna yang sangat umum. Kata-kata fahsya' atau fahisyat dalam konteks seperti ini tidak dapat dipahami dengan mengacu kepada arti dosa besar atau dosa kecil. Namun pada saat tertentu, misalnya ada petunjuk yang tegas yang mengarah kepada arti dosa besar, kata fahisyat atau fahsya', dapat dijadikan dasar untuk menghukumi sebuah pelanggaran sebagai dosa besar.  3. Dosa Besar Karena Pelakunya Diancam Dengan Laknat. Dosa besar terkadang dapat diketahui dengan adanya ungkapan lain yang digunakan al-Qur'an atau Hadis, selain yang dikemukakan di atas, yaitu pelakunya diancam dengan laknat, misalnya dalam ayat 51-52 surat al-Nisa. Dalam ayat ini, Allah menyatakan melaknat orang-orang musyrik dan orang-orang yang percaya kepada Thaghut dan orang-orang yang mengakui bahwa orang kafir Makkah lebih benar jalannya dari orang-orang beriman. Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata "la'ana" yang, dari segi bahasa, berarti akhaza wa sabba (menyiksa dan mencaci) dan dapat juga berarti ab'adahu min al-khair (menjauhkan dari kebaikan). Lebih jauh lagi, kata la'ana berarti 'azzaba (menyiksa). Al-Maraghi mengartikan kata la'ana dengan ab'adahu min al-khayr. Dengan arti bahasa dan istilah dari kata la'ana seperti dikutip di atas, dapat dipahami bahwa kata la'ana mengakibatkan jauhnya seseorang dari kebaikan, atau tegasnya, jauhnya seseorang dari rahmat Allah. Orang yang dijauhi memang ada kemungkinan karena tidak disenangi, dan dampak dari tidak disenangi orang antara lain tidak mendapatkan kebaikan orang lain. Orang tidak disenangi dalam ayat di atas ialah orang musyrik, dan kemusyrikan termasuk dalam akbar al-kabair (salah satu dosa terbesar diantara dosa-dosa besar). Orang-orang yang tidak disenangi Allah, seperti tercantum dalam al-Qur'an cukup bervariasi, misalnya orang-orang kafir (Qs. al-Ahzab ayat 64). Bahkan golongan ini dinyatakan secara tegas akan dimasukkan ke dalam neraka yang apinya menyala-nyala di akhirat nanti. Golongan yang tidak disenangi Allah, juga termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah melanggar janji kepada Allah. Hati mereka pun enggan dan kaku, serta keras bagaikan batu, sehingga tidak mau menerima ayat-ayat Allah. Bahkan lebih jauh lagi, mereka berani merubah ayat-ayat Allah (ayat al-Qur'an), seperti merubah arti dan mengurangi atau menambah huruf dan kata-kata dalam ayat al-Qur'an tersebut. Dalam Hadis Rasulullah pun terdapat kata la'ana, yaitu sabda Rasulullah: "la'ana Allah al-rasyi wa al-murtasyi" (Allah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap). Beberapa kata la'ana yang muncul, baik dalam al-Qur'an maupun dalam Hadis memang mengacu kepada arti dosa besar. Apalagi pelanggaran-pelanggaran yang diungkap dengan kata la'ana, dampak negatifnya memang besar, sehingga tepat bila kata la'ana digunakan sebagai dasar untuk menghukumi pelanggaran yang ditunjuknya sebagai dosa besar. 4. Dosa Besar Yang Ditandai Ungkapan "Kemaksiatan Dapat Merusak Kebaikan". Dosa besar dalam kategori ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an, tetapi ditemukan dalam Hadis Rasulullah. Hadis tersebut berbunyi: "Iyyakum wa al-hasad fa inna al-hasad ya'kul al-hasanat kama ta'kul al-nar al-hathab" (Jauhilah sifat hasad (dengki), sebab dengki itu dapat memakan amalan baik, sebaimana halnya api membakar kayu). Dalam kamus Arab, kata hasad digunakan, misalnya dalam ungkapan "hasada fulan ni'matahu wa 'ala ni'matihi" yang berarti "tamanna zawala ni'matih wa tahawwulaha ilayhi" (Seseorang berharap hilangnya ni'mat yang didapat orang lain, dan dapat berpindah ke tangan dia). Hasad, kalau begitu, adalah sifat yang tidak terpuji. Kemudian, bagaimana sifat hasad dapat memakan amal-amal baik, sehingga digambarkan sebagai api membakar kayu? Tidak dijelaskan oleh Rasulullah. Dapat diduga bahwa alasan hasad dapat memakan amal-amal baik, adalah karena orang kalau sudah hasad, tidak pernah merasa puas dengan nikmat yang diberikan Allah. Bahkan, nikmat Allah yang ada di tangan orang lain diusahakan pindah ke tangannya. Dalam pandangan orang hasad, kebaikan dan nikmat yang ada di tangannya selalu dirasakan kurang. Bahkan, nikmat tersebut tidak diakui eksistensinya. Jadi, sifat hasad sama dengan api yang membakar kayu. Yang tersisa hanya arang dan debu. Lama kelamaan, arang dan debu pun akan hilang tanpa bekas. Gambaran hasad dapat menghilangkan kebaikan bersifat abstrak. Proses hilangnya kebaikan oleh sifat hasad tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, dibutuhkan perumpamaan. Kemudian, Rasulullah mengambil perumpamaan: Hasad menghilangkan kebaikan sama dengan api membakar kayu. Dengan cara mempersamakan seperti ini, sesuatu yang awalnya bersifat abstrak berubah menjadi kongkrit. Ia menjadi seakan-akan dapat diihat, seperti halnya benda nyata. Seseorang yang telah hangus amal baiknya, berarti ia tidak memiliki peluang untuk memperoleh balasan kebaikan dari Allah. Sebaliknya, justeru balasan keburukan (neraka) yang akan diperolehnya. Bila demikian, dapat dipahami kalau sifat hasad dikategorikan sebagai dosa besar. 5. Dosa Besar Karena Diancam Dengan Wayl (Celaka). Dalam al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang mengandung kata wayl (celaka), antara lain dalam surat al-Muthaffifin ayat 1-3. Kata wayl menurut kamus bahasa Arab berarti al-halak (kehancuran). Kata wayl dalam ayat 1 surat al-Muthaffifin tersebut, menurut al-Maraghi, merujuk kepada arti kehancuran yang besar. Kehancuran besar menggambarkan besarnya dampak yang ditimbulkan. Kehancuran besar dalam ayat ini ialah menimbang dengan timbangan yang besar ketika membeli dan menimbang dengan timbangan kecil ketika menjual. Tindakan ini jelas mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam perdagangan, tanpa memperhatikan kerugian dan penderitaan orang lain. Setidak-tidaknya, ada dua keuntungan yang diraih oleh orang yang melakukan penipuan seperti itu: Pertama, keuntungan dari selisih timbangan barang yang dibeli; Kedua, keuntungan dari selisih harga jual barang. Oleh karena itu, tindakan tersebut sangat menguntungkan diri sendiri dan sangat merugikan orang lain. Dengan demikian, adalah tepat bila al-Qur'an mengancam pelakunya dengan kata wayl, yang merujuk kepada besarnya dosa bagi pelaku tindakan tersebut. Al-Asfahani mengartikan kata wayl dengan al-qubh (jelek) atau al-tahassur (penyesalan). Pengertian wayl seperti yang dikemukakan al-Asfahani, secara etimologis, berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Lewis Ma'luf. Namun pada hakekatnya, dua pengertian itu memiliki makna yang sama, yaitu merujuk kepada arti kejelekan atau kejahatan yang besar, dan dampaknya menimbulkan kehancuran yang besar pula. Pendusta lagi banyak berbuat dosa, sebagai dikatakan dalam al-Qur'an surat al-Hujurat ayat 7, tepat diancam dengan wayl. Kedustaan sudah cukup membahayakan, apalagi ditambah dengan kesenangan melakukan dosa. 6. Dosa Besar Ditandai Ungkapan"Allah Tidak Suka Melihat Pelaku Dosa". Dosa besar dalam kategori ini ditandai ungkapan "la yandhuru" (tidak melihat). Kata nadhara, bentuk kata kerja lampau dari kata kerja yandhuru, dalam al-Qur'an ditemukan lebih seratus kali dengan berbagai bentuk kata jadiannya. Seperti dikatakan di atas, kata la yandhuru, yang berarti tidak melihat, bukan saja berarti tidak melihat karena tidak bertemu atau tidak menemukan, akan tetapi ungkapan itu memiliki arti tertentu, yaitu tidak ingin melihat karena merasa tidak senang dengan sesuatu. Dalam al-Qur'an, tidak ditemukan ungkapan la yandhuru, dalam arti seperti disebut terakhir. Ungkapan la yandhuru dalam arti tersebut terakhir hanya ditemukan dalam Hadis, misalnya "la yandhuru Allah 'azza wa jalla ila al-rajuli ata rajulan aw imrataan fi duburiha" (Allah tidak senang melihat seseorang yang menyetubuhi sesama lelaki (homoseksual) dan bersetubuh dengan perempuan melalui duburnya (sodomi). Ungkapan la yandhuru (tidak mau melihat) seperti dalam Hadis di atas, disebabkan ketidaksenangan kepada sesuatu. Ketidaksenangan boleh jadi menjurus kepada tidak mau melihat yang tidak disenangi itu, sebab pada umumnya orang yang tidak senang kepada sesuatu atau kepada seseorang, boleh jadi ia tidak mau melihat sesuatu atau seseorang yang dibencinya. Dalam Hadis lain dikatakan: Salasatun la yukallimuhum Allah yawm al-qiyamat wa la yuzakkihim wa la yandhuru ilayhim wa lahum 'azabun alim: syaikhun zanin, wa malikun kazzab, wa 'ailun mustakbirun (ada tiga golongan yang tidak diajak bicara oleh Allah di hari qiyamat, tidak dibersihkan hatinya, dan akan disiksa dengan siksaan yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja pendusta, dan orang miskin yang sombong). Kata la yukallimuhum Allah (mereka tidak diajak bicara oleh Allah), bukan karena Allah tidak bertemu dengan orang itu, akan tetapi ungkapan itu memiliki makna kiasan, yaitu kiasan bahwa Allah tidak senang kepada mereka. Bahkan, ketidaksenangan Allah itu ditegaskan lagi dengan kata berikutnya wa la yandhuru ilayhim (Allah tidak mau melihat mereka). Mengapa Allah tidak senang kepada mereka ? Tentu saja karena perilaku mereka sudah melampaui batas. Orang tua yang berzina, dianggap melampaui batas, sebab orang tua seharusnya memberi contoh yang baik kepada anak cucu. Raja yang berdusta juga sangat dibenci Allah, sebab raja seharusnya jujur dalam menjalankan pemerintahan, bukan malah mengelabui rakyatnya. Kesimpulan Dari uraian yang telah dipaparkan sebelum ini, dapat dipahami bahwa al-Qur'an tidak menyebut secara tegas macam-macam dosa besar. Dalam al-Qur'an hanya terdapat ungkapan-ungkapan yang dapat mengantarkan kita untuk dapat menghukumi sebuah pelanggaran itu sebagai sebuah dosa besar. Dengan meresapi sejumlah istilah atau ungkapan yang menjadi tanda untuk memahami dosa besar, sebagaimana yang dikemukakan al-Baruzi, maka akan muncul puluhan macam dosa besar. Dosa-dosa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah hanyalah sebagian dari dosa-dosa besar yang terdapat dalam ajaran Islam. Untuk mengetahui secara rinci macam-macam dosa besar, kita hanya merujuk saja kepada ungkapan-ungkapan tersebut, baik yang terdapat dalam al-Qur'an maupun Hadis. Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Tamat S-3 dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/9541 Konsultasi : Aqidah Nikah Mengunakan Adat Jawa Sirik-kah.... Pertanyaan: Assalamualaikum ww Pak Ustad Temanku bertanya tentang "ritual adat2 yang ada di Indonesia masalah "pernikahan" Biasanya kalo di adat jawa, itu ada ritual nginjek telor sebelum masuk ke rumah mempelai wanita atau penyerahan keris atau dan lain-lain....." Di karenakan teman saya akan menikah..dan orangtua teman saya itu paling anti masalah begituan....karena di takutkan dari mempelai wanitanya akan melakukan begitu nantinya... Bagaimana menurut Islam ? Apakah itu syirik ? Apakah mutlak tidak boleh dilaksanakan ? Soalnya Bos rumah gue, anti yang seperti itu..... Terima kasih.... wassalam IVAN Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa bad. Beberapa ritual dalam tradisi adat memang ada yang masih belum bisa dipisahkan dengan nilai-nilai kemusyrikan. Namun tidak berarti bahwa semua elemet upacara adat itu semuanya syirik. Disini, Anda perlu lebih cerdas untuk bisa memilah dan memilih, manakah yang kental nilai syiriknya dan manakah yang masih mungkin ditolelir. Sesungguhnya ketika Islam datang ke negeri ini, Jawa adalah bangsa yang telah diislamkan. Bukan hanya mayoritas orang jawa itu masuk Islam, namun para raja dan sistem pemerintahannya pun pernah berjalan dengan sistem Islam. Nama JAWA itu sendiri di negeri Arab identik dengan bangsa Islam. Namun harus kita akui bahwa belum semua sendi kehidupan masyarakat jawa itu terislamkan 100 %. Apalagi memang ada kelompok pembangkang yang tidak mau mengakui ajaran Islam pada beberapa daerah dimasa pengislaman jawa. Sehingga wajarlah bila disana sini seringkali kita dapati nilai-nilai kejawaan yang masih belum tersentuh dengan nilai-nilai tauhid. Ini semua harus diamati sebagai sebuah proses yang barangkali sempat terhenti. Maka menjadi tugas generasi muslim keturunan jawa untuk meneruskan proses Islamisasi adat jawa secara lebih lengkap lagi. Namun secara umum, bangsa jawa tetaplah bangsa muslim. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. http://hizbut-tahrir.or.id/main.php?page=alwaie&id=132 Kamis, 1 Desember 2005 PEMELIHARAAN ISLAM ATAS KEHIDUPAN (Tafsir QS al-Isra' [17]: 33) Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.   ????? ??????????? ????????? ??????? ??????? ????? ?????? ?????????? ?????? ?????? ??????????? ?????? ????????? ??????????? ?????????? ????? ???????? ??? ????????? ??????? ????? ???????????  Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu alasan yang benar. Siapa saja yang dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami memberikan kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS al-Isra' [17]: 33). Ayat ini masih merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang berisi beberapa larangan. Jika dalam ayat sebelumnya, manusia dilarang membunuh anak-anak mereka dan mendekati perbuatan zina, dalam ayat ini manusia dilarang membunuh jiwa manusia lainnya. Ada benang merah yang menghubungkan ketiga larangan itu, yakni menjaga keberlangsungan kehidupan manusia secara umum. Az-Zuhayli menuturkan, jika membunuh, baik dilakukan terhadap anak maupun secara umum, dapat melenyapkan manusia setelah adanya, zina dapat mengantarkan pada ketidakadaan manusia dan kelangkaan kelahiran manusia.1 Tafsir Ayat Allah Swt. berfirman: Walā taqtulū an-nafs al-latī harrama Allāh illā bi al-haqq (Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu alasan yang benar). Kata an-nafs dalam ayat ini bermakna nafs al-insān (jiwa manusia) 2. Huruf alif dan lām dalam kata tersebut li al-jins (untuk menyatakan jenis) 3, yakni meliputi semua jenis jiwa manusia; tua-muda, laki-laki-perempuan, merdeka atau budak, Muslim atau kafir yang terikat perjanjian 4; bahkan mencakup pula janin manusia yang telah memiliki ruh. Berdasarkan ayat inilah, para fuqaha sepakat tentang haramnya pengguguran janin (aborsi) setelah ruh ditiupkan.5 Frasa lanjutan yang menjadi sifatnya: al-latī harrama Allāh (yang diharamkan Allah) menurut ar-Razi berfungsi untuk mempertegas haramnya perbuatan membunuh ('alā sabīl al-ta'kīd) 6. Al-Alusi, asy-Syaukani, dan al-Qinuji berpendapat, yang dimaksud dengan jiwa yang diharamkan Allah Swt. adalah jiwa yang terpelihara (ma'shūmah), baik disebabkan oleh Islam maupun oleh al-'ahd (perjanjian). 7 Ayat ini menegaskan: illā bi al-haqq' (melainkan dengan suatu alasan yang benar). Al-Alusi mengurai, huruf al-ba' memberikan makna sababiyyah, sedangkan istitsna' memberikan peluang. Dengan demikian, frasa ini dapat dimaknai: Janganlah kalian membunuh jiwa dengan sebab apa pun kecuali dengan sebab yang haq. 8 Menurut lahiriah ayat ini, perbuatan yang tergolong sebagai sebab yang haq itu adalah pembunuhan yang dilakukan secara zalim 9. Oleh ayat ini, kepada keluarga korban diberi hak untuk menuntut qishāsh. Selain pembunuhan secara sengaja (al-qatl al-'amd), zina muhshan dan kufur setelah iman juga merupakan perbuatan yang dimasukkan dalam sebab yang haq. Rasulullah saw. bersabda: «??? ??????? ???? ??????? ???????? ?????? ???? ?????????: ?????? ???? ?????????????? ???????? ???? ?????? ????????? ???????? ???? ?????? ??????? ???????? ?????» Tidak halal darah seorang Muslim (ditumpahkan) kecuali karena tiga hal: orang yang berzina setelah muhshan; kufur setelah Islam; dan membunuh jiwa, lalu dia dibunuh karenanya. (HR Ahmad, Muslim, dan an-Nasa'i). Ketiga hal inilah yang dipahami oleh para mufassir sebagai alasan yang dibenarkan untuk membunuh jiwa. 10 Namun demikian, masih ada beberapa tindakan lain yang mewajibkan hukuman mati. Perbuatan itu adalah qutha' ath-tharīq atau pembegal yang membunuh dan merampas harta benda (QS al-Maidah [5]: 33) dan liwāth (homoseksual). Rasulullah saw. bersabda: «???? ?????????????? ???????? ?????? ?????? ?????? ???????????? ?????????? ??????????????? ????» Siapa saja yang kalian jumpai melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, bunuhlah pelaku dan obyeknya. Menurut Qadhi Abu Muhammad, semua perbuatan yang harus dijatuhkan hukuman mati pada dasarnya dapat dikembalikan pada tiga jenis perbuatan yang disebutkan dalam Hadis Nabi saw. di atas. Perbuatan qath' ath-tharīq dapat dimasukkan ke dalam makna membunuh jiwa. Perbuatan zindiq dan meninggalkan shalat dapat dikategorikan sebagai kufur setelah iman. Tindakan menolak membayar zakat dapat pula dimasukkan ke dalam hal ini sehingga Abu Bakar ash-Sihiddiq ra. memerangi para penolak zakat. 11 Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Waman qutila madzlūm[an] faqad ja'alnā liwaliyyih sulthān[an] (Siapa saja yang dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami memberikan kekuasaan kepada walinya). Yang dimaksud dengan man qutila madzlūm[an] adalah orang yang dibunuh tanpa alasan yang dibenarkan syariah sebagaimana dipaparkan di muka. Menurut Ibnu Khuwaiz Mandad, al-waliyy haruslah laki-laki. Sebab, hak perwalian dikhususkan kepadanya yang ditunjukkan dengan kata mudzakkar (kata benda jenis laki-laki). Wanita tidak memiliki hak dalam masalah ini. Pendapat yang sama juga dikemukakan Malik dan Ismail bin Ishaq. 12 Mufassir lainnya berpandangan, yang dimaksud kata al-waliyy adalah ahli warisnya 13. Dengan demikian, semua ahli waris-baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak-memiliki hak yang sama untuk menuntut qishāsh. Demikian pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya 14. Alasannya, meskipun kata al-waliyy dalam ayat ini secara lahiriah menunjukkan mudzakkar, kata tersebut bermakna jenis, yang menyamakan antara pria dan wanita di dalamnya 15. Pendapat ini diperkuat dengan penggunaan kata awliyā' (QS at-Taubah [9]: 71; QS al-Anfal [8]: 71) atau awlā (QS al-Anfal [8]: 75) yang merujuk pada laki-laki dan perempuan. Baru jika korban pembunuhan itu tidak memiliki wali, maka yang bertindak menjadi walinya adalah penguasa.16 Kata sulthān dalam frasa ini bermakna hak yang diberikan kepada wali korban pembunuhan. Mereka berhak penuh untuk memilih salah satu dari tiga pilihan, yakni: menuntut hukuman qishāsh, meminta diyat (denda), atau memaafkan pelaku pembunuhan 17. Demikian pendapat Ibnu Abbas, Asyhab, al-Syafii 18, Mujahid, adh-Dhuhak 19. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah: «???? ?????? ???? ???????? ?????? ???????? ????????????? ?????? ???? ?????????? ???????? ???? ????????» Siapa saja yang terbunuh, maka walinya memiliki dua pilihan: meminta tebusan (diyat) atau membunuh pelakunya. (HR al-Bukhari). Allah Swt. berfirman: falā yusrif fī al-qatl (maka janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh). Kata al-isrāf berarti mujāwaz al-hadd (melampaui batas). Menurut para mufassir, ada beberapa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan melampaui batas. Pertama: membunuh lebih dari seorang, padahal pelaku pembunuhan hanya satu. Tindakan ini dulu menjadi tradisi bangsa Arab semasa jahiliah. Kedua: membunuh orang yang bukan pelaku pembunuhan. Demikian pendapat ad-Dhuhak, Mujahid, dan Said bin Jubair. Ketiga: membunuh pelaku pembunuhan dengan cara mencincang. Demikian dinyatakan Thalq bin Habib 20. Jika dicermati, ketiga tindakan itu dapat dikategorikan sebagai tindakan melampaui batas. Allah Swt. mengakhiri ayat ini dengan firman-Nya: Innahu kāna manshūra[an] (Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan). Menurut sebagian mufassir, dhamīr al-hā' kembali kepada al-waliyy. Pertolongan Allah Swt. kepada wali korban pembunuhan adalah dengan mewajibkan qishāsh atau diyat, dan memerintahkan penguasa untuk membantu diperolehnya hak ahli waris secara sempurna 21. Karena telah mendapatkan pertolongan-Nya, janganlah mereka mencari segala sesuatu selain haknya. 22 Adapun Mujahid dan Qatadah berpendapat, dhamīr al-hā' itu kembali kepada korban pembunuhan. Di dunia, ia ditolong Allah Swt. dengan adanya kewajiban hukuman qishāsh atau diyat atas pembunuhnya. Di akhirat kelak ia ditolong dengan ditutupinya kesalahannya dan dimasukkannya pembunuhnya ke dalam neraka 23. Karena dia telah ditolong Allah Swt., janganlah walinya melakukan tindakan yang melampaui batas dalam urusannya. 24 Islam Melindungi Jiwa Siapa pun yang mencermati ayat ini, pastilah berkesimpulan bahwa Islam amat melindungi jiwa manusia. Perlindungan itu tampak pada beberapa hal. Pertama: Larangan membunuh semua jiwa yang diharamkan Allah Swt., kecuali jika ada sebab yang haq. Selama tidak ada sebab yang dibenarkan syariah, menumpahkan darah merupakan tindakan terlarang. Bagi seorang Mukmin, larangan itu sudah cukup mencegah dirinya melakukan pembunuhan. Apalagi dalam nash-nash lainnya, membunuh dikategorikan sebagai dosa besar dan pelakunya diancam dengan azab yang amat dahsyat. (QS an-Nisa' [4]: 92). Kedua: Adanya sanksi terhadap pelaku pembunuhan. Dalam ayat ini, Allah Swt. tidak hanya melarang membunuh, namun juga menjatuhkan hukuman terhadap pelakunya. Hukuman itu diserahkan kepada ahli waris korban: antara qishāsh atau diyat. Qishāsh merupakan hukuman bunuh yang dijatuhkan atas si pembunuh. Adapun diyat pembunuhan sengaja sebesar 100 ekor unta, 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting atau 1000 dinar (1 dinar=4,25 gr emas)! Memang, masih ada pilihan ketiga, yakni memberikan maaf. Akan tetapi, alternatif pilihan itu sepenuhnya menjadi hak keluarga korban. Pihak pembunuh tidak boleh memaksa keluarga korban untuk memilih salah satu di antara tiga pilihan itu. Dengan begitu, sebelum membunuh, seseorang tidak akan mengetahui secara pasti hukuman apa yang bakal dia terima. Karena tidak mengetahui, tuntutan qishāsh dari keluarga korban tetap menjadi ancaman yang menakutkan bagi orang yang akan melakukan pembunuhan. Ketakutan terhadap hukuman qishāsh itu bisa mencegah terjadinya pembunuhan. Patut dicatat, hukuman di dunia terhadap setiap pelaku kejahatan itu amat penting. Dalam kasus pembunuhan, misalnya, meskipun telah dinyatakan sebagai perbuatan terlarang dan pelakunya diancam dengan azab neraka, jika tidak disertai hukuman di dunia, larangan dan ancaman itu hanya bisa mencegah orang-orang beriman saja. Adapun bagi orang-orang yang tidak beriman atau tipis imannya, larangan dan ancaman siksa neraka tidak akan berarti apa-apa. Di sinilah pentingnya hukuman di dunia dalam rangka mencegah pembunuhan oleh orang-orang yang tidak beriman atau tipis imannya. Tepat sekali jika dinyatakan, diterapkannya hukuman qishāsh akan menjamin berlangsungnya kehidupan (QS QS al-Baqarah [2]: 179). Ketiga: larangan kepada keluarga korban melakukan tindakan melampaui batas. Dalam kasus pembunuhan, keluarga korban merupakan pihak yang paling dirugikan. Wajar jika dalam ayat ini mereka diberi kekuasaan dalam menentukan pilihan sanksi. Meskipun demikian, mereka tidak boleh melampaui batas yang telah ditetapkan syariah. Mereka tidak boleh menuntut qishāsh kecuali terhadap pelaku pembunuhan. Mereka juga tidak boleh membunuh pelakunya dengan cara yang keji, seperti mencincang. Jika itu mereka lakukan, kemarahan keluarganya bisa saja tersulut. Berikutnya, pertumpahan darah antar keluarga bisa tidak terelakkan karenanya. Dengan demikian, ketentuan ini pun memberikan penjagaan terhadap jiwa manusia dari ancaman pembunuhan yang dilakukan secara zalim. Dengan begitu, keberlangsungan kehidupan manusia pun dapat terjaga. Siapa yang tidak merindukannya? Wallāh a'lam bi ash-shawāb. [] Catatan Kaki: 1. Wahbah al-Zuhayli, Tafsīr al-Munīr, vol. 15. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), 70 2. Al-Qasimi, Mahāsin al-Ta'wīl, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 459. 3. Ibn Athiyah al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-'Azīz, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 452. 4. Abd al-Rahman al-Sa'di, Taysīr al-Karīm al-Rahman fī Tafsīr Kalām al-Mannān, vol. 1 (Beirut: Alam al-Kutub, 2000), 615. 5. Abd al-Qadim Zallum, Hukm al-Syar'i fī: al-Istinsākh, Naql al-A'dha', al-Ijhādh, Athfāl al-Anābīb, Ajhizat. al-In'āsyal-Thayyibah,al-H}ayah wa al-mawt (Beirut: Dar al-Ummah, 1997), 31. 6. Fakhruddin al-Razi, al-Tafsīr al-Kabīr Aw Mafātīh al-Ghayb, vol. 20 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 160 7. Shihab ad-Din al-Alusi, Rūh al-Ma'ānī, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 67; al-Syaukani, Fath al-Qadīr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 277; Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayān fī Maqāshīd al-Qur'ān, vol. 7 (Qathar: Idarat Ihya' al-Turats al-Islami, 1989), 386. 8. Al-Alusi, Rūh al-Ma'ānī, vol. 8, 67. 9. Nizham ad-Din, Tafsīr Gharāib al-Qur'ān wa Raghāib al-Furqān, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 346. 10. Ath-Thabari, Jāmi' al-Bayān fī Ta'wīl al-Qur'ān, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 346; Ibn 'Athiyah al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajīz, vol.3, 452; al-Baghawi, Ma'ālim al-Tanzīl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 94; al-Baqa'i, Nadhm Durar fī Tanāsub al-Ayāt wa al-Suwar, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 376. 11. Ibn 'Athiyah al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajīz, vol.3, 452. 12. Al-Quthubi, al-Jāmi' li Ahkām al-Qur'ān, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 165-166; Ibn Juzyi al-Kalbi, al-Tasyhīl li 'Ulūm al-Tanzīl ,vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 486. 13. Al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasīth fī Tafsīr al-Qur'ān al-Majīd, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 106; Abu Bakr al-Jazairi, Aysar al-Tafāsīr li Kalām al-'Aliyy al-Kabīr, vol. 3 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 190; Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsīr al-Munīr , vol. 15, 65. 14. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsīr al-Bahr al-Muhith, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 30. 15. Al-Quthubi, al-Jāmi' li Ahkām al-Qur'ān, vol. 10, 166. 16. Al-Zamakhsyari, al-Kasyāf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 638. 17. Ath-Thabari, Jām' al-Bayān, vol. 8, 75; Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur'ān al'Azhīm, vol. 3 (Riyadh: Dar 'Alam al-Kutub, 1997), 52; al-Samarqandi, Bahr al-'Ulūm, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 267. 18. Al-Quthubi, al-Jāmi' li Ahkām al-Qur'ān, vol. 10, 166. 19. Al-Baghawi, Ma'ālim al-Tanzīl, vol. 3, 94. 20. Al-Quthubi, al-Jāmi' li Ahkām al-Qur'ān, vol. 10, 166; al-Syatqithi, Adhwā' al-Bayān fī Idhāh al-Qur'an, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 87-88. 21. Al-Qinuji, Fath al-Bayān fī Maqāshīd al-Qur'ān, vol., 386; al-Qasimi, Mahāsin al-Ta'wīl, vol. 6, 459; Nidzam al-Din al-Naysaburi, Tafsīr Gharāib al-Qur'ān wa Raghāib al-Furqān, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 347 22. Al-Zamakhsyari, al-Kasyāf, vol. 2, 638; al-Alusi, Rūh al-Ma'ānī, vol. 8, 68; al-Qasimi, Mahāsin al-Ta'wīl, vol. 6, 459. 23. Al-Baghawi, Ma'ālim al-Tanzīl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 94; al-Khazin, Lubāb al-Ta'wīl fī Ma'ānī al-Tanzīl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), ; al-Qinuji, Fath al-Bayān fī Maqāshīd al-Qur'ān, vol., 386; Nizham ad-Din al-Naysaburi, Tafsīr Gharāib al-Qur'ān, vol. 4, 347. 24. Al-Alusi, Rūh al-Ma'ānī, vol. 8, 68 http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/6609 Konsultasi : Aqidah Apakah Ramalan Bintang (Zodiac) Boleh Dipelajari Dan Dipercaya? Pertanyaan: Ustadz, Mau nanya nih, saya suka lihat saudara sepupu saya sering melihat tayangan ramalan bintang di atau di majalah remaja. Pertanyaannya : apakah ramalan bintang itu ilmu yang boleh dipelajari atau diharamkan islam ? Ari Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du, Hukum ramalan itu haram sebab mengandung unsur syirik di dalamnya. Bahkan ada sebuah dalil yang menyebutkan bahwa saking haramnya, hingga sekedar bertanya kepada peramal tanpa percaya pun sudah syirik. Sehingga urusan ramalan bintang yang sumbernya adalah mitologi yunani memang bukan masalah sepele. Sayangnya, ramalan syirik seperti itu masih saja ada menghiasi majalah dan koran, bahkan sekarang sudah masuk ke dunia yang lebih canggih seperti SMS dan internet. Kami yakin mereka melakukannya bukan karena semata-mara percaya, melankan hanya sekedar having fun. Hanya saja masalahnya, kalau ada keterangan yang menyebutkan bahwa sekedar mendatangi peramal saja sudah dianggap syirik meski tidak percaya, maka kasusnya sama saja. Sekedar membaca-baca dan bermain dengan ramalan bintang itu sudah dianggap syirik. Karena itu, janganlah membeli majalah, koran atau media apapun yang ada ramalan bintangnya, sebab sedikit banyak kita punya andil atas media yang syirik itu. Sekecil apapun. Ramalan zodiak itu sebenarnya bersumber dari mitos yunani yang dahulu disuplai oleh syetan. Budaya yunani kuno itu menerima kabar dari syaithan dengan jalan melihat letak bintang untuk menentukan atau mengetahui peristiwa-peristiwa di bumi, seperti letak benda yang hilang, nasib seseorang, perubahan musim, dan lain-lain. Inilah yang biasa disebut ilmu perbintangan atau tanjim. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : Kemudian melemparkan benda itu kepada orang yang di bawahnya sampai akhirnya kepada dukun atau tukang sihir. Terkadang setan itu terkena panah bintang sebelum menyerahkan berita dan terkadang berhasil. Lalu setan itu menambah berita itu dengan seratus kedustaan. (HR. Bukhari dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu) Meskipun demikian, masih banyak orang yang mempercayai dan mau mendatangi peramal atau astrolog atau para dukun, bukan saja dari kalangan orang yang berpendidikan dan ekonomi rendahan bahkan dari orang-orang yang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Perbuatan orang yang mendatangi atau yang didatangi dalam hal ini para dukun sama-sama mendapatkan dosa dan ancaman keras dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berupa dosa syirik dan tidak diterima shalatnya selama 40 malam. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : Barangsiapa yang mendatangi dukun dan menanyakan tentang sesuatu lalu membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya 40 malam. (HR. Muslim dari sebagian istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) Pada kesempatan lain, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga mengancam mereka tergolong orang-orang yang ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : Barangsiapa yang mendatangi dukun (peramal) dan membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh ia telah ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. (HR. Abu Dawud) Ancaman dalam hadits di atas berlaku untuk yang mendatangi dan menanyakan, baik membenarkan atau tidak. (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh 1979) Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid@yahoogroups.com/msg00531.html [daarut-tauhiid] Riya Menjelma Syirik shofy nafsany Thu, 06 Apr 2006 23:32:18 -0700 fyi.... mudah2an bermanfaat. buat yang mo weekend.... Have a nice holiday. Riya Menjelma Syirik Riya adalah sifat tercela, ia sangat membahayakan perjalanan seorang salik (pejalan menuju Allah), karena bisa memberangus nilai ibadahnya. Bahkan riya dikatagorikan syirik khafi (tersembunyi). Hasrat mendapatkan sesuatu dari makhluk, sebagai wujud riya yang dapat mengotori niat ibadah seseorang. Riya juga dapat membuat seseorang jadi munafik bahkan menjadi musyrik. Karena itu berhati-hatilah dengan sifat riya yang sangat membahayakan. “Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekaliE (An Nisaa': 142) Bahaya riya Setiap manusia mempunyai kecenderungan ingin dipuji, dan keinginan itu merupakan proses pembentukan riya dalam diri seseorang. Sifat riya sangat lembut dan halus, bagaikan gumpalan asap yang memenuhi jiwa dan mengalir kesegenap pembuluh darah, dampaknya dapat menutup pandangan akal dan iman seseorang. Bila sifat itu dibiarkan berkembang mewarnai hidupnya, maka sudah dapat dipastikan, tidak mampu membendung riya menjelma jadi syirik. Sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Adz Dzahabi. “Maka takutlah kamu sekalian akan riya, karena sessungguhnya riya itu adalah menyekutukan (syirik) kepada AllahE Sifat riya sangat berbahaya bagi orang yang menjalankan ibadah, karena menelusup ke sela-sela niat. Padahal niat merupakan pangkal dari murni tidaknya suatu ibadah. Bila amal ibadah seseorang tidak mencerminkan kemurnian (keikhlasan), akan sia-sia. Sebab, Allah tidak pernah menyuruh hamba-hamba-Nya untuk berbuat ibadah, kecuali yang dilandasi niatan ikhlas (murni). Sesungguhnya setiap amal ibadah seorang hamba, tidak dilihat dari sisi lahiriahnya, melainkan apa yang terlintas dalam hatinya, yaitu niatan ikhlas. Barangsiapa mencampur adukkan niat ibadah dengan keinginan nafsunya, sekalipun surga yang diinginkannya, niscaya gugurlah segala amal ibadahnya. Pahala dan surga adalah makhluk Allah. Mengapa masih mengharap sesuatu selain Allah. “Maka perumpamaan orang (yang beramal serta riya) itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, Allah menjadikan dia bersih (tidak bertanah) (Al Baqarah : 264 ) Mengapa harus mencari pujian dan sanjungan dari makhluk. Bukankah setiap perbuatan yang bersifat baik dan terpuji, dengan sendirinya pasti terpuji dan tersanjung. Begitu pula sebaliknya, setiap perbuatan yang tercela, walau berusaha mencari pujian dan sanjungan, tetap saja tercela. Yang sudah pasti, Allah tidak menerima amal ibadah yang disertai pamrih. Karena Allah Dzat Yang Suci. Seseorang yang mengharap perjumpaan dengan-Nya, hendaklah memakai busana yang suci lahir dan batin. Karena itu, barangsiapa beribadah mencari selain Allah, seperti popularitas, mengharap puji dan sanjung, Allah akan meninggalkan dan tidak peduli pada amal ibadahnya orang-orang yang bersifat riya. Perlu digaris bawahi, Allah tidak mau “dimaduE(didua-kan). Allah adalah Dzat yang Esa. Ia tidak butuh amal ibadah seorang hamba yang menduakan-Nya. Siapa pun mengerjakan ibadah yang disertai riya, berarti telah menyekutukan Allah alias syirik. Riya dalam Shalat Tumbuh riya pada jiwa orang yang shalatnya diawali motivasi mengharap sesuatu dari manusia, Misalnya melakukan shalat, dengan harapan dikenal sebagai orang yang shaleh dan ahli ibadah. Atau mendirikan shalat karena ingin dikenang sebagai orang yang mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub). Seseorang tidak akan mengetahui riya yang tumbuh pada jiwa orang lain, karena sifat riya sangat halus dan lembut. Ia menelusup dalam diri setiap manusia. Tidak ada yang mengetahui riya, kecuali diri orang yang bersifat riya. Sifat riya pada orang yang melakukan shalat dapat muncul dari awal persiapan sampai akhir shalat. Shalatnya menjadi tidak khusyu' dan tidak bernilai, sebab shalatnya tidak dilakukan dengan tulus dan murni karena panggilan Allah. Sungguh sangat tercela, shalat orang yang dilandasi dengan riya. Betapa nista orang yang dapat dikelabui oleh setan, dengan pandangan dan bayangan kemuliaan. Sungguh celaka orang yang mengotori niat shalatnya dan melalaikan seruan Rasulullah saw. ”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bershalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (An Nisaa': 142). Rasulullah saw. bersabda : “Barangsiapa yang menyempurnakan shalatnya ketika dilihat manusia dan menguranginya diwaktu sendirian. Maka itulah penghinaan terhadap Tuhannya (Allah)E (HR. At Thabrani dan Al Baihaqi) Riya saat zakat Sifat riya juga tumbuh pada jiwa orang yang memiliki harta, sifat tersebut dapat merubah seseorang menjadi kikir. Zakat dan sedekah yang ditunaikan acap kali diwarnai sifat riya. Tidak ada zakat dan sedekah baginya, kecuali hasrat dipuji dan disanjung. Ciri-ciri orang semacam itu, saat memberi selalu disertai kata-kata yang menyakitkan hati si penerima. Cara menghitung zakat harta, zakat infak, zakat fitrah dan zakat lainnya, cenderung menyimpang dari ketetapkan syari'at Islam. Orang yang menafkahkan hartanya karena riya, bukan termasuk golongan orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Bahkan mereka termasuk golongan orang yang merugi. Karena mereka telah mengambil setan-setan dari jenis manusia sebagai temannya. Padahal setan adalah seburuk-buruk teman bagi manusia. “Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknyaE (An Nisaa': 38). Riya saat ibadah “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan AllahE Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. (Al Anfaal: 47). Kemurahan Allah tercurah pada setiap orang yang mengamalkan ibadah. Apapun yang diniatkan dalam melaksanakan ibadah, niscaya akan dapat hasilnya sesuai dengan niatannya. Sebagaimana Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang beramal karena ingin didengar (cari popularitas), maka Allah akan mendengarkannya. Dan barangsiapa yang beramal karena ingin dilihat (mencari puji dan penghormatan), maka Allah akan memperlihatkannya.E (HR. Muslim bersumber dari Ibnu ’Abbas. ra.) “Dan sesungguhnya bagi setiap amal manusia akan mendapatkan apa yang diniatkan". (HR. Bukhari bersumber dari Umar bin Khaththab ra.) Riya akan menghanguskan semua amal ibadah yang telah dilakukan dengan susah payah. Sifat riya juga dapat tumbuh subur di lingkungan santri, dengan mengajak berangan-angan menjadi ulama besar dan terhormat yang disegani masyarakat. Bukan bercita-cita menjadi hamba Allah yang shaleh, tetapi cenderung menginginkan kemuliaan di dunia dan kemegahan derajat. Begitu pula di kalangan ahli zikir, sifat riya tumbuh dengan lintasan jiwa ingin meraih aura ruhani, sehingga mampu mengelabui di setiap desah zikirnya. Bahkan jiwanya akan membujuk hati untuk mempercepat zikir bahkan menuntut keistimewaan atau “karomahE Bagi ahli zikir, tak ada hijab yang menjelma syirik, kecuali riya'. Karena itu ikhlaskan niat agar benar-benar bersih dari noda syirik. “Aku tidak butuh sekutu dalam segala-galanya. Karena itu barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan, lalu dia menyekutukan-Ku dalam amalnya itu dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan amalnya itu padanya dan pada sekutunya. (Hadis Riwayat Muslim. Dari Abu Hurairah ra). Penawar sifat riya Penawar sifat riya sesungguhnya ada pada diri orang yang bersangkutan. Yaitu dengan menyingkirkan segala keinginan yang bersifat duniawi maupun ruhani, karena semua itu hanyalah hiasan bagi orang yang sedang menuju Allah. ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus" (Al Bayyinah: 5). Maka satu-satunya jalan menuju keselamatan hati adalah mawas diri, dan mengikis habis sifat-sifat tercela terutama riya. Tentu dengan cara senantiasa melatih dan meningkatkan kadar keimanan. ”Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.E(Al Anfaal: 47). Merupakan karakter dasar manusia yang selalu ingin dipuji dan dihormati, sehingga riya berkembang dalam diri. Namun bagi orang yang memiliki kesadaran diri, kesadaran spiritual, dan keimanan yang baik yang menyadari bahwa hanya Allah yang berhak dipuji dan menerima pujian dari setiap makhluk. Hanya Dia-lah Dzat yang patut dipuji. Apabila hasrat ingin dipuji muncul di dalam hati dan sulit dikendalikan maka ingatlah kepada Allah swt. dan tumbuhkan niat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Barangsiapa yang hendak meraih kemuliaan dan kebesaran Tuhannya di dunia maupun di akhirat, beramallah dengan amalan-amalan yang baik (shaleh) dengan memurnikan akidahnya dalam beribadah kepadaNya, dan tidak syirik dengan sesuatu apapun. Allah adalah Dzat yang Esa, maka Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya yang mengesakan niatnya dalam melaksanakan amal ibadah yang diserukan-Nya. Itu sebagai tanda bersih hatinya dari sifat riya. Jika hati tidak bersih dari sifat tersebut, maka riya akan menjelma jadi syirik. "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (An Nisaa': 48) Kalam Hikmah : Setiap manusia mempunyai kecenderungan ingin dipuji, dan keinginan itu merupakan proses pembentukan riya dalam diri seseorang. Jika hati tidak bersih dari sifat tersebut, maka riya akan menjelma jadi syirik. Mengapa harus mencari pujian dan sanjungan dari makhluk. Bukankah setiap perbuatan yang bersifat baik dan terpuji, dengan sendirinya pasti terpuji dan tersanjung. Riya akan menghanguskan semua amal ibadah yang telah dilakukan dengan susah payah. Dikutip dari Majalah "KASYAF" KASYAF adalah majalah Kajian Tauhid dan Hakikat yang terbit setiap dua bulan sekali. Saat ini sedang beredar Edisi 5 yang mengangkat tema "HIJRAH MENGGAPAI MA’RIFATULLAHE Akan beredar KASYAF Edisi 6 dengan mengusung TEMA : "CAHAYA MUHAMMAD SAWE KASYAF dapat diperoleh di toko buku atau lapak-lapak koran terdekat atau dapat langsung menghubungi Bagian Marketing/Sirkulasi (Sdr. Ahmad Rivai) Telp (021)87710094 atau kunjungi websitenya : www.akmaliah.com dan [EMAIL PROTECTED] http://republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=179343&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=269 Jumat, 26 Nopember 2004 H Shiddiq al-Jawi Islam Menghargai Kehidupan Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti "baik" dan thanatos yang berarti "kematian". Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau tafsir al-maut. Sementara menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Ada dua macam euthanasia, yakni euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Dan menurut H Shiddiq al-Jawi dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), syariat Islam sebenarnya telah mampu mengatasi segala persoalan, termasuk menyangkut euthanasia ini, baik yang aktif maupun yang pasif. "Islam tidak membenarkan dilakukan tindakan euthanasia aktif. Sedangkan pada euthanasia pasif dengan menghentikan perobatan melalui pencabutan alat-alat bantu, hukumnya boleh dan tidak haram," kata Shiddiq ketika ditemui pada seminar euthanasia, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Kendati begitu, euthanasia tetap menjadi bahan perdebatan di kalangan medis, tokoh agama, dan hak azasi manusia. Masalah etika dan moral pun lebih mengemuka. Berikut ini petikan wawancara Wartawan Republika Yusuf Assidiq, dengan Shiddiq al-Jawi mengenai hal itu: Seperti apa sebenarnya konsep Islam mengenai kehidupan dan sekaligus juga kematian? Perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana kehidupan itu berawal. Dari berbagai nash Quran dan fakta yang ada, menunjukkan bahwa bayi di dalam janin baru mendapatkan ruh setelah 120 hari. Tapi sesungguhnya sebelum 120 hari, Allah SWT sudah memberikan kehidupan. Kehidupan itu ditandai dengan adanya keperluan terhadap nutrisi, pergerakan, diferensiasi sel-sel, dan seterusnya. Itu adalah tanda-tanda kehidupan. Jadi dari 0 sampai 120 hari, sudah ada kehidupan tapi belum ada nyawa. Dari situ diketahui, antara ruh dan kehidupan bukan sesuatu yang identik. Namun kemudian ada bukti yang kedua bahwa ruh dan kehidupan juga punya kaitan. Pada surah Az-Zumar disebutkan "..Allah-lah yang mewafatkan jiwa-jiwa manusia dan Allah pulalah yang memegang jiwa manusia ketika dia tidur." Dalam buku Emansipasi Adakah Dalam Islam karya Al-Baghdadi, dikatakan ayat ini menunjukkan ketika manusia tidur, sebenarnya tidak memiliki nyawa. Penjelasannya adalah bahwa di saat kita tidur, kehidupan masih ada, normal, kita pun bernafas. Tapi menurut nash Quran, manusia justru sedang tidak bernyawa waktu tidur. Bukti ketiga, ketika nyawa manusia dicabut oleh Allah, ternyata masih dimungkinkan adanya tanda-tanda kehidupan pada sebagian organ. Karena itu bila ada orang yang mengalami gegar otak atau mati batang otak, organ tubuhnya masih bisa berfungsi dan bisa ditransplantasikan kepada orang lain. Meski sebenarnya sudah tidak bernyawa, tapi masih ada organ-organnya yang memiliki tanda-tanda kehidupan. Dari penjelasan ini diketahui bahwa nyawa dan kehidupan tidaklah identik, akan tetapi ada hubungannya, bahwa nyawa itu hanya mau bersemayam pada manusia yang memiliki daya dukung untuk hidup. Bila seorang manusia organ tubuhnya sudah hancur, jelas tidak lagi punya kemampuan untuk hidup. Dan nyawa dengan sendirinya tidak bisa bersemayam di sana. Menyangkut euthanasia, bagaimana Islam memandang persoalan ini? Berdasarkan literatur, para ulama membagi euthanasia ke dalam dua kategori, yaitu euthanasia aktif dan pasif. Mungkin di sini pendefinisiannya agak berbeda dengan yang diterapkan pada bidang kedokteran. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter untuk mempercepat kematian pasien misalnya dengan memberikan suntikan mematikan ke dalam tubuh pasien. Sementara euthanasia pasif, adalah tindakan dokter untuk menghentikan pengobatan pasien. Euthanasia aktif secara jelas diharamkan dalam Islam. Tindakan dokter mempercepat kematian pasien termasuk kategori pembunuhan secara sengaja yang merupakan tindak pidana. Walaupun niatnya baik untuk meringankan penderitaan pasien namun hukumnya tetap haram, tak peduli ada permintaan sendiri dari pasien atau keluarganya. Dalil-dalilnya juga sangat jelas. Seperti pada surat An-Nisaa ayat 92 "..dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).." Selain itu dalam surat Al-An'aam ayat 51 disebutkan "..dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar." Berdasar dalil-dalil tersebut jelaslah hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Tindakan itu adalah dosa besar. Oleh sebab itu dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam, dapat dijatuhi hukuman qishash (hukuman mati karena membunuh). Dalih yang dipakai selama ini saat hendak melakukan euthanasia aktif adalah guna mengurangi penderitaan pasien. Apakah alasan tersebut bisa diterima menurut Islam? Tidaklah dapat diterima alasan euthanasia aktif yang sering kali dikemukakan yakni kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasein tidak mendapatkan manfaat dari ujian sakit yang diberikan Allah kepadanya, yaitu pengampunan dosa. Tidak diterimanya alasan itu juga berlaku pada euthanasia pasif? Euthanasia pasif adalah praktek menghentikan pengobatan. Tindakan itu dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh pada pasien. Karena itu dokter menghentikan pengobatan pada pasien misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimana hukumnya menurut Islam? Jawabannya sangat tergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat itu sendiri. Yakni apakah berobat itu wajib, mandub, mubah atau makruh. Dalam masalah ini masih ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati itu hukumnya sunah. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat. Dari beberapa hadis nabi, jelas diketahui bahwa pengobatan atau berobat hukumnya sunah, termasuk dalam hal ini memasang alat bantu bagi pasien. Terkait hal ini, Abdul Qadim Zallum mengatakan jika para dokter telah menetapkan si pasien telah mati organ otaknya, maka dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti melepas alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu itu termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunah, bukan wajib. Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya atau washi-nya (orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak punya wali dan washi, izin perlu ada dari pihak penguasa. MUI sudah mengeluarkan fatwa haram euthanasia. Menurut Anda? Mungkin perlu diteliti lagi. Seperti sudah dikemukakan, ada euthanasia aktif untuk mempercepat kematian pasien. Kita sepakat itu tidak boleh karena sama saja dengan pembunuhan disengaja. Tapi mengenai euthanasia pasif dalam arti untuk menghentikan pengobatan, saya kira perlu ditinjau lagi lantaran ada pendapat dari beberapa ulama yang membolehkan euthanasia setelah matinya batang otak. ( yus ) http://moslemyouthcrew.com/index.php/2006/12/06/syirik-tauhid-aliran-sesat/ Membedah Kesyirikan December 06th, 2006 | Kategori: tauhid Syirik sebagai sebuah penyakit, selalu berjangkit di setiap generasi. Menimpa individu maupun masyarakat. Sejarah kehidupan mencatat, bahwa kesyirikan dalam level masyarakat berlangsung awal sekali di zaman Nabi Nuh Alaihis-Salam. Sejarah manusia sebelumnya adalah lurus, bersih dan bertauhid kepada Allah. Sejak Nabi Adam generasi insane senantiasa hanif (lurus) beribadah kepada Allah semata. Sampai syaitan mendatangi manusia, membisikkan rayuan persekutuan kepada Allah. Memberikan sebuah umpan yang terbukti jitu mengantar manusia kepada kerendahan adalah pengagungan orang-shalih lebih dari kapasitasnya, disembah, dimohon, dijadikan perantara dalam berseru kepada Allah Ta’ala. Umpan ini terbukti manjur diterapkan di setiap generasi, hingga zaman Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Berlanjut pula hingga detik ini, dan sampai waktu yang Allah saja yang mengetahui. Di level individu , tentunya telah berlangsung di sepanjang sejarah menusia itu sendiri. Fenomena nyata terjadinya kesyirikan di tingkat individu dan kita temukan banyak di sekitar kita terjerumusnya manusia dalam penyembahan terhadap hawa nafsunya. Ibarat sebuah penyakit, baik ia menimpa individu maupun masyarakat, kesyirikan tak boleh sedikitpun dibiarkan, ditumbuhkembangkan, terlebih ‘diuri-uri’ (dilestarikan). Ancaman Allah berkaitan dengan aktivitas kesyirikan ini sangatlah mengerikan, dahsyat dan luar biasa sehingga tak boleh disepelekan. Ia berkaitan dengan masa depan abadi kehidupan manusia. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni yang selain syirik kepada yang dikehendaki”. (An-Nisa 48) Tiada ampunan Allah bagi pelaku kesyirikan adalah musibah terbesar bagi hidup manusia. Syirik mensuramkan masa depan manusia di dunia maupun akhirat. Pentingnya hal itu, memberikan konsekuensi bagi seorang muslim untuk mengetahui dan mengenal hal-hal yang bermuatan kesyirikan untuk bisa menjauhi sejauh-jauhnya. Bila kesyirikan dipilah pilah menurut besarnya, maka dapat dikategorikan menjadi 2 macam, yaitu : 1. syirik (Akbar) besar 2. syirik (Ashgor) kecil Apa beda keduanya ? Syirik akbar atau besar secara mudahnya adalah menjadikan tandingan di sisi Allah dalam hal ibadah, atau memalingkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah. Kesyirikan bisa dalam bentuk berdo’a kepada selain Allah, bernadzar, berqurban, tawakal, meminta pertolongan dan ibadah yang lain. Ibnu Mas’ud pernah bertanya kepada Rasulullah “Apakah dosa terbesar?”, jawab Rasulullah : “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padalah Dia (Allah) telah menciptakan engkau”. (HR Bukhari dan Muslim) Kategori syirik (Akbar) inilah yang mengeluarkan seseorang dari keislamannya dan tak akan diampuni oleh Allah ta’ala. Syirik akbar ini tak hanya semacam saja, namun ternyata ada bermacam-ragam. Diantara model syirik besar : Syirik dalam do’a (Syirku ad du’a): yaitu dengan memohon kepada selain Allah, tanpa kecuali. Kepada siapa dan apa pun selain Allah SWT seseorang berdo’a, maka dia telah mensekutukan Allah ta’ala dan keluar dari Islam. Walaupun yang diminta do’a adalah malaikat, para Nabi, wali dan orang shalih, tetaplah perbuatan syirik. “Janganlah engkau berdo’a kepada selain Allah yang tak dapat memberikan manfaat dan bahaya, apabila kalian melakukannya niscaya kalian menjadi orang-orang yang merugi” (QS Yunus 106) Syirik dalam niat (Syirku an niyah): yaitu beramal kebaikan hanya untuk meraih dunia, materi semata. Beramal shalih, menuntut ilmu, bersedekah dan amalan yang lain tidak diniatkan mencari pahala di sisi Allah SWT namun ia inginkan kedudukan, prestise, pujian, harta, isteri/suami dan hal-hal keduniaan. Allah SWT berfirman : “Barangsiapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya maka akan kami sempurnakan amalan-amalan mereka di dunia , dan mereka tidak dirugikan merekalah yang tiada bagian di akhirat kecuali neraka, dan terhapus apa yang mereka buat dan batillah apa yang mereka kerjakan”. (QS Hud 15) Syirik kecintaan (Syirku al mahabbah): model ini adalah mencintai selain Allah SWT sebagaimana mencintai Allah. Membagi atau memadu cinta adalah model syirik yang satu ini. Cinta kepada Allah namun cinta pula kepada selain Allah SWT. Cinta yang dimaksud adalah cinta ibadah, yang berisi ketundukan, dan perendahdirian. Dengan cinta ini seorang rela untuk tunduk, patuh taat, mendekatkan diri, sujud ruku’ meninggalkan perintah Allah SWT, melanggar aturan Allah SWT. Allah SWT berfirman tentang hal ini : “dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu-sekutu, mereka mencintai tandingan-tandingan tadi sebagaimana mencintai Allah ta’ala”. Syirik ketaatan (syirk ath tho’ah); syirik model ini adalah syirik dalam menaati ulama, para syaikh, kyai dan ustadz dalam hal kemaksiatan kepada Allah ta’ala. Di negeri ini, syirik ketaatan sangat luas menyebar, segala hal yang dikatakan pemuka agamanya (kyai) mesti benar, tak ada yang salah. Tak heran, bila sihir dikatakan halal dan bagus, maka para pengikut pun mengangguk dan taat. Lihat fenomena pasukan berani mati beberapa waktu yang lalu. Mereka dilengkapi dengan kekebalan, tahan peluru, bisa merayap di dinding dan macam-macam keganjilan yang lain, jelas ini adalah syihir. Anehnya lagi sihir yang beginian diperoleh dari mereka yang dikatakan ulama. Syirik ketaatan seperti yang difirmankan Allah : “Mereka menjadikan ahli-ahli ilmu dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah” (At Taubah 31) Ketaatan ibadah tetapi dikatakan sebagai maksiat adalah dengan mentaati rahib dan ruhban (kyai atau ulama) dalam menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah SWT. Perbuatan ini telah disinggung dalam sabda Nabi kita yang mulia sholallohu alaihi wasallam : “Tidak ada ketaatan makhluk dalam memaksiati Al Kholiq” (HR Ahmad) Syirik al hulul: yaitu keyakinan bahwa Allah bersatu bersama makhluknya. Keyakinan hulul adalah aqidahnya Ibnu Arabi seorang penganut ajaran sufi yang dikubur di Damsyik. Sampai-sampai Ibnu Arabi ini melantunkan syair kesyirikannya dengan menyatakan “Bukanlah anjing dan babi melainkan tuhan kami….dan bukanlah Allah kecuali pendeta di gereja”. Sebuah keyakinan yang sangat ekstrim, menyesatkan aqidah kaum muslim. Di Indonesia, kita mungkin pernah mendengar kisah semisal dengan ungkapan “manunggaling kawula gusti” (bersatunya tuhan dengan makhluk) yang dipopulerkan oleh Syaikh Siti Jenar dan ajaran ini menyebar dalam keyakinan Kejawen, …Wallahu a’lam. Menjadi sebuah hal memprihatinkan dan disayangkan bahwa buku-buku milik Ibnu Arabi ini kini tersebar, dijual murah di took-toko buku. Tentu ini sangat berbahaya bagi keyakinan dan aqidah kaum muslimin. Syirik at-tasharruf : yaitu keyakinan bahwa sebagian wali-wali memiliki kemampuan untuk mengubah alam, dan mengatur perkara-perkara alam semesta seperti wali kutub, wali ghauts. Sehingga dengan keyakinan seperti ini mereka berdo’a dan memohon kepada wali-wali tersebut. Keyakinan ini benar-benar ada dan bukan hanya isapan jempol belaka. Tak jauh dari kita berada, di wilayah Jogjakarta, tepatnya di daerah Imogiri kita akan mendapatkan keyakinan seperti ini. Orang-orang disekitar makam punya acara bulanan yang didalamnya ada do’a “wali kutuban”. Orang di desa tersebut biasa beristigotsah, berdo’a dan memohon dalam acara tersebut kepada para wali kutub dan al ghauts. Di daerah lain yang ajaran tasawuf berkembang pesat, akan kita dapati hal yang semisal. Kesyirikan orang zaman sekarang memang lebih parah bila disbanding orang masa lampau. Musyrikin di masa lampau bila ditanya : “Siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan mengatakan Allah” (QS Yunus 31) dengan kondisi yang demikian maka keadaan musyrikin di zaman dulu lebih baik dari pada pelaku syirik at-tasharruf. Keseluruhan syirik besar tersebut menghapuskan amalan dan mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Firman Allah SWT : “Dan sungguh telah Kami wahyukan kepadamu dan orang-orang sebelummu apabila engkau berbuat syirik niscaya akan hapus amalan-amalan kamu dan menjadilah engkau orang yang merugi”. (QS Az Zumar 65) Alangkah berbahaya syirik akbar ini, yang semestinya menyita perhatian kita agar kita tidak terjerumus ke dalamnya.