Revolusi Dalam Islam Bab I Oleh : Indraganie mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Bab I TIGA TAHAP REVOLUSI Istilah revolusi bermakna bergolak atau berontak, dapat didefinisikan dengan “pergolakan untuk mengubah secara menyeluruh dan/atau cepat demi suatu perbaikan atau dari yang buruk ke arah yang baik dan/atau dari yang baik ke arah yang lebih baik.” Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa sepanjang riwayat manusia telah terjadi tiga tahap revolusi yaitu Revolusi agraria, Revolusi industri, Revolusi informatika. Revolusi agraria terjadi sekitar 10000 – 5000 sebelum Masehi. Corak hidup manusia berubah dari pengumpul dan pemburu menjadi penanam dan peternak. Manusia telah mengenal cara mengolah tanah untuk pertanian dan perkebunan. Hasil yang ditanam dimakan oleh manusia dan hewan peliharaannya. Cara mengolah tanah menuntut manusia untuk menjinakkan beberapa jenis hewan sehingga dapat dipakai bekerja. Dengan demikian mengolah tanah dan memelihara hewan saling terkait. Hewan dijinakkan untuk dipakai mengolah tanah dan hasil dari mengolah tanah dimakan oleh hewan yang telah dijinakkan tersebut. Pola hidup demikian memerlukan tempat mukim yang tetap, tidak perlu berpindah-pindah untuk berburu atau memetik. Pertanian juga menuntut kepemilikan pengetahuan mengenai perilaku alam, terutama cuaca. Penetapan jadwal tanam yang tepat kelak disebut musim, dan upaya menjaga kesuburan tanah tanpa selalu mengandalkan musim hujan kelak disebut irigasi. Dari situ muncul ilmu astronomi dan matematika, dan dari situ muncul hasil perhitungan waktu semisal detik, menit, jam, tanggal, bulan dan tahun. Sistem penanggalan kelak dikenal dengan kalender. Revolusi ini muncul di Mesir, Mesopotamia (kini masuk ‘Iraq, Kuwait, sedikit Suriyyah dan sedikit Turki), India, Cina dan yang cenderung terabaikan: Arabia. Revolusi industri terjadi sekitar abad ke-18. Perioda ini sering dikaitkan dengan penemuan apa yang disebut mesin uap oleh James Watt pada 1769. Dengan bantuan mesin tersebut manusia mampu membebaskan sekian banyak tenaganya dalam proses produksi karena diganti oleh tenaga mesin. Tenaga mesin juga mampu menghasilkan barang dan jasa dalam jumlah begitu besar. Revolusi ini muncul di Inggris. Akibat revolusi ini, dunia Barat untuk pertama kali mengungguli dunia Timur nyaris dalam segala bidang. Maka usaha menjelajah dan menjajah kolong langit ini menjadi terbantu, karena juga dinikmati oleh industri militer. Revolusi informatika terjadi sekitar abad ke-19. Perioda ini dimeriahkan oleh penemuan berbagai alat-alat komunikasi yang memungkinkan manusia berbicara atau menyampaikan info satu sama lain pada jarak jauh, tanpa perlu teriak-teriak atau kirim dengan kurir. Diawali dengan telefon, kemudian telegraf, berlanjut dengan fax dan kini dengan komputer kita dapat menjelajah info dengan internet dan e-mail. Revolusi ini muncul di Amerika Utara dan Eropa Barat. Kini Amerika Serikat mendominasi teknologi komputer dengan kehadiran Microsoft di Seattle dengan panglimanya yang jenius, Bill Gates. Revolusi tersebut di atas erat terkait dengan penggunaan akal atau menghasilkan apa yang dikenal dengan teknik atau teknologi. Memang, fungsi teknologi adalah mempermudah dan/atau mempermurah. Revolusi ini mampu memperngaruhi nyaris seluruh aspek hidup manusia semisal seni, busana, politik, ekonomi, hukum, agama bahkan cara bersantai. Dengan demikian, revolusi teknologi mampu menampilkan revolusi politik, ekonomi, hukum, seni dan penafsiran terhadap agama. Revolusi Sosio-Religi Dalam sejarah kita juga mengenal revolusi yang berdasar sosio-religi, khususnya politik, namun ada yang berdampak pada bidang lain. Revolusi tersebut “diwarnai merah total” darah bahkan korban jiwa, yaitu Revolusi Protestan, Revolusi Inggris, Revolusi Amerika, Revolusi Perancis, Revolusi Jepang, Revolusi Cina, Revolusi Rusia, Revolusi Jerman. 1. Revolusi Protestan (sejak 1517) Dari namanya dapat diketahui bahwa revolusi ini adalah gerakan protes. Protes terhadap apa atau siapa? Yaitu protes terhadap apa yang dinilai sebagai penyimpangan dan pengekangan yang dipraktekkan oleh gereja Katolik. Tokoh utamanya Martin Luther (1483-1546) dan Jean Cauvin (1509-1564). Revolusi ini adalah bagian dari gerakan besar Renaissance yang kelak membawa dunia Barat menjadi seperti saat ini, bersama gerakan humanisme. Hal ini mengingat bahwa gerakan yang pada awalnya murni agama kelak mempengaruhi atau memberi ilham bagi gerakan-gerakan yang bertujuan mencerahkan, terutama dunia Barat. Layak juga diingat, revolusi ini terbilang spektakuler karena kaum Nasrani adalah umat terbanyak di kolong langit ini. Revolusi ini menolak taqlid dan menyeru supaya menyikapi agama tidak hanya menurut apa yang dikatakan oleh pendeta (gereja Katolik). Umat dihimbau untuk memahami atau mempelajari kitab suci langsung dengan membacanya. Martin Luther merintis penterjemahan kitab suci ke dalam bahasa ibunya (Jerman) sehingga mengilhami penterjemahan kitab suci ke bahasa-bahasa lain. Sadar tak sadar, dia merintis ke arah kebebasan berfikir, lepas dari kekangan kaum gereja, untuk menyelidiki alam dan memanfaatkannya. Adapun Cauvin meletakkan dasar apa yang disebut Etika (Kerja) Protestan, antara lain menghargai giat belajar dan bekerja. Dia turut merintis pembangunan Universitas Jenewa dan kemudian diikuti oleh Kalvinis Belanda dengan pembangunan Universitas Leiden (1575). 2. Revolusi Inggris (abad-17) Akar masalahnya adalah hubungan antara lembaga monarki dengan parlemen. Merasa bahwa parlemen sedikit banyak membatasi gerak-geriknya, Raja Charles membubarkan parlemen pada 1628 dan mencoba melaksanakan konsep monarki absolut. Hal tersebut menampilkan rasa tidak senang bagi mayoritas rakyat Inggris, sebagaimana yang tercermin dari perwakilan mereka dalam parlemen. Namun pada 1640 raja memanggil lagi parlemen untuk bersidang mengingat dia butuh dana perang melawan Skotlandia. Wakil rakyat menuntut bahwa harus ada jaminan tidak ada lagi kekuasaan raja yang semau-maunya, suatu hal yang dinilai berat bagi raja karena akan menempatkan monarki di bawah parlemen. Pada saat itulah jalan keluar dinilai tidak ada, kecuali perang! Tampillah seorang tokoh yang memimpin parlemen melawan monarki yaitu Oliver Cromwell. Setelah perang dan damai berselang-seling ditambah pergolakan dalam parlemen sendiri, pada 1689 tercapailah suatu kompromi: negara berdasar monarki konstitusional, monarki berada di bawah parlemen, dan tentu menghormati lembaga tersebut, dan negara menganut toleransi terhadap semua agama. Saat itu Raja Charles dan Oliver Cromwell sudah wafat. Tercapailah pelaksanaan ide demokrasi di dunia Barat setelah ribuan tahun terlupakan, sejak ditampilkan pertama kali di Yunani. Kelak dari Inggris, faham demokrasi menyebar ke tempat lain. Ketika itu apa yang terjadi di Inggris sungguh-sungguh melawan arus, seantero dunia sedang bergerak dalam atau menuju monarki absolut. Perancis contohnya, mungkin merupakan negara yang mungkin ketika itu paling sukses saat itu melaksanakan monarki absolut. Seorang rajanya pernah bilang, “Negara adalah saya, sayalah negara”. Suatu ucapan yang mungkin klasik karena masih dipakai oleh negara-negara yang tidak demokratis, meskipun bercorak republik. Suasana demokratis di Inggris memberi peluang untuk berkreasi dalam berbagai bidang, manusia dibebaskan berfikir sejauh-jauhnya untuk kelak diuji atau dinilai oleh masyarakat. Muncul sejumlah ilmuwan semisal Isaac Newton, James Watt, George Stephenson dan lain-lain. 3. Revolusi Amerika (1775-1783) Akar masalahnya adalah ketiadaan wakil di parlemen untuk warga Anglo-Saxon (bangsa berbudaya Inggris) di belahan utara benua Amerika, yang bermukim sejak awal abad ke-17. Pemerintah Inggris menetapkan pajak untuk mereka dan ditolak oleh warga, lazim disebut kolonis, karena segala sesuatu yang terkait dengan para kolonis harus dibicarakan melalui wakil di parlemen, dan wakil tersebut tidak ada. Artinya para kolonis mendapat kewajiban tanpa hak. Revolusi tersebut berawal dari pertempuran antara aktivis kolonis dengan pasukan pemerintah di Bunker Hill dan Concord, dan pernyataan kemerdekaan –artinya lepas dari Inggris– dilaksanakan pada 4 Juli 1776, yang kelak disebut Independence Day oleh rakyat Amerika Serikat. Revolusi ini menampilkan tokoh-tokoh antara lain Benjamin Franklin, Thomas Jefferson, Alexander Hamilton, dan tentu saja George Washington. Pasca revolusi, bangsa baru tersebut mencoba tampil dengan penuh percaya diri. Seakan mencoba berlomba dengan Inggris, bangsa Amerika berusaha memperbaiki mutu sumber daya manusianya. Hasilnya memang mengesankan, pada abad ke-20 Amerika menguasai teknologi antariksa dan nuklir. Namun sadar tak sadar sebagai akibat pengaruh zionis –suatu hal yang sempat diperingatkan oleh Benjamin Franklin– berakibat berangsur-angsur AS tampil sebagai imperialis. Dapat kita saksikan betapa AS sangat memihak Israel. Benjamin Franklin sempat mengusulkan supaya AS memiliki peraturan yang intinya mewaspadai kehadiran zionis di negerinya, karena “kelak mereka akan menunggangi dan hidup di atas jerih payah dan keringat anak cucu kita.” Peringatan tersebut agaknya diabaikan, maka sudah menjadi rahasia umum bahwa lobi zionis di AS sangat kuat. Siapapun yang ingin menjadi presiden harus mendekati lobi tersebut. 4. Revolusi Perancis (1789, 1830 & 1848) Revolusi Perancis adalah usaha rakyat Perancis menumbangkan rezim monarki absolut. Revolusi ini merupakan permainan keras dari periode yang dikenal dengan sebutan Aufklarung (Pencerahan), suatu periode kebangkitan Barat berikut setelah perioda Renaissance (Kelahiran atau Kebangkitan Kembali). Kolusi negara-gereja berakibat rakyat Perancis sulit mencipta secara bebas. Pencerahan yang dilaksanakan para filsuf antara lain Montesqieu, Voltaire dan Jean Jacques Rousseau menyadarkan rakyat bahwa selain kewajiban juga terdapat hak. Sekian lama rakyat lebih dibebani kewajiban dibanding mendapat hak, terutama berbagai kewajiban pajak. Revolusi ini juga menampilkan seorang panglima sekaligus kaisar tenar bernama Napoleon Bonaparte. Walaupun dia agak bersikap keraja-rajaan, peperangan yang dia kobarkan –mungkin perang terbesar abadke-19– turut menyebarkan ide-ide revolusi Perancis. Bersama nilai-nilai dari Revolusi Amerika, Revolusi Perancis turut menyumbang apa yang dikenal dengan “Deklarasi Universal Hak Azazi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa” yang muncul pada 10 Desember 1948. 5. Revolusi Jepang (1860-1945) Merupakan usaha sekelompok samurai menumbangkan pemerintahan yang dikenal dengan shogun dan menaikkan status kaisar melebihi sekadar lambang belaka, walaupun (masih) ada pembatasan wewenang. Rezim shogun (1192-1868) telah menutup Jepang dari dunia luar selama sekitar 250 tahun dengan istilah politik isolasi yang berakibat Jepang tertinggal sekitar 300 tahun dengan Barat. Ketika itu kaum revolusioner sadar bahwa Jepang akan mendapat giliran dijajah. Tetangga Jepang yaitu Cina sedang keropos, rakyat Cina cenderung menganggap Dinasti Manchu (1644-1912) adalah orang asing. Berulang-ulang terjadi pemberontakan terhadap dinasti tersebut namun baru sukses pada 1912. Dan sejak abad ke-19 Cina mengalami penghinaan akibat serbuan fihak asing, antara lain konflik yang lazim disebut Perang Candu (1839-1841) berakibat Cina dipaksa melepas Hongkong. Hal tersebut mungkin yang mendorong revolusioner Jepang menggulingkan rezim shogun Dengan strategi mengalah untuk menang, Barat dirangkul untuk mendapat ilmunya. Dengan cerdik pengaruh Barat diambil, disaring dan disesuaikan dengan identitas Jepang sendiri. Para intelek Barat diundang untuk mengajar dan hasilnya dapat disaksikan pada awal abad ke-20: Jepang setaraf modernnya dengan Barat tanpa perlu kehilangan kepribadiannya. Namun kelak kebutuhan terhadap sumber alam dari luar untuk industrinya –mengingat Jepang miskin sumber daya alam– sekaligus untuk memasarkan hasil-hasilnya memaksa Jepang untuk meniru Barat yaitu melangkahkan kaki imperialisme. Hal tersebut juga memiliki tujuan untuk menjauhkan imperialisme Barat dari wilayah Jepang, mengingat sejak pertengahan abad ke-19 Jepang terkepung oleh imperialisme Barat. Langkah kaki imperialistiknya berakibat Jepang terlibat Perang Pasifik (7 Desember 1941 – 2 September 1945), sebagai bagian dari Perang Dunia ke-2, dan berakhir dengan kekalahan Jepang. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, tanah Jepang diinjak oleh orang asing yang hadir sebagai penakluk. Walau Jepang hancur dan kalah, namun dasar untuk maju yang telah dimulai saat Restorasi Meiji (1867-1912) menjadi pendorong Jepang untuk bangkit kembali dan kini barang-barangnya laku atau merajai pasar di mancanegara. Dan hasil dari perang tersebut adalah kebangkitan bangsa-bangsa terjajah di Asia, Afrika dan Pasifik untuk meraih kemerdekaan. 6. Revolusi Cina (1911-49) Merupakah usaha rakyat Cina mengakhiri monarki absolut dan mengganti dengan republik, sekaligus untuk mengakhiri kekuasaan asing serta melaksanakan modernisasi. Cina dikuasai oleh monarki mungkin sejak sekitar 3000 sebelum Masehi, karena itu revolusi ini memiliki nilai penting bukan hanya bagi Cina namun juga dunia, mengingat juga Cina berpenduduk paling banyak di dunia. Menggerakkan rakyat untuk mengganti sistem monarki yang kokoh ribuan tahun menjadi sistem republik jelas bukan perkara mudah. Sepanjang sejarahnya, Cina mengenal berulang-ulang pemberontakan atau kekerasan namun hanya menghasilkan dinasti baru: pindah dari dinasti ke dinasti. Layaklah jika revolusi ini kemudian difilmkan dengan sosok sentral Henry P’uyi sebagai The Last Emperor, sesuai judul filmnya. Selain itu, revolusi ini turut menyumbang sebagai penyebab Perang Dunia ke-2: selain terjerumus dalam perang saudara, Cina juga terlibat perang yang panjang dan kejam dengan Jepang, dikenal dengan Perang Cina-Jepang II (7 Juli 1937 – 2 September 1945). Hasil dari revolusi tersebut menguntungkan komunis, pada 1 Oktober 1949 mereka meraih puncak, padahal yang mengobarkannya adalah kaum nasionalis. Suka tak suka, kaum komunis agaknya mampu mempertahankan posisi Cina sebagai super power abadi. Negara-negara super power pada zaman dahulu tampil bersamaan dengan Cina semisal Mesir, Mesopotamia, Yunani dan Romawi kini hanyalah cerita sejarah: ada yang masih eksis namun menjadi negara kecil, bahkan ada yang lenyap dan sebagai gantinya muncul negara dengan nama baru. Cina adalah satu-satunya negara Timur yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Dengan modernisasi –yang memang menjadi tujuan revolusi– Cina kini menjadi negara nuklir dan juga menguasai teknologi antariksa. Namun, hingga kini (masih) ada tujuan pokok revolusi yang belum tercapai, yaitu demokrasi. Rezim komunis masih memberlakukan beberapa pembatasan antara lain dalam hal agama –hal yang bertentangan dengan tujuan revolusi. 7. Revolusi Rusia (1917 – 1921) Merupakan usaha rakyat Rusia mengganti monarki absolut menjadi republik, yang juga berbuah perang saudara yang mengerikan, sekitar 15.000.000 orang tewas. Hasilnya –sebagaimana Cina– terbilang ironis. Revolusi tersebut kelak terbukti –walau tidak dimaksudkan demikian– adalah mengganti kekuasaan absolut dengan kekuasaan yang lebih absolut. Komunis dengan licik dan kejam memanfaatkan suasana anarki revolusi. Rusia menjadi negara komunis pertama dan mengekspor faham tersebut, bahkan dengan menaklukan negeri lain. Perang Dunia ke-2 dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk hal tersebut. Ketika perang tersebut usai, pasukan Rusia / Uni Soviet menguasai Eropa Timur, sebagian Eropa Tenggara dan Kepulauan Kurile. Pemerintahan komunis juga muncul di Albania dan Yugoslavia, namun karena di situ tak ada pasukan Rusia maka keduanya tidak menjadi satelit Uni Soviet. Syukurlah, rezim totaliter tersebut akhirnya runtuh pada 1991, yang diikuti oleh rezim di negara-negara satelitnya. Artinya, baru pada tahun tersebut tercapailah tujuan revolusi yaitu demokrasi. Kehidupan beragama, antara lain, berangsur-angsur bangkit. 8. Revolusi Jerman (1933-45) Adolf Hitler adalah pemeran utama. Revolusi ini tidak hanya sekadar penyumbang faktor Perang Dunia ke-2, namun pengobarnya. Revolusi ini untuk melawan komunis dan zionis. Bagi Hitler, kedua faham ini merupakan ancaman bagi peradaban Kristiani Barat (Western Christendom), bahkan dunia, suatu hal yang menurut penulis terbukti kebenarannya. Dia ingin mewujudkan Jerman yang canggih, kuat, makmur dan Kristiani. Dia menilai kedua faham itu lawan beratnya. Persekongkolan komunis-zionis menggagalkannya: Jerman terbagi dua antara 1945-1990, Jerman juga kehilangan sebagian wilayahnya, komunis berkembang pesat dan zionis sukses membentuk negara Israel. Propaganda komunis-zionis sukses menutup-nutupi kejahatan mereka dan sukses menjelaskan Hitler sebagai sejahat-jahat manusia, seolah tidak ada kebajikannya sedikit pun jua. Bagi dunia Muslim, Jerman di bawah Hitler adalah alternatif setelah kekhilafahan –minimal sebagai simbol persatuan Muslim– hapus pada 1924, hal tersebut tak terlepas dari rekayasa zionis. Sikap bersama anti zionis (dan komunis) antara Hitler dengan gerakan Pan Islam menyebabkan sempat terjadi kerja sama kedua fihak. Harap diketahui, Turki –pemegang kekhilafahan sejak 1517– bersekutu dengan Jerman pada Perang Dunia ke-1 (1914-1918), dan berada pada fihak yang kalah dan terhina. Jerman kehilangan sebagian wilayahnya, dilucuti kekuatan militernya, disita wilayah koloninya dan dibubarkan sistem monarkinya. Turki kehilangan wilayahnya dan dihapus lembaga khilafahnya, melalui antek imperialis bernama Mushthafa Kamal Basya. Penghapusan khilafah –semacam Pax Islamica– adalah termasuk musibah besar bagi kaum Muslim, namun hanya sedikit yang menyadarinya. Kaum Muslim makin terpecah dan darahnya makin tertumpah, hingga kini. Maka tak mengherankan, ketika Hitler tampil dengan semangat anti zionis dan komunis sempat meraih simpati kaum Muslim. Beberapa tokoh Muslim datang ke Jerman dan beberapa elit Jerman berkunjung ke dunia Muslim. Kini, pemerintah Jerman (mungkin terpaksa) harus memihak zionis besar yaitu pemerintah AS, sebagaimana Jepang sebagai akibat kekalahan mereka berdua dalam Perang Dunia ke-2. Sifat Buruk Bangsa Indonesia BANGSA Indonesia dapat mengambil pelajaran dari revolusi tersebut di atas, diharapkan bahwa bangsa ini cermat atau mempertimbangkan semasak mungkin sebelum melaksanakan revolusi. Minimal bangsa ini sudah dua kali salah berrevolusi yaitu Revolusi Soekarno atau Revolusi 1945, sebagaimana telah disebut, dan Revolusi 1965. Revolusi 1945 yang konon ingin mengganti nilai-nilai atau kepribadian Hindia Belanda dengan nilai-nilai Indonesia, justru mengganti jahiliyah atau katanya kafir dengan yang lebih jahiliyah. Revolusi Soekarno bahkan menambah daftar dosa dengan menumpas Revolusi Darul Islam, padahal sebagian besar aktivis Revolusi 1945 termasuk dia sendiri adalah berlatar belakang Muslim. Jika pemerintah Hindia Belanda menolak pelaksanaan syari’at Islam, hal tersebut dapat difahami mengingat kekuasaan dimiliki oleh non Muslim. Namun bagaimana dengan Muslim yang menolak syari’at Islam, apakah lebih baik dari pada Hindia Belanda? Demikian pula dengan Revolusi 1965, revolusi tersebut adalah usaha bangsa ini menumbangkan apa yang disebut rezim orde lama yaitu Soekarno, yang dinilai diktator, namun yang tampil kemudian lebih diktator lagi – yang jauh lebih lama dan lebih kejam– namun sempat membuat silau dengan apa yang disebut dengan berbagai jargon semisal pembangunan, pertumbuhan, pemerataan, stabilitas mantap, aman dan terkendali serta aduhai masih banyak lagi. Setelah “fir’aun” Soeharto lengser (atau longsor?), terkuaklah berbagai aib namun dapat dibagi dalam dua “garis besar haluan negara” ala orde baru yaitu “Korupsi, Kolusi, Nepotisme” dan “pelanggaran HAM”. Selama berkuasa, ternyata Soeharto menciptakan “killing field” di negeri ini. Pelaksanaan apa yang disebut Daerah Operasi Militer di Aceh, Timor Timur (kini Republik Demokratik Timor Leste) dan Papua meminta banyak korban jiwa dan trauma. Konon, selama berkuasa sekitar 3.200.000 orang tewas dalam berbagai pelanggaran HAM. Dan Soeharto tak lupa menutup peluang Indonesia nyata-nyata menjadi negara berdasar Islam. Maka, semoga dengan Revolusi 1998 yang menumbangkan rezim Soeharto, bangsa ini tidak mengulangi kesalahan. Memahami nilai-nilai kedelapan revolusi tersebut di atas agaknya sedikit banyak bermanfaat bagi pencerahan pemikiran dan pembenahan perilaku bangsa ini. Bangsa ini begitu banyak memiliki sifat-sifat buruk, dengan menyimak revolusi-revolusi tersebut diharap dapat menjadi ilham bagi suatu perubahan sifat yang lebih baik semisal demokratis namun tidak anarkis, bebas namun bertanggung jawab atau mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Berikut ini sekilas dibahas beberapa sifat buruk bangsa ini, dan perlu revolusi untuk mengubahnya: 1. Syirik Bangsa ini percaya bahwa tempat-tempat tertentu atau waktu-waktu tertentu adalah keramat atau angker. Sebelum Allah menganugerahkan agama Islam kemari, bangsa ini percaya dan menyembah segala sesuatu yang indah, besar atau seram semisal pohon besar, batu besar, gunung, petir atau badai. Pada tempat-tempat tertentu atau waktu-waktu tertentu ada ritual semisal baca mantera, beri sesaji. Bangsa ini menilai tanpa melaksanakan itu bencana akan datang, karena penunggu tempat-tempat angker tersebut murka. Setelah agama luar masuk –terutama Islam yang notabene memiliki konsep tauhid (monoteis) yang jelas, bangsa ini masih belum mau (belum mampu) melepas faham syiriknya. Walau mereka menyembah Allah, namun mereka juga menyembah berbagai siluman semisal Nyi Roro Kidul. Di Samudera Beach Hotel terdapat kamar khusus untuk dia, orang-orang datang untuk ritual tertentu. Praktek ritual tolak bala yang lazim disebut ruwatan juga masih dilestarikan, padahal agama telah menyajikan tuntunan jelas untuk menghadapi musibah. 2. Selingkuh, curang, korup, bangsa ini tidak amanat. Dengan kata lain bangsa ini cenderung khianat, terutama dalam hal jabatan. Bangsa ini cenderung lebih menilai bahwa jabatan adalah merupakan nikmat dari pada amanat. Jabatan artinya gaji besar, wewenang besar –dalam arti dapat sewenang-wenang, fasilitas mewah dan peluang untuk menyalah gunakannya. Sekadar contoh, bulan Ramadhan yang mestinya adalah latihan satu bulan untuk dipakai 11 bulan, pemahamannya diselingkuh menjadi 11 bulan untuk suka-suka, satu bulan untuk “bersih-bersih” dan 11 bulan kembali semau gue. Demikian juga dengan makna zakat, yang seharusnya dari harta yang halal dan berfungsi untuk membersihkan harta dari hak orang lain yang dititipkan Tuhan kepadanya, diselengkan maknanya menjadi untuk bersih-bersih harta yang haram. Dengan demikian bangsa ini menilai bahwa jika ada dosa karena korupsi, ada pula pahala karena memberi. Ya, jadi dinilai hasilnya 50 : 50. 3. Fanatik tapi munafik. Bangsa ini cenderung menilai diri sendiri sebagai bangsa yang agamis. Namun apa yang mereka ketahui tentang agama? Apakah mereka punya waktu untuk belajar agama? Yang nyata adalah, sebagian besar bangsa ini sibuk mengejar dunia. Yang kaya sibuk menumpuk dan mengamankan asetnya. Yang miskin jatuh bangun, peras keringat banting tulang demi meraih sesuap nasi. Bagaimana mereka sempat belajar agama? Namun jika ada kasus yang sedikit banyak bersentuhan atau terkait dengan agama, maka hebohlah mereka bicara agama, mendadak bangsa ini seakan-akan pintar agama. Khusus kaum Muslim, cenderung masuk masjid tobat, keluar masjid kumat. Rajin shalat namun rajin pula maksiat. Berbondong-bondong ke masjid, berbondong-bondong (memaksakan diri) pergi haji, masjid tumbuh lekas bagai jamur tumbuh di musim hujan. Namun apa hasilnya ? Bangsa ini konon dikenal sebagai korup nomor satu, porno nomor dua, dan punya pabrik ekstasi nomor 3 terbesar di dunia, departemen paling bobrok adalah departemen agama, hamba hukum justru melecehkan hukum, pengawas justru harus diawasi. Maka, pada hakikatnya bangsa ini tidak beragama namun bertopeng agama. Ingat, bangsa ini memiliki budaya topeng, dan topeng yang paling laris adalah topeng agama. Jelaslah, kehidupan ritual dengan sosial seakan berjalan-sendiri-sendiri, tanpa ada kaitan. Keshalihan ritual belum menjamin ada keshalihan sosial. 3. Buas, bangsa ini gemar dengan kekerasan. Riwayat bangsa ini penuh dengan pertumpahan darah: perang saudara antar keluarga keraton, antar suku, antar kampung, berebut harta dan tahta. Namun cenderung tanpa ragu menilai diri sebagai bangsa yang ramah, yang santun. Penulis percaya bahwa tidak ada sedikit pun tanah Indonesia yang tersisa bersih dari tumpahan darah, seluruhnya pernah ketumpahan darah. Sifat buas juga membuahkan perusakan, bangsa ini fitrahnya bukan membangun namun merusak. Jika ada yang disebut pembangunan, kerusakanlah yang tampil. Merusak alam, merusak fasilitas, merusak barang dapat kita saksikan sehari-hari. Bahkan ada gejala yang agaknya makin marak, yaitu merusak agama. 4. Jorok, secara fisik maupun mental. Kita dapat saksikan betapa bangsa ini buang sampah sembarangan, buang (maaf) tahi sembarangan, merokok sembarangan, yang berdampak pada pencemaran alam. Fikiran pun tak kalah joroknya, karena fikiran tak jauh dari selangkang maka tak heran bangsa ini terbelakang. Penulis sering ditanya kapan kawin atau dipertanyakan status lajangnya. Mereka berdalih bahwa hal tersebut adalah sunnah rasul. Padahal sunnah rasul bukan cuma kawin: mencari rezeki halal, tolong menolong, disiplin juga sunnah rasul. Namun kenapa yang disebut cuma kawin? Jika dibahas terus menerus maka nyatalah bahwa motif sunnah rasul cenderung hanya topeng, motif erotis atau pornografis lebih dominan pada diri mereka. Kembali lagi pada perihal munafik: bukan beragama namun bertopeng agama! Penulis membayangkan, malaikat maut mungkin akan tutup hidung jika mencabut nyawa orang Indonesia. Kenapa? Karena arwahnya busuk. Hal itu mungkin saja terjadi mengingat selama hidup otaknya busuk, hatinya busuk dan makan yang busuk semisal terasi! 5. Malas, bangsa ini tidak punya etos kerja. Bangsa ini lebih peduli terhadap hasil dibanding proses. Padahal, untuk mencapai hasil yangt baik haruslah melalui proses yang juga baik. Faktanya, bangsa ini cenderung potong kompas atau ambil jalan pintas jika (terpaksa) harus ada proses menuju (suatu) hasil. Sekadar contoh, untuk menjadi kaya bangsa ini cenderung tergoda mengambil jalan pintas semisal ikut undian, main judi, mencuri, merampok atau menempuh pesugihan. Padahal agama sangat menghargai proses, terlepas dari sukses atau gagal. Manusia wajib usaha namun tidak wajib hasil. Bekerja keras meraih rezeki halal sebanyak mungkin tetap mendapat nilai atau penghargaan Tuhan walau gagal mendapat rezeki dalam jumlah yang diharap, dengan demikian proses pun mendapat penghargaan Tuhan. “Bekerjalah, sungguh Allah, malaikat dan orang beriman menjadi saksi bagimu…..” demikian firman dalam kitab suci, agaknya kurang disimak. Ada pula semacam mental budak, sebelum diawasi atau dicambuk, maka sulit bangsa ini tergerak untuk bekerja. Dengan demikian gairah bekerja sulit bangkit dari diri sendiri, agaknya mesti disuruh-suruh terlebih dahulu. 6. Dengki atau diistilahkan dengan sirik, tidak senang melihat orang senang. Yang tersimpan di batinnya adalah “bagaimana milikmu atau miliknya menjadi milikku”. Sedapat mungkin menyusahkan orang yang senang dan menambah susah orang yang susah. Untuk melampiaskan nafsu siriknya bangsa ini menggunakan cara-cara syirik semisal santet. Rumusnya senang melihat orang susah, susah melihat orang senang. 7. Nimbrung, suka ikut campur atau mau tahu urusan yang sesungguhnya bukan urusannya. Bangsa ini sadar tak sadar ingin menjadi tuhan atau mengambil hak tuhan: ingin tahu segala atau mencampuri segala. Padahal makhluk memiliki keterbatasan atau pembatasan: ada yang wajib diketahui, ada yang boleh diketahui dan ada yang haram atau tabu diketahui. Ada yang menjadi urusannya dan ada yang bukan urusannya. Bangsa ini sulit membedakan lahan privat dengan publik, cenderung sering tercampur atau mencampur. Revolusi Darul Islam Revolusi ini dikobarkan oleh Kartosoewirjo, seorang ulama asal Jawa Timur namun lama mukim dan akhirnya syahid di Jawa Barat. Sejak 1920-an dia aktif dalam organisasi Islam, berawal dari Jong Islamieten Bond, Partai Syarikat Islam Indonesia, Majlis Syura Muslimun Indunisiyyah dan akhirnya membentuk Darul Islam. Sejak muda dia aktif menulis, isinya adalah konsep negara Islam. Untuk mewujudkannya dia membentuk lembaga pendidikan yang disebut Institut Suffah. Para kader dididik dan beberapa di antaranya menjadi aktivis Darul Islam. Dia menilai bahwa Revolusi 1945 masih bercorak jahiliyyah, ketika rapat pengesahan konstitusi –kelak disebut Undang Undang Dasar 1945– dilaksanakan pada 18 Agustus 1945, apa yang disebut Piagam Jakarta dihapus dari rancangan konstitusi. Buyarlah harapan menwujudkan Indonesia yang Islami, konsep yang susah payah disusun tersebut dihapus begitu saja dengan dalih “untuk menjaga persatuan dan kesatuan” bangsa. Maka Indonesia pun menjadi jahiliyyah, hingga kini. Kartosoewirjo berusaha menyelamatkan Piagam Jakarta dengan mengajukan revolusi alternatif terhadap revolusi Soekarno. Walaupun dia tidak hadir saat penyusunan dan pengesahan UUD 1945 –atau bahkan kecil kemungkinan tahu tentang tarik ulur perdebatan tentang tempat Islam di dalamnya– mengingat dia di Malangbong, namun spirit Piagam Jakarta adalah spiritnya juga. Usahanya sempat menampilkan Negara Islam Indonesia yang bertahan di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Di wilayah tersebut syariat Islam sempat berlaku –kendati terkesan tertatih-tatih akibat rongrongan Soekarno– dan akhirnya tertumpas. Gerakan Darul Islam adalah satu di antara sekian banyak revolusi Islam yang pernah terjadi di Indonesia, revolusi yang berusaha melaksanakan perubahan cepat dan menyeluruh dimulai dari diri sendiri kemudian meluas ke masyarakat. Lawan beratnya justru dari kaum Muslim sendiri. Makin percaya bagi penulis bahwa “musuh terjahat adalah musuh terdekat”. Karena itu revolusi Islam mencakup revolusi (yang dimulai) terhadap diri sendiri, sesama Muslim dan non Muslim. Bukan dimulai Bab II Revolusi Terhadap Diri Sendiri Tersebut riwayat bahwa usai pertempuran di Badar –dikenal dengan Perang Badar (624)– nabi bersabda, ”Kita baru melaksanakan perjuangan kecil menuju perjuangan besar”. Para prajurit heran, kenapa perang yang baru terjadi itu disebut perjuangan kecil; bukankah terjadi pada bulan puasa, ketika para prajurit sedang berpuasa di gurun; bukankah jumlah orang yang terlibat (sekitar 1000 orang kafir dan 313 Muslim) terbilang besar? Bukankah Perang Badar adalah saat yang kritis bagi Muslim mengingat jika kalah bukan hanya kaum Muslim yang habis namun juga seluruh penyembah Allah akan musnah? Hal tersebut terungkap dari doa Muhammad SAW: “…..Ya Allah, jika kami kalah maka tidak akan ada lagi orang yang menyembahmu…..” Muhammad SAW menjawab dengan singkat namun padat, ”Perjuangan melawan hawa nafsu”. Dari riwayat tersebut di atas dapatlah disimak, bahwa musuh bukan hanya ada yang jauh namun juga ada yang dekat dengan diri, bahkan bercokol dalam diri. Agaknya Muhammad jauh-jauh waktu sudah memperingatkan bahwa ada suatu perjuangan, atau revolusi, terhebat karena ada musuh yang terdekat. Musuh yang tak dapat dihindar dengan lari atau sembunyi, musuh yang terus hidup selama orang yang bersangkutan hidup, musuh yang tak kenal lelah, libur, cuti, istirahat atau hal semacam itu, kecuali orang yang bersangkutan tidur. Musuh yang lazim disebut nafsu. Artinya musuh tersebut adalah bagian dari diri sendiri. Akibatnya, orang harus memusuhi atau melawan dirinya sendiri. Bagaimana ini? Coba kita kembali mengingat kisah penciptaan manusia. Manusia bukan makhluk ruhani belaka, manusia adalah juga makhluk jasadi. Ada darah, keringat, tulang dan daging. Unsur-unsur tersebut berakibat manusia memiliki apa yang disebut kebutuhan, keinginan atau nafsu tersebut tadi, yang dapatlah didefinisikan dengan “suatu dorongan atau kecenderungan untuk mendapat sesuatu guna membangkitkan rasa cukup atau kenyang –lazim disebut puas– atau guna mempertahankan hidup selama mungkin.” Nafsu beragam jenisnya, namun nafsu perut dan nafsu bawah perut umumnya dinilai sebagai nafsu yang paling dasar, atau asal muasal nafsu yang lain semisal nafsu kaya, nafsu kuasa atau nafsu tenar, mengingat bahwa hal tersebut terkait dengan kelangsungan hidup. Jika perut tidak diisi maka lapar yang muncul, jika terus dibiarkan maka terhentilah hidup seseorang. Demikian pula dengan bawah perut, jika diabaikan maka terputuslah pelanjut hidup. Tuhan memberi nafsu dan juga (tentu saja) akal kepada manusia, dengan maksud ada langkah maju yang membedakan manusia dengan tumbuhan dan binatang. Sebagai contoh, coba lihat sarang burung. Sejak burung ada, bentuk sarang atau rumahnya tak mengalami perubahan, dalam arti lebih baik, lebih nyaman, lebih mewah atau hal semacam itu. Adapun manusia mampu membuat perubahan tempat mukimnya. Berawal dari mukim di gua atau di atas pohon hingga apartemen atau istana. Dengan demikian manusia diarahkan menjadi makhluk yang dinamis. Dengan nafsu manusia terdorong untuk maju, dengan akal manusia mencari cara untuk maju. Namun akal dan nafsu mengandung kerawanan jika tak dilengkapi dengan pemberian lain yaitu pedoman yang berfungsi mengarahkan manusia ke arah perkenan Tuhan. Karena akal dan nafsu cenderung berebut pengaruh untuk memegang kendali terhadap manusia. Kelak terbukti bahwa nafsu cenderung lebih sering menang. Ada pun pedoman yang dimaksud lazim disebut agama atau wahyu. Pedoman tersebut bukanlah untuk membunuh nafsu dan akal, namun mengendalikan atau mengelolanya supaya terhindar dari kekacauan. Akal, nafsu dan agama adalah anugerah kepada manusia sebagai makhluk yang dilantik sebagai apa yang disebut “wakil”, khalifah atau “mandataris” Tuhan. Pelaksana kehendak Tuhan di alam yang telah ditentukan, yaitu alam dunia. Tuhan –dengan sifat rahimnya – berbagi wewenang kepada manusia hanya sekedar untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Tentu saja dapat difahami jika wewenang tersebut terbatas, anggaplah semacam fasilitas. Fasilitas lainnya adalah dunia atau alam beserta isinya. Manusia diizinkan memakai, menikmati, dan jangan lupa, melestarikan alam supaya pelaksanaan kehendak Tuhan dapat berlangsung awet. Dunia pun memiliki keterbatasan. Nah, melaksanakan kehendak Tuhan lazim disebut dengan ibadah atau ibadat. Ibadat dapat didefinisikan sebagai segala perilaku –perbuatan, perkataan, pemikiran dan sebagainya– yang berdasar pada kehendak tuhan dengan niat hanya meraih perkenannya. Kitab suci menyatakan firman, ”Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku…..” Bahaya nafsu mungkin kurang disimak ketika manusia pertama belum mengenal perilaku yang membangkitkannya oleh makhluk yang lazim disebut setan. Penciptaan manusia dinilai oleh setan akan mengurangi atau menggeser keunggulannya di antara makhluk. Sebagian besar kita mungkin tak tahu bahwa pada awalnya atau tepatnya sebelum manusia dicipta, setan adalah makhluk Tuhan yang setia. Kesetiaan yang sangat kepada Tuhan mendapat penghargaan berupa posisi sebagai “guru” Malaikat. Setanlah yang mengajar malaikat cara beribadat. Hal tersebut telah berlangsung lama, mungkin jutaan tahun. Ketika tahu bahwa Tuhan menciptakan makhluk berikut, yang ternyata adalah yang terakhir, yaitu manusia, setan menilai akan ada semacam persaingan meraih ridha Tuhan atau kasih Tuhan. Kecemasan tersebut kelak (dinilai) terbukti ketika Tuhan memerintahkan malaikat dan setan untuk sujud kepada manusia. Tentu saja sujud yang dimaksud bukanlah menyembah, namun menghormati atau mengagumi kuasa Tuhan yang mampu menciptakan manusia dengan berbagai fasilitasnya, yaitu antara lain akal dan nafsu. Ketika itu belum ada perintah ibadat, syariat atau agama untuk manusia. Manusia dibiarkan dahulu mengenal lingkungannya, mempelajari ciptaan Tuhan. Dalam kitab suci tuhan mengisahkan bahwa manusia pertama tersebut diajar menyebut nama-nama, ini mungkin mudah difahami jika kita hubungkan dengan kehidupan kita sehari-hari. Bagi yang memiliki anak, anak diajar menyebut nama-nama atau kata-kata selain belajar yang lain semisal berjalan. Belajar berjalan dimaksud supaya si anak mengenal lingkungan sekitar. Hukum, kewajiban atau agama belum dibebankan kepadanya. Peraturan atau syari’at pertama diberikan berupa kebolehan sekaligus larangan. “Semua boleh kamu makan (nikmati) kecuali satu pohon…..,” demikian firman Tuhan. Inilah awal perkenalan manusia dengan agama, yang kelak mengalami perubahan dalam arti penyempurnaan hingga muncul agama terakhir yang kita kenal dengan Islam. Tuhan menilai tiba waktunya manusia diberi pedoman, apa pun istilahnya semisal syari’at, peraturan, hukum atau agama: ini boleh, ini tak boleh. Tuhan ingin melaksanakan semacam uji coba apakah akal dan nafsu dapat dikendalikan oleh manusia berdasar agama, dan seberapa jauh dapat dikendalikan. Setan –sebagai akibat dari penolakannya sujud kepada manusia– dinilai menyalahi disiplin Tuhan. Dia dihukum sebagai makhluk terkutuk. Namun mengingat pengabdiannya pada masa lalu, Tuhan memberi peluang untuk mengganggu manusia supaya menyimpang dari jalan Tuhan. Bahkan tersebut dalam riwayat, Tuhan masih memberi kesempatan dia mendapat ampunan-Nya, dengan (sejumlah) syarat. Namun hingga kini setan tidak berniat memenuhi syarat tersebut. Kebencian setan kepada insan sesungguhnya memiliki dasar yang relatif lemah. Manusia tidak minta diciptakan, bahkan mungkin manusia tidak faham kenapa malaikat dan setan diperintah sujud kepadanya. Jika ingin dongkol, ya silahkan hanya dongkol kepada Tuhan. Manusia jangan dibawa-bawa. Namun karena setan tahu bahwa Tuhan tak mungkin dilawan, maka target permusuhan diarahkan kepada manusia. Setan menilai bahwa ada keunggulan manusia adalah sekaligus kelemahannya. Apakah itu? Jawabnya, ya nafsu tersebut tadi. Usaha pertama setan memanfaatkan nafsu untuk menjerumuskan manusia terbukti sukses. Pelanggaran pertama dalam sejarah manusia terjadi: pohon terlarang ternyata didekati dan buahnya dinikmati. Akibat dari pelanggaran tersebut manusia mengenal semacam noda atau cacat yang lazim disebut dosa. Dari situ setan dapat menilai bahwa pelanggaran berikut akan berpeluang terjadi, dan kelak terbukti banyak terjadi. Agaknya Tuhan tidak membiarkan setan menjadi pemenang dengan mudah dalam permusuhan ini. Kelak dari manusia tampil orang-orang yang dipilih membimbing umat manusia untuk tetap setia pada Tuhan, lazim disebut nabi. Agama demi agama, ajaran demi ajaran sambung bersambung diperkenalkan kepada manusia. Namun yang menyimpang tetap ada, dengan demikian masalahnya bukanlah apakah ada manusia yang menyimpang atau tidak, tetapi berapakah yang menyimpang. Agama diharapkan akan memperkecil jumlah penyimpangan. Dalam agama, selain peraturan juga terdapat pengampunan bagi yang (telanjur) bersalah. Hal tersebut telah diberi sejak manusia pertama. Begitu sadar telah bersalah, manusia minta ampun, dan Tuhan memberi ampun. Dalam Islam, cara mohon ampun cukup beragam: paling ringan adalah mengucapkan permohonan ampun dengan singkat (lazim disebut istighfar), hingga melaksanakan sesuatu untuk menetralkan atau mengurangi sejumlah kerugian atau kerusakan akibat kesalahan (lazim disebut penebusan). Mengingat perbuatan untuk menetralkan akibat kesalahan, atau mengendalikan nafsu (dan akal) guna mencegah kerugian atau kerusakan tersebut terjadi pada atau dalam diri selama hidup, tegasnya memiliki tingkat kesukaran paling tinggi, agaknya itulah termasuk yang dimaksud oleh nabi perjuangan melawan nafsu adalah perjuangan besar. Berjuang melawan diri sendiri, revolusi terhadap diri sendiri. Inilah awal revolusi, atau revolusi harus berawal dari diri sendiri. Revolusi dalam Islam. Istilahnya ibda bi nafsika (mulailah dari diri sendiri). Dalam kitab suci tersebut perintah “jagalah dirimu dan keluargamu dari neraka…..” yang sesungguhnya mengacu dari konsep ibda bi nafsika. Lawan dalam diri sendiri mendapat penegasan lagi dari sabda rasul, “Sesungguhnya pada dirimu terdapat unsur jahiliyyah”. Walau nasihat tersebut ketika itu ditujukan kepada Abu Dzar al-Ghiffariy namun hal tersebut mencakup kepada seluruh manusia. Jahiliyyah adalah istilah lain untuk menyebut sisi buruk atau salah pada manusia. Revolusi yang dikehendaki oleh Islam adalah perbaikan dari waktu ke waktu. Nabi bersabda,”Sebaik-baik manusia adalah memiliki hari kini lebih baik dari pada hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari kini…..” Dan revolusi yang dikehendaki adalah revolusi yang sedamai mungkin, revolusi dengan perang adalah pilihan akhir, mengingat Islam (dan semua agama) ingin ada kedamaian. Namun nafsu ingin peperangan, minimal dalam diri manusia mendorong harus ada perang. Tentu saja perang tersebut akan lebih meriah dengan kehadiran setan yang mengipas-ngipasi nafsu. Dalam kitab suci, Tuhan menjelaskan bahwa manusia dihiasi oleh beberapa keinginan antara lain anak lelaki, sawah ladang, kendaraan, emas berpikul-pikul. Namun buntut dari ayat tersebut menjelaskan bahwa ada pahala dan ampunan yang besar. Ini menjelaskan bahwa tuhan tidak melarang manusia memiliki dunia, namun hal tersebut haruslah dinilai sebagai amanat Tuhan yang harus diperlakukan sesuai dengan kehendak Tuhan. Dan jika manusia melaksanakan itu, tersedia anugerah yang lebih utama dibanding dunia yaitu pahala dan ampunan yang besar. Sejak masa awal Islam ada usaha-usaha untuk membunuh nafsu. Tersebut riwayat bahwa beberapa Muslim bertekad tidak kawin, puasa terus menerus, shalat terus menerus. Nabi mencoba meletakkan perkara sesuai dengan tempatnya. Menjadi orang suci dalam Islam bukan berarti membenci atau menjauhi dunia, bukan berarti membunuh nafsu. Namun mengendalikan. Puasa misalnya, adalah contoh jitu latihan atau didikan dasar untuk itu. Walau demikian, faham anti duniawi sempat tampil cukup menonjol dalam sejarah Muslim. Sejumlah orang menempuh hidup berdasar faham tersebut lazim disebut shufiy, dan cara menempuhnya lazim disebut tashawuf. Abu Hamid al-Ghazaliy (1058-1111) sering dituding sebagai pengobar semangat hidup demikian. Siapapun pengobarnya, akibatnya bagi dunia Muslim adalah kelesuan untuk maju. Revolusi diambil alih oleh kaum non Muslim Barat, dan revolusi yang mereka kobarkan berdasar faham sekuler. Agama berkuasa hanya di ruang privat. Dan bencana kemanusiaan pun muncul silih berganti Bab III Revolusi Terhadap Sesama Umat Islam Manusia tidak sendiri, menurut perkiraan pada tahun 2000 jumlah manusia adalah 6.000.000.000 (enam milyar) jiwa. Sekitar 1/6 dari itu adalah kaum Muslim. Walau bukan jumlah mayoritas di kolong langit ini, namun jumlah sedemikian bukanlah sedikit. Sulit mengelolanya: mayoritas kaum Muslim adalah terbelakang. Kemiskinan, kebodohan, kebejatan begitu setia menempel sejak sekitar abad ke-19. Penulis mencoba membahas, walau sekilas, beberapa masalah kaum Muslim. 1. Keterbelakangan Keterbelakangan sebagaimana tersebut di atas, sebagai akibat konflik yang panjang dan kejam dengan umat lain, kaum Muslim kehilangan capaian kemanusiaannya. Berbagai pusat intelektual semisal madrasah, universitas, pustaka, masjid rusak tinggal puing. Para inteleknya banyak yang ditangkap dan atau dibunuh. Tak terhitung buku-buku yang juga dimusnahkan semisal di Baghdad dan Qurthubah. Kemiskinan juga mengiringi akibat konflik. Pusat-pusat perekonomian semisal perdagangan dan pertanian juga dirusak atau ditinggalkan. Orang dipaksa untuk mahir memegang pedang dibanding memegang timbangan sebagaimana dipaksa mahir memegang pedang dibanding memegang pena. Keterbelakangan tersebut terlestarikan, sengaja maupun tidak, oleh para elit yang tidak amanat terhadap kekayaan dan kekuasaan. Mereka sesungguhnya adalah hasil dari revolusi yang konon untuk mengusir penjajah asing atau kafir, namun yang muncul bukanlah masyarakat adil dan makmur, bukanlah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, tetapi para elit yang berjarak atau tidak memihak rakyat dengan perilaku selingkuhnya semisal korupsi, kolusi dan nepotisme. Inilah contoh kebejatan yang penulis maksud. Mereka bukan melaksanakan nilai-nilai Islam namun justru melaksanakan nilai-nilai non Islam, terkadang warisan penjajah, semisal sekulerisme, kapitalisme, komunisme, hedonisme dan isme-isme entah apa lagi. Untuk melestarikan perselingkuhan tersebut mereka tak segan-segan menjadi antek imperialis: para aktivis Muslim ditangkap, dibunuh, diusir atau diekstradisi kepada imperialis. Indonesia adalah contoh yang jitu terhadap perilaku jahiliyah tersebut. Akibatnya, negeri yang kaya sumber alam, letak strategis serta luas ini tidak terkelola dengan becus. Dekat dengan azab Illahi dan jauh dari berkah Illahi 2. Perpecahan Kaum Muslim terjebak dalam pengkotak-kotakan atau penggolong-golongan berdasar apa yang disebut mazhab atau sekte dalam memperlakukan agamanya. Perpecahan tersebut bahkan pernah menampilkan konflik yang berdarah-darah. Sekadar contoh adalah ‘Iraq, sejak dijajah Amerika pada 2003 negeri tersebut terjerumus dalam perang saudara antara Suni dan Syi’ah: saling membom masjid dan tentu saja saling bunuh. Perbedaan yang sesungguhnya berawal dari masalah politik kemudian merambah ke bidang agama. Perang Teluk I (1980-1988) antara ‘Iraq dengan Iran sungguh menguras potensi kaum Muslim secara konyol. Konflik tersebut selain perbedaan antara Suni dengan Syi’ah –mengingat ‘Iraq mayoritas Syi’ah namun sekian lama dikuasai oleh Suni– juga karena perbedaan bangsa. ‘Iraq sangat menonjol identitas Arabnya dan Iran menonjol karena identitas Persianya. Konflik berdasar bangsa tersebut sesungguhnya juga terbilang lama, pada abad ke-7 pasukan Muslim Arab menyerbu Kekaisaran Sassanida. Persia sepenuhnya takluk: mayoritas rakyatnya menjadi Muslim dan budaya Arab mendominasi. Hingga kini Iran masih memakai huruf Arab dan menyerap banyak istilah Arab, namun ciri Persianya tetap bertahan. Iran tidak mengalami Arabisasi yang nyaris total sebagaimana tetangganya, ‘Iraq. Di ‘Iraq, selain perbedaan antara Arab Suni dengan Arab Syi’ah juga terdapat perbedaan yang menjurus konflik antara Arab dengan Kurdi. Walau sama-sama Suni, hal tersebut tidak menjamin persatuan. Sekian lama ‘Iraq di bawah dominasi Arab dinilai menzhalimi Kurdi. Kurdi menilai rezim Arab menguras sumber daya minyak di wilayah Kurdistan dan mereka cuma sedikit kebagian rezeki tersebut. 3. Cinta dunia takut mati Inilah peringatan jitu oleh nabi menjelang wafat. Faham hedonisme dan materialisme sungguh mempesona mayoritas kaum Muslim, nilai-nilai yang memuja duniawi menjadi ukuran kehormatan atau kemuliaan. Mereka berusaha meraih nikmat duniawi, apa pun caranya. Sadar tak sadar, kaum Muslim menjadikan dunia sebagai tujuan akhir atau segalanya, bukan lagi hanya sebagai fasilitas atau jembatan menuju akhirat. Dunia Arab misalnya, mendapat limpahan minyak sehingga ada yang dijuluki negara petro dollar. Namun nikmat tersebut membuat para elit dan rakyatnya bernafsi-nafsi atau berfoya-foya. Mereka terkesan lupa bahwa kaum Muslim di belahan dunia lain masih terperangkap dalam kemiskinan. Ada juga yang mengalami penindasan dari non Muslim yaitu Palestina. Entah hingga kapan mereka berjuang sendiri dengan batu, darah, keringat, tulang dan dagingnya melawan mesin perang zionis nan canggih. Sumber daya bangsa Arab sungguh besar dibanding Israel, namun beberapa kali perang selalu menghasilkan kekalahan bagi Arab. Rakyat Palestina dipaksa berjuang sendiri, jika ada bantuan jelas tidak sebanding dengan kemampuan. Sesungguhnya beberapa negara Arab petro dollar mampu membantu melebihi jumlah yang sekarang, termasuk nyawa, namun cinta dunialah yang merintangi. 4. Faham sesat Indonesia adalah contoh yang jitu. Berbagai kelompok atau pendapat sesat sejak lama menghiasi perilaku kaum Muslim terhadap agamanya. Ada kelompok Islam Jama’ah, Ahmadiyyah, Inkar Sunnah, Jaringan Islam Liberal, Paramadina selain pendapat individu-individu. Muncul tafsir laa ilaha illa Llah adalah tiada tuhan selain Tuhan, muncul pendapat muslimat boleh jodoh dengan lelaki non Muslim, muncul pendapat Iblis akan masuk surga karena hanya mau sujud kepada Allah, bukan kepada manusia, muncul pendapat bahwa 95% ajaran Islam bersifat relatif, muncul pula komentar bahwa al-Qur’an adalah kitab suci paling porno di dunia, dan berbagai ragam pendapat sesat lain, yang pasti masih berkelanjutan. Mereka justru lebih berbahaya dibanding non Muslim, non Muslim lebih mudah diketahui antara lain dari nama pribadi, daerah asal atau saat dia ke rumah ibadatnya. Namun yang berlatar belakang Muslim sulit diketahui berfihak siapa atau mana, atau maunya apa, di antara mereka ada yang dikenal luas sebagai pakar agama Islam dengan titel kiyahi haji atau memakai nama-nama Arab. Mereka dapat saja shalat bersama kita, berpuasa bersama kita atau berhaji bersama kita, namun akan melawan jika kita ingin menampilkan nilai-nilai Islam bukan hanya di ruang privat. Beberapa kelompok Muslim bahkan ada yang mendapat bantuan non Muslim untuk merusak akidah, ritual dan moral kaum Muslim. Ahmadiyyah percaya bahwa ada nabi setelah Muhammad, Inkar Sunnah menolak hadits walau shahih, Islam Jama’ah menolak ilmu agama yang tidak diriwayatkan oleh imam mereka. Paramadina menolak fakta bahwa sebutan Masjid al-Aqsha dalam Surah al-Isra’ ayat 1 bukan di al-Quddus al-Syarif (Yerussalem) namun somewhere in Sidrat al-Muntaha. Padahal Masjid al-Aqsha memang di Yerussalem. Begitu banyak faham sesat di Indonesia sesungguhnya tak lepas dari belum tuntasnya da’wah Islam. Da’wah terabaikan karena konflik yang panjang dan kejam melawan imperialis. Hal tersebut terkait dengan apa yang dibahas dalam nomor 1. Akibat kerusakan aset dan kelangkaan ulama, umat kehilangan panutan atau tuntunan. Tercampurlah Islam dengan berbagai faham non Islam, antara lain yang dikenal dengan istilah Kejawen. Revolusi terhadap seumat atau seagama termasuk revolusi melawan musuh yang terhebat adalah musuh yang terdekat. Sulit dideteksi karena kesamaan identitas dengan kita. Sejarah membuktikan bahwa revolusi intern mendapat tantangan berat dari intern pula, fihak ekstern hanya bermain di belakang layar. Mereka ikut campur langsung jika menilai bahwa revolusi tersebut mengancam langsung kepentingan mereka. Gerakan Wahhabi atau Muwwahid misalnya, gerakan ini sesungguhnya tidak mengenalkan sesuatu yang baru bagi kaum Muslim. Mereka hanya mengajak kembali kepada kitab dan sunnah, lain tidak. Namun yang tampil dahulu melawan Wahhabi adalah Muslim juga yaitu Kerajaan Turki ‘Utsmaniyyah. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (1703-1792) berniat melaksanakan koreksi terhadap intern Muslim termasuk pemerintah ‘Utsmaniyyah. Gabungan pasukan Turki dan Mesir sempat menumpas gerakan tersebut namun tidak tuntas. Pada pertengahan abad ke-19 Wahhabi muncul lagi dan pada abad ke-20 membentuk Kerajaan Arab Saudi. Gerakan Mahdi muncul di Sudan. Seorang ulama bernama Muhammad bin Ahmad juga menilai bahwa kaum Muslim sedang bobrok dan dia bertekad untuk menatanya. Gerakannya mendapat tantangan dari Mesir, ketika itu Mesir berada di bawah protektorat Inggris, istilah halus dari penjajahan. Mesir tak mampu melawan sendirian. Setelah berperang selama sekitar 15 tahun gabungan pasukan Mesir dan Inggris menumpas revolusi tersebut. Tarikat Sanusiyyah tampil di Libya, tarikat adalah semacam jalan atau metoda dalam tasawuf. Tasawuf adalah beragama dengan cara mengerahkan segenap potensi ruhani atau batin mendekat kepada Tuhan, melepaskan rasa terikat kepada dunia. Kelompok ini mencoba membangkitkan rasa beragama yang mungkin dinilai berkurang dengan latihan ruhani tertentu. Kegiatan tarikat tersebut akhirnya berbenturan keras dengan imperialis Italia. Setelah berperang selama sekitar 20 tahun Revolusi Sanusiyyah dapat ditumpas namun fahamnya tidak. Pimpinan revolusi terhadap Italia adalah ‘Umar Mukhtar. Indonesia agaknya tak mau ketinggalan, faham Wahhabi muncul dalam gerakan yang disebut Paderi atau Pidari di Minangkabau. Mereka bertekad membawa kembali kaum Muslim kepada kitab dan sunnah. Tantangan datang dari kaum yang disebut kaum adat semisal datuk dan penghulu. Karena tak mampu melawan Paderi sendirian, mereka minta bantuan kolonial Belanda. Setelah berperang selama sekitar 30 tahun –termasuk 16 tahun keterlibatan Belanda– gerakan Paderi dapat ditumpas namun fahamnya tetap hidup dan menjelma dengan nama lain. Muhammadiyah adalah gerakan da’wah terhadap kalangan seumat yang juga berfaham Wahhabi, dan juga mendapat tantangan dari kaum Muslim. Lahir di jantung Kejawen yaitu Yogyakarta pada 1912. Berbeda dengan Paderi, Muhammadiyah menempuh cara damai dan hal itu mungkin berakibat organisasi tersebut masih bertahan dan berkembang dengan berbagai asetnya. Muhammadiyah menempuh cara demikian karena tahu bahwa saat itu mustahil mengobarkan perang karena kolonialisme Belanda telah kuat mencengkeram Nusantara, dan lagi pula Belanda saat itu mencoba menata ulang hubungannya dengan Nusantara ke arah yang lebih manusiawi walau tidak atau belum berniat melepas Nusantara. Suasana demikian memungkinkan Muhammadiyah menata da’wah yang sempat terabaikan akibat konflik bersenjata dengan kolonial. Revolusi terhadap kalangan seumat antara lain mencakup: Menuntun kaum Muslim kembali kepada kitab dan sunnah. Buang segala faham yang non Islam apalagi yang bertentangan dengan Islam. Da’wah harus kembali digiatkan, bukan hanya da’wah dengan bicara (da’wah bil lisaan) namun juga da’wah dengan bekerja (da’wah bil haal). Kampanye pelaksanaan syari’at Islam di ruang publik harus berdasar konsep yang lugas namun disampaikan dengan simpatik. Proposalnya harus disebar luaskan, dengan demikian publik diperkenankan untuk menguji proposal tersebut. Dengan demikian para pengusung syari’at Islam juga dituntut menguasai masalahnya atau produk yang mereka “jual”. Fahami betul falsafah iklan yang baik adalah mutu barang itu sendiri. Mereka harus mengenal mutu syari’at Islam. Memperbaiki mutu duniawi umat, kaum Muslim harus menguasai ilmu, termasuk teknologi, dan mengislamkannya. Ilmu harus diyakini sebagai anugerah Tuhan sebagaimana iman atau agama, keduanya harus sejalan untuk membuahkan amal. Pelajaran ilmu alam perlu diberi corak agama, sehingga fenomena alam dinilai sebagai bagian dari kuasa Tuhan, pemanfaatannya harus sesuai dengan hukum Tuhan yang bekerja dalam alam. Sebagai contoh, jika hutan ditebang sembarangan maka hukum Tuhan yang ada ialah banjir, longsor atau kering. Bencana yang ada hendaklah dikaitkan dengan akibat pengabaian manusia terhadap hukum Tuhan tersebut. Mempelajari alam hendaklah juga dengan kesadaran bahwa alam adalah tanda atau ayat Tuhan pula, yaitu ayat tak tertulis. Dalam kitab suci tersebut bahwa apa yang ada dalam alam adalah tanda-tanda Tuhan. Menguasai teknologi memiliki tujuan untuk mengurangi ketergantungan kaum Muslim terhadap non Muslim. Kaum Muslim harus menyadari bahwa non Muslim memiliki potensi sebagai musuh, dan memang ada yang menjadi musuh. Terhadap non Muslim yang relatif simpatik, Islam mengajarkan untuk tidak segan-segan mengambil atau belajar yang bermanfaat dari mereka. Nabi menjelaskan bahwa ilmu atau hikmat adalah milik mu’min yang tercecer, karena itu kaum Muslim dituntut untuk memungutnya walau dari non Muslim. Nabi menjelaskan pula bahwa “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, hadits tersebut memiliki makna yang dalam yaitu “carilah ilmu walau jauh dan non Muslim”. Hingga kini hadits tersebut masih relevan mengingat Cina termasuk negeri yang maju teknologinya dan pesat pertumbuhan ekonominya, dan hingga detik ini masih dikenal sebagai (mayoritas) non Muslim. Mewujudkan ukhuwwah Islamiyyah dengan kembali membentuk khilafah sedunia, semacam Pax Islamica, guna menghimpun potensi umat ke arah rahmatan lil ‘alamin. Sekaligus juga mempertahankan hak kaum Muslim. Jangan sampai ada Muslim yang teraniaya tanpa ada pembelaan. Sejak khilafah runtuh pada 1924, darah kaum Muslim lebih banyak tertumpah dan kaum Muslim lebih terpecah-belah. Secara berangsur, faham nasionalisme perlu diganti dengan internasionalisme. Dengan demikian dunia dapat dibagi menjadi 2 saja yaitu dunia Muslim dan dunia non Muslim. Hal tersebut pernah terjadi. Jika Muslim ditanya identitasnya, dengan mudah dia lebih menyebut agamanya. Kaum Muslim jika bermusafir atau menetap di suatu negeri Muslim cukup melapor kepada pejabat setempat setingkat RT / RW. Tidak perlu pakai paspor, visa atau hal semacamnya karena dunia Muslim sudah menjadi 1satu, yaitu negara berdasar Islam Membebaskan kaum Muslim yang tertindas oleh non Muslim dengan dana, metoda dan senjata. Perlu propaganda bahwa menuntut keadilan bukanlah terorisme. Jika pun ada terorisme perlu propaganda bahwa hal tersebut adalah reaksi, bukan aksi. Tegasnya reaksi terhadap kezhaliman. Namun perlawanan bersenjata diusahakan sebagai pilihan akhir guna mengurangi korban Jaringan antara organisasi yang bersifat sosial dengan kelompok perlawanan harus terjalin seerat sekaligus serahasia mungkin. Dengan demikian kelompok perlawanan –selain mengusahakan sendiri dana– juga secara rutin memungkinkan menerima dana dari organisasi sosial. Bab IV Revolusi Terhadap Umat Yang Berbeda Keyakinan Ketika Nabi Muhammad SAW mulai berda’wah, di kolong langit ini telah terdapat bermacam-macam umat, atau bermacam-macam agama. Da’wah Muhammad SAW merupakan lanjutan da’wah para nabi terdahulu, bedanya adalah para nabi pra Muhammad dibatasi oleh Tuhan hanya untuk kelompok tertentu, daerah tertentu dan waktu tertentu. Walau kitab suci menyebut jumlah nabi sebanyak 25 nama, sesungguhnya jumlah mereka lebih banyak dari itu. Kitab suci menjelaskan bahwa tuhan menampilkan para nabi “… yang sebagian aku kisahkan padamu dan sebagian tidak aku kisahkan padamu…..”. Jika kita mengenal istilah pahlawan yang dikenal dan pahlawan tak dikenal maka para nabi pun ada yang dikenal dan ada yang tak dikenal. Tersebut dalam suatu hadits bahwa jumlah nabi ada 124.000 orang, di antara mereka ada 313 orang menjadi rasul. Apa perbedaan antara nabi dan rasul ? Nabi menerima wahyu untuk diri sendiri, dia mengamalkan wahyu tersebut dan orang lain diharapkan mencontoh. Adapun rasul menerima wahyu untuk diri sendiri dan juga untuk orang lain, tegasnya bertabligh atau berda’wah. Wahyu disampaikan kepada orang lain, istilah sekarang dimasyarakatkan atau disosialisasikan. Memasyarakatkan wahyu dan mewahyukan masyarakat (pinjam jargon Orde Baru). Dalam kitab suci disebut bahwa antara Tuhan dengan para nabi terdapat perjanjian yaitu: Saling membenarkan satu sama lain walau tidak sezaman. Dengan demikian antar nabi tidak ada perselisihan. Adapun inti ajaran para nabi adalah satu, yaitu tauhid. Percaya kepada satu tuhan, malaikat, nabi, kitab suci dan hari kiamat. Biasanya diringkas dengan percaya kepada Tuhan dan hari kiamat. Yang berbeda mungkin syari’at, sekadar contoh dalam syari’at Musa hari Sabtu adalah yang dimuliakan, hari untuk ibadat ritual. Tidak boleh ada kegiatan duniawi pada hari itu. Adapun dalam syari’at Muhammad hari Jum’at dimuliakan, ada ritual yang disebut ibadat Jum’at atau shalat Jum’at. Kaum Muslim lelaki diwajibkan untuk menghadiri ritual tersebut, kecuali halangan yang dibenarkan oleh syar’i. Sebelum dan sesudah waktu ritual Jum’at manusia boleh melaksanakan kegiatan duniawi. Kitab suci menyebut, ”Hai orang beriman, jika telah diseru untuk shalat Jum’at maka tinggalkanlah jual beli…..apabila telah selesai shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan cari anugerah Tuhan sebanyak-banyak sambil mengingat Tuhan…..” Memberi tahu kepada masyarakatnya akan ada nabi terakhir dan membawa agama terakhir. “Jika kamu bertemu dia maka ikuti dia”, kira-kira begitulah jargonnya. Walau mungkin tidak disebut nama, namun para nabi memberi info ciri-ciri nabi terakhir tersebut. Nabi yang dimaksud membawa agama universal, berlaku untuk segala zaman, segala tempat dan segala orang. Dengan demikian mestinya Muhammad mudah mendapat sambutan. Manusia sudah diberi info oleh para nabi sebelumnya supaya tidak ada keraguan padanya. Namun apa yang terjadi? Perlawanan hebat yang terjadi. Da’wah Muhammad mendapat tantangan terhebat justru dari umat yang sudah kenyang kedatangan nabi, yang mestinya mereka mendapat info yang sangat lengkap tentang nabi terakhir. Dalam Islam mereka disebut ahlul kitab, orang yang telah menerima kitab suci. Berulang-ulang perang terjadi, dan Muhammad mengalami usaha pembunuhan. Mengapa ini terjadi? Dalam kitab suci dijelaskan bahwa asalnya manusia adalah umat yang satu, namun beselisih atau berpecah setelah mendapat info yaitu wahyu. Muncullah berbagai mazhab atau sekte, satu sama lain saling mengkafirkan. Perpecahan tersebut terjadi setelah para nabi atau nabi yang bersangkutan tiada. Tampillah tokoh agama dengan berbagai istilah semisal pendeta, rahib, bhiksu atau rabbi. Merekalah yang berperan mengubah pesan-pesan kitab suci, mengubah isinya dan dikatakan bahwa itu berasal dari Tuhan. Pesan yang diubah tersebut antara lain ya info nabi terakhir itu. Pesan “jika kamu ketemu dia ikuti dia” diganti dengan “jika kamu ketemu dia habisi dia”. Dengan demikian dapat kita saksikan kitab-kitab suci saat kini: ada yang simpang siur, ada kisah yang melecehkan para nabi bahkan ada kisah pornografi. Untuk mencari info nabi terakhir sungguh perlu ketelitian dan ketekunan yang luar biasa. Berdasar info di atas maka tak heran jika sejak dalam kandungan Muhammad dicari-cari untuk dibunuh. Ketika masih berumur 12 tahun, dia ikut pamannya yaitu Abu Thalib berdagang ke Syam, kini mencakup wilayah Suriah, Libanon, Yordania, Israel, Palestina dan selatan Turki. Di kota Bushrah dia singgah di biara, rahib di situ melihat ciri-ciri kenabian, berdasar info dari kitab sucinya, pada diri Muhammad. Maka dia menasihati Abu Thalib untuk waspada, jangan masuk terlalu jauh ke Syam karena umat di situ akan mencoba membunuh Muhammad. Mungkin saat itu gosip atau kabar kabari tentang nabi terakhir telah lahir atau sebentar lagi lahir telah beredar begitu luas. Sejumlah orang bertekad akan mencari dan membunuhnya. Usaha tersebut gagal. Usaha menghabisi nabi terakhir dan tentu saja agama terakhir terus berlanjut. Sejumlah tokoh Yahudi menghubungi tokoh musyrik Quraisy untuk bersekutu menyerang Madinah, pusat kaum Muslim. Sebelumnya perlu penulis jelaskan bahwa agama Yahudi, Nashrani dan Islam adalah agama satu rumpun atau keluarga. Kaum Yahudi dan Nashrani tahu banyak tentang wahyu, nubuwat atau hal semacam itu, kaum paganis (penyembah berhala) Arab cenderung menghormati mereka dan bertanya mengingat mereka umumnya intelek. Tokoh kedua umat tersebut antara lain tahu sejarah semisal hukuman Tuhan terhadap bangsa-bangsa purba. Musyrik Quraisy minta kejelasan tentang kebenaran antara Islam dengan agama pagan, maka tokoh Yahudi menjelaskan bahwa agama pagan lebih baik atau lebih benar dibanding Islam. Maka persekekutuan antara paganis Arab dengan kaum Yahudi menyerbu Madinah dikenal dalam sejarah Muslim dengan Perang Parit (627). Pendapat Yahudi tersebut di atas agaknya mengundang komentar atau lebih tepatnya murka Tuhan. Logikanya, mestinya kaum Yahudi yang lekas percaya kepada Muhammad dan menjadi Muslim, mengingat mereka sudah kenyang kedatangan beberapa nabi. Dan Yahudi adalah agama yang berdasar monoteis, sama halnya dengan Nashrani dan Islam. Mengapa mereka begitu lancang menyatakan agama berhala lebih benar dari Islam? Bukankah larangan menyembah berhala adalah termasuk Hukum Sepuluh, hukum dasar dalam agama Yahudi? Bagi penulis, mungkin inilah awal dari fakta bahwa betapapun jauh atau besar perbedaan atau perpecahan antar non Muslim namun mereka bersatu jika berhadapan dengan Muslim. Persekongkolan demikian terus berulang hingga saat ini. Hal ini penulis telah jelaskan dalam karya tulis yang lain dan agaknya perlu diulang supaya kaum Muslim selau waspada dan kompak. Pada abad ke-13 terjadi persekutuan antara paganis Mongolia dengan Nashrani Eropa. Pasukan Eropa menyerbu pesisir Syam dan pasukan Mongolia menyerbu hingga sejauh Palestina, tak jauh dari benteng-benteng pasukan Eropa. Maksudnya adalah mengepung dunia Muslim. Baghdad dimusnahkan dan merupakan musibah besar bagi peradaban. Hasil akhirnya, pasukan Mongolia dapat dihalau pada 1260 dalam pertempuran di ‘Ayn Jalut dan pasukan Eropa dapat dihalau dari benteng terakhir mereka di Acre (al-‘Aqqa) pada 1291. Walau demikian, usaha-usaha membentuk front bersama anti Islam masih berlanjut bertahun-tahun setelahnya. Kedua fihak saling tukar kirim utusan dan duta. Pada abad ke-14 berangsur-angsur bangsa Mongolia menjadi Muslim. Kelak mereka membangun peradaban Muslim di India, Persia, Turkistan dan Rusia. Kini, kelompok non Muslim kiranya dapatlah dibagi menjadi 4 kelompok yaitu salibis, zionis, paganis dan komunis. Kaum salibis menduduki Afghanistan pada 2001 dan ‘Iraq sejak 2003, kaum zionis sejak 1948 mencaplok Palestina dan membentuk negara Israel, kaum paganis di India menduduki Kasymir dan Thailand menindas wilayah selatan negeri yang nota bene mayoritas Muslim, serta kaum komunis mewarisi dan mempertahankan kekuasaan Cina di wilayah Xinjiang atau Sinkiang yang juga mayoritas Muslim. Persekutuan anti Islam tersebut tampil lagi dengan jelas karena menemukan momentnya dari Peristiwa 11 September 2001, yang mungkin peristiwa besar awal abad ke-21. Usamah bin Ladin dengan gerakan “al-Qa-idah” agaknya ingin melaksanakan revolusi Islam –dengan fokus terhadap non Muslim– untuk membebaskan kaum Muslim sedunia dari apa yang disebut dengan penindasan orang kafir beserta antek-anteknya. Walau kurang jelas keterkaitan langsung antara Usamah dengan peristiwa tersebut, namun AS sukses memanfaatkan momentum tersebut untuk (kembali) menggiatkan agenda lama non Muslim perang melawan (kebangkitan) Muslim, dengan kedok war against terrorism. Penulis menilai revolusi yang dilaksanakan oleh Usamah bin Ladin –dan semoga dia konsisten– sudah relatif tepat namun pasti berat. Dia melaksanakan dua revolusi sekaligus yaitu revolusi terhadap kalangan seumat dan beda umat. Dan sejarah pun berulang, tantangan lebih berat adalah dari kalangan seumat. Revolusi terhadap beda umat antara lain mencakup: Melaksanakan dialog yang berkesinambungan terhadap non Muslim yang relatif berniat baik atau simpatik terhadap kaum Muslim. Kita perlu ingat bahwa tidak semua non Muslim itu jahat atau musuh. Walau minoritas dan belum mencapai hasil yang diharapkan, kerja keras mereka untuk melawan berbagai fitnah terhadap Islam layak dihargai mungkin semisal Karen Armstrong dan John L. Esposito. Atau mereka yang memiliki pendapat yang imbang terhadap Islam. Dialog jangan hanya “beredar” di lapisan masyarakat menengah ke atas, namun juga perlu –bahkan terkesan mendesak– dialog tercurah untuk masyarakat awam atau menengah ke bawah. Merekalah yang justru lebih rawan gesekan dalam hidup sehari-hari. Jika menggesek terus dibiarkan, akan berpeluang besar menjadi menggosok dan akhirnya menggasak. Indonesia sempat mengalami hal tersebut, konflik di Maluku dan Poso adalah contoh yang tepat tentang gesek, gosok dan gasak. Yang mayoritas terlibat adalah orang awam. Umat perlu diingatkan bahwa antara agama yang satu dengan yang lain bukan hanya menyajikan perbedaan namun juga persamaan. Tak dapat disangkal bahwa dalam hal teologi dan ritual banyak berbeda, namun dalam hal moral penulis menilai sangat banyak persamaan. Sebagai contoh, tidak ada –penulis ulangi tidak ada– agama yang menghalalkan korupsi, pornografi dan judi. Semua agama mengajarkan untuk berbuat manfaat bagi sesama makhluk, tidak menzhalimi. Dalam hal moral dapat terjalin kerja sama antar umat semisal pemberantasan maksiat. Bersikap tegas –jika perlu dengan perlawanan bersenjata– terhadap non Muslim yang bersikap zhalim. Memboikot produk, membekukan hubungan diplomatik hingga pemutusan hubungan diplomatik adalah sejumlah contoh. Untuk mencapai hal tersebut pembentukan khilafah sedunia adalah suatu keharusan, sebagai pengganti Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang terbukti tidak ampuh jika tawar menawar dengan non Muslim. Organisasi tersebut hanya mampu sebatas mulut: mengecam dan mendukung, namun tidak atau kurang disertai follow up. Agaknya OKI masih mengutamakan jumlah dibanding mutu, negara yang memiliki kaum Muslim kurang 50% ternyata boleh menjadi anggota. Sadar tak sadar OKI memenuhi syarat disindir oleh hadits “kamu jatuh hina bukan karena sedikit namun banyak, sebanyak buih di laut…..”. Sebanyak buih di laut artinya banyak namun ringan, alias tidak berbobot, alias tidak bermutu! Penutup Berdasar uraian dari bab sebelumnya maka dapat dinilai bahwa revolusi dalam Islam adalah revolusi menyeluruh, yang dimulai diri sendiri. Betapa berat namun sudah merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Kaum Muslim adalah kaum yang terkepung (dari luar) dan tergerogot (dari dalam). Cukup sudah kaum Muslim berada di bawah angin sejak abad ke-19. Jika diukur antara 1800 hingga 2000 maka terentang waktu 200 tahun menjadi umat underdog. Apakah 200 tahun belum cukup kelamaan dalam posisi terhina dan terfitnah? Sampai kapan kaum Muslim puas atau bangga dengan prestasi masa lalu, hal yang kadang penulis saksikan beberapa kali? Perlu penulis jelaskan bahwa akibat-akibat yang dialami oleh manusia –individu maupun kelompok– muncul setelah memenuhi syarat-syaratnya, termasuk musibah. Kaum Muslim tertinggal oleh kaum lain juga demikian, syarat-syarat untuk menjadi tertinggal, hina, atau lemah memang telah terpenuhi. Perpecahan, kelalaian, kejumudan, perselingkuhan adalah sejumlah syarat yang telah dipenuhi kaum Muslim untuk menjadi sebagaimana kini. Tuhan berjanji jika mau mengubah nasib maka peluang untuk berubah akan besar, tergantung besar usaha yang dilaksanakan. Revolusi adalah usaha. Usaha setengah-setengah maka hasil yang didapat kemungkinan besar akan setengah-setengah pula. Setengah-setengah berbeda dengan bertahap-tahap. Usaha bertahap-tahap artinya berjuang semampu-mampunya untuk mencapai tahapan tertentu dan tahapan tertentu tersebut adalah batu loncatan untuk berjuang mencapai tahap berikut. Dengan demikian revolusi dilaksanakan secara terencana, ada target yang jelas harus dicapai: apa, kapan, di mana dan berapa. Adapun berbuat setengah-setengah berarti ada semacam keraguan atau kelesuan dalam berbuat, karena ada niat yang belum utuh, terbagi antara ya atau tidak: tercapai syukur tak tercapai ya sudah. Jelas tersebut dalam hadits bahwa “segala perbuatan tergantung niat…..”. Usaha model begini cenderung tanpa target yang jelas atau tanpa rencana yang matang. Pokoknya bisa atau asal jalan, pokoknya tidak nganggur. Firman tuhan,”…..masuk Islamlah secara menyeluruh…..” seakan memberi pesan terselubung bahwa setengah-setengah mengamalkan Islam mencerminkan iman yang setengah-setengah. Lebih berabe jika setengah iman setengah kafir atau setengah tauhid setengah syirik. Ini yang terdapat dalam Muslim, khususnya di Indonesia. Hingga kini mereka memperlakukan agama dengan tercampur segala faham yang bertentangan dengan Islam semisal selamatan, ruwatan atau klenik. Hasilnya adalah mencampur adukkan hak dengan yang batil. Penulis menilai bahwa bangsa ini dijajah oleh bangsa non Muslim karena keislaman yang setengah-setengah. Agaknya Tuhan membalas sikap itu dengan pemikiran begini, ”Kalian mencampur adukkan antara iman dan kafir, antara tauhid dan syirik, antara ibadah dengan bid’ah. Maka sekalian saja aku kirim bangsa kafir atau musyrik untuk menjajah kalian”. Bukan mustahil bangsa ini dijajah kembali oleh non Muslim jika kaum Muslim masih berislam setengah-setengah. Hal tersebut agaknya disadari oleh gerakan Darul Islam atau gerakan kebangkitan Muslim lain: pilih tauhid atau syirik, pilih hak atau batil, pilih iman atau kafir. Wallahu a’lam. Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt