Peran Niat Dalam Amal Penulis : Al-Ustadz Abul ‘Abbas Khalid Syamhudi, Lc. (Staf Pengajar Ma’had Ukhuwwah dan Imam Bukhori) Sumber : http://muslim.or.id mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Matan HaditMatan Hadits Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya amalamal itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapatkan balasan sebagaimana niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka (pahala) hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya akan dibalas sebagaimana yang ia niatkan.” (HSR. Bukhari dan Muslim dalam kedua Shahih-nya) Peran Niat Dalam Amal 3 Takhrij HaditTakhrij Hadits Hadits di atas diriwayatkan oleh: 1. Bukhari, Kitab Bad’ul Wahyu no. 1, dalam Kitabul Iman no. 54, ada beberapa tempat dalam Shahih-nya, seperti kitab Al- ‘Itq, dan lainnya (Fat-hul Bari, I/9, 135). 2. Muslim, Kitabul Imarah, Bab Innamal A’malu bin Niyyat, no. 1907. 3. Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitabut Thalaq, Bab Fi Ma ‘Uniya Bihi at Thalaq wan Niyat, no. 2201. 4. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Fadha-ilul Jihad, Bab Man Ja’a fi Man Yuqatilu Riya’an Wa liddunya, no. 1647. 5. An Nasa-i dalam Sunan-nya, Kitab Ath-Thaharah, Bab An- Niyyah fil Wudhu’ (I/59-60). 6. Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Kitab Az-Zuhd, Bab An- Niyyah, no. 4227. 7. Ahmad di dalam Musnad-nya (I/25, 43). 8. Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa, no. 64. 9. Baihaqi dalam Sunan-nya (IV/235), Bab Man Ughniya ‘Alaihi fi Ayyam min Syahri Ramadhan. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Daruquthni (I/136), Ibnu Khuzaimah (1/232 no. 455), Ibnu Hibban (at Ta’liqatul Hisan ‘Ala Shahih Ibni Hibban, no. 389) dan yang lainnya. Peran Niat Dalam Amal 4 Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat tahun 795 H) mengatakan: “Hadits ini (adalah) hadits fard (gharib), hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id al-Anshari dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari ‘Alqamah bin Abi Waqqas al-Laitsi dari Umar bin Khaththab. Tidak Ada jalan lain yang shahih selain jalan ini, menurut pendapat Ali Ibnul Madini dan lainnya.” Imam Al-Khaththabi berkata: “Aku tidak mengetahui adanya khilaf di kalangan ahli hadits tentang masalah itu. Meskipun ada riwayat dari jalan Abu Sa’id al-Khudri dan lainnya, akan tetapi tidak satupun yang shahih menurut para huffazh (imam- imam ahli hadits).” (Jami’ul ‘Uluum Wal Hikam, I/60 dan Iqazhul Himam, hlm. 28). Imam Bazzar berkata, ”Abu As-Sakan, Muhammad bin I’tab, Ibnul Jauzi dan selain mereka mengatakan, bahwa tidak ada satu pun hadits yang sah (tentang hadits innamal a’malu bin niyat) dari seorang sahabat, melainkan dari Umar bin Khaththab saja.” (At-Talkhisul Habir, 1/92, Cet. I Muassassah Qurthubah, Th. 1416 H). Jadi pendapat jumhur ahli hadits menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits ahad, tidak mencapai derajat mutawatir, meskipun yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id Al Anshari banyak sekali, karena dari sahabat Umar bin Khaththab sampai kepada Yahya bin Sa’id hanya terdapat satu jalan. Peran Niat Dalam Amal 5 Asbabul Wurud HaditAsbabul Hadits Tentang asbabul wurud hadits (sebab datangnya hadits) diriwayatkan, ada seorang wanita bernama Ummu Qais sudah dilamar oleh seseorang, dan dia tidak mau dinikahi sampai calon suaminya hijrah. Lalu ia hijrah dan kami menamakan orang tersebut dengan muhajir Ummu Qais. Kisah ini banyak ditulis dalam beberapa kitab, akan tetapi tidak ada asalnya yang shahih. Wallahu’allam. (Jami’ul Ulum Wal Hikam, I/24 dan Iqazhul Himam, hlm. 37). Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani: “…Tetapi tidak ada riwayat yang shahih yang menjelaskan hadits innamal a’malu sebabnya karena itu (karena Ummu Qais). Aku tidak melihat sedikitpun dari jalan-jalan hadits yang jelas tentang masalah itu.” (Fat-hul Bari, I/10). Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali membenarkan perkataan Ibnu Rajab, bahwa kisah asbabul wurud hadits di atas tidak benar. (Iqazhul Himam Al-Muntaqa Fi Jami’il Ulum Wal Hikam, hlm. 37). Peran Niat Dalam Amal 6 Kedudukan HaditKedudukan Hadits Banyak perkataan ulama tentang hadits ini, di antaranya: · Imam Nawawi berkata, ”Kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) tentang tingginya hadits ini dan sangat banyak manfaatnya.” · Imam Syafi’i berkata, ”Hadits ini merupakan sepertiga ilmu dan masuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqh.” (Syarah Shahih Muslim, XIII/53). · Imam Abdurrahman bin Mahdi (wafat th. 198 H) berkata, ”Hadits tentang niat masuk dalam tiga puluh bab masalah ilmu.” (Tuhfatul Ahwadzi, V/286). Kata beliau juga: “Selayaknya bagi orang yang menyusun satu kitab, hendaknya dimulai dengan hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan dan memperbaiki niatnya.” (Syarah Muslim, XIII/53; Jami’ul Ulum Wal Hikam, I/61). Imam Bukhari pun memulai kitabnya dengan hadits ini. · Abu Abdillah mengatakan, ”Tidak ada satupun hadits yang paling mencakup berbagai masalah dan paling banyak manfaatnya, melainkan hadits ini.” (Tuhfatul Ahwadzi V/286). Peran Niat Dalam Amal 7 · Abdurrahman bin Mahdi, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ali Ibnu Madini, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Daruquthni, dan Hamzah Al- Kinani, semuanya bersepakat bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. (Fat-hul Bari, I/11). Yang dimaksud dengan sepertiga ilmu ialah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa pokok-pokok Islam datang dari tiga hadits, yaitu: 1. Hadits Umar : 2. Hadits ‘Aisyah: 3. Hadits Nu’man bin Basyir : (Iqazhul Himam, hlm. 29). · Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ”Makna yang ditunjukkan hadits ini merupakan pokok penting dari prinsipprinsip agama, bahkan merupakan pokok dari setiap amal.” (Majmu’ Fatawa, XVIII/249). Sebagian ulama berpendapat, pokok-pokok agama terdapat dalam empat hadits dikarenakan melihat urgensi dari hadits-hadits tersebut. · Imam Syaukani berkata, ”Hadits ini mempunyai faidah yang sangat banyak, dan tidak cukup untuk saya jelaskan di sini. Meskipun hadits ini gharib, namun layak ditulis (dibahas) dalam satu kitab tersendiri.” (Nailul Authar, I/159). Peran Niat Dalam Amal 8 Makna HaditMakna Hadits (innama) susunan seperti ini menunjukan pengertian hashr pembatasan, yang diartikan dengan “hanya”, maka hashr ialah, menetapkan hukum yang disebutkan dan menafikan yang selainnya. (Qawaa-id wa Fawaa-id minal Arba’in an-Nawawiyah, hal. 25). artinya, “amal-amal”. Kata jamak dari yang diawali dengan alif lam , yang menunjukkan arti istighraq yang berarti seluruh amal. Yang dimaksud adalah amal-amal syar’i yang membutuhkan niat. Adapun yang tidak, seperti kebiasaan makan, minum, berpakaian dan yang lainnya, atau seperti mengembalikan amanah dan tanggung jawab, atau menghilangkan najis, maka, tidak membutuhkan niat. Akan tetapi ada ganjarannya bagi yang berniat untuk taqarrub kepada Allah. (Ibid, hal. 26, Iqadhul Himam al-Muntaqa min Jami’il ‘Uluum wal Hikaam, hal. 30-31). Jadi maknanya, setiap amal harus ada niat dan tidak ada amal tanpa niat. (Nailul Authar 1/157). Bisa juga diartikan bahwa amal itu menjadi baik, buruk, diterima, ditolak, diganjar Peran Niat Dalam Amal 9 atau tidak, itu tergantung dari niatnya. Artinya, baik dan buruknya amal tergantung niat. (Iqadhul Himam, hal. 31). jamak dari . Dalam bahasa diartikan (tujuan), yaitu hati menyengaja secara sadar terhadap apa yang dituju (dimaksud) mengerjakannya. – (Kehendak hati untuk mengerjakan suatu perkara). (Lisanul ‘Arab libni Manzhur 14/343, cet. Daar Ihya at Turats Al ‘Arabi, Mu’jamul Wasith 2/965). Al-Baidhawi berkata, ”Niat adalah dorongan hati yang dilihat sesuai dengan suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mendatangkan mudharat dari sisi kondisi atau tempat. (Fat-hul Baari 1/13). Ada yang berpendapat, niat adalah, menuju sesuatu yang dibarengi dengan mengerjakannya.” (Bahjatun Nazhirin 1/31 dan Syarah Hadits Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 17). : … Sesungguhnya setiap orang akan memperoleh dari Allah sesuai dengan apa yang diniatkan. Jika berniat baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Dan jika berniat jelek, maka ia akan memperoleh balasan kejelekan pula. (Bahjatun Nazhirin 1/31 dan Syarah Hadits Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 17). Peran Niat Dalam Amal 10 “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Da barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan diperoleh atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrah kepadanya.” Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa amal-amal tergantung dengan niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuatu tergantung dari niatnya, baik atau buruk; dua kalimat ini merupakan dua kaidah yang mencakup dan merupakan contoh perbuatan yang bentuknya sama, akan tetapi berbeda hasilnya. Rusaknya amal itu tergantung dari niat. Ada orang yang hijrah ke negeri Islam, karena harta dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya menurut niatnya. Yang pertama adalah tajir (pedagang), dan yang kedua adalah khathib (peminang). Keduanya bukan muhajir (orang yang berhijrah) yang sebenarnya.” (Iqazhul Himam hal. 36-37). : Menurut apa yang ia hijrah kepadanya. Hal ini menunjukkan jelek dan hinanya orang yang hijrah karena harta dan wanita. (Iqazhul Himam hal. 36-37). Peran Niat Dalam Amal 11 . Asal maknanya ialah , yaitu meninggalkan sesuatu. Sedangkan menurut istilah syar’i ialah, (Pindah dari negeri kafir ke negeri Islam). Oleh para ulama, hijrah ini dibagi menjadi beberapa bagian. Hijrah tetap berlaku selama musuh masih diperangi, sebagaimana taubat masih diterima sampai matahari terbit dari barat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak akan terhapus hijrah sampai tidak ada lagi taubat yang diterima, dan tidaklah berhenti taubat itu diterima sampai matahari terbit dari barat. (HR. Ahmad, IV/99; Abu Dawud, no. 2479 dan Ad Darimi, II/239-240 dari sahabat Mu’awiyah z, shahih) Peran Niat Dalam Amal 12 PenjelaPenjelasan Hadits Tidak diragukan lagi, niat itu merupakan neraca bagi sahnya suatu perbuatan. Niat merupakan kehendak yang pasti, sekalipun tidak disertai dengan amal. Maka dari itu, kadangkadang kehendak ini merupakan niat yang baik lagi terpuji, dan kadang merupakan niat yang buruk lagi tercela. Hal ini tergantung dari apa yang diniatkan, dan juga tergantung kepada pendorong dan pemicunya; Apakah untuk dunia ataukah untuk akhirat Apakah untuk mencari keridhaan Allah, ataukah untuk mencari keridhaan manusia Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: … … Kemudian mereka dibangkitkan menurut niat mereka… (HR. Ibnu Majah, no. 4229 dan Ahmad, II/392) Karena peranan niat dalam mengarahkan amal menentukan bentuk dan bobotnya, maka para ulama menyimpulkan banyak kaidah fiqh yang diambil dari hadits ini, yang merupakan kaidah yang luas. Diantara kaidah itu ialah: (suatu perkara tergantung dari tujuan niatnya). Peran Niat Dalam Amal 13 Niat dan Tujuan SyariaNiat Syariat Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.” (I’lamul Muwaqqi’in VI/106, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan dua kalimat yang sangat dalam maknanya, yaitu, sesungguhnya amal-amal bergantung kepada niat dan seseorang memperoleh apa yang diniatkan. Dalam kalimat pertama, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, amal tidak ada artinya tanpa ada niat. Sedangkan dalam kalimat kedua, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, orang yang melakukan suatu amal, ia tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal ini mencakup iman, ibadah, da’wah, muamalah, nadzar, jihad, perjanjian dan tindakan apapun. Pengaruh niat dalam sah atau tidaknya suatu ibadah sudah dijelaskan di atas. Semua amal qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Allah) harus dilandaskan kepada niat. Suatu tindakan tidak dikatakan ibadah, kecuali disertai niat dan tujuan. Maka dari itu, sekalipun seseorang menceburkan diri ke dalam air Peran Niat Dalam Amal 14 tanpa niat mandi, atau masuk kamar mandi semata untuk membersihkan diri, atau sekedar menyegarkan badan, maka perbuatan itu tidak termasuk amal qurbah dan ibadah. Contoh lain, ada seseorang tidak makan sehari penuh karena tidak ada makanan, atau karena pantang makan, atau karena akan dioperasi, maka ia tidak disebut orang yang melakukan ibadah puasa. Contoh lain, seseorang yang berputar mengelilingi Ka’bah untuk mencari sesuatu yang jatuh, atau mencari saudaranya yang hilang, maka orang tersebut tidak dikatakan melakukan thawaf yang disyariatkan. Imam Nawawi menjelaskan, niat itu disyariatkan untuk beberapa hal berikut. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk di masjid, ada yang berniat istirahat, ada pula yang tujuannya untuk i’tikaf. Mandi dengan niat mandi junub, berbeda dengan mandi yang hanya sekedar untuk membersihkan diri. Yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini, ketika seorang laki-laki yang berperang karena riya (ingin dilihat orang), karena fanatisme golongan, dan berperang karena keberanian. Siapakah yang berperang di jalan Allah Maka Peran Niat Dalam Amal 15 beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Barangsiapa berperang dengan tujuan agar kalimat Allah adalah yang paling tinggi, maka itulah fi sabilillah. (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Ilmi no. 123 (Fat-hul Baari I/222) dan Muslim Kitabul Imarah no. 1904, Tirmidzi no. 1646, Abu Dawud no. 2517, Ibnu Majah no. 2783 dan an-Nasaa-I VI/23 dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari) Kedua, untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Misalnya seseorang mengerjakan shalat empat rakaat. Apakah diniatkan shalat Dhuhur ataukah shalat sunnat (ataukah diniatkan untuk shalat Ashar) Yang membedakannya adalah niat. Demikian juga dengan orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk membayar kafarah (tebusan), ataukah ia niatkan untuk nadzar, atau yang lainnya Jadi yang penting, untuk membedakan dua ibadah yang sama adalah niat. (Syarah Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 8). Kata niat yang sering diulang-ulang dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan firman Allah, terkadang dengan makna iradah ( ), dan terkadang dengan makna qashd ( ( dan sejenisnya. Seperti dalam surat Ali Imran ayat 152, surat Al Isra` ayat 18-19. Peran Niat Dalam Amal 16 Pengaruh Niat Terhadap HaPengaruh Hal-Hal yang Mubah dan Kebiasaan Karena besarnya pengaruh niat, maka hal-hal yang mubah dan kebiasaan, dapat bernilai ibadah dan amalan qurbah. Pekerjaan mencari rezeki, bercocok tanam, berkarya, berdagang, mengajar dan profesi lainnya, dapat menjadi ibadah dan jihad f i sabilillah selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mencari yang halal, serta tidak bertentangan dengan perintah dan larangan dari Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula makan minum, berpakaian, jika dikerjakan dengan niat untuk ketaatan kepada Allah dan melaksanakan kewajiban kepada Rabb, maka akan diganjar berdasarkan niatnya. Orang yang mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang lain, untuk membiayai dirinya dan keluarganya, akan diganjar atas niatnya. Seperti hadits Sa’ad bin Abi Waqqash Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya jika engkau menafkahkan hartamu yang dengannya engkau mengharapkan wajah Allah, maka engkau Peran Niat Dalam Amal 17 akan diberi pahala lantaran nafkahmu sampai apa yang engkau suapkan ke mulut isterimu. (HR. Bukhari, no. 56; Fat-hul Bari, I/136 dan Muslim no. 1628, 5) Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani berkata, ”Imam An-Nawawi mengambil istimbat dari hadits ini, bahwa memberikan suapan kepada istri, biasanya terjadi pada waktu bergurau, ketika timbul syahwat, dan yang demikian ini jelas. Namun, bila dilakukan untuk mencari ganjaran pahala, maka ia akan memperolehnya dengan keutamaan dari Allah.” (Fat-hul Bari, I/137). Imam Suyuthi menjelaskan, dalil yang tepat yang dijadikan dasar (oleh para ulama), bahwa seorang hamba akan mendapat ganjaran dengan niat yang baik dalam perkara yang mubah dan pada perkara adat kebiasaan ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: (dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan). Niat ini akan diganjar apabila dimasudkan untuk taqarrub kepada Allah. Sehingga, bila tidak dengan tujuan itu, tidak akan diberi pahala. Bahkan yang lebih mengagumkan lagi, nafsu seksual yang disalurkan seorang mukmin kepada istrinya pun dapat mendatangkan pahala di sisi Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan: Peran Niat Dalam Amal 18 : : (( : : Dari Abu Dzaar Al Ghifari radhiyallahu’anhu. Bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah, berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah. Orang-orang kaya pergi dengan banyak pahala. Mereka shalat seperti kita shalat, berpuasa seperti kita berpuasa, dan bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu bagi kalian yang bisa kalian sedekahkan Sesungguhnya, bagi kamu, setiap kali tasbih adalah shadaqah, setiap kali tahmid adalah shadaqah, menyuruh kepada yamg ma’ruf adalah shadaqah, melarang kemungkaran adalah shadaqah, dan menggauli (bersetubuh dengan) istri adalah Peran Niat Dalam Amal 19 shadaqah.” Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dia mendapatkan pahala” Beliau bersabda, ”Bagaimana pendapat kalian kalau ia melampiaskan syahwatnya kepada yang haram, apakah ia berdosa Maka demikian pula jika dia melampiaskannya pada yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim, no. 720, 1006. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 5/167,168 dan Abu Dawud, no. 5243, 5244 dari sahabat Abu Dzar) Imam Nawawi menjelaskan hadits ini: “Di dalam hadits ini ada dalil, bahwa perkara yang mubah dapat menjadi perbuatan taat dengan niat yang benar. Jima’ (bersetubuh), bisa menjadi ibadah apabila ia niatkan untuk memenuhi hak istrinya, bergaul dengan cara yang baik sebagaimana diperintahkan Allah, atau untuk mendapat anak yang shalih, atau untuk menjaga dirinya dan istrinya agar tidak terjatuh kepada perbuatan haram, atau memikirkan (mengkhayal) hal yang haram, atau berkeinginan untuk itu, atau yang lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, VII/92). Suatu perbuatan yang mubah, dapat dijadikan amal ibadah sehingga mendekatkan pelakunya kepada Allah, namun ia tetap memiliki syarat-syarat tertentu. Ketentuan-ketentuan itu sebagai berikut: 1. Tidak boleh menjadikan perkara mubah menjadi qurbah (ibadah) pada bentuk dan dzatnya. Sebagaimana orang menduga, bahwa semata-mata berjalan, makan, berdiri, Peran Niat Dalam Amal 20 atau berpakaian dapat mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Abu Israil berdiri di terik panas matahari untuk memenuhi nadzarnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ia berbicara, berteduh, duduk, dan menyempurnakan puasanya. (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, dan Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar). 2. Hendaklah yang mubah itu sebagai wasilah (sarana) untuk ibadah. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Hendaknya yang mubah dikerjakan untuk membantu dirinya melaksanakan ketaatan.” (Majmu Fatawa, X/460). 3. Hendaklah seorang muslim memandang yang mubah dengan keyakinan. Bahwa hal itu memang benar dimubahkan (dihalalkan) oleh Allah untuknya. 4. Hendaknya yang mubah (dibolehkan) itu tidak menyebabkan pelakunya celaka, atau membahayakan dirinya sendiri. (Diringkas dan ditambah dari Qawaid Wa Fawaid Min Arbain An-Nawawiyah, hlm. 34-35). Oleh karena itu, barangsiapa yang berniat mendekatkan diri kepada Allah melalui amal-amal mubah, hendaknya ia pastikan ketentuan-ketentuan di atas, agar tidak menghalalkan segala cara dan supaya bernilai di sisi Allah ta’ala. Peran Niat Dalam Amal 21 Niat Baik Tidak Bisa Merubah yang HaraNiat Haram Sebagaimana sudah diketahui oleh setiap muslim, niat tidak dapat mempengaruhi yang haram. Sebaik apapun niat dan semulia apapun tujuannya, niat tidak dapat menghalalkan yang haram dan tidak melepaskan sifat kekotoran, karena memang inilah yang menjadi sebab pengharamannya. Barangsiapa mengambil riba atau mencuri harta, atau mencari harta dengan cara yang dilarang dengan niat untuk membangun masjid, atau mendirikan tempat panti asuhan anak yatim, atau mendirikan pesantren, madrasah, sekolah tahfidz (hafalan) Al- Qur`an, atau untuk dishadaqahkan kepada orang fakir, miskin dan orang-orang yang membutuhkan, atau bentuk kebaikan apapun, maka niat yang baik ini tidak berpengaruh apa-apa, serta tidak bisa meringankan dosa yang haram. Praktek seperti ini banyak terjadi. Misalnya, seseorang mendepositokan uangnya di Bank, lalu bunganya digunakan untuk membangun masjid atau pesantren. Ini merupakan perbuatan yang layak dipertanyakan kebenarannya. Bunga bank, yang menurut para ulama adalah haram, bagaimana mungkin barang haram digunakan untuk proyek kebaikan Seorang pejabat mendapat uang jutaan atau milyaran rupiah dari hasil manipulasi, korupsi atau kolusi, atau seorang penjudi, Peran Niat Dalam Amal 22 pelacur, kemudian mereka berniat menolong anak yatim dan orang miskin dari hasil pekerjaan yang haram itu, maka hukumnya tetap haram, dan tidak boleh digunakan untuk berbagai kegiatan kebaikan. Yang haram t idak bisa dibersihkan dengan menshadaqahkan uang hasil perbuatan haram. Allah tidak akan menerima yang haram, meskipun dengan niat yang baik. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: … … …Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima sesuatu, kecuali yang baik… (HR. Muslim, no. 1015; At Tirmidzi, no. 2989 dan Ahmad, II/328) Harta yang haram bukan milik orang yang mendapatkannya. Karena itu, tidak boleh ia bershadaqah dengan uang tersebut. Harta apapun yang dikeluarkan dari hasil bunga, curian, pelacuran, perdukunan, manipulasi, dan lainnya yang haram, semua itu tidak diterima oleh Allah ta’ala. Imam Sufyan Ats-Tsauri pernah berwasiat kepada Ali bin Al- Hasan: “…Janganlah kamu melakukan usaha (mencari mata pencaharian) yang buruk, lantas hasilnya kamu infakkan untuk mentaati Allah. Karena meninggalkan pekerjaan (usaha yang Peran Niat Dalam Amal 23 buruk) merupakan kewajiban dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang bajunya terkena air kencing, kemudian ia ingin mencucinya dengan air kencing yang lain Apakah mungkin bisa membersihkannya Jelas tidak mungkin bersih. Kotoran tidak mungkin dibersihkan, kecuali dengan sesuatu yang bersih dan baik. Demikian pula perbuatan yang buruk, hanya bisa dihapuskan dengan kebaikan. Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya yang haram tidak akan diterima dalam amalan, atau mungkinkah seseorang melakukan dosa lantas menghapuskannya dengan dosa yang lain” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Kitab Hilyatul Auliya’, VII/71-72. Dikutip dari Min Washaya As Salaf, hlm. 41, oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali, Cet. Dar Ibnul Jauzi, Th. 1412 H). Dari sini kita mengetahui, Islam menolak prinsip Machiavelli, yaitu tujuan menghalalkan segala cara. Islam juga tidak menerima, kecuali cara yang bersih untuk mencapai tujuan mulia. Jadi niat yang baik, harus disertai dengan cara yang benar dan baik pula. Peran Niat Dalam Amal 24 Niat Baik Tidak Dapat Merubah Sesuatu yanNiat yang Bid’ah Ketika sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal tersebut dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan (menentang) syari’at, tidak mempunyai pikiran untuk menambah sesuatu dalam agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah. Bahkan sebagian berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Sesungguhnya segala amal bergantung pada niat. (Muttafaqun ‘alaih) Untuk menjelaskan sejauh mana tingkat kebenaran cara mereka menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang dikemukakan tersebut, maka seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya, ia tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia lakukan ialah memperhatikan semua dalil secara umum, hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan, bila dia Peran Niat Dalam Amal 25 termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dalil. (Lihat pembahasan lengkapnya di kitab ‘Ilmu Ushul al-Bida’ hal. 59-63 oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al- Halaby, cet. Daar ar-Raayah th. 1417 H). Adapun yang benar dalam masalah sangat penting ini, bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” adalah sebagai penjelasan tentang salah satu dari dua pilar dasar setiap amal. Pertama, ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya. Kedua, setiap amal harus sesuai Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami, maka dia tertolak.” Dan demikian itulah kebenaran yang dituntut setiap orang dalam merealisasikan setiap pekerjaan dan ucapannya. Atas dasar ini, maka kedua hadits yang agung tersebut merupakan pedoman agama, baik yang pokok maupun cabang, yang lahir dan yang batin. Dalam hal ini, hadits “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” sebagai timbangan amal yang batin. Sedangkan hadits “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami, maka dia tertolak” sebagai tolok ukur lahiriah setiap amal. Dengan demikian, kedua hadits tersebut memberikan pengertian, bahwa setiap amal dianggap benar, bila dilakukan Peran Niat Dalam Amal 26 dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya merupakan syarat setiap ucapan dan amal, yang lahir maupun yang batin. Oleh karena itu, barangsiapa yang ikhlas dalam setiap amalnya karena Allah dan sesuai Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalnya diterima. Dan barangsiapa yang tidak memenuhi dua hal tersebut atau salah satunya, maka amalnya tertolak. (Bahjah Qulub Al Abrar:10, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di). Demikian dinyatakan oleh Fudhail bin ‘Iyadh, ketika beliau menafsirkan firman Allah, yang artinya: Supaya Dia menguji kamu, siapa yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk: 2) Fudhail bin ‘Iyadh berkata, ”Maksudnya, dia ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar tetapi tidak ikhlas, maka amalnya juga tidak diterima. Amal yang ikhlas ialah, amal yang dilakukan karena Allah. Sedangkan amal yang benar ialah, bila dilakukan sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Hilyatu ‘Auliya: VIII/95, Abu Nu’aim. Dan lihat Tafsir Al-Baghawi: V/419, Jami’ al-‘Ulum wal Hikam: 10 dan Madarij As-Salikin: I/83). Al-‘Allamah Ibnul Qayyim berkata, ”Sebagian ulama salaf mengatakan, tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil, melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan, mengapa dan Peran Niat Dalam Amal 27 bagaimana Yakni, mengapa kamu melakukan, dan bagaimana kamu melakukan” (Mawarid al-Imam al Muntaqa min Ighatsah al-Lafhan: 35). Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada interes tertentu dan tujuan dari berbagai tujuan dunia, seperti ingin dipuji manusia, atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara tepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaanNya, serta untuk mendekatkan diri kepada Allah Artinya, pertanyaan pertama adalah, apakah kamu mengerjakan amal karena Allah Ataukah karena untuk kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhaiNya Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal. Sedangkan pertanyaan kedua berkaitan dengan mengikuti Sunnah. Sebab, Allah tidak akan menerima amal, kecuali terpenuhinya kedua syarat tersebut. Agar selamat dari pertanyaan pertama, yaitu dengan memurnikan keikhlasan. Peran Niat Dalam Amal 28 Sedangkan agar selamat dari pertanyaan kedua, yaitu dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima, adalah bila hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang kontradiksi, dengan berpegang mengikuti Sunnah. Ibnu Katsir dalam tafsirnya (I/231) berkata, ”Sesungguhnya amal yang diterima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima.” Pernyataan itu dikuatkan dan dijelaskan oleh Ibnu ‘Ajlan, ia berkata, ”Amal tidak dikatakan baik, kecuali dengan tiga criteria. (Yaitu): takwa kepada Allah, niat baik dan tepat (sesuai Sunnah).” (Jami’ al-‘Uluum wal Hikam: 10). Kesimpulannya, maksud sabda Nabi shallallahhu ‘alaihi wa sallam, ”Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” ialah, segala amal akan berhasil tergantung pada niatnya. Ini adalah perintah untuk ikhlas dan mendatangkan niat dalam segala amal yang akan dilakukan oleh seseorang dengan sengaja. Itulah yang menjadi sebab adanya amal dan pelaksanaannya.” (Lihat Fathul Bari: I/13 dan ‘Umdah al Qari: I/25). Atas dasar ini, seseorang, sama sekali tidak dibenarkan menggunakan hadits tersebut sebagai dalil pembenaran amal yang batil dan bid’ah karena semata-mata niat baik pada diri orang yang hendak melakukannya. Peran Niat Dalam Amal 29 Dan penjelasan yang lain, hadits tersebut sebagai dalil atas kebenaran amal dan keikhlasan ketika melakukannya, yaitu dengan pengertian, bahwa sesungguhnya segala amal yang shalih adalah dengan niat yang shalih. Pemahaman seperti ini sepenuhnya tepat dengan kaidah ilmiah, dalam hal mengetahui ibadah dan hal-hal yang membatalkannya. Peran Niat Dalam Amal 30 Hukum Melafazhkan NiaHukum Niat Niat tempatnya di hati, bukan diucapkan dengan lisan; dalam semua ibadah, seperti bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak serta berjihad di jalan Allah, dan lainnya. Meskipun yang diucapkan lisan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka yang diperhitungkan ialah yang diniatkan, bukan yang dilafazhkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, sedangkan niat belum sampai ke dalam hatinya, maka hal itu tidak cukup. Demikian menurut kesepakatan para imam kaum Muslimin, karena sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang pasti. Orang Arab biasa mengatakan: (Allah menunjukkan kepada kamu kebaikan) Al-Qadhi Abur Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy Syafi’i mengatakan: “Melafazhkan niat di belakang imam bukan perkara sunnah, bahkan hukumnya makruh. Jika mengganggu orang lain, maka hukumnya haram. Barangsiapa yang mengatakan bahwa melafazhkan niat termasuk sunnah, maka dia salah; dan tidak halal bagi siapapun berkata dalam agama Allah tanpa ilmu.” (Al Qaulul Mubin Fi Akhtha’il Mushallin, hlm. 91). Peran Niat Dalam Amal 31 Abu Abdillah Muhammad bin Qasim At Tunisi Al Maliki mengatakan: “Niat termasuk amal hati, dan melafazhkan niat adalah bid’ah. Disamping itu, juga mengganggu orang lain.” (Ibid, hlm. 91). Talafuzh (melafazhkan) niat tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika berwudhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membaca “nawaitu raf al hadatsil ashghar”, dan tidak juga membaca “nawaitu raf al hadatsil akbar” ketika mandi janabah (junub). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak melafazhkan niat “nawaitu fardha Dhuhri arba’a raka’atin mustaqbilal qiblati”, …ketika mulai shalat atau ketika mulai puasa dan lainnya. Melafazhkan niat tidak pernah diriwayatkan oleh seorangpun, baik dengan riwayat yang shahih, dhaif, maupun mursal. Tidak seorangpun sahabat yang meriwayatkan, dan tidak ada seorang tabi’in pun yang menganggap baik masalah ini, dan tidak pula dilakukan oleh empat Imam Madzhab yang mashur, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syaf i’i dan Hanbali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan talafuzh niat, meski hanya satu kali dalam shalatnya, dan tidak pula dilakukan oleh para khalifahnya. Ini adalah petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para sahabat. Tidak ada petunjuk yang lebih sempurna, melainkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya: Peran Niat Dalam Amal 32 Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Jalaluddin As Suyuti (wafat th. 921 H) berkata: “Di antara perkara yang termasuk bid’ah ialah, was-was dalam niat shalat. Hal ini tidak pernah dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak juga para sahabatnya. Mereka tidak pernah mengucapkan sesuatu bersama niat shalat (nawaitu ushalli, … ), selain hanya takbiratul ihram saja. Allah berfirman: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahdzab : 21) Imam Syaf i’i mengatakan, orang yang was-was dalam niat shalat dan bersuci, adalah orang yang bodoh tentang syari’at dan rusak pikirannya. (Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida’, oleh Imam Jalaludin As Suyuthi, hlm. 295-296, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman). Peran Niat Dalam Amal 33 Sebab kekeliruan orang-orang yang mengikuti madzhab Syafi’i ialah, karena kesalahfahaman dalam memahami perkataan Imam Asy Sayafi’i. Imam Syaf i’i mengatakan: “Apabila seseorang niat haji dan umrah sudah cukup, meskipun tidak dilafazhkan. (Ini) berbeda dengan shalat, karena shalat itu tidak sah melainkan dengan ucapan.” Imam Nawawi mengatakan: “Telah berkata para sahabat kami (ulama dari madzhab Syafi’i), orang yang memahami bahwa ucapan itu (ushalli,…) adalah keliru. Karena yang dimaksud Imam Asy Syafi’i bukan demikian. Akan tetapi, yang dimaksud beliau rahimahullah adalah ucapan mulai shalat, yaitu takbiratul ihram.” Dengan demikian, para ulama memfatwakan, bahwa melafazhkan niat adalah bid’ah dan munkar, dan jauh dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peran Niat Dalam Amal 34 Niat yang Ikhlas Merupakan Dasar DiterimanyNiat Diterimanya Amal Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan, nafsu, dan keduniaan. Niat itu harus ikhlas karena Allah dalam setiap amal, agar amal itu diterima di sisi Allah. Setiap amal shalih mempunyai dua syarat, yang tidak akan diterima kecuali dengan keduanya, yaitu: Pertama, niat yang ikhlas dan benar. Kedua, sesuai dengan Sunnah, mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan syarat pertama, kebenaran batin akan terwujud. Dan dengan syarat kedua, kebenaran lahir akan terwujud. Tentang syarat pertama telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung pada niatnya.” Inilah yang menjadi timbangan batin. Sedangkan syarat kedua disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut tertolak. (HR. Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 dari Peran Niat Dalam Amal 35 hadits Aisyah) Allah telah menyebutkan dua syarat ini dalam beberapa ayat, di antaranya: Dan siapakah yang lebih baik agamanya dar i orang yang ikhlas menyerahkan dir inya kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. (QS An Nisa`: 125) Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah, mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah. Sedangkan berbuat baik artinya, dalam beramal mengikuti apa yang disyariatkan Allah, dan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya berupa petunjuk dan agama yang haq. Dua syarat ini, bila salah satunya tidak terpenuhi, maka amal ini tidak sah. Jadi harus ikhlas dan benar. Ikhlas karena Allah, dan benar mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahirnya ittiba’, dan batinnya ikhlas. Bila salah satu syarat ini hilang, maka amal itu akan rusak. Bila hilang keikhlasan, maka orang itu akan jadi munafik dan riya’ kepada manusia. Sedangkan bila hilang ittiba’, artinya tidak mengikuti contoh Peran Niat Dalam Amal 36 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang itu sesat dan bodoh (jahil). (Tafsir Ibnu Katsir, I/616, Cet. Darus Salam). Dari uraian di atas, jelaslah, betapa pentingnya peran niat dalam amal. Niat itu harus ikhlas. Dan ikhlas semata tidak cukup menjamin diterimanya amal, selagi tidak sesuai dengan ketetapan syariat dan dibenarkan Sunnah. Sebagaiman amal yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat, tidak akan diterima, selagi tidak disertai dengan ikhlas; sama sekali tidak ada bobotnya dalam timbangan amal. Peran Niat Dalam Amal 37 Faedah dan Pelajaran dari Hadits InFaedah Ini 1. Niat termasuk iman, karena termasuk amalan hati. 2. Wajib bagi setiap muslim mengetahui hukum dan kedudukan amal yang tidak dilakukan, disyariatkan atau tidak, wajib atau sunnah; karena amal tidak bisa lepas dari niat yang disyariatkan. 3. Disyariatkan niat secara sadar dalam amal-amal ketaatan. 4. Amal tergantung dari niat, tentang sah atau tidaknya, sempurna dan kurangnya. Taat dan maksiat. 5. Niat tempatnya di hati, bukan di lisan. 6. Melafazhkan niat adalah bid’ah. 7. Amal harus sesuai dengan Sunnah, karena ia termasuk syarat diterimanya amal. 8. Niat yang baik tidak bisa membuat yang haram menjadi halal, yang munkar menjadi ma’ruf, atau yang bid’ah menjadi sunnah. 9. Baiknya tujuan, tidak bisa menghalalkan segala cara. 10. Wajib berhati-hati dari riya’, sum’ah (memperdengarkan pada orang lain), atau beramal karena dunia, karena akan menghapuskan amalan yang baik. 11. Manusia senantiasa digoda setan sehingga dapat merusak keikhlasan amalnya. 12. Wajib bagi setiap muslim dan muslimah memperhatikan perbaikan hati. Peran Niat Dalam Amal 38 13. Ganjaran pahala yang diberikan Allah atas amal-amal hambaNya tergantung kepada niatnya. 14. Hijrah dari negeri syirik atau kafir ke negeri Islam merupakan ibadah yang utama, bila diniatkan karena mencari wajah Allah. Dan bagi yang tidak dapat melaksanakan ibadah karena Allah, ia wajib hijrah. 15. Keutamaan hijrah kepada Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. 16. Hijrah tetap berlaku selama diperangi musuh-musuh Islam. 17. Adapun hadits: … … Tidak ada hijrah sesudah Fathu Makkah. (HR. Bukhari no. 2783 dan Muslim no. 1864), maksudnya ialah, hijrah dari Makkah ke Madinah, karena Makkah menjadi Darul Islam (Negeri Islam). Peran Niat Dalam Amal 39 Maraji’Maraji’: 1. Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Darus Salam. 2. Shahih Bukhari, dan syarah-nya Fathul Bari, Cet. Darul Fikr. 3. Shahih Muslim, dan Syarah Muslim Lil Imam An Nawawi. 4. Sunan Abu Daud. 5. Jami’ At Tirmidzi dan Tuhfathul Ahwadzi Syarah Sunan At Tirmidzi. 6. Sunan An Nasa-i. 7. Sunan Ibnu Majah. 8. Musnad Ahmad. 9. Al Muntaqa, Ibnul Jarud. 10. Sunan Baihaqi. 11. Shahih Ibnu Khuzaimah. 12. At Ta’liqatul Hisan ‘Ala Shahih Ibni Hibban. 13. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hanbali, tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Ibrahim Bajis, Cet. Mu’assassah Ar Risalah, Th. 1419H. 14. ‘Iqazhul Himam Al Muntaqa Min Jami’il ‘Ulum Wal Hikam, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali. 15. Syarah Arba’in, oleh Imam Nawawi. 16. Syarah Arba’in, oleh Ibnu Daqiqil ‘Id. 17. I’lamul Muwaqqi’in, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman. 18. Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. 19. Maqashidul Mukallifin, An Niyyat Fil ‘Ibadat, oleh Dr. Umar Peran Niat Dalam Amal 40 Sulaiman Al Asyqar, Cet. Darun Nafa-is, Th. 1415 H. 20. Qawa-id Wa Fawa-id minal Arba’in An Nawawiyah, oleh Nadhim Muhammad Sulthan. 21. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali. 22. Nailul Authar, oleh Imam Asy Syaukani. 23. Al Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin, oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman. 24. Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida`, oleh Imam As Suyuthi, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman. 25. Ilmu Ushulil Bida`, oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid. 26. Lisanul ‘Arab Libni Manzhur, 14/343, Cet. Daar Ihya At Turats Al ‘Arabi. 27. Mu’jamul Wasith, dan kitab lainnya. Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt