Membumikan Al-Quran oleh Dr. M. Quraish Shihab mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Keotentikan Al-Quran Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya) (QS 15:9). Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw. Tetapi, dapatkah kepercayaan itu didukung oleh bukti-bukti lain? Dan, dapatkah bukti-bukti itu meyakinkan manusia, termasuk mereka yang tidak percaya akan jaminan Allah di atas? Tanpa ragu kita mengiyakan pertanyaan di atas, karena seperti yang ditulis oleh almarhum 'Abdul-Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar: "Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk meragukan keotentikannya."1 Hal ini disebabkan oleh bukti-bukti kesejarahan yang mengantarkan mereka kepada kesimpulan tersebut. Bukti-bukti dari Al-Quran Sendiri Sebelum menguraikan bukti-bukti kesejarahan, ada baiknya saya kutipkan pendapat seorang ulama besar Syi'ah kontemporer, Muhammad Husain Al-Thabathaba'iy, yang menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum Muslim sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab Suci tersebut lanjut Thabathaba'iy memperkenalkan dirinya sebagai Firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti, walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti bahwa Al-Quran yang berada di tangan kita sekarang adalah Al-Quran yang turun kepada Nabi saw. tanpa pergantian atau perubahan --tulis Thabathaba'iy lebih jauh-- adalah berkaitan dengan sifat dan ciri-ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.2 Dr. Mustafa Mahmud, mengutip pendapat Rasyad Khalifah, juga mengemukakan bahwa dalam Al-Quran sendiri terdapat bukti-bukti sekaligus jaminan akan keotentikannya.3 Huruf-huruf hija'iyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam Al-Quran adalah jaminan keutuhan Al-Quran sebagaimana diterima oleh Rasulullah saw. Tidak berlebih dan atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan oleh Al-Quran. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm Ali(a)h Al-R(a)hm(a)n Al-R(a)him. (Huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa Arab). Huruf (qaf) yang merupakan awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 X 19. Huruf-huruf kaf, ha', ya', 'ayn, shad, dalam surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 X 19. Huruf (nun) yang memulai surah Al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7 X 19. Kedua, huruf (ya') dan (sin) pada surah Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15 X 19. Kedua huruf (tha') dan (ha') pada surah Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19 X 18. Huruf-huruf (ha') dan (mim) yang terdapat pada keseluruhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha' mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114 X 19, yakni masing-masing berjumlah 2.166. Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat Al-Quran, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan Al-Quran. Karena, seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau. Angka 19 di atas, yang merupakan perkalian dari jumlah-jumlah yang disebut itu, diambil dari pernyataan Al-Quran sendiri, yakni yang termuat dalam surah Al-Muddatstsir ayat 30 yang turun dalam konteks ancaman terhadap seorang yang meragukan kebenaran Al-Quran. Demikianlah sebagian bukti keotentikan yang terdapat di celah-celah Kitab Suci tersebut. Bukti-bukti Kesejarahan Al-Quran Al-Karim turun dalam masa sekitar 22 tahun atau tepatnya, menurut sementara ulama, dua puluh dua tahun, dua bulan dan dua puluh dua hari. Ada beberapa faktor yang terlebih dahulu harus dikemukakan dalam rangka pembicaraan kita ini, yang merupakan faktor-faktor pendukung bagi pembuktian otentisitas Al-Quran. (1) Masyarakat Arab, yang hidup pada masa turunnya Al-Quran, adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis. Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan, orang Arab --bahkan sampai kini-- dikenal sangat kuat. (2) Masyarakat Arab --khususnya pada masa turunnya Al-Quran-- dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja: Kesederhanaan ini, menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup, disamping menambah ketajaman pikiran dan hafalan. (3) Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusastraan; mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu. (4) Al-Quran mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh kaum Muslim. Kaum Muslim, disamping mengagumi keindahan bahasa Al-Quran, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini bahwa ayat-ayat Al-Quran adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat. (5) Al-Quran, demikian pula Rasul saw., menganjurkan kepada kaum Muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari Al-Quran dan anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat. (6) Ayat-ayat Al-Quran turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Disamping itu, ayat-ayat Al-Quran turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya. (7) Dalam Al-Quran, demikian pula hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita --lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan Firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya. Faktor-faktor di atas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat Al-Quran. Itulah sebabnya, banyak riwayat sejarah yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi saw. yang menghafalkan Al-Quran. Bahkan dalam peperangan Yamamah, yang terjadi beberapa saat setelah wafatnya Rasul saw., telah gugur tidak kurang dari tujuh puluh orang penghafal Al-Quran.4 Walaupun Nabi saw. dan para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Quran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw. lalu memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan alat tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya disamping kemungkinan besar tidak mencakup seluruh ayat Al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk "kitab" pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.5 Penulisan Mushhaf Dalam uraian sebelumnya dikemukakan bahwa ketika terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran yang gugur. Hal ini menjadikan 'Umar ibn Al-Khaththab menjadi risau tentang "masa depan Al-Quran". Karena itu, beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah ditulis pada masa Rasul. Walaupun pada mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut --dengan alasan bahwa pengumpulan semacam itu tidak dilakukan oleh Rasul saw.-- namun pada akhirnya 'Umar r.a. dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat membentuk suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu. Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan --apalagi beliau termasuk salah seorang yang ditugaskan oleh Rasul pada masa hidup beliau untuk menuliskan wahyu Al-Quran. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid pun memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada seluruh kaum Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat Al-Quran yang mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Dalam hal ini, Abu Bakar r.a. memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua syarat: Pertama, harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain. Kedua, tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan di hadapan Nabi saw. Karena, seperti yang dikemukakan di atas, sebagian sahabat ada yang menulis atas inisiatif sendiri. Untuk membuktikan syarat kedua tersebut, diharuskan adanya dua orang saksi mata. Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menemukan kesulitan karena beliau dan sekian banyak sahabat menghafal ayat Laqad ja'akum Rasul min anfusikum 'aziz 'alayh ma 'anittun harish 'alaykum bi almu'minina Ra'uf al-rahim (QS 9:128). Tetapi, naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw. tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah tersebut ditemukan juga di tangan seorang sahabat yang bernama Abi Khuzaimah Al-Anshari. Demikianlah, terlihat betapa Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara keotentikan Al-Quran. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu. Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu dikemukakan bahwa Rasyad Khalifah, yang menemukan rahasia angka 19 yang dikemukakan di atas, mendapat kesulitan ketika menemukan bahwa masing-masing kata yang menghimpun Bismillahirrahmanirrahim, kesemuanya habis terbagi 19, kecuali Al-Rahim. Kata Ism terulang sebanyak 19 kali, Allah sebanyak 2.698 kali, sama dengan 142 X 19, sedangkan kata Al-Rahman sebanyak 57 kali atau sama dengan 3 X 19, dan Al-Rahim sebanyak 115 kali. Di sini, ia menemukan kejanggalan, yang konon mengantarnya mencurigai adanya satu ayat yang menggunakan kata rahim, yang pada hakikatnya bukan ayat Al-Quran. Ketika itu, pandangannya tertuju kepada surah Al-Tawbah ayat 128, yang pada mulanya tidak ditemukan oleh Zaid. Karena, sebagaimana terbaca di atas, ayat tersebut diakhiri dengan kata rahim. Sebenarnya, kejanggalan yang ditemukannya akan sirna, seandainya ia menyadari bahwa kata rahim pada ayat Al-Tawbah di atas, bukannya menunjuk kepada sifat Tuhan, tetapi sifat Nabi Muhammad saw. Sehingga ide yang ditemukannya dapat saja benar tanpa meragukan satu ayat dalam Al-Quran, bila dinyatakan bahwa kata rahim dalam Al-Quran yang menunjuk sifat Allah jumlahnya 114 dan merupakan perkalian dari 6 X 19. Penutup Demikianlah sekelumit pembicaraan dan bukti-bukti yang dikemukakan para ulama dan pakar, menyangkut keotentikan ayat-ayat Al-Quran. Terlihat bagaimana Allah menjamin terpeliharanya Kitab Suci ini, antara lain berkat upaya kaum beriman. Catatan kaki 1 'Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, t.t., h. 50. 2 Muhammad Husain Al-Thabathabaly, Al-Qur'an fi Al-Islam, Markaz I'lam Al-Dzikra Al-Khamisah li Intizhar Al-Tsawrah Al-Islamiyah, Teheran, h. 175. 3 Mustafa Mahmud, Min Asrar Al-Qur'an, Dar Al-Ma`arif, Mesir, 1981, h. 64-65. 4 'Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-`Irfan i `Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Kairo, 1980, jilid 1, h. 250. 5 Ibid., h. 252. Bukti Kebenaran Al-Quran Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23). Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88). Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan." Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk untuk seluruh umat manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari segi pengertian kebahasaan, berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu. Dalam syari'at ditemukan sekian banyak rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang hijau warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua, persis sama dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah" atau larangan-larangan agama. Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan peraturan lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah mati. Di sini, siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang sangat jauh itu? Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah kematian. Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah "Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Mahaluas. "Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya itu dinamai "agama". Sayang bahwa tidak semua manusia dapat berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh informasi-Nya. Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul. Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus dari Tuhan. Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai manusia biasa (bukan pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai "mukjizat". Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman. Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat. Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT. Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit." Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48). Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab --karena keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini. Seperti diketahui, seringkali Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang. Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan secara sangat singkat sebagai berikut. A. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya: Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali; Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali; Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali; Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali; Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali; Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali; Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali; Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali; Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali. B. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya. Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali; Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali; Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali; Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali; Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali; Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali. C. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya. Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali; Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali; Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali; Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali; Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali. D. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya. Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali; Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali; Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali; Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali. E. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus. (1) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun. (2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat. (3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali. Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di atas. Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini? Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini. Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui! Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya. Sejarah Turunnya dan Tujuan Pokok Al-Quran Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9). Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul saw., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir (QS 16:44). Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw., Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari Al-Quran: Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup (QS 47:24). Mempelajari Al-Quran adalah kewajiban. Berikut ini beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Atau, dengan kata lain, mengenai "memahami Al-Quran dalam Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan."( Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek kehidupan. Kekaburan mengenai hal ini dapat menimbulkan ekses-ekses yang mempengaruhi perkembangan pemikiran kita dewasa ini dan generasi-generasi yang akan datang. Dalam bukunya, Science and the Modern World, A.N. Whitehead menulis: "Bila kita menyadari betapa pentingnya agama bagi manusia dan betapa pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara keduanya."6 Tulisan Whithead ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu, gereja/pendeta di satu pihak dan para ilmuwan di pihak lain, tidak dapat mencapai kata sepakat tentang hubungan antara Kitab Suci dan ilmu pengetahuan; tetapi agama yang dimaksudkannya dapat mencakup segenap keyakinan yang dianut manusia. Demikian pula halnya bagi umat Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan agama dan sejarah perkembangan manusia pada generasi-generasi yang akan datang. Periode Turunnya Al-Quran Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan. Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik. Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia. Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas. Para ulama 'Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi, di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun pada hakikatnya periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok Al-Quran. Periode Pertama Diketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu pertama (iqra'), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: "Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan" (QS 74:1-2). Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya: Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak darinya, dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah Tuhanmu (QS 74:1-7). Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya: Wahai orang yang berselimut, bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya, yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan bacalah Al-Quran dengan tartil (QS 73:1-4). Perintah ini disebabkan karena Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5). Ada lagi ayat-ayat lain, umpamanya: Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat sombong kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah: aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS 26:214-216). Demikian ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau demi suksesnya dakwah. Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af'al Allah, misalnya surah Al-A'la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut hadis Rasulullah "sebanding dengan sepertiga Al-Quran", karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT. Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma'un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong. Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok: Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran. Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: "Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami." Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya. Periode Kedua Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah. Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya mereka semua --termasuk Rasulullah saw.-- berhijrah ke Madinah. Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (QS 16:125). Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad: "Aku pertakuti kamu sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum 'Ad dan Tsamud" (QS 41:13). Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?" Katakanlah, wahai Muhammad: "Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu sekalian membakar." Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan: "Jadilah!"Maka jadilah ia (QS 36:78-82). Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: "Siapakah di antara manusia dan filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan dengannya."7 Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat. Periode Ketiga Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti: Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda? Dengan satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini, Al-Quran menyarankan: Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi golongan yang mengingkari janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang memulai peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman. Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan kamu sekalian serta menghina-rendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu semua serta memuaskan hati segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14). Adakalanya pula merupakan perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya, seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut, serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91). Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, seperti: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian mendapat peringatan (QS 24:27). Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah, sambil memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh orang korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140). Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang ditujukan kepada ahli Kitab ialah: Katakanlah (Muhammad): "Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah." Maka bila mereka berpaling katakanlah: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim" (QS 3:64). Dakwah menurut Al-Quran Dan ringkasan sejarah turunnya Al-Quran, tampak bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan pertimbangan dakwah: turun sedikit demi sedikit bergantung pada kebutuhan dan hajat, hingga mana kala dakwah telah menyeluruh, orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Ketika itu berakhirlah turunnya ayat-ayat Al-Quran dan datang pulalah penegasan dari Allah SWT: Hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmat untukmu serta telah Kuridhai Islam sebagai agamamu (QS 5:3). Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Sejarah yang diungkapkan adalah sejarah bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Jazirah Arab. Peristiwa-peristiwa yang dibawakan adalah peristiwa-peristiwa mereka. Adat-istiadat dan ciri-ciri masyarakat yang dikecam adalah yang timbul dan yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Tetapi ini bukan berarti bahwa ajaran-ajaran Al-Quran hanya dapat diterapkan dalam masyarakat yang ditemuinya atau pada waktu itu saja. Karena yang demikian itu hanya untuk dijadikan argumentasi dakwah. Sejarah umat-umat diungkapkan sebagai pelajaran/peringatan bagaimana perlakuan Tuhan terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak mereka. Sebagai suatu perbandingan, Al-Quran dapat diumpamakan dengan seseorang yang dalam menanamkan idenya tidak dapat melepaskan diri dari keadaan, situasi atau kondisi masyarakat yang merupakan objek dakwah. Tentu saja metode yang digunakannya harus sesuai dengan keadaan, perkembangan dan tingkat kecerdasan objek tersebut. Demikian pula dalam menanamkan idenya, cita-cita itu tidak hartya sampai pada batas suatu masyarakat dan masa tertentu; tetapi masih mengharapkan agar idenya berkembang pada semua tempat sepanjang masa. Untuk menerapkan idenya itu, seorang da'i tidak boleh bosan dan putus asa. Dan dalam merealisasikan cita-citanya, ia harus mampu menyatakan dan mengulangi usahanya walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Demikian pula ayat-ayat Al-Quran yang mengulangi beberapa kali satu persoalan. Tetapi untuk menghindari terjadinya perasaan bosan, susunan kata-katanya --oleh Allah SWT-- diubah dan dihiasi sehingga menarik pendengarannya. Bukankah argumentasi-argumentasi Al-Quran mengenai soal-soal yang dipaparkan dapat dipergunakan di mana, kapan dan bagi siapa saja, serta dalam situasi dan kondisi apa pun? Argumen kosmologis (cosmological argument) --yang oleh Immanuel Kant dikatakan sebagai suatu argumen yang sangat dikagumi dan merupakan salah satu dalil terkuat mengenai wujud Pencipta (Prime Cause)-- merupakan salah satu argumentasi Al-Quran untuk maksud tersebut. Bukankah juga penolakan Al-Quran terhadap syirik (politeisme) meliputi segala macam dan bentuk politeisme yang telah timbul, termasuk yang dianut oleh orang-orang Arab ketika turunnya Al-Quran? Dapat diperhatikan pula, bahwa tiada satu filsafat pun yang memaparkan perincian-perinciannya dari A sampai Z dalam bentuk abstrak tanpa memberikan contoh-contoh hidup dalam masyarakat tempat ia muncul atau berkembang. Cara yang demikian ini tidak mungkin akan mewujud; kalau ada, maka ia hanya sekadar merupakan teori-teori belaka yang tidak dapat diterapkan dalam suatu masyarakat. Tidakkah menjadi keharusan satu gerakan yang bersifat universal untuk memulai penyebarannya di forum internasional. Tapi, cara paling tepat adalah menyebarkan ajaran-ajarannya dalam masyarakat tempat timbulnya gerakan itu, dimana penyebar-penyebarnya mengetahui bahasa, tradisi dan adat-istiadat masyarakat tadi. Kemudian, bila telah berhasil menerapkan ajaran-ajarannya dalam suatu masyarakat tertentu, maka masyarakat tersebut dapat dijadikan "pilot proyek" bagi masyarakat lainnya. Hal ini dapat kita lihat pada Fasisme, Zionisme, Komunisme, Nazisme, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran itu khusus untuk masyarakat pada masa diturunkannya saja. Tujuan Pokok Al-Quran Dari sejarah diturunkannya Al-Quran, dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Quran mempunyai tiga tujuan pokok: Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif. Petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, "Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat." Catatan kaki 6 Whitehead, Science and the Modern World, hal. 180. 7 Lihat 'Abdul Halim Mahmud, Al-Tafsir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, 1982, h. 73-74. Kebenaran Ilmiah Al-Quran Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia, keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara yang hak dan batil. (QS 2:185). Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir Al-Quran, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, beliau --antara lain-- berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan. Menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Quran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam Al-Quran; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi "social psychology" (psikologi sosial) bukan pada sisi "history of scientific progress" (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama Kufah)8 mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi "hidayah" atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya? Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikriy Al-Hadits, menulis: "Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut."9 Selanjutnya beliau menerangkan: "Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi bergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh." Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.10 Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuannya sendiri. Hal ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Di dalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah." (QS 34:36). Demikianlah Al-Quran telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya. Sistem Penalaran menurut Al-Quran Salah satu faktor terpenting yang dapat menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam diri manusia sendiri. Para psikolog menerangkan bahwa tahap-tahap perkembangan kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai suatu ide umumnya melalui tiga fase. Fase pertama, menilai baik buruknya suatu ide dengan ukuran yang mempunyai hubungan dengan alam kebendaan (materi) atau berdasarkan pada pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan primer. Fase kedua, menilai ide tersebut atas keteladanan yang diberikan oleh seseorang; dan atau tidak terlepas dari penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Ia menjadi baik, bila tokoh A yang melakukan atau menyatakannya baik dan jelek bila dinyatakannya jelek. Fase ketiga (fase kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide didasarkan atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu sendiri, tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal yang menguatkan atau melemahkannya (materi dan pribadi). Sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa pertama dalam pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau penilaian segolongan orang Islam terhadap nilai al-fikrah Al-Quraniyyah (ide yang dibawa oleh Al-Quran), adalah bahwa ide-ide tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pribadi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud misalnya, sekelompok kaum Muslim cepat-cepat meninggalkan medan pertempuran ketika mendengar berita wafatnya Rasulullah saw., yang diisukan oleh kaum musyrik. Sikap keliru ini lahir akibat pandangan mereka terhadap nilai suatu ide baru sampai pada fase kedua, atau dengan kata lain belum mencapai tingkat kedewasaannya. Al-Quran tidak menginginkan masyarakat baru yang dibentuk dengan memandang atau menilai suatu ide apa pun coraknya hanya terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah ayat-ayat: Muhammad tiada lain kecuali seorang Rasul. Sebelum dia telah ada rasul-rasul. Apakah jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu berpaling ke agamamu yang dahulu? Siapa-siapa yang berpaling menjadi kafir; ia pasti tidak merugikan Tuhan sedikit pun, dan Allah akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur kepadaNya (QS 3:144). Ayat tersebut walaupun dalam bentuk istifham, tetapi --sebagaimana diterangkan oleh para ulama Tafsir-- menunjukkan "istifham taubikhi istinkariy"11 yang berarti larangan menempatkan "al-fikrah Al-Qur'aniyyah" hanya sampai pada fase kedua. Ayat ini merupakan dorongan kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan pandangan dan penilaiannya atas suatu ide ke tingkat yang lebih tinggi sampai pada fase ketiga atau fase kedewasaan. Ayat-ayat ini juga melepaskan belenggu-belenggu yang dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dalam alam pikiran manusia. Untuk lebih menekankan kepentingan ilmu pengetahuan alam masyarakat, Al-Quran memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan ujian kepada mereka: Tanyakanlah hai Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? (QS 39:9). Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat. Demikian juga ayat, Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? (QS 3:66). Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang kemudian menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ia-lah yang membantu Muhammad bin Ahmad menemukan angka nol pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa penemuan-penemuan tersebut, Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan meraba-raba dalam alam gelap gulita. Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu akan mengalami nasib seperti Galileo, yang menjadi korban hasil penemuannya. Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-Quran untuk dibenarkan atau dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami paparkan beberapa ciri-ciri ilmu pengetahuan. Ciri Khas Ilmu Pengetahuan Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari --meskipun oleh para ilmuwan-- adalah bahwa ia tidak mengenal kata "kekal". Apa yang dianggap salah di masa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya di abad modern. Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu saja, tetapi terutama juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu, misalnya, segala sesuatu diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikatagorikan dalam konsep tersebut. Sekarang ini kita dapati psikologi yang membahas mengenai jiwa, budi dan semangat, telah mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dahulu, persoalan-persoalan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata-senjata nuklir, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut; mereka tidak mengabaikan persoalan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan. Teori-teori ilmiah juga silih berganti. Qawanin Al-Thabi'ah (Natural Law) yang dahulu dianggap pasti, tak mengizinkan suatu kebebasan pun. Sekarang ini ia hanya dinilai sebagai "summary of statictical averages" (ikhtisar dari rerata statistik). Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma di suatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiah --terutama menurut Ilmu Pasti-- adalah "benar", sedangkan kenyataannya belum tentu demikian. Salah satu sebab dari kesalahan ini adalah karena sering kali titik tolak dari pemikiran manusia berdasarkan pancaindera atau perasaan umum. Perasaan umumlah yang, misalnya, menyatakan bahwa sepotong baja adalah padat, padahal sinar U memperlihatkan bahwa ia berpori. Karenanya, tidak heran kalau Imam Al-Ghazali pada suatu masa hidupnya tidak mempercayai indera. Beliau menulis dalam kitabnya Al-Munqidz min Al-Dhalal: "Bagaimana kita dapat mempercayai pancaindera, dimana mata merupakan indera terkuat, sedangkan bila ia melihat ke satu bayangan dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga dikatakanlah bahwa bayangan tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan pandangan mata, setelah beberapa saat, diketahui bahwa bayangan tadi tak bergerak, bukan disebabkan gerakan spontan tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia sebenarnya tak pernah berhenti; begitu juga mata memandang kepada bintang, ia melihatnya kecil bagaikan uang dinar, akan tetapi alat membuktikan bahwa bintang lebih besar daripada bumi."12 Segala undang-undang ilmiah yang diketahui hanya menyatakan saling bergantinya "psychological states" (keadaan-keadaan jiwa) yang ditentukan pada diri kita oleh sebab-sebab tertentu (mengambil sebab dari musabab atau dari ma'lul kepada 'illah). Ini menunjukkan bahwa segala undang-undang ilmiah pada hakikatnya relatif dan subjektif. Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui. Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas. Kalau demikian ini sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan dan peraturannya, maka dapatkah kita menguatkannya dengan ayat-ayat Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti benar? Relakah kita mengubah arti ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau belum mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri untuk meragukan kebenaran Al-Quran, kitab akidah dan petunjuk, terutama setelah ternyata terdapat kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran? Demikian juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran sangat berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya tidak kurang bahayanya dengan apa yang timbul di Eropa ketika gereja mengingkari teori bulatnya bumi dan peredarannya mengelilingi matahari. Perkembangan Tafsir Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang sangat mendalam terhadap perkembangan akal-pikirannya. Ini juga berarti mempunyai pengaruh dalam pengertian terhadap ayat-ayat Al-Quran. Dalam abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Seorang pernah bertanya kepada Sayyidina Abu Bakar, apakah arti kalimat abba dalam ayat: wa fakihah wa abba. Beliau menjawab: "Di bumi apakah aku berpijak, dengan langit apakah aku berteduh bila aku mengatakan sesuatu dalam Al-Quran menurut pendapatku". Bahkan, sebagian di antara para ulama, bila ditanya mengenai pengertian satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apa pun. Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Said Ibn Musayyab, bila ditanya mengenai tafsir suatu ayat, beliau berkata: "Kami tidak berbicara mengenai Al-Quran sedikit pun." Demikian juga halnya dengan Sali bin 'Abdullah bin 'Umar, Al-Qasim bin Abi Bakar, Nafi', Al-Asma'i, dan lain-lain. Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Quran selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti: pengetahuan bahasa yang cukup, misalnya, menguasai nahw, sharaf, balaghah, dan isytiqaq; juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira'ah, Asbab Al-Nuzul, Nasikh-Mansukh, dan lain sebagainya. Sejarah penafsiran Al-Quran dimulai dengan menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah saw., atau pendapat para sahabat. Penafsiran demikian kemudian berkembang, sehingga dengan tidak disadari, bercampurlah hadis-hadis shahih dengan Isra'iliyat (kisah-kisah yang bersumber dari Ahli Kitab yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau pikiran yang sehat). Hal ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar. Tafsir Al- Thabari, misalnya, adalah satu kitab tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian penulisnya, Al-Thabari, men-tarjih (menguatkan) salah satu pendapat di antaranya. Sedangkan Tafsir Fakhr Al-Razi (w. 606 H/1209 M) adalah satu kitab yang lebih banyak menggambarkan pendapat Fahr Al-Razi sendiri; sementara riwayat-riwayat terdahulu tidak banyak dituliskan, kecuali dalam batas-batas yang sangat sempit. Demikianlah, dan dari masa ke masa timbullah kemudian beraneka warna corak tafsir: ada yang berdasarkan nalar penulisnya saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan-persoalan yang dibahas pun bermacam-macam: ada yang hanya membahas arti dari kalimat-kalimat yang sukar saja (Tafsir Gharib), seperti Al-Zajjaj dan Al-Wahidiy; ada yang menulis kisah-kisah, seperti Al-Tsa'labiy dan Al-Khazin; ada yang memperhatikan persoalan balaghah (sastra bahasa) seperti Al-Zamakhsyari; atau persoalan ilmu pengetahuan, logika dan filsafat seperti Al-Fakhr Al-Razi; atau fiqih seperti Al-Qurthubiy; dan ada pula yang hanya merupakan "terjemahan" kalimat-kalimatnya saja seperti Tafsir Al-Jalalain. Agaknya benar juga pandangan sementara pakar, bahwa "Sepanjang sejarah, tidak dikenal satu kitab apa pun yang telah ditafsirkan, diterangkan, dikumpulkan interpretasi dan pendapat para ahli terhadapnya dalam kitab yang berjilid-jilid seperti halnya Al-Quran." Penafsiran ilmiah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama berlangsung. Tafsir Fakhr Al-Raziy, misalnya, adalah satu contoh dari penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, sehingga sebagian ulama tidak menamakan kitabnya sebagai Kitab Tafsir. Karena persoalan-persoalan filsafat dan logika disinggung dengan sangat luas. Abu Hayyan dalam tafsirnya menulis: "Al-Fakhr Al-Razi di dalam Tafsirnya mengumpulkan banyak persoalan secara luas yang tidak dibutuhkan dalam Ilmu Tafsir. Karenanya sebagian ulama berkata: 'Di dalam Tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir'."13 Kelanjutan dari penafsiran ilmiah ini adalah penafsiran yang sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Dahulu ada orang yang menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa planet hanya tujuh (sebagaimana pendapat ahli-ahli Falak ketika itu) dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa ada tujuh langit. Teori tujuh planet tersebut ternyata salah. Karena planet-planet yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan dalam tata surya saja berjumlah 10 planet, disamping jutaan bintang yang tampaknya memenuhi langit, kesepuluh planet itu hanya laksana setetes air dalam lautan bila dibandingkan dengan banyaknya bintang di seluruh angkasa raya. Setiap galaksi, menurut mereka, rata-rata memiliki seratus biliun bintang, sedangkan seluruh ruang alam semesta didiami oleh berbiliun-biliun galaksi. Jadi, yang membenarkan bahwa planet hanya tujuh berdasarkan ayat-ayat tadi, nyata-nyata telah keliru. Kekeliruan tersebut merupakan satu dosa besar bila dia memaksakan orang untuk mempercayai pendapat tersebut atas nama Al-Quran, atau dia meyakini hal tersebut sebagai satu akidah Al-Quran. Setiap Muslim wajib mempercayai segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Quran. Bila seseorang membenarkan satu teori ilmiah berdasarkan Al-Quran, berarti pula dia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai teori tersebut. Kekeliruan mereka itu serupa dengan kekeliruan sebagian cendekiawan Islam yang mengingkari teori evolusi Darwin (1804-1872) dengan beberapa ayat Al-Quran, atau mereka yang membenarkan dengan ayat-ayat lainnya. Memang, tak sedikit dari cendekiawan Islam yang mengakui kebenaran teori tersebut. Bahkan lima abad sebelum Charles Darwin, 'Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406) menulis dalam kitabnya, Kitab Al-'Ibar fi Daiwani Al-Mubtada'i wa Al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal I) sebagai berikut: "Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya dan berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tingkat menilik dan berpikir." Yang dimaksud dengan kera oleh beliau ialah sejenis makhluk yang --oleh para penganut evolusionisme-- disebut Anthropoides. Ibnu Khaldun dan cendekiawan-cendekiawan lainnya, ketika mengatakan atau menemukan teori tersebut, bukannya merujuk kepada Al-Quran, tetapi berdasarkan penyelidikan dan penelitian mereka. Walaupun demikian, ada sementara Muslim yang kemudian berusaha membenarkan teori evolusi dengan ayat-ayat Al-Quran seperti: Mengapakah kamu sekalian tidak memikirkan/mempercayai kebesaran Allah, sedangkan Dia telah menjadikan kamu berfase-fase (QS 71:13-14). Fase-fase ini menurut mereka bukan sebagaimana apa yang kami pahami dan yang diterangkan oleh Al-Quran dalam surah Al-Mu'minun ayat 11-14. Tapi mereka menafsirkannya sesuai dengan paham penganut-penganut teori Darwin dalam proses kejadian manusia. Ayat, Adapun buih maka akan lenyaplah ia sebagai sesuatu yang tak bernilai, sedangkan yang berguna bagi manusia tetap tinggal di permukaan bumi (QS 13:17) dijadikan bukti kebenaran teori "struggle for life" yang menjadi salah satu landasan teori Darwin. Hemat penulis, ayat-ayat tadi, dan yang semacamnya, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguatkan dan membenarkan teori Darwin, tetapi ini bukan berarti bahwa teori tadi salah menurut Al-Quran. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menerangkan dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, sebagai berikut: "Mereka yang mengingkari teori evolusi dapat mengingkarinya dari diri mereka sendiri, karena mereka tidak puas terhadap kebenaran argumentasi-argumentasinya. Tetapi mereka tidak boleh mengingkarinya berdasarkan Al-Quran Al-Karim, karena mereka tidak dapat menafsirkan kejadian asal-usul manusia dari tanah dalam satu penafsiran saja kemudian menyalahkan penafsiran-penafsiran lainnya."14 Atau apa yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar. "Teori Darwin tidak membatalkan --bila teori tersebut benar dan merupakan hal yang nyata-- tentang satu dasar dari dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan satu ayat dari ayat-ayat Al-Quran. Saya mengenal dokter-dokter dan lainnya yang sependapat dengan Darwin. Mereka itu orang-orang mukmin dengan keimanan yang benar dan Muslim dengan keislaman sejati; mereka menunaikan sembahyang dan kewajiban-kewajiban lainnya, meninggalkan keonaran, dosa dan kekejaman yang dilarang Allah SWT sesuai dengan ajaran-ajaran agama mereka. Tetapi teori tersebut adalah ilmiah, bukan persoalan agama sedikit pun."15 Kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran; setiap ditemukan suatu teori cepat-cepat pula kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk membenarkan atau menyalahkannya, karena apabila teori yang dibenarkan itu ternyata salah atau sebaliknya, maka musuh-musuh Islam mendapat kesempatan yang sangat baik untuk menyalahkan Kitab Allah sambil mencemooh kaum Muslim. Jalan yang lebih tepat guna membantah cemoohan ialah dengan menghindarkan sebab-sebab cemoohan itu: Janganlah kamu mencerca orang-orang yang menyembah selain Allah, karena hal ini menjadikan mereka mencerca Allah dengan melampaui batas, karena kebodohan mereka (QS 6:108). Ayat ini melarang kita mencemoohkan mereka, karena cercaan kita merupakan sebab dari cercaan mereka kepada Allah SWT. Begitu juga halnya dalam masalah Al-Quran: jangan membenarkan atau menyalahkan suatu teori dengan ayat-ayat Allah (Al-Quran) yang memang pada dasarnya tidak membahas persoalan-persoalan tersebut secara mendetil. Tidak membahas secara mendetil, karena tidak dapat diingkari bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung secara sepintas lalu kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum ditemukan atau diketahui oleh manusia di masa turunnya Al-Quran, seperti firman Allah SWT: Apakah orang-orang kafir tidak berpikir sehingga tidak mengetahui bahwa langit dan bumi tadinya bersatu/bertaut, kemudian kami ceraikan keduanya dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air (QS 21:30). Ayat ini menerangkan bahwa langit dan bumi, tadinya merupakan suatu gumpalan. Dan pada suatu masa yang tidak diterangkan oleh Al-Quran, gumpalan tersebut dipecahkan atau dipisah oleh Allah SWT. Hanya ini yang dimengerti dari ayat tersebut dan merupakan kewajiban setiap Muslim untuk mempercayainya. Seorang Muslim tidak dapat menyatakan bahwa ayat tersebut menguatkan suatu teori, atau lebih tepat dikatakan sebagai hipotesis tentang pembentukan matahari dan planet-planet lainnya, apa pun teori tersebut. Setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya mengenai terjadinya planet-planet tata surya. Ia boleh berkata bahwa ia berasal bola gas yang berotasi cepat, yang lama kelamaan pecah dan terpisah-pisah menjadi planet-planet kecil akibat panas yang sangat keras. Ia juga dapat menyatakan bahwa terjadinya planet sebagai akibat tabrakan antara dua matahari, atau disebabkan karena pecahnya matahari itu sendiri, dan lain-lain. Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan apa yang dianggapnya benar, tetapi ia tidak berhak untuk menguatkan pendapatnya dengan ayat tersebut dengan memahaminya lebih dari apa yang tersimpul didalamnya. Karena dengan demikian ia menjadikan pendapat tersebut sebagai satu akidah dari 'aqidah Quraniyyah. Dan ia juga tidak berhak untuk menyalahkan satu teori atas nama Al-Quran kecuali bila ia membawakan satu nash yang membatalkannya. Catatan kaki 8 Jumlah yang populer dan luas dipegang adalah 6.666 ayat. Tetapi, jumlah ini tidak diketahui dasarnya. Terdapat juga pandangan lain. Perbedaan jumlah ini disebabkan oleh perbedaan cara menghitung basmalah di setiap awal surat sebagai ayat tersendiri. Juga ayat seperti Alif lam mim, dan lain-lain. 9 Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969, h. 30. 10 Ibid. 11 Pertanyaan yang mengandung kecaman, sekaligus larangan untuk melakukannya. 12 Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, komentar 'Abdul Halim Mahmud, Anglo Al-Mishriyyah, Kairo, 1964, h. 15. 13 Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhith, Dar Al-Fikr, Kairo 1979, Jilid I, h. 13. 14 Bandingkan dengan 'Abbas Mahmud Al-Aqqad, Al-Insan fi Al-Quran Al-Karim, Dar Al-Hilal, Kairo, t.t., h. 171. 15 Al-Manar, Sya'ban 1327/September 1909 Hikmah Ayat Ilmiah Al-Quran Ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh Al-Quran, tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan ke-Esa-an-Nya, serta mendorong manusia seluruhnya untuk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya. Mengenai hal ini, Mahmud Syaltut mengatakan dalam tafsirnya: "Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan Al-Quran untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan."16 Didalam asbab al-nuzul diterangkan bahwa pada suatu hari datang seseorang kepada Rasul dan bertanya: "Mengapakah bulan kelihatan kecil bagaikan benang, kemudian membesar sampai menjadi sempurna pumama?" Lalu, Rasulullah saw., mengembalikan, jawaban pertanyaan tersebut kepada Allah SWT yang berfirman: Mereka bertanya kepadamu perihal bulan. Katakanlah bulan itu untuk menentukan waktu bagi manusia dan mengerjakan haji (QS 2:189). Jawaban Al-Quran bukan jawaban ilmiah, tetapi jawabannya sesuai dengan tujuan-tujuan pokoknya. Ada juga yang bertanya mengenai "ruh", lalu Al-Quran menjawab: Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: "Ruh adalah urusan Tuhanku, kamu sekalian hanya diberi sedikit ilmu pengetahuan." (QS 17:85). Al-Quran tidak menerangkan hakikat ruh, karena tujuan pokok Al-Quran bukan menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tetapi tujuannya adalah memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Syaikh Mahmud Syaltut setelah membawakan kedua ayat tersebut, lalu menulis. "Tidakkah terdapat dalam hal ini (kedua ayat tersebut) bukti nyata yang menerangkan bahwa Al-Quran bukan satu kitab yang dikehendaki Allah untuk menerangkan haqaiq al-kawn (kebenaran-kebenaran ilmiah dalam alam semesta), tetapi ia adalah kitab petunjuk, ishlah dan tasyri'."17 Dari sini jelas pula bahwa yang dimaksud oleh ayat ma farrathna fi al-kitab min syay' (QS 6:38) dan ayat: wa nazzalna 'alayka al-kitab tibyanan likulli syay' QS 16:89) adalah bahwa Al-Quran tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran, yaitu masalah-masalah akidah, syari'ah dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan. Mengapa Tafsir Ilmiah Meluas? Sejak pertengahan abad ke-19, umat Islam menghadapi tantangan hebat, bukan hanya terbatas dalam bidang politik atau militer, tetapi meluas hingga meliputi bidang sosial dan budaya. Tantangan ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pandangan hidup serta pemikiran golongan besar umat Islam. Di sana-sini mereka melihat kekuatan Barat dan kemajuan ilmu pengetahuan, dan di lain pihak mereka merasakan kelemahan umat serta kemunduran dalam lapangan kehidupan dan ilmu pengetahuan. Keadaan yang serupa ini menimbulkan perasaan rendah diri atau inferiority complex pada sebagian besar kaum Muslim. Para cendekiawan Islam berusaha memberi reaksi walaupun dengan cara-cara yang tidak tepat. Ada di antara mereka yang mengambil sifat apatis, acuh tak acuh terhadap kemajuan tersebut; ada pula yang dengan spontan meletakkan senjata untuk menyerah dengan mengikuti segala sesuatu yang bercorak Barat --meskipun dalam hal-hal yang menyangkut kepribadian atau adat-istiadat. Adapula yang menentang haluan ini dengan mengajak masyarakat Islam menerima dan mempelajari ilmu pengetahuan dan sistem yang dipergunakan Barat dalam mencapai kemajuan tanpa meninggalkan kepribadian atau prinsip-prinsip agama. Bukan tempatnya di sini membicarakan sejarah perkembangan pemikiran umat Islam dari masa ke masa. Tetapi satu hal yang tidak dapat diingkari adalah bahwa sebagian umat Islam sejak pertengahan abad ke-19 diliputi oleh perasaan rendah diri dan berusaha mengadakan kompensasi atau melarikan diri dengan bermacam-macam cara. Salah satu caranya ialah mengingat kejayaan-kejayaan Islam dan peninggalan nenek moyang, yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan adab al-fakhri wa al-tamjid (sastra kebanggaan dan kejayaan). Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran masyarakat Islam sangat besar dalam menafsirkan Al-Quran. Setiap ada penemuan baru, para cendekiawan Islam cepat-cepat berkata: Al-Quran sejak lama, sejak sekian abad, telah menyatakan hal ini; Al-Quran mendahului ilmu pengetahuan dalam penemuannya; dan sebagainya, yang semua itu tiada lain adalah kompensasi perasaan inferiority complex tadi. Di lain pihak para penemu tadi hanya tersenyum mengejek melihat keadaan umat Islam, dan senyuman itu terkadang disertai dengan kata-kata sinis: Kalau demikian mengapa tuan-tuan tidak menyampaikan hal ini sebelum kami menghabiskan waktu dalam penyelidikan? Tidak dapat diingkari bahwa mengingat kejayaan lama merupakan obat bius yang dapat meredakan rasa sakit, meredakan untuk sementara, tetapi bukan menyembuhkannya. Ia hanya sekadar memberikan jawaban sementara terhadap tantangan Barat. Di balik itu ia menunjukkan kelemahan umat. Memang, mengingat kejayaan lama kadang-kadang dapat merupakan pendorong untuk maju ke depan, atau setidak-tidaknya dapat menjaga kepribadian masyarakat. Tetapi kita juga harus waspada dan berhati-hati terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari cara demikian yang bila berlarut-larut dapat membekukan pemikiran. Membanggakan kejayaan lama dapat membangkitkan emosi dan memberikan kepuasan, tetapi ia juga dapat menimbulkan negatifisme dan konservatifisme; sementara kedua sifat ini tidak sejalan dengan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan progresif. Faktor kedua yang menjadikan sebagian cendekiawan Islam membenarkan satu teori ilmiah, menurut hemat kami, adalah akibat pertentangan yang hebat antara gereja dan ilmuwan sejak abad ke-18 di Eropa. Pertentangan ini disebabkan oleh karena penafsir-penafsir Kitab Perjanjian Lama/Baru yang menganut teori-teori tertentu yang diyakini kebenaran dan kesuciannya, sehingga siapa yang mengingkarinya dianggap kafir (keluar dari agama) dan berhak mendapat kutukan. Di lain pihak para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah, tetapi hasil penyelidikan mereka bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh gereja. Pertentangan antara kedua belah pihak terjadi ketika ilmuwan menyatakan bahwa umur dunia --berdasarkan penelitian geologi-- lebih tua daripada umur yang ditetapkan oleh gereja yang berdasarkan penafsiran Kitab Suci. Pertentangan ini memuncak dengan lahirnya teori Charles Darwin (1859) tentang The Origin of Man dan teori-teori lainnya, yang semua itu dihadapi gereja dengan cara penindasan dan kekejaman. Akibatnya tidak sedikit ahli-ahli ilmu pengetahuan yang menjadi korban hasil penemuannya, seperti Galileo, Arius, Bruno Bauer, George van Paris, dan lain-lain. Hal ini menimbulkan keyakinan di kalangan umum bahwa ilmu pengetahuan bertentangan dengan agama. Di sini kita tidak bermaksud menceritakan sejarah agama Kristen, tetapi pada butir terakhir ini kita ingin berhenti sejenak untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap alam pikiran cendekiawan Muslim. Dalam dunia Kristen timbul golongan pembela agama yang disebut "apologetika" yang bertujuan menyucikan kembali agama dari setiap anasir yang hendak diselewengkannya. Pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan ini (terutama dalam dunia Kristen) memberikan pengaruh kepada sementara cendekiawan Muslim yang kuatir kalau-kalau penyakit pertentangan ini timbul pula dalam dunia Islam, sehingga mereka senantiasa berusaha membuktikan hubungan yang sangat erat antara ilmu pengetahuan dengan agama (terutama Al-Quran). Dari titik tolak ini, mereka sering tergelincir karena terdorong oleh emosi dan semangat yang meluap-luap untuk membuktikan tidak adanya pertentangan tersebut di dalam agama Islam. Tetapi, sebenarnya mereka terlampau jauh melangkah untuk membuktikan hal itu. Sejarah cukup menjadi saksi bahwa ahli-ahli Falak, Kedokteran, Kimia, Ilmu Pasti, dan lain-lain cabang ilmu pengetahuan, telah mencapai hasil yang mengagumkan di masa kejayaan Islam. Mereka itu adalah ahli-ahli dalam bidang tersebut sedang di saat yang sama mereka juga menjalankan kewajiban agama Islam dengan baik. Tiada pertentangan antara kepercayaan yang mereka anut dengan hasil penemuan mereka, yang dapat dikatakan baru ketika itu --bahkan sebagian dari hasil-hasil karya mereka masih dipelajari di negara-negara modern hingga sekarang ini. Antara agama dan ilmu pengetahuan tidak mungkin timbul pertentangan, selama keduanya menggunakan metode dan bahasa yang tepat. Manusia mempunyai keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan, dan keinginan mengetahui serta menarik kesimpulan sesuai dengan akalnya. Bila kita mengingat kepentingan kedua hal itu, maka tak mungkin terjadi pertentangan. Richard Gregory dalam Religion in Science and Civilization menulis: "Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan insani di seluruh taraf-taraf peradaban; agama adalah suatu reaksi kepada satu gerak batin menuju apa yang diyakini kesuciannya, sehingga menimbulkan rasa hormat dan takzim; sedangkan ilmu pengetahuan merupakan tumpukan pengetahuan tentang objek alam yang hidup dan yang mati." Selanjutnya, dia berkata: "Di dalam sinar kebaktian kepada cita-cita tinggi, maka ilmu pengetahuan sangat perlu bagi kehidupan kita dan agama menentukan arti hidup manusia; kedua-duanya itu dapat menemukan lapangan umum untuk bekerja, tanpa ada pertentangan antara keduanya." Dalam proses memadukan ilmu pengetahuan dan agama, sementara cendekiawan Muslim membawa hasil-hasil penyelidikan ilmu pengetahuan kepada Al-Quran kemudian mencari-carikan ayat-ayat yang mungkin menguatkannya, sehingga tidak heran kalau kita mendapati penafsiran-penafsiran yang amat berjauhan dengan arti serta tujuan ayat-ayat tersebut. Dalam kitab Al-Quran wa Al-'Ilm Al-Hadits karangan Al-Ustadz 'Abdurraziq Naufal, terdapat satu contoh yang sangat nyata mengenai apa yang dipaparkan di atas, Ia membahas ayat yang berbunyi: Dan apabila telah dekat masa azab menimpa mereka. Kami keluarkan seekor binatang dari bumi yang berbicara dengan mereka bahwasanya manusia tiada menyakini ayat-ayat/tanda-tanda kebesaran Kami (QS 27:82). Ayat ini menurutnya membicarakan tentang sputnik dan penjelajahan angkasa luar. Selanjutnya, ia mengatakan: "Sesungguhnya Rusia telah meluncurkan pesawat angkasa yang mengangkut binatang-binatang, kemudian mereka mengembalikannya ke bumi, sehingga binatangbinatang tersebut berbicara mengenai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang sangat nyata dan mengungkapkan sebagian dari misteri yang meliputi alam semesta yang penuh keajaiban ini." Di sini kita tidak mempunyai suatu komentar lebih tepat dari apa yang pernah dilontarkan oleh Prof. Dr. 'Abdul-Wahid Wafi, salah seorang dosen penulis pada Universitas Al-Azhar: "Mungkin dia mengira bahwa anjing bernama 'Laika' (yaitu anjing yang dikirim Rusia ke angkasa luar) telah berbicara dengan bahasa anjing dan mencerca manusia karena tidak mempercayai tanda-tanda kebesaran Tuhan yang nyata." Di Indonesia, ayat 33 surah Al-Rahman dijadikan dasar oleh sebagian cendekiawan kita untuk membuktikan bahwa Al-Quran membicarakan persoalan-persoalan angkasa luar. Mereka menyatakan bahwa sejak 14 abad yang lalu, Al-Quran telah menegaskan bahwa manusia sanggup menuju ke ruang angkasa selama mereka mempunyai kekuatan, yaitu kekuatan ilmu pengetahuan. Kita tidak mengingkari bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk sampai ke bulan dan planet-planet lainnya. Bahkan manusia telah mendarat di bulan. Tetapi sulit dimengerti hubungan ayat ini dengan persoalan tersebut. Menurut hemat penulis, ayat ini membicarakan keadaan di akhirat kelak, yang menyampaikan tantangan Tuhan kepada manusia dan jin. Ayat tersebut berarti: "Wahai sekalian manusia dan jin bila kamu sekalian sanggup keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk melarikan diri dari kekuasaan dan perhitungan yang kami adakan, maka keluarlah, larilah. Kamu sekalian tidak dapat keluar kecuali dengan kekuatan, sedang kalian tidak mempunyai kekuatan." Perintah dalam ayat tersebut menunjukkan ketidakmampuan kedua golongan manusia dan jin untuk melaksanakannya. Ayat tersebut dipahami demikian mengingat ayat sebelumnya yang berbunyi: Kami akan menghisab (mengadakan perhitungan) khusus dengan kamu wahai manusia dan jin, maka manakah di antara nikmat-nikmat Tuhanmu yang kamu ingkari? Wahai golongan jin dan manusia bila kamu sekalian sanggup untuk keluar dari langit dan bumi ... (QS 55: 31-33). Perhitungan khusus atau hisab tersebut akan diadakan di hari kemudian, bukan di dunia. Kalaulah ayat Ya ma'syar al-jinni wa al-insi tersebut dianggap membicarakan keadaan di dunia dan menunjukkan kesanggupan manusia untuk melintasi angkasa luar, maka hendaknya, anggapan tersebut tidak segera dibenarkan setelah memperhatikan ayat berikutnya, yang berbunyi: Dikirim kepada golongan kamu berdua (wahai jin dan manusia) bunga api dan cairan tembaga sehingga kamu sekalian tak dapat mempertahankan diri (tak dapat keluar dari lingkungan langit dan bumi) (QS 55:35). Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa usaha manusia dan jin untuk keluar dari lingkungan langit dan bumi akan gagal. Dari sini hanya ada dua alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat tadi: Pertama, ayat 33 dari surah Al-Rahman membicarakan persoalan dunia serta kesanggupan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi dalam arti keluar angkasa. Dan kedua, ayat tersebut membicarakan keadaan di akhirat serta kegagalan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk melarikan diri dari hisab dan perhitungan Tuhan. Jika dipilih alternatif pertama, maka ini akan mengakibatkan dua hal yang sangat berbahaya bagi pandangan orang terhadap Al-Quran, yaitu Bahwa Al-Quran bertentangan satu dengan yang lainnya, karena ayat 34 menerangkan kesanggupan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi, sementara ayat 35 menerangkan kegagalan manusia keluar dari keduanya. Al-Quran --dalam hal ini ayat 35-- bertentangan dengan kenyataan ilmiah, karena ayat tersebut menyatakan kegagalan manusia keluar dari lingkungan langit dan bumi. Sedangkan manusia abad ke-20 ini telah berhasil mendarat di luar lingkungan bumi (yaitu bulan). Tetapi jika dipilih alterantif kedua, yaitu bahwa ayat-ayat tersebut membicarakan keadaan di akhirat, maka tidak akan didapati sedikit pun pertentangan. Firman Allah: Jika sekiranya Al-Quran datangnya bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan mendapat banyak pertentangan di dalamnya (QS 4:82). Dalam ayat di atas tidak ada pertentangan, karena ayat itu menerangkan ancaman Tuhan kepada manusia dan jin, dan menyatakan ketidaksanggupan mereka keluar dari lingkungan langit dan bumi untuk melarikan diri dari perhitungan yang akan terjadi kelak di akhirat; karena mereka tidak mempunyai kekuatan. Bagaimana Memahami Al-Quran di Masa Kini? Seseorang tidak dapat membenarkan satu teori ilmiah atau penemuan baru dengan ayat-ayat Al-Quran. Dari sini mungkin akan timbul pertanyaan: kalau demikian apakah Al-Quran harus dipahami sesuai dengan paham para sahabat dan orang-orang tua kita dahulu? Tidak! Setiap Muslim, bahkan setiap orang, wajib memahami dan mempelajari Kitab Suci yang dipercayainya. Bahkan, dalam mukadimah Tafsir Al-Kasysyaf, Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa mempelajari tafsir Al-Quran merupakan "fardhu 'ayn". Setiap Muslim wajib mempelajari dan memahami Al-Quran. Tetapi ini bukan berarti bahwa ia harus memahaminya sesuai dengan pemahaman orang-orang dahulu kala. Karena seorang Muslim diperintahkan oleh Al-Quran untuk mempergunakan akal pikirannya serta mencemoohkan mereka yang hanya mengikuti orang-orang tua dan nenekmoyang tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya mereka lakukan; adakah mereka ala hudan (dalam kebenaran) atau 'ala dhalal (dalam kesesatan). Tetapi ini bukan berarti bahwa setiap Muslim (siapa saja) dapat mengeluarkan pendapatnya mengenai ayat-ayat Al-Quran tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk itu. Setiap Muslim yang memenuhi syarat, wajib memahami Al-Quran, karena ayat-ayatnya tidak diturunkan hanya khusus untuk orang-orang Arab di zaman Rasulullah dahulu, dan bukan juga khusus untuk mereka yang hidup di abad keduapuluh ini. Tetapi Al-Quran adalah untuk seluruh manusia sejak dari zaman turunnya hingga hari kiamat kelak. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran, diperintahkan untuk memikirkan isi Al-Quran sesuai dengan akal pikiran mereka. Benar, akal adalah anugerah dari Allah SWT, tetapi cara penggunaannya berbeda antara seseorang dengan lainnya yang disebabkan oleh perbedaan antara mereka sendiri: latar belakang pendidikan, pelajaran, kebudayaan serta pengalaman-pengalainan yang dialami selama hidup seseorang. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menulis: "Kita berkewajiban memahami Al-Quran di masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad saw."18 Tetapi berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan Al-Quran sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta'ammul dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat Al-Quran tanpa mempercayai setiap hipotesis atau pantangan. Contohnya, dahulu dan bahkan hingga kini, ulama-ulama menafsirkan arti kata al-'alaq dalam ayat-ayat yang menerangkan proses kejadian janin dengan al-dam al-jamid atau segumpal darah yang beku. Penafsiran ini didapati di seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu. Bahkan terjemahan dalam bahasa Inggrisnya pun adalah the clot: darah yang setengah beku. Al-'alaq yang diterangkan di atas merupakan periode kedua dari kejadian janin. Firman Allah dalam surah Al-Muminun ayat 12-14 diterjemahkan oleh Prof. M. Hasby Ashiddieqi dalam tafsirnya, An-Nur, demikian: "Dan sesungguhnya telah Kami jadikan manusia dari tanah yang bersih, kemudian Kami jadikannya air mani yang disimpan dalam tempat yang kukuh, kemudian Kami jadikan air mani itu segumpal darah, lalu Kami jadikannya sepotong daging; dari daging itu Kami jadikan tulang, tulang itu Kami bungkus dengan daging, dan kemudian Kami menjadikannya makhluk yang baru (manusia yang sempurna). Maha berbahagia Allah Tuhan sepandai-pandai yang menjadikan sesuatu." Memperhatikan ayat ini, jelaslah bahwa periode kedua dari kejadian manusia adalah al-alaq setelah al-nuthfah. Dan dapat disimpulkan bahwa proses kejadian manusia terdiri atas lima periode: (1) Al-Nuthfah; (2) Al-Alaq; (3) Al-Mudhghah; (4) Al-'Idzam; dan (5) Al-Lahm. Apabila seseorang mempelajari embriologi dan percaya akan kebenaran Al-Quran, maka dia sulit menafsirkan kalimat al-'alaq tersebut dengan segumpal darah yang beku. Menurut embriologi, proses kejadian manusia terbagi dalam tiga periode: 1. Periode Ovum Periode ini dimulai dari fertilisasi (pembuahan) karena adanya pertemuan antara set kelamin bapak (sperma) dengan sel ibu (ovum), yang kedua intinya bersatu dan membentuk struktur atau zat baru yang disebut zygote. Setelah fertilisasi berlangsung, zygote membelah menjadi dua, empat, delapan, enam belas sel, dan seterusnya. Selama pembelahan ini, zygote bergerak menuju ke kantong kehamilan, kemudian melekat dan akhirnya masuk ke dinding rahim. Peristiwa ini dikenal dengan nama implantasi. 2. Periode Embrio Periode ini adalah periode pembentukan organ-organ. Terkadang organ tidak terbentuk dengan sempurna atau sama sekali tidak terbentuk, misalnya jika hasil pembelahan zygote tidak bergantung atau berdempet pada dinding rahim. Ini dapat mengakibatkan keguguran atau kelahiran dengan cacat bawaan. 3. Periode Foetus Periode ini adalah periode perkembangan dan penyempumaan dari organ-organ tadi, dengan perkembangan yang amat cepat dan berakhir pada waktu kelahiran. Kembali kepada ayat di atas, kita melihat bahwa periode pertama menurut Al-Quran adalah 'al-nuthfah, periode kedua al-'alaq dan periode ketiga al-mudhghah. Al-mudhghah --yang berarti sepotong daging-- menurut Al-Quran (surah Al-Hajj ayat 5) terbagi dalam dua kemungkinan: mukhallaqah (sempurna kejadiannya) dan ghayru mukhallaqah (tidak sempurna). Dari sini bila diadakan penyesuaian antara embriologi dengan Al-Quran dalam proses kejadian manusia, nyata bahwa periode ketiga yang disebut Al-Quran sebagai al-mudhghah merupakan periode kedua menurut embriologi (periode embrio). Dalam periode inilah terbentuknya organ-organ terpenting. Sedangkan periode keempat dan kelima menurut Al-Quran sama dengan periode ketiga atau foetus. Dalam membicarakan al-'alaq --yang oleh para mufassirin diartikan dengan segumpal darah-- didapati pertentangan antara penafsiran tersebut dengan hasil penyelidikan ilmiah. Karena periode ovum terdiri atas ektoderm, endoderm dan rongga amnion, yang terdapat di dalamnya cairan amnion. Unsur-unsur tersebut tidak mengandung komponen darah. Dari titik tolak ini mereka menolak penafsiran al-'alaq dengan segumpal darah, cair atau beku. Mereka berpendapat bahwa al-alaq adalah sesuatu yang bergantung atau berdempet. Penafsiran ini sejalan dengan pengertian bahasa Arab, dan sesuai pula dengan embriologi yang dinamai implantasi. Bahasa Arab tidak menjadikan arti al-'alaq khusus untuk darah beku, tetapi salah satu dari artinya adalah bergantungan atau berdempetan. Al-Raghib Al-Ashfahaniy, menerangkan beberapa arti al-alaq menurut bahasa Arab, di antaranya: bergantung dan berdempetan. Dalam kamus Al-Mishbah Al-Munir, arti al-'alaq adalah "sesuatu yang hitam seperti cacing di dalam air, bila diminum oleh binatang ia akan bergantung atau terhalang di kerongkongannya".19 Di samping itu, dalam bahasa Arab sesuatu dapat dinamakan sesuai dengan keadaan dan sifatnya, seperti: Innama sumiya al-qalb li taqallubihi.20 Kesimpulan Kesimpulan dari uraian di atas adalah: Al-Quran adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyri', dan akhlak demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Tiada pertentangan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Memahami hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di dalamnya, tetapi dengan melihat adakah Al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju. Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Quran bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat Al-Quran dan bertentangan pula dengan ciri khas ilmu pengetahuan. Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah berdasarkan Al-Quran) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat Islam dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuwan yang diragukan akan terjadi pula dalam lingkungan Islam, sehingga cendekiawan Islam berusaha menampakkan hubungan antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Memahami ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur'aniyyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsp atau ketentuan bahasa. Catatan kaki 16 Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Qalam, Kairo, cet. II, t.t., h. 21. 17 Ibid., h. 22. 18 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, 1974, h. 197. 19 Lihat Mu'jam Mufradat li Alfazh Al-Quran, diedit oleh Nadim Mar`asyli, Dar Al-Fikr, Beirut t.t., h. 355. 20 Qalb dalam bahasa Arab berarti "berbolak-balik", karena sifatnya yang berbolak-balik: sekali senang, sekali susah, sekali cinta, sekali benci. Yang berdempet/bergantung di dinding rahim dinamai alaq (bergantung), karena keadaannya ketika itu "bergantung"/berdempet. Al-Quran, Ilmu, dan Filsafat Manusia Al-Quran Al-Karim dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dan filsafat manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga hal pokok: Pertama, tujuan. Akidah atau kepercayaan, yang mencakup kepercayaan kepada (a) Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya; (b) Wahyu, dan segala kaitannya dengan, antara lain, Kitab-kitab Suci, Malaikat, dan para Nabi; serta (c) Hari Kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan. Budi pekerti, yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat, dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang, tanggung jawab, dan lain-lain. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dirinya, dan alam sekitarnya. Kedua, cara. Ketiga hal tersebut diusahakan pencapaiannya oleh Al-Quran melalui empat cara: Menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, bintang-bintang, udara, darat, lautan dan sebagainya, agar manusia --melalui perhatiannya tersebut-- mendapat manfaat berganda: (a) menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup. Menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah untuk memetik pelajaran dari pengalaman masa lalu. Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat mendorong manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana unsur-unsur dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya (yang jawaban-jawabannya diberikan oleh Al-Quran). Janji dan ancaman baik di dunia (yakni kepuasan batin dan kebahagiaan hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat, dan sebaliknya bagi yang durhaka) maupun di akhirat dengan surga atau neraka. Ketiga, pembuktian. Untuk membuktikan apa yang disampaikan oleh Al-Quran seperti yang disebut di atas, maka di celah-celah redaksi mengenai butir-butir tersebut, ditemukan mukjizat Al-Quran seperti yang pada garis besarnya dapat terlihat dalam tiga hal pokok: Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa Arab. Ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya. Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenarannya. Melihat kandungan Al-Quran seperti yang dikemukakan secara selayang pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran berbicara tentang ilmu pengetahuan. Kitab Suci itu juga berbicara tentang filsafat dalam segala bidang pembahasan, dengan memberikan jawaban-jawaban yang konkret menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan fungsinya: memberi petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan memberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang mereka perselisihkan (QS 2:213). Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu Sebelum berbicara tentang masalah tersebut, terlebih dahulu perlu diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan ini. Al-Quran menggunakan kata 'ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali. Antara lain sebagai "proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan" (QS 2:31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya. Sementara ini, ahli keislaman berpendapat bahwa ilmu menurut Al-Quran mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau metafisika. Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filosof --Muslim atau non-Muslim-- pada masa-masa silam, atau klasifikasi yang belakangan ini dikenal seperti, antara lain, ilmu-ilmu sosial, maka pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua katagori: Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam Al-Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya. Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan pengalihan antarbudaya selama tidak bertentangan dengan Syari'ah sebagai sumber nilai. Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan ahli-ahli filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi. Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan sains tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas alam materi (physical world), karena itu dapat dipahami mengapa Al-Quran di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan eksperimen (QS 29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi (antara lain, QS 16:78). Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan, Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang tidak dapat kamu melihat mereka (QS 7:27). "Apa-apa" tersebut sebenarnya ada dan merupakan satu realitas, tapi tidak ada dalam dunia empiris. Ilmuwan tidak boleh mengatasnamakan ilmu untuk menolaknya, karena wilayah mereka hanyalah wilayah empiris. Bahkan pada hakikatnya alangkah banyaknya konsep abstrak yang mereka gunakan, yang justru tidak ada dalam dunia materi seperti misalnya berat jenis benda, atau akar-akar dalam matematika, dan alangkah banyak pula hal yang dapat terlihat potensinya namun tidak dapat dijangkau hakikatnya seperti cahaya. Hal ini membuktikan keterbatasan ilmu manusia (QS 17:85). Kebanyakan manusia hanya mengetahui fenomena. Mereka tidak mampu menjangkau nomena (QS 30:7). Dari sini dapat dimengerti adanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh Al-Quran dan yang --di sadari atau tidak-- telah diakui dan dipraktekkan oleh para ilmuwan, seperti yang diungkapkan di atas. Pengertian ilmu dalam tulisan ini hanya akan terbatas pada pengertian sempit dan terbatas tersebut. Atau dengan kata lain dalam pengertian science yang meliputi pengungkapan sunnatullah tentang alam raya (hukum-hukum alam) dan perumusan hipotesis-hipotesis yang memungkinkan seseorang dapat mempersaksi peristiwa-peristiwa alamiah dalam kondisi tertentu. Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan ketika berbicara tentang kandungan Al-Quran, bahwa Kitab Suci ini antara lain menganjurkan untuk mengamati alam raya, melakukan eksperimen dan menggunakan akal untuk memahami fenomenanya, yang dalam hal ini ditemukan persamaan dengan para ilmuwan, namun di lain segi terdapat pula perbedaan yang sangat berarti antara pandangan atau penerapan keduanya. Sejak semula Al-Quran menyatakan bahwa di balik alam raya ini ada Tuhan yang wujud-Nya dirasakan di dalam diri manusia (antara lain QS 2:164; 51:20-21), dan bahwa tanda-tanda wujud-Nya itu akan diperlihatkan-Nya melalui pengamatan dan penelitian manusia, sebagai bukti kebenaran Al-Quran (QS 41:53). Dengan demikian, sebagaimana Al-Quran merupakan wahyu-wahyu Tuhan untuk menjelaskan hakikat wujud ini dengan mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya (QS 51-56), maka alam raya ini --yang merupakan ciptaan-Nya-- harus berfungsi sebagaimana fungsi Al-Quran dalam menjelaskan hakikat wujud ini dan mengaitkannya dengan tujuan yang sama. Dan dengan demikian, ilmu dalam pengertian yang sempit ini sekalipun, harus berarti: "Pengenalan dan pengakuan atas tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing manusia ke arah pengenalan dan pengakuan akan 'tempat' Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperluan." Dalam definisi ini kita lihat bahwa konsep tentang "tempat yang tepat" berhubungan dengan dua wilayah penerapan. Di satu pihak, ia mengacu kepada wilayah ontologis yang mencakup manusia dan benda-benda empiris, dan di pihak lain kepada wilayah teologis yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan etis. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan bagaimana Al-Quran selalu mengaitkan perintah-perintahnya yang berhubungan dengan alam raya dengan perintah pengenalan dan pengakuan atas kebesaran dan kekuasaan-Nya. Bahkan, ilmu --dalam pengertiannya yang umum sekalipun-- oleh wahyu pertama Al-Quran (iqra'), telah dikaitkan dengan bismi rabbika. Maka ini berarti bahwa "ilmu tidak dijadikan untuk kepentingan pribadi, regional atau nasional, dengan mengurbankan kepentingan-kepentingan lainnya". Ilmu pada saat --dikaitkan dengan bismi rabbika-- kata Prof. Dr. 'Abdul Halim Mahmud, Syaikh Jami' Al-Azhar, menjadi "demi karena (Tuhan) Pemeliharamu, sehingga harus dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara umum. Ia harus membawa kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang masa." Ayat-ayat Al-Quran seperti antara lain dikutip di atas, disamping menggambarkan bahwa alam raya dan seluruh isinya adalah intelligible (dapat dijangkau oleh akal dan daya manusia), juga menggarisbawahi bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini telah dimudahkan untuk dimanfaatkan manusia (QS 43:13). Dan dengan demikian, ayat-ayat sebelumnya dan ayat ini memberikan tekanan yang sama pada sasaran ganda: tafakkur yang menghasilkan sains, dan tashkhir yang menghasilkan teknologi guna kemudahan dan kemanfaatan manusia. Dan dengan demikian pula, kita dapat menyatakan tanpa ragu bahwa "Al-Quran" membenarkan --bahkan mewajibkan-- usaha-usaha pengembangan ilmu dan teknologi, selama ia membawa manfaat untuk manusia serta memberikan kemudahan bagi mereka. Tuhan, sebagaimana diungkapkan Al-Quran, "menginginkan kemudahan untuk kamu dan tidak menginginkan kesukaran" (QS 2:85). Dan Tuhan "tidak ingin menjadikan sedikit kesulitan pun untuk kamu" (QS 5:6). Ini berarti bahwa segala produk perkembangan ilmu diakui dan dibenarkan oleh Al-Quran selama dampak negatif darinya dapat dihindari. Saat ini, secara umum dapat dibuktikan bahwa ilmu tidak mampu menciptakan kebahagiaan manusia. Ia hanya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia yang bersifat satu dimensi, sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat segala sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana, bagaikan seorang pemabuk yang memegang sebilah pedang, atau seorang pencuri yang memperoleh secercah cahaya di tengah gelapnya malam. Bersyukur kita bahwa akhir-akhir ini telah terdengar suara-suara yang menggambarkan kesadaran tentang keharusan mengaitkan sains dengan nilai-nilai moral keagamaan. Beberapa tahun lalu di Italia diadakan suatu permusyawaratan ilmiah tentang "cultural relations for the future" (hubungan kebudayaan di kemudian hari) dan ditemukan dalam laporannya tentang "reconstituting the human community" yang kesimpulannya, antara lain, sebagai berikut: "Untuk menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan kepribadian, kita harus menggali nilai-nilai keagamaan dan spiritual." Apa yang diungkapkan ini sebelumnya telah diungkapkan oleh filosof Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak negatif perkembangan ilmu dan teknologi. Beliau menulis: "Kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal, yaitu penafsiran spiritual atas alam raya, emansipasi spiritual atas individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal yang akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual." Apa yang diungkapkan itu adalah sebagian dari ajaran Al-Quran menyangkut kehidupan manusia di alam raya ini, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan. Segi lain yang tidak kurang pentingnya untuk dibahas dalam masalah Al-Quran dan ilmu pengetahuan adalah kandungan ayat-ayatnya di tengah-tengah perkembangan ilmu. Seperti yang dikemukakan di atas bahwa salah satu pembuktian tentang kebenaran Al-Quran adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkan. Memang terbukti, bahwa sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal pada masa turunnya, namun terbukti kebenarannya di tengah-tengah perkembangan ilmu, seperti: Teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS 51:47). Matahari adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan adalah pantulan dari cahaya matahari (QS 10:5). Pergerakan bumi mengelilingi matahari, gerakan lapisan-lapisan yang berasal dari perut bumi, serta bergeraknya gunung sama dengan pergerakan awan (QS 27:88). Zat hijau daun (klorofil) yang berperanan dalam mengubah tenaga radiasi matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis sehingga menghasilkan energi (QS 36:80). Bahkan, istilah Al-Quran, al-syajar al-akhdhar (pohon yang hijau) justru lebih tepat dari istilah klorofil (hijau daun), karena zat-zat tersebut bukan hanya terdapat dalam daun saja tapi di semua bagian pohon, dahan dan ranting yang warnanya hijau. Bahwa manusia diciptakan dari sebagian kecil sperma pria dan yang setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (QS 86:6 dan 7; 96:2). Demikian seterusnya, sehingga amat tepatlah kesimpulan yang dikemukakan oleh Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern, bahwa tidak satu ayat pun dalam Al-Quran yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dari sini ungkapan "agama dimulai dari sikap percaya dan iman", oleh Al-Quran, tidak diterima secara penuh. Bukan saja karena ia selalu menganjurkan untuk berpikir, bukan pula hanya disebabkan karena ada dari ajaran-ajaran agama yang tidak dapat diyakini kecuali dengan pembuktian logika atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan seseorang yang berdasarkan "taqlid" tidak luput dari kekurangan, tapi juga karena Al-Quran memberi kesempatan kepada siapa saja secara sendirian atau bersama-sama dan kapan saja, untuk membuktikan kekeliruan Al-Quran dengan menandinginya walaupun hanya semisal satu surah sekalipun (QS 2:23). Al-Quran di Tengah Perkembangan Filsafat Apakah filsafat itu, dan bagaimana perkembangannya? Adalah satu pertanyaan yang memerlukan jawaban singkat sebelum permasalahan yang diketengahkan ini diuraikan. Bertrand Russel menjelaskan bahwa filsafat merupakan jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu pengetahuan melalui pengujian kritis terhadap dasar-dasar keputusan, prasangka-prasangka dan kepercayaan. Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat bersifat mengakar (radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh dari A-Z, mencari yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik. Objek penelitiannya ialah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik "ada yang umum" (ontologi 'ilm al-kainat) maupun "ada yang khusus atau mutlak" (Tuhan). Atau, dengan kata lain, objek penelitian filsafat mencakup pembahasan-pembahasan logika, estetika, etika, politik dan metafisika. Melihat demikian luasnya pembahasan filsafat tersebut, maka pembahasan kita kali ini dibatasi pada bagian "ada yang umum". Itu pun hanya dalam masalah yang menjadi pusat perhatian pemikir dewasa ini dan yang merupakan penentu jalannya sejarah kemanusiaan, yakni "manusia". Karena, memang, dewasa ini orang tidak banyak lagi berbicara tentang bukti wujud Tuhan atau kebenaran wahyu, tidak pula menyangkut pertentangan agama dengan aliran-aliran materialisme, tapi topik pembicaraan adalah "manusia" karena pandangan tentang hakikat manusia akan memberikan arah dari seluruh sikap dan memberikan penafsiran terhadap semua gejala. Dalam abad pertengahan, manusia dipandang sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang melebihi makhluk-makhluk lainnya, pandangan yang sejalan dengan keyakinan agama serta menganggap bahwa bumi tempat manusia hidup merupakan pusat dari alam semesta. Tapi pandangan ini digoyahkan oleh Galileo yang membuktikan bahwa bumi tempat tinggal manusia, tidak merupakan pusat alam raya. Ia hanya bagian kecil dari planet-planet yang mengitari matahari. Pandangan yang didukung oleh penelitian ilmiah ini, bertentangan dengan penafsiran Kitab Suci (Kristen) dan membuka satu lembaran baru dalam sejarah manusia Barat yang menimbulkan krisis keimanan dan krisis lainnya. Disusul kemudian dengan teori evolusi yang dikemukakan oleh Darwin. Segi-segi negatif dari teori ini bukannya hanya diakibatkan oleh teori tersebut, tapi lebih banyak lagi diakibatkan oleh kesan-kesan yang ditimbulkannya dalam pikiran masyarakat serta para ahli pada masanya dan masa sesudahnya. Dari Darwin perjalanan dilanjutkan oleh Sigmund Freud yang mengadakan pengamatan terhadap sekelompok orang-orang sakit (abnormal) dan yang pada akhimya berkesimpulan, bahwa manusia pada hakikatnya adalah "makhluk bumi" yang segala aktivitasnya bertumpu dan terdorong oleh libido, sedangkan agama -menurutnya-- berpangkal dari Oedipus complex dan, dengan demikian, Tuhan tidak lain kecuali ilusi belaka. Kemajuan yang dicapai Eropa di bidang industri dan ilmu pengetahuan sejak masa renaissance, mengantarkan masyarakat untuk lebih jauh menolak kekuasaan agama secara total yang mengakibatkan pula kekaguman yang berlebihan kepada otoritas sains yang terlepas dari nilai-nilai spiritual keagamaan, dan yang pada akhirnya mencapai puncaknya pada peristiwa pemboman di Hiroshima dan Nagasaki pada waktu Perang Dunia II. Setelah itu terjadi beberapa hal yang mendasar: agama, antara lain, mulai disebut-sebut walaupun dengan suara yang sayup-sayup. Pretensi sains dipermasalahkan. Eksistensialisme mulai berbicara lagi: "Sebenarnya tak ada arah yang harus dituju, pergilah ke mana engkau sukai. Engkau mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala sesuatu. Mari kita berpegang erat-eras pada kebebasan kita. Sosialisme telah merebut segala-galanya dan menyerahkan kepada negara. Agama juga mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan, sedangkan Tuhan di luar esensi manusia. Jadi agama juga menghalangi kebebasan manusia. Agama menipu para pengecut sehingga ia --demi mengalihkan manusia dari eksistensinya-- menciptakan surga yang kekal di langit, dan --untuk memberikan rasa takut-- neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." Demikian antara lain pandangan Sartre, salah satu tokoh aliran ini. Sebelum kita sampai pada pandangan Al-Quran, ada baiknya kita mengutip pendapat Alexis Carrel, seorang ahli bedah dan fisika, kelahiran Prancis yang mendapat hadiah Nobel. Beliau menulis dalam buku kenamaannya, Man the Unknown, antara lain: "Pengetahuan manusia tentang makhluk hidup dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Manusia adalah makhluk yang kompleks, sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan satu gambaran untuknya, tidak ada satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan secara utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami hubungannya dengan alam sekitarnya." Selanjutnya, ia mengatakan: "Kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para ahli yang mempelajari manusia hingga kini masih tetap tanpa jawaban, karena terdapat daerah-daerah yang tidak terbatas dalam diri (batin) kita yang tidak diketahui". Keterbatasan pengetahuan, menurutnya, disebabkan karena keterlambatan pembahasan tentang manusia, sifat akal manusia dan kompleksnya hakikat manusia. Kedua faktor terakhir adalah faktor permanen, sehingga tidaklah berlebihan menurutnya "jika kita mengambil kesimpulan bahwa setiap orang dari kita terdiri dari iring-iringan bayangan yang berjalan di tengah-tengah hakikat yang tidak diketahui." Dari segi pandangan seorang beragama, kiranya dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui hal tersebut dibutuhkan pengetahuan dari pencipta Yang Maha Mengetahui melalui wahyu-wahyu-Nya, karena memang manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan atas peta gambaran Tuhan dan yang dihembuskan kepadanya Ruh ciptaanNya. Nah, apa yang dikatakan Al-Quran tentang manusia? Tidak sedikit ayat Al-Quran yang berbicara tentang manusia; bahkan manusia adalah makhluk pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian Wahyu Pertama (QS 96:1-5). Manusia sering mendapat pujian Tuhan. Dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kapasitas yang paling tinggi (QS 11:3), mempunyai kecenderungan untuk dekat kepada Tuhan melalui kesadarannya tentang kehadiran Tuhan yang terdapat jauh di bawah alam sadarnya (QS 30:43). Ia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk memilih jalannya masing-masing (QS 33:72; 76:2-3). Ia diberi kesabaran moral untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan nurani mereka atas bimbingan wahyu (QS 91:7-8). Ia adalah makhluk yang dimuliakan Tuhan dan diberi kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk lainnya (QS 17:70) serta ia pula yang telah diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS 95:4). Namun di lain segi, manusia ini juga yang mendapat cercaan Tuhan. Ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS 14:34), dan sangat banyak membantah (QS 22:67). Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu sama lain, tetapi hal tersebut menunjukkan potensi manusiawi untuk menempati tempat terpuji, atau meluncur ke tempat yang rendah sehingga tercela. Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian setelah sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya (QS 38:71-72). Dengan "tanah" manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh makan, minum, hubungan seks, dan sebagainya, dan dengan "Ruh" ia diantar ke arah tujuan non-materi yang tak berbobot dan tak bersubstansi dan yang tak dapat diukur di laboratorium atau bahkan dikenal oleh alam material. Dimensi spiritual inilah yang mengantar mereka untuk cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, dan sebagainya. Ia mengantarkan mereka kepada suatu realitas yang Maha Sempurna, tanpa cacat, tanpa batas dan tanpa Akhir: wa anna ila rabbika Al-Muntaha -- dan sesungguhnya kepada Tuhan-Mu-lah berakhirnya segala sesuatu (QS 53:42). Hai manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja dengan penuh kesungguhan menuju Tuhanmu dan pasti akan kamu menemui-Nya" (QS 84:6). Dengan berpegang kepada pandangan ini, manusia akan berada dalam satu alam yang hidup, bermakna, serta tak terbatas, yang dimensinya melebar keluar melampaui dimensi "tanah", dimensi material itu. Al-Quran tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, atau tercipta dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas, Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS 2:30). Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik (QS 13:11), serta ditundukkan dan dimudahkan kepadanya alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan (QS 45:12-13). Antara lain, ditetapkan arah yang harus ia tuju (QS 51:56) serta dianugerahkan kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan itu (QS 2:38). Penutup Demikian filsafat materialisme dengan aneka ragam panoramanya berbicara tentang manusia. Dan demikian pula Al-Quran. Keduanya telah menjelaskan pandangannya. Keduanya telah mengajak manusia untuk menemukan dirinya, tapi yang pertama berusaha untuk menyeretnya ke debu tanah dari Ruh Tuhan, sedangkan Al-Quran mengajaknya untuk meningkat dari debu tanah menuju Tuhan Yang Mahaesa. Sejarah Perkembangan Tafsir Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran. Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud. Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat. Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti: (a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud. Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir. Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir. Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in. Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."21 Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal."22 Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang ini. (b) Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka. (c) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. (f) Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Kodifikasi Tafsir Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah perkembangan Tafsir dari segi corak penafsiran, maka perkembangan dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan), hal mana dapat dilihat dalam tiga periode: Periode I, yaitu masa Rasul saw., sahabat, dan permulaan masa tabi'in, di mana Tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma'ani Al-Qur'an. Metode Tafsir Di lain segi, sejarah perkembangan Tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan Al-Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menycluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu. Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut. Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy. Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.23 Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. Demikian perkembangan penafsiran Al-Quran dari segi metode, yang dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan terhadap pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu menurut urut-urutannya). Catatan kaki 21 'Abd Allah Darraz, Al-Naba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1960, h. 111. 22 Lihat makalah Martin van Bruinessen, "Mohammed Arkoun tentang Al-Quran," disampaikan dalam diskusi Yayasan Empati. Pada h. 2. ia mengutip Mohammed Arkoun, "Algeria," dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University Press, 1988, h. 182-183. 23 Di beberapa negara Islam selain Mesir, para pakarnya juga melakukan upaya-upaya penafsiran Al-Quran dengan menggunakan metode ini. Di Irak, misalnya, Muhammad Baqir Al-Shadr menulis uraian menyangkut tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam Al-Quran dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode ini, dan menamakannya dengan metode tawhidiy (kesatuan). Kebebasan dan Pembatasan dalam Tafsir Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik mempesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Quran, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu.24 Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah "penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir)",25 dan bahwa "kepastian arti satu kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri."26 Rasulullah Muhammad saw. mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Tugas ini memberi petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam Al-Quran menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan "kurang tepat", misalnya QS 9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara dari melakukan suatu kesalahan atau dosa). Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang hanya sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7) sebagai "orang-orang Yahudi",27 atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai "panah".28 Memang, menurut para ulama, penafsiran Nabi saw. bermacam-macam, baik dari segi cara, motif, maupun hubungan antara penafsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan. Misalnya, ketika menafsirkan shalah al-wustha dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar",29 penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan QS 40;60, tentang arti perintah berdoa, beliau menafsirkannya dengan beribadah.30 Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS 14:27. Di sana beliau menafsirkan kata akhirat dengan "kubur".31 Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat. Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Quran tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga "karena Nabi saw. sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran".32 Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Kebebasan dalam Menafsirkan Al-Quran Jlka kita perhatikan perintah Al-Quran yang memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan kecamannya terhadap mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar, dan bila kita perhatikan pula bahwa Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di mana pun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap manusia pada abad ke-20 serta generasi berikutnya dituntut pula untuk memahami Al-Quran sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Quran. Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan lainnya. Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Quran. Karena hal ini merupakan perintah Al-Quran sendiri, sebagaimana setiap pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini adalah konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab. Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan Al-Quran, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam setiap disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan. Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila setiap orang bebas berbicara atau melakukan praktek-praktek dalam bidang kedokteran atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa mempunyai pengetahuan tentang ilmu tersebut. Pembatasan dalam Menafsirkan Al-Quran Telah dikemukakan di atas bahwa Al-Quran mengecam orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan bahwa para sahabat sendiri seringkali tidak mengetahui atau berbeda pendapat atau keliru dalam memahami maksud firman-firman Allah, sehingga dari kalangan mereka sejak dini telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran. Ibn 'Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.33 Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga). Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim, dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam 'lmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih (QS 3:7).34 Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia. Apa pun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi saw.35 Karena itu, seorang ahli hadis kenamaan, Al-Hakim Al-Naisaburi, menolak penafsiran sahabat Nabi, Abu Hurairah, tentang ayat "neraka saqar adalah pembakar kulit manusia" (QS 74:29) untuk dinisbatkan kepada Rasul saw.36 Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905), salah seorang ahli Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip "tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh Al-Quran." Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang "timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian", 'Abduh menulis: "Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar keimanan."37 Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh oleh sahabat 'Umar bin Khaththab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80:32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.38 Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran. Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi: (1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Quran. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas. Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie, atau Al-Azhar karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang apa yang dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud di atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,. maka apa yang dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan. (2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah: (a) Subjektivitas mufasir; (b) Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah; (c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat; (d) Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat; (e) Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat; (f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan. Karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, yang mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran, masih ditemukan pula beberapa pembatasan menyangkut perincian penafsiran, khususnya dalam tiga bidang, yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan, dan bahasa. Perubahan Sosial Ditemukan banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang hal ini, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya adalah masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif (QS 48:29), juga bahwa setiap masyarakat mempunyai batas-batas usia (QS 10:49; 15:5, dan lain-lain), dan bahwa masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pola yang tetap (hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (QS 35:43; 48:23, dan lain-lain). Perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan yang terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh potensi manusia baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran. Walaupun telah disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah ibadah (yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama harus diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna kandungan perintah tersebut. Sedang dalam masalah sosial (mu'amalah), perintah agama terlebih dahulu harus diperhatikan arti kandungannya atau maksudnya.39 Perkembangan Ilmu Pengetahuan Sementara ulama berpendapat bahwa "syari'at" (Al-Quran dan hadis) harus dipahami berdasarkan pemahaman masyarakat pada masa turunnya.40 Ini mengakibatkan antara lain pembatasan dalam memahami teks-teks ayat Al-Quran berdasarkan pemahaman disiplin ilmu dan tingkat pengetahuan masyarakat pada masa turunnya Al-Quran yang jauh terbelakang dibanding perkembangan ilmu dewasa ini. Pembatasan di atas tentunya tidak dapat diterima, apalagi setelah memperhatikan prinsip bahwa Al-Quran diturunkan untuk semua manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah mustahil untuk menjadikan semua orang berpikir dengan pola yang sama. Dan karena Al-Quran memerintahkan setiap orang berpikir, maka tentunya setiap orang akan menggunakan pikirannya antara lain berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Atas dasar ini, pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas mengenai pembatasan dalam penafsiran Al-Quran amat sulit diterima. Selanjutnya perlu dibedakan antara pemikiran ilmiah kontemporer dengan pembenaran setiap teori ilmiah. Ketika ilmu pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa bumi kita ini bulat, maka mufasir masa kini akan memahami dan menafsirkan firman Allah "Dan Allah jadikan untuk kamu bumi ini terhampar" (QS 71:19) bahwa keterhamparan yang dimaksud tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena keterhamparan ini terlihat dan disaksikan oleh siapa pun dan ke mana pun seseorang melangkahkan kakinya, apalagi redaksi ayat tersebut tidak menyatakan "Allah ciptakan" tetapi "jadikan untuk kamu". Demikian juga ketika eksperimen membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis janin (bayi dalam perut), maka pemahaman kita terhadap ayat "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan (hamil)" (QS 13:8), pemahaman kata "apa" beralih dari yang tadinya dipahami sebagai jenis kelamin bayi menjadi lebih umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa depan, bakat, jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata "apa" dalam istilah Al-Quran dapat mencakup segala sesuatu. Di sisi lain, kalimat "Allah mengetahui" bukan dalam arti "hanya Allah yang mengetahui", bila yang dimaksud dengan "apa"-nya adalah jenis kelamin janin. Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran seperti yang dikemukakan di atas tentunya tidak dapat ditempuh bila pembatasan yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas diterapkan. Namun ini tidak berarti bahwa setiap teori ilmiah walaupun yang belum mapan dan pasti dapat dijadikan dasar dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran, apalagi bila membenarkannya atas nama Al-Quran. Karena itu, pemakaian teori ilmiah yang belum mapan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, harus dibatasi. Karena hal ini akan mengakibatkan bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang pernah dialami oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab Suci yang kemudian terbukti bertentangan dengan hasil-hasil penemuan ilmiah yang sejati. Bidang Bahasa Perlu digarisbawahi bahwa walaupun Al-Quran menggunakan kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. Al-Quran dalam hal ini menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik yang mereka kenal.41 Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini telah memberikan pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata yang juga digunakan oleh Al-Quran. Dalam hal ini seseorang tidak bebas untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu kosakata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang mufasir, disamping harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap setiap kosakata, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut daripada pengertian yang dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan untuk menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang kemudian. Apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian khusus Qurani bagi satu kosakata atau terdapat petunjuk bahwa pengertian Qurani tersebut bukan itu yang dimaksud oleh ayat, maka dalam hal ini seseorang mempunyai kebebasan memilih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya dari sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa. Kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan) menciptakan manusia dari 'alaq" (QS 96:2) mempunyai banyak arti, antara lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah), sesuatu yang berdempet dan bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. Di sini seseorang mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu dari arti-arti tersebut, dengan mengemukakan alasannya. Perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemilihan arti-arti tersebut harus dapat ditoleransi dan ditampung, selama ia dikemukakan dalam batas-batas tanggung jawab dan kesadaran. Bahkan agama menilai bahwa mengemukakannya pada saat itu memperoleh pahala dari Tuhan, walaupun seandainya ia kemudian terbukti keliru. Catatan kaki 24 Lihat Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, jilid 1, h. 59. 25 Ibid., h. 15. 26 Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, t.t., jilid II, h. 35. 27 Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t. jilid I, h. 29. 28 Ibid., h. 321. 29 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya. 30 Diriwayatkan oleh Al-Turmudzi. 31 Ibid. 32 Al-Zahabiy, op.cit. h. 53. 33 Lihat lebih jauh Al-Zarkasyi, Al-Burhan to 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid II, h. 164. 34 Lihat Al-Sayuthi, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Mesir, cet. 11, h. 3. 35 Lihat Al-Zahabiy, op.cit., h. 59. 36 Al-Hakim Al-Naisaburi, Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits, Dar Al-Afaq, Beirut, 1980, h. 20. 37 Syaikh Muhammad 'Abduh, Tafsir Juz 'Amma, Dar Al-Hilal, Mesir, 1962, h. 139. 38 Ibid., h. 26. 39 Abu Ishaq Al-Syathibi, op. cit., jilid II, h. 300. 40 Ibid., hal. 82. 41 Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1984, h. 28. Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.42 Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka. Berikut ini, akan dikemukakan selayang pandang tentang perkembangan metode penafsiran, keistimewaan dan kelemahannya, menurut tinjauan kacamata kita yang hidup pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta era globalisasi dan informasi. Corak dan Metodologi Tafsir 1. Corak Ma'tsur (Riwayat) Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Quran. Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi saw., ditemukan bahwa pada dasarnya --setelah gagal menemukan penjelasan Nabi saw.-- mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn Al-Khaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Quran.43 Setelah masa sahabat pun, para tabi'in dan atba' at-tabi'in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra' (w. 207 H) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma'aniy Al-Qur'an,44 maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w. 310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa. Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah: (a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran. (b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya. (c) Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan. Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah: (a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu. (b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya. Bahwa mereka mengandalkan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya adalah wajar. Karena, di samping penguasaan dan rasa bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin membuktikan kemukjizatan Al-Quran dari segi bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemukjizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena --jangankan kita di Indonesia ini-- orang-orang Arab sendiri sudah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu. Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar (yang kokoh).45 Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa "Kami hanya menyampaikan dan silakan meneliti kebenarannya".46 Pegangan ini, secara umum, melemahkan metode riwayat, walaupun diakui bahwa sanad dari suatu riwayat seringkali dapat ditemukan. Namun, sebagian lainnya tanpa sanad. Yang ditemui sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup panjang untuk menetapkan kelemahan dan kesahihannya. Kelemahan lainnya adalah bahwa mufasir seringkali disibukkan dengan pendapat si A dan si B, yang tidak jarang berbeda bahkan bertentangan satu dengan lainnya sehingga pesan-pesan ayat terlupakan. Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat dalam penafsiran Al-Quran. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak terlalu jauh jurang antara mereka. Di samping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid Nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khair al-qurun (sebaik-baik generasi),47 masih sangat berkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikut masih cukup mantap. Kesemua itu sedikit atau banyak berbeda dengan keadaan masa sesudahnya apalagi masa kini, sehingga menggunakan metode riwayat membutuhkan pengembangan, di samping seleksi yang cukup ketat. Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan dari penalaran lahir metode tafsir bi al-ra'y. 2. Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya a. Metode Tahliliy Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efisien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan mawdhu'iy.48 Terlepas dari catatan-catatan yang dikemukakan menyangkut istilah dan kategorisasinya. Yang paling populer dari keempat metode yang disebutkan itu, adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu'iy. Metode tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi'iy,49 adalah satu metode tafsir yang "Mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf." Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi'iy/tahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain. Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Quran.50 Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik di atas, namun yang jelas, kemukjizatan Al-Quran tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang selalu dimulai dengan kalimat "Inkuntum fi raib" atau "Inkuntum shadiqin". Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Shadr --ulama Syi'ah Irak itu-- yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.51 Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya. Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya --apakah pada diri kita atau metode mereka-- adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai "mengikat" generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat. b. Metode Mawdhu'iy "Istanthiq Al-Quran" ("Ajaklah Al-Quran berbicara" atau "Biarkan ia menguraikan maksudnya") -- konon itu pesan Ali ibn Abi Thalib. Pesan ini, antara lain mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode mawdhu'iy di mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Tafsir dalam Era Globalisasi Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan Urusan Al-Azhar Mesir, dalam bukunya Al-Islam wa Al-Mustaqbal menyinggung tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara penulis Islam baik Muslim maupun non-Muslim tentang apa yang dinamai "Al-Islam Al-Iqlimiy". Hal itu berarti bahwa setiap wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan bentuk yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut, sehingga pemahamannya terhadap Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat. Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu berarti bahwa Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, akibat perbedaan budaya dan peradaban. Dari satu sisi, apa yang ditekankan di atas ada benarnya dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan Al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa. Dan tentunya, pemahaman manusia --termasuk terhadap Al-Quran-- akan banyak dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan masyarakatnya. Bahkan lebih jauh dari itu, dalam Al-Quran sendiri terdapat perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari adanya apa yang dinamai Al-Ahruf Al-Sab'ah yang oleh sementara ulama dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah akibat kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya dengan perbedaan qira'at yang dikenal luas dewasa ini. Namun demikian, hemat penulis, tidaklah wajar untuk menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan tafsir Al-Quran ala Indonesia, Mesir, atau kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam --akidah, syari'ah, dan akhlak-- yang tentunya harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang. Tetapi juga, dan yang tidak kurang pentingnya, adalah karena kita semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya saling mempengaruhi. Diakui bahwa setiap masyarakat mempunyai kekhususan-kekhususan. Nah, apakah ciri masyarakat Indonesia, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat lain dan yang mungkin akan menjadi bahan pertimbangan untuk meletakkan dasar-dasar penafsiran itu? Ada yang berpendapat bahwa kekhususan tersebut adalah keberadaannya sebagai masyarakat plural. Tetapi, walaupun hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan sesuatu yang khas Indonesia. Masyarakat Mesir, Syria, dan India, misalnya, juga merupakan masyarakat plural di mana berbagai etnis dan agama hidup berdampingan dengan segala suka-dukanya. Menjadi kewajiban semua umat Islam untuk membumikan Al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat. Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, penulis ingin menggarisbawahi dua persoalan pokok, yang berkaitan dengan dasar penafsiran, tanpa menutup mata terhadap dasar-dasar lain. 1. Asbab Al-Nuzul Al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa arti "sebab" dalam rumusan di atas --walaupun tidak dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa "Al-Qur'an qadim"-- tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa "kenyataan" tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di pentas bumi itu. Dalam kaitannya dengan asbab al-nuzul, mayoritas ulama mengemukakan kaidah al-'ibrah bi 'umum al-lafzh la bi khushush al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya); sedangkan sebagian kecil dari mereka mengemukakan kaidah sebaliknya, al-'ibrah bi khushush al-sabab la bi 'umum al-lafzh (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum). Di sini perlu kiranya dipertanyakan: "Bukankah akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas di atas yang ditekankan?" Tentunya, jika demikian, maka perlu diberikan beberapa catatan penjelasan sebagai berikut: Seperti diketahui setiap asbab al-nuzul pasti mencakup: (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin benak akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku. Sayang, selama ini pandangan menyangkut asbab al-nuzul dan pemahaman ayat seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan "waktu" terjadinya --setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya-- berdasarkan kaidah yang dianut oleh mayoritas tersebut. Para penganut paham al-'ibrah bi khushush al-sabab, menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab al-nuzul itu, tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya.52 Pandangan mereka ini, hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah, seperti dikemukakan di atas, ayat Al-Quran tidak turun dalam masyarakat hampa budaya dan bahwa "kenyataan mendahului/ bersamaan dengan turunnya ayat"? Analogi yang dilakukan hendaknya tidak terbatas oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-manthiq, al-shuriy) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha' kita. Tetapi, analogi Yang lebih luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana halnya pada masa Rasul dan para sahabat."53 Qiyas yang selama ini dilakukan menurut Ridwan Al-Sayyid adalah berdasarkan rumusan Imam Al-Syafi'i, yaitu "Ilhaq far'i bi ashl li ittihad al-'illah", yang pada hakikatnya tidak merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan, tetapi sekadar membahas fakta yang ada untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu dengan apa yang pernah ada.54 Pengertian asbab al-nuzul dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Al-Quran dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan mengembangkan pengertian qiyas. 2. Ta'wil Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan. Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa "Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil, tamsil, atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan pen-ta'wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya. Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran rasional dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam bidang penafsiran metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-makna metaforis pada ayat-ayat Al-Quran. Dan, dalam hal ini, harus diakui bahwa dia telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan, sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi itu. Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut aliran rasional (Mu'tazilah) dan bahkan dinilai sebagai "juru bicara Ahl Al-Sunnah".55 Namun, dia menempuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam rangka memahami teks-teks keagamaan. Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta'wil tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta'wil-an ayat-ayat Al-Quran: Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik. Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat kelompok Al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal. Dalam syarat Al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh Al-Syathibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna) yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya. Aliran tafsir Muhammad 'Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta'wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna penta'wil-an dengan kata yang di-ta'wil-kan. Karena itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata).56 Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi' yang secara tegas menyatakan bahwa "Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat ketakutan seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana kita berada."57 Ta'wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang. Sebelum menutup persoalan ini, perlu kita garisbawahi bahwa tidaklah tepat men-ta'wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri. Catatan kaki 42 Prof. Dr. Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989, h. 77. 43 Lihat Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat, Dar Al-Marifah, Beirut, tp. th., Jilid II, h. 18. 44 Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Kairo, 1961, Jilid 1, h. 142. 45 Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, 1367 H, Jilid 1, h. 8. 46 Mahmud Al-Syarif, Al-Thabariy Manhajuhu fi Al-Tafsir, Dar Ukaz, Jeddah, 1984, h. 62. 47 Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa: "Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian disusul oleh sesudahnya (tabi'in), lalu disusul lagi oleh sesudahnya, dan sesudah mereka tidak lagi dinamai generasi terbaik." 48 Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu'iy, Al-Hadharah AlArabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977, h. 23. 49 Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, Beirut, 1980, h. 10. 50 Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Al-Zahirah Al-Qur'aniyah, Dar Al-Fikr, Lebanon, t.t., h. 58. 51 Muhammad Baqir Al-Shadr, op.cit., h. 12. 52 Muhammad Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan, Al-Halabiy, Mesir, Cet. III, 1980 Jilid I h. 125. 53 Yusuf Kamil, Al-'Ashriyun Mu'tazilat Al-Yawm, Al-Wafa' Al-Mansurah, Mesir, 1985, h. 22. 54 Ridhwan Al-Sayyid, Al-Islam Al-Mu'ashir, Naz'at fi Al-Hadhir wa Al-Mustaqbal, Dar .Al-'Ulum Al-Arabiyah, Beirut, 1986, h. 90. 55 Prof. Dr. Muhammad Rajab Al-Bayyumi, Khathawat Al-Tafsir Al-Bayaiy, Majma' Al-Buhuts, Kairo, 1971, h. 92. 56 Muhammad Rasyid Ridha, op.cit., Jilid III, h. 95. 57 Aisyah Abdurrahman (Bint Al-Syathi') Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilm li Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 887. Tafsir dan Modernisasi Al-Quran memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS 14:1). Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa manusia tadinya merupakan satu kesatuan (ummatan wahidah), tetapi sebagai akibat lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat. Sejak itu, Allah mengutus nabi-nabi dan menurunkan Kitab Suci, agar mereka --melalui Kitab Suci tersebut-- dapat menyelesaikan perselisihan mereka serta menemukan jalan keluar bagi penyelesaian problem-problem mereka (QS 2:213). Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi-fungsi yang digambarkan di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan memahaminya (baca antara lain QS 38:29), sehingga mereka dapat menemukan --melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat-- apa yang dapat mengantar mereka menuju terang benderang. Di sisi lain, Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal sebagai: tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman tadi kuat, lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya ... (QS 48:29). Penggalan ayat ini menggambarkan betapa masyarakat ideal tersebut terus-menerus berubah dan berkembang menuju kesempurnaannya. Kalau gambaran di atas dikaitkan dengan hakikat kemodernan yang --antara lain-- bercirikan dinamika dan perubahan terus-menerus, serta dikaitkan dengan fungsi Kitab Suci seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka kita dapat berkesimpulan bahwa Al-Quran menganjurkan pembaruan atau --dalam bahasa hadis Rasulullah saw.-- tajdid, atau istilah lainnya "modernisasi" atau "reaktualisasi". Arti Tajdid atau Modernisasi Walaupun semua ulama mengakui dan menyadari perlunya tajdid, terlepas apakah mereka menilai sahih atau tidak hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari sahabat Abu Hurairah,58 namun --dalam pengertiannya serta pengalamannya-- telah terjadi perbedaan-perbedaan yang tidak kecil. Busthami Muhammad Said59 misalnya, menyimpulkan pengertian tajdid seperti yang dikemukakan oleh Sahl Al-Sha'luki (w. 387 H) sebagai "Mengembalikan ajaran agama sebagaimana keadaannya pada masa salaf pertama" (i'adah al-din ila ma kana 'alayhi ahd al-salaf al-shalih). Sementara itu, Ahmad ibn Hanbal memahami pengertian tajdid sebagai "penyebarluasan ilmu".60 Dengan menggabungkan keduanya, diperoleh suatu rumusan bahwa tajdid tidak lain kecuali "menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf al-awwal." Sebaliknya, ada pula yang memahami tajdid sebagai "usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan men-ta'wil-kan atau menafsirkannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat."61 Hemat kita, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan Al-Quran sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al-salaf tidak sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena Al-Quran harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mempelajari dan memikirkannya. Sementara itu, hasil pemikiran pasti dipengaruhi oleh sekian faktor, antara lain pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, serta latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi dan generasi lainnya, bahkan antara pemikir dan pemikir lainnya pada suatu generasi. Tapi juga karena memaksa satu generasi untuk mengikuti "keseluruhan" hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan pula dengan hakikat masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan. Di pihak lain, melakukan tajdid dengan jalan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang dinilai "selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat." Selain itu, menafsirkan dan men-ta'wil-kannya sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi mengandung bahaya yang tidak kecil. Ini karena perkembangan masyarakat dapat merupakan akibat potensi positif manusia dan dapat juga sebaliknya. Demikian pula dengan penemuan ilmiah: ada yang bersifat objektif dan telah mapan dan ada pula yang sebaliknya. Atas dasar ini, diperlukan beberapa catatan terhadap ide-ide sementara pemikir atau ulama kontemporer. Mereka, walaupun semuanya berbicara tentang tajdid atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batas-batasnya: di satu pihak ada yang membatasinya sehingga tidak mencapai apa yang diharapkan, dan di pihak lain ada yang melampaui batas sehingga menyerempet bahaya. Sebagai contoh dikemukakan berikut ini pandangan Al-Maududi: "Tidak dapat disangkal bahwa manusia, dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-hakikat ilmiah, menyebabkan bertambah dalam pula pemahamannya tentang makna-makna Al-Quran. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ia telah memahami Al-Quran melebihi pemahaman Nabi dan murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi saw."62 Pendapat Al-Maududi di atas, walaupun kelihatannya berbeda dengan pendapat Al-Syathibi (1143-1194), namun hakikatnya sama. Menurut Al-Syathibi, "Syari'at bersifat ummiyah, tidak boleh dipahami kecuali sebagaimana pemahaman para sahabat Nabi saw."63 Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah "murid-murid" Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat Al-Quran. 'Adi ibn Hatim, misalnya, memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith al-aswad (QS 2:187), dengan arti hakiki (benang).64 Kalau pendapat Al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka demikian pula pendapat aliran lain semacam pandangan Muhammad Asad. Menurut Asad, kunci utama memahami Al-Quran adalah ayat ketujuh surah Ali 'Imran, Huwa alladzi anzala 'alaika al-kitab minhu ayat muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu mutasyabihat. Menurut Asad, ayat inilah yang menjadikan risalah Al-Quran mudah dicerna bagi mereka yang menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai makna-makna simbolis. Al-Quran --katanya lebih jauh-- memiliki banyak ayat mutasyabih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara metaforis, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami jiwa ajaran Al-Quran.65 Tetapi, apakah benar dalam Al-Quran terdapat "banyak" ayat mutasyabih? Dan apakah mutasyabih dapat di-ta'wil-kan sebagaimana cara yang ditempuh itu, sehingga pada akhirnya hilanglah supra rasionalitas dalam ajaran agama (mukjizat tidak menjadi mukjizat lagi, malaikat di-ta'wil-kan menjadi "hukum alam" atau bisikan hati nurani, dan sebagainya)? Tidak, ini yang melampaui batas, tidak pula yang sebelumnya yang sangat terbatas, yang kita pahami sebagai tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir. Pandangan tentang Modernisasi Tafsir Berikut ini beberapa pokok pandangan yang dapat dijadikan pegangan dalam rangka tajdid atau modernisasi dalam bidang tafsir. 1. Hadis-hadis dan Pendapat-pendapat Sahabat Seorang mufasir tidak dapat mengabaikan hadis-hadis Rasulullah dan pendapat sahabat. Penafsiran yang paling ideal adalah tafsir bi alma'tsur, yakni yang berlandaskan ayat, hadis, dan pendapat sahabat dalam menafsirkan Al-Quran. Hanya saja, ini bukan berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat dikembangkan maknanya. Penafsiran Nabi saw., demikian pula sahabat, dapat dibagi dalam dua kategori: (1) la majala li al-'aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya; dan (2) fi majal al-aql (dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah kemasyarakatan. Yang pertama, apabila nilai riwayatnya sahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi saw. adalah benar adanya, namun penafsiran tersebut harus didudukkan pada proporsinya yang tepat. Ini karena sifat penafsiran beliau sangat bervariasi, baik dari segi motif penafsiran, yang dapat berbentuk ta'rif atau irsyad atau tashhih, dan sebagainya, maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran yang juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang berbentuk: (a) Hubungan padanan (tathabuq), seperti penafsiran al-shalat al-wustha dengan "shalat Ashar"; (b) Hubungan kelaziman (talazum) seperti penafsiran ud'uni (dalam QS 40:60) dengan "beribadat"; (c) Hubungan cakupan (tadhamun), seperti penafsiran al-akhirat (dalam QS 14:27) dengan "kubur"; (d) Hubungan percontohan (tamtsil), seperti penafsiran al-maghdhub 'alayhim (dalam surah Al-Fatihah) dengan "orang-orang Yahudi", dalam arti bahwa beliau menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang beliau angkat dari masyarakat ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diberikan penafsiran lain dalam bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam masyarakat-masyarakat lain. Di samping keragaman penafsiran seperti yang dikemukakan di atas, hadis-hadis Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan atau memperagakannya. Al-Qarafi66 membagi sikap atau ucapan Nabi saw. dalam empat kategori, yaitu dalam kedudukan beliau sebagai: (1) Rasul; (2) Mufti; (3) Qadhi; dan (4) Imam (pemimpin negara atau masyarakat). Pembagian di atas dapat ditambah dengan (5) sebagai pribadi. Hadis-hadis yang berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat beliau, sehingga pemahamannya harus dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu. Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakannya termasuk fi ma la majal li al-'aql fih (bukan kalam wilayah nalar), maka ia fi hukm al-murfu' (bersumber dari Nabi saw.) sehingga ia diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak. 2. Pembedaan antara yang Qath'iy dan yang Zhanniy Menurut Al-Syathibi, tidak ada atau sedikit sekali yang bersifat qath'iy dalam dalil-dalil Syari'at bila yang dimaksud dengannya adalah tidak adanya kemungkinan arti lain bagi satu lafal pada saat ia berdiri sendiri.67 Betapapun terdapat perbedaan pendapat tentang batas pengertian dan bilangan ayat-ayat yang bersifat qath'iy al-dalalah, namun yang jelas apabila satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tempat bagi suatu interpretasi baru baginya. Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah kemudian timbul ide pembedaan antara Syari'at dan fiqih. Ahmad Abu Al-Majd menulis, "Kita harus menekankan keharusan pembedaan antara Syari'at dan fiqih: Syari'at adalah sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qath'iy baik dari segi wurud-nya (keaslian sumbernya) maupun dari segi dilalah-nya (pengertiannya); sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash."68 Selanjutnya ia menekankan: "Kelirulah mereka yang berkata bahwa generasi lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuatu apa pun ... Sesungguhnya mereka telah menyisihkan bagi generasi sesudahnya suatu alam/dunia yang berbeda dengan alam/dunia mereka ... Pengalaman-pengalaman baru tidak dapat diabaikan dengan alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan menempati tempatnya."69 Nah, dalam pengalaman-pengalaman baru inilah dapat timbul penafsiran-penafsiran baru, bahkan kaidah-kaidah baru yang belum dikenal oleh para pendahulu. Pengalaman masa kini menunjukkan antara lain: (a) Angka kematian dapat ditekan dan rata-rata umur manusia meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. (b) Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya, bahkan manusia telah berada dalam pintu gerbang pemilihan jenis kelamin dan genetics engineering (rekayasa genetis). Dua contoh di atas menjadikan seseorang yang percaya kepada Al-Quran terpaksa meninjau penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan Tuhan terhadap manusia serta mafatih al ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Tentunya bukan yang dimaksud di sini mengabaikan semua hasil penelitian atau pendapat para pendahulu, tetapi prinsip yang sewajarnya dipegang adalah al-muhafazhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (berpegang kepada yang lama yang baik, dan kepada yang baru yang lebih baik). 3. Penggunaan Ta'wil dan Metafora Pada masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan menggunakan ta'wil atau memberi arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Imam Malik (w. 795 M), misalnya, enggan membenarkan seseorang berkata "langit menurunkan hujan."70 Harus diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkannya adalah Allah SWT. Keengganan menggunakan ta'wil ini menjadikan sementara ulama salaf menduga bahwa batu adalah makhluk hidup yang berakal, berdasarkan firman Allah dalam QS 2: 74. Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus Nabi-nabi kepada lebah berdasarkan QS 16:68.71 Setelah masa al-salaf al-awwal, keadaan telah berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya tawil dalam berbagai bentuknya. Al-Sayuthi; misalnya, menilai majaz sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa.72 Namun, walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunaannya. Kini, sementara orang yang menganggap dirinya sebagai pembaru dalam bidang tafsir, menggunakan pen-ta'wil-an semata-mata berdasarkan penalaran tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Dr. Mustafa Mahmud, misalnya, men-tawil-kan larangan Tuhan kepada Adam dan Hawa "mendekati pohon" sebagai larangan melakukan hubungan seksual.73 Walaupun salah satu argumentasinya adalah argumentasi kebahasaan, namun penafsiran ini sangat menggelikan pakar bahasa. Menurut Mustafa, redaksi firman Allah sebelum mereka mendekati pohon adalah dalam bentuk mutsanna (dual), yakni jangan kamu berdua mendekati pohon ini (QS 2:35). Tetapi, setelah mereka memakannya (dalam arti melakukan hubungan seksual), redaksi berikutnya berbentuk jamak, yakni Turunlah kamu semua dari surga ... Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian lainnya (QS 2:36). Hal ini menurutnya, adalah bahwa tadinya Adam dan Hawa hanya berdua, tetapi setelah istrinya mengandung janin maka mereka menjadi bertiga sehingga wajar bila redaksi beralih menjadi bentuk jamak.74 Apa yang dikemukakan ini jelas bertentangan dengan teks ayat dan bertentangan pula dengan kaidah kebahasaan. Karena, bahasa tidak menjadikan janin yang dikandung sebagai wujud penuh, tetapi mengikut kepada ibu yang mengandungnya dan karenanya walaupun seorang ibu mengandung --berapa pun bayi yang dikandungnya-- ia tetap dianggap sebagai wujud tunggal. Contoh di atas membuktikan kekeliruan pen-ta'wil-an yang dilakukan semata-mata dengan menggunakan nalar tanpa pertimbangan kaidah kebahasaan. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap penta'wil-an: (a) Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya; (b) Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa Arab klasik.75 Sementara pembaru dinilai sangat memperluas penggunaan ta'wil, tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Kita dapat memahami motivasi sebagian mereka --seperti motivasi Muhammad Abduh yang menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah gaib. Namun bila hal ini diperturutkan tanpa batas, maka ia dapat mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan dalam pemikiran sementara pembaru. Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan, khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Tuhan (Zat Yang Mutlak itu). Tetapi, tentunya ini bukan berarti kita menerima begitu saja penafsiran-penafsiran yang tidak logis. Apa yang dikemukakan di atas hanya berarti apabila suatu redaksi sudah cukup jelas serta pemahamannya tidak bertentangan dengan akal --walaupun belum dipahami hakikatnya-- maka redaksi .tersebut tidak perlu di-ta'wil-kan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis. Apa yang dikemukakan di atas juga bukan berarti hanya menggunakan ta'wil pada ayat-ayat yang telah pernah di-ta'wil-kan oleh para pendahulu. Perkembangan masyarakat yang dihasilkan oleh potensi positifnya, hasil-hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, kesemuanya harus menjadi pegangan pokok dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, sehingga, bila pada lahirnya teks bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka tidak ada jalan lain kecuali menempuh pen-ta'wil-an. Hal demikian tentunya lebih baik daripada pengabaian teks, sebagaimana ia tentunya masih dalam batas-batas yang dibenarkan Al-Quran dan ulama. Karena, bukanlah Al-Quran mengenal redaksi yang demikian itu dan ulama pun telah sepakat untuk menggunakannya? Catatan kaki 58 Hadis tersebut berbunyi: Inna Allah yab'atsu lihadzihi al-ummah 'ala ra'si kulli mi'ah sanah man yujaddidu laha dinaha. Lihat Sunan Abi Daud tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Al-Tijariyah Al-Kubra, Kairo, 1953; jilid IV, h. 109. 59 Lihat Busthami Muhammad Said, Mafhum Tajdid Al-Din, Dar Al-Da'wah, Kuwait, cet. 1, 1984. 60 Ibid., h. 25. 61 Abu Al-Hasan Al-Nadawi, Al-Syura Bayn Al-Fikrah Al-Islamiyyah wa Al-Fikrah Al-Gharbiyyah, Maktabah Al-Taqaddum, Kairo, cet.III, 1977, h. 71. 62 Abu Al-A'la Al-Maududi, Al-Islam fi Muwajahat Al-Tahaddiyat Al-Mu'ashirah, Dar Al-Qalam, Kuwait, 1974, h. 187. 63 Abu Ishaq Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, tahqiq Syaikh Abdullah Darraz, Al-Tijariyah Al-Kubra, Kairo, t.t. jilid II h. 82. 64 Dalam riwayat Bukhari dinyatakan bahwa 'Adi meletakkan tali (benang) hitam dan putih di bawah bantalnya. Lihat Shahih Al-Bukhari Kitab Al-Shaum, Sulaiman Mar'iy, Singapura t.t., jilid I, h. 328. Dalam riwayat lain Nabi bersabda kepadanya: Inna wisadataka izan la'aridh (kalau demikian bantalmu panjang sekali). Lihat Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman dalam Jam' Al-Fawa'id min Jami' Al-Ushul wa Majma'Al-Zawaid, Abdullah Hasyim Al-Yamani, Madinah, 1961, jilid II, h. 178. 65 Lihat Muhammad Asad dalam The Message of Qur'an, II, sebagaimana dikutip oleh Busthami Muhammad Said, op. cit., h. 178. 66 Al-Qarafi, Al-Ahkam fi Tamyiz Al-Fatawa an Al-Ahkam wa Tasharrufat Al-Qadhi wa Al-Imam, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Al-Mathba'at Al-Islamiyyah, Halab, Suria, 1967, h. 86, dan seterusnya. 67 Al-Syathibi, op. cit., jilid I, h. 35. 68 Lihat Artikelnya dengan judul "Muwajahat Ma'a 'Anashir Al-Jumud fi Al-Fikr Al-Islamiy Al-Mu'ashir,"dalam majalah Al-Arabiy, Kuwait, no. 222, Mei 1977, h. 22. 69 Ibid. 70 Syarif Al-Radhi, Talkhish Al-Bayan, tahqiq Muhammad Abdul Ghani Hassan, Al-Halabi, Mesir, 1955, h. 11. 71 Al jahiz, Al-Hayawan, tahqiq Abdussalam Harun. Kairo, 1964, jilid II, h. 128. 72 Al-Sayuthi, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Kairo, 1318 H, jilid II, h. 36. 73 Lihat lebih jauh Abdul Muta'al Muhammad Al-Jabri, Syathahat Mushthafa Mahmud, Dar Al-I'tisham, Kairo, 1967, h. 119. 74 Ibid. 75 Al-Syathibiy, op. cit., h. 100. Penafsiran Ilmiah Al-Quran Al-Quran Al-Karim, yang merupakan sumber utama ajaran Islam, berfungsi sebagai "Petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya" (QS 17:9) demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan global, sehingga penjelasan dan penjabarannya dibebankan kepada Nabi Muhammad saw. (QS 16:44; 4:105, dan sebagainya). Di samping itu, Al-Quran juga memerintahkan umat manusia untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran (QS 39:18; 47:24), dengan perhatian yang, di samping dapat mengantar mereka kepada keyakinan dan kebenaran Ilahi, juga untuk menemukan alternatif-alternatif baru melalui pengintegrasian ayat-ayat tersebut dengan perkembangan situasi masyarakat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip pokok ajarannya (Al-Ushul Al-Ammah) atau mengabaikan perincian-perincian yang tidak termasuk dalam wewenang ijtihad. Dengan demikian, akan ditemukan kebenaran-kebenaran penegasan Al-Quran, bahwa: a. Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya di seluruh ufuk dan pada diri manusia, sehingga terbukti bahwa ia (Al-Quran) adalah benar (baca QS 41:53). b. Fungsi diturunkannya Kitab Suci kepada para Nabi (tentunya terutama Al-Quran), adalah untuk memberikan jawaban atau jalan keluar bagi perselisihan dan problem-problem yang dihadapi masyarakat (baca QS 2:213). Perkembangan Penafsiran Ilmiah Dalam rangka pembuktian tentang kebenaran Al-Quran, wahyu Ilahi ini telah mengajukan tantangan kepada siapa pun yang meragukannya untuk menyusun "semisal" Al-Quran. Tantangan tersebut datang secara bertahap: a. Seluruh Al-Quran (QS 17:88; 52:34). b. Sepuluh surah saja dari 114 surahnya (QS 11:13). c. Satu surah saja (QS 10:38). d. Lebih kurang semisal satu surah saja (QS 2:23).76 Arti semisal mencakup segala macam aspek yang terdapat dalam Al-Quran,77 salah satu di antaranya adalah kandungannya yang antara lain berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang belum dikenal pada masa turunnya. Dari sini tidaklah mengherankan jika sementara pihak dari kaum Muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan Al-Quran, atau kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu Ilahi melalui penafsiran, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun tidak jarang dirasakan adanya "pemaksaan-pemaksaan" dalam penafsiran tersebut yang antara lain diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah melalui Al-Quran, dan bukan sebaliknya. Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun (w. 853 M), akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Namun, agaknya, tokoh yang paling gigih mendukung ide tersebut adalah Al-Ghazali (w. 1059 - 1111 M)78 yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya' 'Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur'an mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa: "Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim."79 Hal ini, menurut Al-Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran menjelaskan tentang Zat, af'al dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya.80 Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, "Apabila aku sakit maka Dialah yang mengobatiku" (QS 26:80). "Obat" dan "penyakit", menurut Al-Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran. Agaknya, ulasan yang dikemukakan ini sukar untuk dipahami, karena, walaupun diyakini ilmu Tuhan tidak terbatas, namun apakah seluruh ilmu-Nya telah dituangkan dalam Al-Quran? Dan apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin ilmu tersebut di dalamnya? Tentulah berbeda antara ilmu dan "kalam". Karenanya, tidak semua yang diketahui itu diucapkan. Fakhruddin Al-Raziy (1209 M), walaupun tidak sepenuhnya, sependapat dengan Al-Ghazali. Namun, kitab tafsirnya, Mafatih Al-Ghayb, dipenuhi dengan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya. Sampai-sampai, kitab tafsirnya tersebut dinilai secara berlebihan sebagai mengandung segala sesuatu kecuali tafsir.81 Penilaian yang mirip dengan ini juga diberikan oleh Tafsir Al-Jawahir karangan Thantawi jauhari (1870-1940). Bahkan, sebelumnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) dengan Tafsir Al-Manar-nya, dinilai berusaha juga membuktikan hal tersebut. Ia, menurut penilaian Goldziher, berusaha membuktikan bahwa: "Al-Quran mencakup segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), khususnya di bidang filsafat dan sosiologi."82 Di lain sisi, Al-Syathibi (w. 1388) merupakan tokoh yang paling gigih menentang sikap di atas secara berlebih-lebihan pula, sehingga ia mengatakan bahwa "Al-Quran tidak diturunkan untuk maksud tersebut,"83 dan bahwa "Seseorang, dalam rangka memahami Al-Quran, harus membatasi diri menggunakan ilmu-ilmu bantu pada ilmu-ilmu yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Quran. Siapa yang berusaha memahaminya dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu selainnya, maka ia akan sesat atau keliru dan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang tidak pernah dimaksudkannya."84 Namun, apa yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut, juga sukar untuk dipahami, karena kita berkewajiban memahami Al-Quran sesuai dengan masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa dakwah Muhammad saw.85 Di samping itu, bagaimana kita dapat melaksanakan maksud ayat seperti "Apakah mereka tak berpikir", dan sebagainya, yang biasanya menjadi fashilah (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang biologi, astronomi, dan lainnya, apabila kita tidak memahaminya melalui bantuan ilmu-ilmu tersebut yang jelas belum dikenal dan berkembang dengan pesat sebagaimana yang kita alami dewasa ini? Pendapat kedua tokoh yang memiliki reputasi tinggi di bidang ilmu keislaman dan yang bertolak belakang itu, masing-masing mempunyai pendukung sejak masa mereka hingga dewasa ini, walaupun pendapat yang dipelopori oleh Al-Ghazali lebih tersebar akibat faktor-faktor ekstern, baik menyangkut konflik yang terjadi di Eropa pada abad kedelapanbelas, antara pemuka Kristen dan ilmuwan-ilmuwan, maupun kondisi sosial umat Islam serta pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan. Untuk mendudukkan persoalan di atas pada proporsinya yang benar, perlu kiranya ditinjau korelasi antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Korelasi antara Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Hemat penulis, membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adakah Al-Quran atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupun negatif) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.86 Sejarah membuktikan bahwa Galileo --ketika mengungkapkan penemuan ilmiahnya-- tidak mendapat tantangan dari satu lembaga ilmiah, kecuali dari masyarakat di mana ia hidup. Mereka memberikan tantangan kepadanya atas dasar kepercayaan agama. Akibatnya, Galileo pada akhirnya menjadi korban penemuannya sendiri. Dalam Al-Quran ditemukan kata-kata "ilmu" --dalam berbagai bentuknya-- yang terulang sebanyak 854 kali. Di samping itu, banyak pula ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan, antara lain: Subjektivitas: (a) Suka dan tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79); (b) Taqlid atau mengikuti tanpa alasan (baca antara lain, QS 33:67; 2:170). Angan-angan dan dugaan yang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36). Bergegas-gegas dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (baca, antara lain QS 21:37). Sikap angkuh (enggan untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara lain QS 7:146). Di samping itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara lain: Jangan bersikap terhadap sesuatu tanpa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk persoalan (baca, antara lain, QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan (baca, antara lain, QS 10:39). Jangan menilai sesuatu karena faktor eksternal apa pun --walaupun dalam pribadi tokoh yang paling diagungkan seperti Muhammad saw. Ayat-ayat semacam inilah yang mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. "Tiada yang lebih baik dituntun dari suatu kitab akidah (agama) menyangkut bidang ilmu kecuali anjuran untuk berpikir, ... serta tidak menetapkan suatu ketetapan yang menghalangi umatnya untuk menggunakan akalnya atau membatasinya menambah pengetahuan selama dan di mana saja ia kehendaki."87 Inilah korelasi pertama dan utama antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat tersebut sebagiannya telah diketahui oleh masyarakat Arab ketika itu.88 Namun, apa yang mereka ketahui itu masih sangat terbatas dalam perinciannya. Di lain segi, paling sedikit ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari pembicaraan Al-Quran tentang alam raya dan fenomenanya: Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan manusia untuk memperhatikan dan mempelajarinya dalam rangka meyakini ke-Esa-an dan kekuasaan Tuhan. Dari perintah ini, tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut, namun pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal). Alam raya beserta hukum-hukum yang diisyaratkannya itu diciptakan, dimiliki, dan diatur oleh ketetapan-ketetapan Tuhan yang sangat teliti. Ia tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut kecuali bila Tuhan menghendakinya. Dari sini, tersirat bahwa: (a) alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah; (b) manusia dapat menarik kesimpulan tentang adanya ketepatan-ketepatan yang bersifat umum dan mengikat yang mengatur alam raya ini (hukum-hukum alam). Redaksi yang digunakan oleh Al-Quran dalam uraiannya tentang alam raya dan fenomenanya itu, bersifat singkat, teliti dan padat, sehingga pemahaman atau penafsiran tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing."89 Dalam kaitannya dengan butir ketiga ini, kita perlu menggarisbawahi beberapa prinsip pokok: a. Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami kitab suci yang dipercayainya. Namun, walaupun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapatnya tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan guna mencapai maksud tersebut. b. Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus untuk orang-orang Arab ummiyin yang hidup pada masa Rasul saw., tidak pula untuk generasi abad keduapuluh ini, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran dan dituntut untuk menggunakan akalnya. c. Berpikir secara modern, sesuai dengan keadaan zaman dan tingkat pengetahuan seseorang; tidak berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif90 atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli di bidang ini. Nah, kaitan prinsip ini dengan penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, membawa kita kepada, paling tidak, tiga hal pula yang perlu digarisbawahi, yaitu (1) Bahasa; (2) Konteks ayat-ayat; dan (3) Sifat penemuan ilmiah. 1. Bahasa Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami kandungan Al-Quran dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab. Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi. Dahulu Al-Thabariy (251-310 H), misalnya, menjadikan syair-syair Arab pra-Islam (jahiliah) sebagai salah satu referensi dalam menetapkan arti kata-kata dalam ayat-ayat Al-Quran.91 Bila apa yang ditempuh Al-Thabariy ini dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka penafsiran tentang ayat Al-Quran dapat saja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, kita --yang hidup pada masa kini-- tidak terikat dengan penafsiran mereka yang belum mengenal perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, kata 'alaq (terdapat dalam QS 96:2) tidak mutlak dipahami dengan "darah yang membeku", karena arti tersebut bukan satu-satunya arti yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa pra-Islam atau masa turunnya Al-Quran. Masih ada lagi arti-arti lain seperti "sesuatu yang bergantung atau berdempet".92 Dari sini, penafsiran kata itu dengan implantasi, seperti apa yang dikemukakan oleh embriolog ketika membicarakan proses kejadian manusia, tidak dapat ditolak. Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa adalah lebih baik memahami arti kata-kata dalam redaksi satu ayat, dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap kata tersebut dalam berbagai ayat dan kemudian menetapkan arti yang paling tepat dari arti-arti yang digunakan Al-Quran itu.93 Metode ini, antara lain, ditempuh oleh Hanafi Ahmad dalam tafsirnya ketika memahami bahwa penggunaan kata dhiya' untuk matahari dan nur untuk bulan (QS 10:5). Ini mengandung arti bahwa sumber sinar matahari adalah dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan bersumber dari sesuatu selain dari dirinya (matahari). Pemahaman ini ditarik dari penelitian terhadap penggunaan kata dhiya' yang terulang --dalam berbagai bentuknya-- sebanyak enam kali dan nur sebanyak lebih kurang 50 kali.94 Disamping kedua metode di atas, perlu pula kiranya dipertimbangkan tentang perkembangan arti dari suatu kata. Karena disadari bahwa ketika mendengar atau mengucapkan suatu kata, maka yang tergambar dalam benak kita adalah bentuk material atau yang berhubungan dengan materinya. Namun, dilain segi, bentuk materi tadi dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, kata "lampu" bagi masyarakat tertentu berarti suatu alat penerang yang terdiri dari wadah yang berisi minyak dan sumbu yang dinyalakan dengan api. Namun apa yang tergambar dalam benak kita dewasa ini tentang gambaran material tersebut telah berubah. Yang tergambar dalam benak kita kini adalah listrik. Kita tidak dapat membenarkan seseorang menafsirkan arti sayyarah (QS 12:10 dan 19; dan 5: 96) dengan mobil. Walaupun demikian, itulah terjemahannya yang secara umum dipakai dewasa ini, karena pada masa lalu, mobil --dalam pengertian kita sekarang-- belum ada. Namun, kita dapat membenarkan penafsiran zarrah dalam ayat-ayat Al-Quran, dengan atom karena kata ini menurut Al-Biqa'iy (885 H/ 1480 M), "digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang amat kecil atau ketiadaan."95 Selain aspek yang dikemukakan di atas, aspek-aspek kebahasaan lainnya pun perlu mendapat perhatian. Dr. Mustafa Mahmud, misalnya, ketika menafsirkan surah Al-'Ankabut, ayat 41, mengatakan bahwa yang membuat sarang laba-laba adalah betina laba-laba bukan jantannya. Karena, katanya, ayat tersebut menggunakan kata kerja mu'annats "ittakhadzat" bukan "ittakhadza" Menurutnya, Al-Quran telah mengisyaratkan bahwa tali-temali yang dihasilkan oleh laba-laba dalam membuat sarangnya bukanlah sesuatu yang rapuh, karena penelitian ilmiah membuktikan bahwa tali-temali tersebut, dalam kadar yang sama, lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera alam.96 Prof. Dr. 'Aisyah Abdurrahman binti Al-Syathi', Guru Besar Studi Ilmu-ilmu Al-Quran Universitas Qarawiyin di Maroko, serta Sastra Bahasa Arab di Universitas Kairo, menanggapi pendapat di atas. Ia menyatakan: "Para pelajar bahasa Arab tingkat pertama mengetahui bahwa bahasa ini menggunakan bentuk mu'annats (feminin) untuk kata al-ankabut (laba-laba), sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk mufrad (tunggal) dari kata-kata: namlah, nihlah, dan dawdah (semut, lebah, dan ulat)". Dengan demikian, menurutnya, bentuk mu'annats untuk kata al-'ankabut dalam ayat ini adalah atas pertimbangan bahasa dan tak ada hubungannya sedikit pun dengan biologi.97 Demikian pula, menetapkan ayat di atas dengan berpendapat bahwa sarang laba-laba lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera alam, akan mengakibatkan runtuhnya ungkapan yang dikenal oleh bahasa Al-Quran, bagi sesuatu Yang sangat rapuh yakni sarang laba-laba, sehingga jika penafsiran yang diungkapkan itu benar, maka akan kelirulah redaksi Al-Quran dan kandungannya yang mengatakan bahwa (serapuh-rapuh rumah tempat berlindung adalah sarang laba laba)."98 Dari sini dapat dipahami mengapa ulama-ulama Tafsir berkesimpulan bahwa "tidak wajar kita beralih dari pengertian hakiki suatu kata kepada pengertian kiasan (majazi), kecuali bila terdapat tanda-tanda yang jelas yang menghalangi pengertian hakiki tersebut".99 Dengan demikian, kita dapat mentoleransi (walaupun tidak sependapat dengan) para ahli yang memahami ayat 37 surah Fushshilat, atau ayat 33 surah Al-Anbiya; yang berbicara tentang matahari dan bulan, malam dan siang, kemudian menggunakan kata ganti hunna yang berbentuk jamak (plural), bahwa terdapat sekian banyak matahari dan bulan di alam raya. Tetapi, adalah tidak wajar jika kita menetapkan suatu pengertian terhadap satu kata atau ayat terlepas dari konteks kata tersebut dengan redaksi ayat secara keseluruhan dan dengan konteksnya dengan ayat-ayat yang lain. 2. Konteks antara Kata atau Ayat Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi. Seseorang yang tidak memperhatikan hubungan antara arsalna al-riyah lawaqi' dengan fa anzalna min aisama' ma'a (QS 15:22), yakni hubungan antara lawaqi' dan ma'a akan menerjemahkan dan memahami arti lawaqi' dengan "mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)".100 Namun, bila diperhatikan dengan seksama bahwa kata tersebut berhubungan dengan kalimat berikutnya, maka hubungan sebab dan akibat atau hubungan kronologis yang dipahami dari huruf fa pada fa anzalna tentunya pengertian "mengawinkan tumbuh-tumbuhan", melalui argumentasi tersebut, tidak akan dibenarkan. Karena, tidak ada hubungan sebab dan akibat antara perkawinan tumbuh-tumbuhan dengan turunnya hujan --juga "jika pengertian itu yang dikandung oleh arti fa anzalna min al-sama' ma'a", maka tentunya lanjutan ayat tadi adalah "maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan dan siaplah buahnya untuk dimakan manusia".101 Demikian pula hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Sebelum dinyatakan bahwa ayat 88 surah Al-Naml, ... dan engkau lihat gunung-gunung itu kamu sangka tetap pada tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan ..., mengemukakan tentang "teori gerakan bumi, baik mengenai peredarannya mengelilingi matahari maupun gerakan lapisan pada perut bumi",102 terlebih dahulu harus dipahami konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan ayat-ayat sesudahnya dan dibuktikan bahwa keadaan yang dibicarakan adalah keadaan di bumi kita sekarang ini, bukan kelak di hari kemudian.103 Ada yang menyatakan bahwa ayat 33 surah Al-Rahman telah mengisyaratkan kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar. Tapi dengan memperhatikan konteksnya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, khususnya dengan ayat 35, Kepada kamu (Jin dan Manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak akan dapat menyelamatkan diri, maka pemahamannya itu hendaknya ditinjau kembali agar ia tidak terperangkap oleh suatu kemungkinan tuduhan adanya kontradiksi antara dua ayat: ayat 33, berbicara tentang kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar, sedangkan ayat 35, menegaskan ketidakmampuannya. Disamping memperhatikan konteks ayat dari segi kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan satu cabang ilmu pengetahuan --bahkan semua ayat yang berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin ilmu-- hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu'iy, yaitu dengan jalan menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah yang sama, kemudian merangkaikan satu dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang pandangan atau pendapat Al-Quran tentang masalah yang dibahas itu.104 3. Sifat Penemuan Ilmiah Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap redaksi Al-Quran dapat berbeda-beda. Namun perlu kiranya digarisbawahi bahwa apa yang dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat bervariasi dari segi kebenarannya. Nah, bertitik tolak dari prinsip "larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif", maka penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam menafsirkan Al-Quran. Seseorang bahkan tidak dapat mengatasnamakan Al-Quran terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayatnya, karena Al-Quran --seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan semula-- tidak memerinci seluruh ilmu pengetahuan, walaupun ada yang berpendapat bahwa Al-Quran mengandung pokok-pokok segala macam ilmu pengetahuan. Ayat 30 surat Al-Anbiya', yang menjelaskan bahwa langit dan bumi pada suatu ketika merupakan suatu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan, merupakan suatu hakikat ilmiah yang tidak diketahui pada masa turunnya Al-Quran oleh masyarakatnya. Tetapi ayat ini tidak memerinci kapan dan bagaimana terjadinya hal tersebut. Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan pendapatnya tentang "kapan dan bagaimana", tetapi ia tidak berhak untuk mengatasnamakan Al-Quran dalam kaitannya dengan pendapatnya jika pendapat tadi melebihi kandungan redaksi ayat-ayat tersebut. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa seseorang dihalangi untuk memahami arti suatu ayat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya selama pemahaman tersebut sejalan dengan prinsip ilmu tafsir yang telah disepakati, maka tak ada persoalan.105 Dahulu, misalnya, ada ulama yang memahami arti sab' samawat (tujuh langit) dengan tujuh planet yang mengedari tata surya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini, ketika itu, dapat diterima. "Ini adalah suatu ijtihad yang baik yang merupakan pendapat seseorang, selama dia tidak mewajibkan dirinya mempercayai hal tersebut sebagai suatu i'tiqad (kepercayaan) dan tidak pula mewajibkan kepercayaan tersebut kepada orang lain."106 Pemahaman semacam ini tidak dapat dinamakan "tafsir", tetapi lebih mirip untuk dinamai tathbiq (penerapan).107 Penutup Melihat kompleksnya permasalahan Al-Quran dan ilmu pengetahuan, dimana dibutuhkan pengetahuan bahasa dengan segala cabang-cabangnya serta pengetahuan menyangkut berbagai bidang ilmu pengetahuan yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-Quran, maka sudah pada tempatnya jika pemahaman dan penafsirannya tidak hanya dimonopoli oleh sekelompok atau seorang ahli dalam suatu bidang tertentu saja. Tetapi hendaknya merupakan usaha bersama dari berbagai ahli dalam pelbagai bidang lain. Catatan kaki 76 Lihat, 'Abdullah Darraz, Al-Naba' Al-'Azhim, Tatbha'ah Al-Sa'adah, Mesir 1960, h. 77. 77 'Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut 1982, h. 57. 78 Bandingkan dengan Husain Al-Zahabiy, dalam Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kitab Al-'Arabiy, Kairo, 1963, jilid II, h. 140. 79 Al-Ghazaliy, Ihya' 'Ulum Al-Din, Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, Kairo, 1356 H, jilid I, h. 301. 80 Al-Ghazaliy, Jawahir Al-Qur'an, Percetakan Kurdistan, cet. I, Mesir, t.t., h. 31-32. 81 Fakhruddin Al-Raziy, Tafsir Mafatih Al-Ghayb, Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, Teheran, cet. III, jilid II, h. 215. 82 Ignaz Goldziher, Mazahib Al-Tafsir Al-Islamiy, terjemahan ke dalam bahasa Arab oleh Dr. Abdul Mun'im Al-Najjar, Al-Sunnah Al-Muhammadiyah, Kairo, 1955, h. 375. 83 Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, tt., jilid II, h. 80. 84 Ibid., h. 81-82. 85 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Hilal, Cairo,tt., h. 180 86 Malik bin Nabi, Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikr Al-Islamiy Al-Hadits, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, cet. VI, h. 123. 87 Al-'Aqqad op cit., h. 12. 88 Wahiduddin Khan, Ilme Jadid Ka Challenge, terjemahan bahasa Arab oleh Dr. 'Abdussabur Syahin, Al-Mukhtar Al-Islamiy, Kairo 1976, cet. VI, h. 123. 89 Bandingkan dengan, 'Abdul 'Azhim Al-Zarqaniy dalam Manahil Al-'Irfan, Al-Halabiy, Kairo 1980, jilid II, h. 356-558. 90 Lihat Al-'Aqqad, op cit., h. 174, dan 'Abdul Lathif Al-Subki dalam Nafahat Al-Qur'an, Al-Majlis Al-'Alahisyyun Al-Islamiyyah, Kairo, 1964, h. 17. 91 Lihat Al-Zahabiy, op cit., jilid I, h. 217. 92 Al-Raghib Al-Asfahaniy, Mufradat Gharib Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1961, h. 347. 93 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, cet. III 1367 H, h. 22. 94 Hanafi Ahmad, Al-Tafsir Al-'Ilmiy li Al-Ayat Al-Kawniyyah fi Al-Qur'an, Dar Al-Ma'arif, Kairo, cet. II, tt. h. 140-141. Kata dhiya' digunakan untuk api, kilat, minyak zaitun, matahari, Taurat (sebelum diberikan kepada Nabi Musa a.s.), dan cahaya. Kesemuanya itu bersumber dari dirinya sendiri dan bukan pantulan cahaya. Jika demikian, cahaya matahari bukan pantulan sebagaimana bulan 95 Ibrahim bin 'Umar Al-Biqa'iy, Nazm Al-Durar, Dar Al-Salafiah, Bombay, 1976, jilid V, h. 281. 96 Mustafa Mahmud, Al-Qur'an Muhawalah li Fahmi 'Ashriy, Dar Al-Ma'arif, Kairo, 1970, h. 211-212. 97 'Aisyah 'Abdurrahman, Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilmi li Al-Malayin, Beirut, 1982, cet. V, h. 329. 98 Ibid., h. 361. 99 Muhammad Ahmad Al-Gamrawiy, Al-Islam fi 'Ashr Al-'Ilmiy, Dar Al-Kutub Al-Haditsah Al-Sa'adah Kairo 1978, h. 375. 100 Lihat Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama,Yayasan Penyelenggara Penerjemahan/Penafsir Al-Quran, 1967, h. 392. 101 Al-Gamrawiy, op cit., h. 405. 102 A. Amiruddin "Penyelenggara Pemahaman Ajaran Islam, Menghadapi Kemajuan Ilmu dan Teknologi", PHBI, Departemen Agama, 1984, h. 19. 103 Lihat Al-Qasimiy, Mahasin Al-Ta'wil, Al-Halabiy, cet. I, 1959, jilid XIII, h. 4689, dan seterusnya. 104 Lihat lebih lanjut tentang uraian tafsir ini, di Bab "Metode Tafsir Tematik" dalam buku ini. 105 'Aisyah 'Abdurrahman, op cit., h. 61-62. 106 Al-'Aqqad, op cit., h. 182. 107 Muhammad Husain Al-Thabathaba'iy, Tafsir Al-Mizan, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, cet. III, 1397 H.K., jilid I, h. 6. Metode Tafsir Tematik Disepakati oleh para ulama, kecuali beberapa gelintir di antara mereka, bahwa mukjizat utama Al-Quran yang diperhadapkan kepada masyarakat yang ditemui Rasul adalah dari segi bahasa dan sastranya yang mengungguli sastra bahasa yang dikenal masyarakat Arab ketika itu. Hal ini mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap metode penafsiran Al-Quran. Jika kita telusuri tafsir-tafsir Al-Quran sejak masa Muhammad bin Jarir Al-Thabari (251-310 H) sampai kepada masa Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), kita akan menemui ciri utama yang menghimpun kitab-kitab tafsir tersebut adalah analisis redaksi. Agaknya hal ini merupakan salah satu usaha untuk meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi pemahaman umat Islam terhadap kemukjizatan tersebut, setelah ketinggian nilai sastranya tidak lagi dipahami secara instink-fitri (alamiah) oleh orang-orang Arab sekalipun. Ini akhirnya menimbulkan pendapat bahwa redaksi Al-Quran bukanlah sesuatu yang luar biasa, seperti teori Al-Shirfah108 yang dikemukakan oleh Al-Nazam (w. 835 H). Tetapi harus diakui bahwa usaha-usaha ulama untuk menafsirkan Al-Quran dengan metode analisis-redaksi tersebut, bahkan dengan metode komparasi yang kemudian dikembangkan Abu Bakar Al-Baqillani (w. 403 H) dalam rangka kemukjizatannya, juga tidak dapat bertahan lama setelah semakin mundurnya penguasaan sastra dan kaidah-kaidah bahasa orang Arab sendiri. Beberapa Problem Tafsir Setelah Tafsir Al-Thabari, dapat dikatakan bahwa kitab-kitab tafsir sesudahnya memiliki corak tertentu yang dirasakan bahwa penulisnya "memaksakan sesuatu terhadap Al-Quran".109 Kalau hal tersebut bukan suatu paham akidah, fiqih, atau tasawuf, maka paling tidak salah satu aliran kaidah bahasa. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada Tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari (467-538 H), atau Anwar Al-Tanzil karya Al-Baidhawi (w. 791 H), atau Ruh Al-Ma'ani karya Al-Alusi (w. 1270 H), atau Al-Bahr Al-Muhith karya Abu Hayyan (w. 745 H), dan sebagainya. Cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran, yang tadinya dipahami secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal. Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi Tafsir, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra' (w. 207 H), sampai tahun 1960 adalah menafsirkan Al-Quran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mush-haf. Bentuk demikian menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara menyeluruh. Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H/1210 M) misalnya, walaupun menyadari betapa pentingnya korelasi antara ayat, dan dia mengajak para mufasir untuk mencurahkan perhatian kepada hal itu, namun dia sendiri dalam kedua kitab tafsirnya tidak menyinggung banyak tentangnya. Karena perhatiannya tercurah kepada pembahasan-pembahasan filsafat (teologi) dan ilmu falak. Pembahasan masalah seperti ini mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin 'Umar Al-Biqa'i (809-885 H). Tetapi korelasi di sini ternyata menyangkut sistematika penyusunan ayat dan surat Al-Quran sesuai dengan urutan-urutannya dalam mush-haf, bukan dari segi korelasi ayat-ayatnya yang membahas masalah-masalah yang sama dan terkadang bagian-bagiannya terpencar dalam sekian surat. Di lain segi, maksud pembahasan Al-Biqa'i ini adalah untuk menjelaskan kemukjizatan Al-Quran dari segi sistematika penyusunan ayat-ayat dan surat-suratnya, serta sebab pemilihan suatu redaksi terhadap redaksi lainnya,110 bukan untuk menggambarkan segi-segi petunjuk Al-Quran yang dapat dipetik dan dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Al-Syathibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu. "Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kosakata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir," demikian kata Al-Syathibi.111 Pada bulan Januari 1960, Syaikh Al-Azhar, Mahmud Syaltut, menerbitkan Tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Di situ beliau menafsirkan Al-Quran bukan ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya. Walaupun ide tentang kesatuan dan isi petunjuk surat demi surat telah pernah dilontarkan oleh Al-Syathibi (w. 1388 M), tapi perwujudan ide itu dalam satu kitab Tafsir baru dimulai oleh Mahmud Syaltut. Metode ini, walaupun telah banyak menghindari kekurangan-kekurangan metode lama, masih menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah, karena tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam sekian banyak surat yang terpisah-pisah. Seperti dikemukakan semula bahwa pendapat seseorang tentang sesuatu masalah ditentukan oleh banyak faktor. Nah, kalau kita mengesampingkan sementara pendapat yang keliru yang tidak kurang ditemui dalam sekian banyak kitab tafsir lama, dan karena ketuaannya telah mendapat semacam pengkultusan, dan kita melihat pendapat-pendapat lainnya, maka kita temui pendapat-pendapat yang dapat diterima "pada masanya". Tetapi karena faktor yang dikemukakan di atas, maka pendapat tersebut kini sudah "out of date", dan tidak lagi dapat diterima. Misalnya, penafsiran tentang datarnya bumi, berdasarkan firman Allah pada surat Nuh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan sebelum dibuktikan bumi kita bulat; atau penafsiran tujuh tingkat langit dengan tujuh planet yang mengitari tata surya, yang ternyata tidak hanya tujuh. Sementara itu, berbarengan dengan perkembangan masyarakat, berbagai problem dan pandangan baru timbul dan perlu ditanggapi secara serius, yang tentunya berbeda dengan problem yang dihadapi oleh masyarakat sebelum kita. Problem dan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha agaknya sudah tidak relevan dengan keadaan masa kini, atau paling tidak sudah tidak menduduki prioritas pertama dalam perhatian atau kepentingan masyarakat sekarang. Dapat dibayangkan bagaimana kiranya jika yang disodorkan kepada masyarakat umum adalah masalah-masalah yang menjadi pembahasan ulama Tafsir pada masa sebelum Rasyid Ridha. Tidak syak lagi bahwa manusia yang dibentuk pikirannya dengan uraian-uraian tersebut adalah manusia-manusia abad lalu yang "terlambat lahir". Metode Mawdhu'iy Dari sini pula para ahli keislaman mengarahkan pandangan mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk memberikan jawaban-jawabannya melalui petunjuk-petunjuk Al-Quran, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau penemuan manusia, baik yang positif maupun yang negatif, sehingga bermunculanlah banyak karya ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu menurut pandangan Al-Quran, misalnya Al-Insan fi Al-Quran, dan Al-Mar'ah fi Al-Quran karya Abbas Mahmud Al-Aqqad, atau Al-Riba fi Al-Quran karya Al-Maududi, dan sebagainya. Namun karya-karya ilmiah tersebut disusun bukan sebagai pembahasan Tafsir. Di sini ulama Tafsir kemudian mendapat inspirasi baru, dari bermunculan karya-karya Tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat, dari beberapa surat, yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al-Quran. Metode ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar sampai tahun 1981. Beberapa dosen Tafsir di universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain Prof. Dr. Al-Husaini Abu Farhah menulis Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i li Al-Ayat Al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih banyak topik yang dibicarakan Al-Quran. Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya secara mawdhu'i (tematik) itu, Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakannya perincian ayat-ayat yang turun pada periode Makkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan. Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i dengan mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'iy. Langkah-langkah tersebut adalah: (a) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik); (b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; (c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya; (d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing; (e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline); (f) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan; (g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.112 Penulis mempunyai beberapa catatan dalam rangka pengembangan metode tafsir Mawdhu'iy dan langkah-langkah yang diusulkan di atas. Antara lain: (1) Penetapan masalah yang dibahas Walaupun metode ini dapat menampung semua persoalan yang diajukan, terlepas apakah jawabannya ada atau tidak, namun untuk menghindari kesan keterikatan yang dihasilkan oleh metode tahliliy akibat pembahasan-pembahasannya terlalu bersifat sangat teoretis, maka akan lebih baik bila permasalahan yang dibahas itu diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka. Ini berarti, mufasir Mawdhu'iy diharapkan agar terlebih dahulu mempelajari problem-problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban Al-Quran, misalnya petunjuk Al-Quran menyangkut kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan sebagainya. Dengan demikian, corak dan metode penafsiran semacam ini memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di lokasi tertentu dan tidak harus memberi jawaban terhadap mereka yang hidup sesudah generasinya, atau yang tinggal di luar wilayahnya. (2) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk Al-Quran menyangkut persoalan yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada nasikh dan mansukh dalam Al-Quran. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan satu kisah, atau kejadian, maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa. (3) Kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran Walaupun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufasir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma'tsur, yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode mawdhu'iy. Pengamatan terhadap pengertian kosakata, demikian juga pesan-pesan yang dikandung oleh satu ayat, hendaknya diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata yang digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Bentuk kata dan kedudukan i'rab, misalnya, mempunyai makna tersendiri. Bentuk ism memberi kesan kemantapan, fi'l mengandung arti pergerakan, bentuk rafa' menunjukkan subjek atau upaya, nashb yang menjadi objek dapat mengandung arti ketiadaan upaya, sedang al-jar memberi kesan keterkaitan dalam keikutan.113 Untuk menetapkan masalah yang akan dibahas, beberapa kitab dapat menjadi rujukan, antara lain Tafshil Ayat Al-Qur'an karya sekelompok orientalis dan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Demikian pula Kitab Al-Hayat karya Muhammad Reza Hakimi dan kawan-kawan, atau juga dapat ditempuh dengan menggunakan Al-Mu'jam Al-Mufahras Ii Alfazh Al-Qur'an karya Muhammad Fuad 'Abdul Baqiy, dengan memperhatikan kosakata dan sinonimnya yang berhubungan dengan suatu masalah yang dibahas itu. (4) Azbab al-Nuzul Perlu digarisbawahi bahwa, walaupun dalam langkah-langkah tersebut tidak dikemukakan menyangkut sebab nuzul, namun tentunya hal ini tidak dapat diabaikan, karena sebab nuzul mempunyai peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Hanya saja hal ini tidak dicantumkan di sana karena ia tidak harus dicantumkan dalam uraian, tetapi harus dipertimbangkan ketika memahami arti ayat-ayatnya masing-masing. Bahkan hubungan antara ayat yang biasanya dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode analisis, tidak pula harus dicantumkan dalam pembahasan, selama ia tidak mempengaruhi pengertian yang akan ditonjolkan. Dapat digarisbawahi pula bahwa langkah-langkah yang dijelaskan di atas menempatkan penyusunan "pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna" pada tahap yang kelima agar kerangka tersebut tersusun atas dasar bahan-bahan yang telah diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya. Hal ini untuk menghindari sedapat mungkin pra-konsepsi yang mungkin dapat mempengaruhi mufasir dalam penafsirannya. Dengan tersusunnya langkah-langkah tersebut, bahkan dengan penerapan yang dicontohkan oleh Al-Farmawiy dalam karyanya dengan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan: (a) pemeliharaan anak yatim dalam Al-Quran; (b) arti ummiyatAl-Arab (kebuta-hurufan orang Arab) dalam Al-Quran; (c) etika meminta izin dalam Al-Quran; dan (d) menundukkan mata dan memelihara alat kelamin dalam Al-Quran, maka lahirlah bentuk kedua dari metode tafsir mawdhu'iy. Bentuk pertama, ialah penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta hubungan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga kesemua persoalan tersebut kait-mengait bagaikan satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud Syaltut dalam kitab Tafsirnya. Kedua, menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat Al-Quran, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya. Keistimewaan Metode Mawdhu'iy Beberapa keistimewaan metode ini antara lain, (a) menghindari problem atau kelemahan metode lain yang digambarkan dalam uraian di atas; (b) menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran; (c) kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Quran bukan bersifat teoretis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai Kitab Suci. Dan terakhir dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran. Selain itu, (d) metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.