Kritik Kepada Proklamasi mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt BAB I Muasal Hubungan Indonesia – Barat Diperkirakan sejak awal tarikh Masehi terjalin hubungan antara bangsa yang kelak disebut Indonesia, dengan bangsa-bangsa asing. Hubungan terjalin karena bangsa Indonesia merantau ke negeri-negeri asing maupun bangsa-bangsa asing merantau ke Indonesia. Letak wilayah yang kini disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia, lazim juga disebut Nusantara, terletak pada posisi silang yang relatif mudah dijangkau, mengingat posisi tersebut membuat wilayah tersebut terbuka oleh kehadiran asing. Mengingat letak Indonesia termasuk belahan dunia Timur, maka tidak heran jika hubungan pertama dengan bangsa-bangsa asing adalah dari dunia Timur pula. Bangsa Cina, India, Arab dan Persia bertemu dan memperkenalkan peradabannya kepada penduduk Nusantara dan wilayah Asia Tenggara lainnya, hal tersebut membawa penduduk di wilayah tersebut dari keterbelakangan ke arus besar peradaban Timur. Selama hampir 7000 tahun dunia Timur mencapai prestasi peradaban tanpa putus dan kelak diwarisi dan dikembangkan oleh dunia Barat. Hubungan antara Asia Tenggara dengan bangsa-bangsa Timur tersebut secara umum saling menguntungkan. Beberapa kerajaan dan peradaban tumbuh subur di wilayah tersebut, cukup banyak yang tersisa pada zaman kita. Masuk abad ke-16 terjadilah peristiwa yang kelak membawa perubahan besar di Asia tenggara, yang akibatnya pula terasa hingga kini, namun banyak dalam arti buruk. Setelah sekitar 1000 tahun mengalami keterputusan peradaban dan mencoba bangkit dengan belajar dari Timur, dunia Barat –pada waktu itu hanya mencakup benua Eropa– mengalami kebangkitan yang lazim disebut Renaissance. Ketika itu rasa percaya diri bangkit tak dapat terbendung lagi oleh persekongkolan negara-gereja. Setelah gagal menaklukan Afrika Utara dan Asia Barat pada perang salib (1095-1291), bangsa-bangsa Barat mencoba lagi menaklukan seantero dunia dan memaksakan kehendaknya. Benua Amerika dan Australia dapat ditaklukan dan dibaratkan relatif mudah, tentu dengan pertumpahan darah yang mengerikan. Hasilnya, pribumi menjadi minoritas di rumah sendiri. Percobaan memberi nasib yang sama terhadap Asia-Afrika gagal mengingat selain berpenduduk padat dan ruangnya luas, sebagian besar wilayah tersebut telah memiliki peradaban canggih dan agaknya teruji oleh sang waktu. Kehadiran pengaruh Barat yang pertama dilaksanakan oleh bangsa Portugis. Secara berangsur mereka menemukan jalur menuju sumber rempah yang sekian lama mereka butuhkan untuk mengawetkan makanan atau sebagai penyedap rasa. Sebelumnya, pengangkutan rempah berlangsung secara berantai, melibatkan banyak fihak dan ketika mencapai Eropa harganya mahal. Penampakan pertama bangsa Portugis di Asia Tenggara terjadi di Malaka pada 1509, kesultanan di semenanjung Malaya yang mungkin merupakan bandar terbesar di kawasan tersebut. Penampakan yang diawali sebagai muhibah berubah menjadi musibah pada 1511. Tergiur oleh kemakmuran Malaka, bangsa Portugis menaklukannya. Peristiwa tersebut cenderung dinilai sebagai musibah karena merupakan awal penjajahan Barat di kawasan tersebut, yang hingga kini masih menyisakan keterbelakangan. Sejak itu kehadiran bangsa-bangsa Barat lainnya semisal Spanyol, Inggris, Belanda dan Perancis seakan tak terbendung. Ketika Perang Pasifik berkobar mulai 7 Desember 1941, Belanda menguasai Indonesia; Perancis menguasai Indocina; Portugis menguasai Timor Timur (kini Timor Leste); AS menguasai Filipina; dan Inggris menguasai Malaysia, Brunei serta Singapura; dengan berbagai istilah semisal koloni atau protektorat. Hubungan Belanda-Indonesia Penjelajahan dan penjajahan pada abad ke-16 yang dirintis oleh Portugis dan Spanyol menggoda Belanda untuk berbuat serupa. Itu tak mudah, Belanda sedang bermusuhan dengan kedua bangsa tersebut. Belanda terlibat apa yang disebut Perang 80 Tahun (1568-1648) untuk lepas dari Kerajaan Spanyol. Secara berangsur, Raja Felipe mempersulit pelayaran Belanda ke pelabuhan di Spanyol dan Portugal. Ketika rahasia jalur ke Timur Jauh diketahui Belanda, dengan segera mereka melaksanakan pelayaran ke sumber rempah. Pelayaran pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman, walaupun terkesan kurang profesional, ternyata dinilai menguntungkan, minimal jalur ke Nusantara telah dirambah. Pelayaran pertama tersebut menggoda masyarakat Belanda untuk membentuk ekspedisi, dan saling bersaing secara tak sehat terjadi. Sadar akan kerugiannya, pemerintah Belanda menghimpun perusahaan liar tersebut menjadi satu saja yaitu Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 1602. Perusahaan tersebut mendapat wewenang antara lain membentuk tentara, pengadilan, membuat perjanjian, bahkan menyatakan perang dan damai. Cikal bakal hubungan Belanda-Indonesia terjadi di Banten, desa sunyi sekitar 10 kilometer di utara Serang, ibu kota Provinsi Banten. Bagi kita kini, agaknya sulit dipercaya bahwa tempat tersebut dari abad ke-16 hingga awal abad ke-19 pernah terbentuk kerajaan yang masyhur ke mancanegara, dan mungkin juga sulit dipercaya bahwa awal hubungan kedua bangsa tersebut terjadi di desa sunyi, bukan di kota besar macam Jakarta. Mungkin begitulah hidup di dunia: bagai roda, kadang di bawah kadang di atas. Dahulu Jakarta adalah provinsi Kerajaan Banten, kini Banten adalah provinsi dalam NKRI yang ibukotanya di Jakarta. Yang mungkin layak diprihatinkan, bahwa hubungan Belanda-Indonesia diawali dengan begitu buruk. Tanpa buang waktu Belanda menunjukkan ambisinya bukan sekadar mengejar untung dengan berdagang, namun juga untuk menjajah. Padahal kesan pertama sangat penting dalam pergaulan. Kesan buruk pertama, apalagi diulangi hingga penjajahan Belanda pupus pada Perang Dunia ke-2 sudah lebih dari cukup mengawetkan ingatan bagi bangsa Indonesia mengenal Belanda sebagai penjajah, yang mungkin tak akan hilang oleh kemerdekaan ratusan tahun, apalagi cuma 60 tahun. Kelak terbukti ketika Belanda pada 1945 mengusulkan merdeka 50 persen dalam konsep persemakmuran sebagai periode peralihan dari penjajahan ke kemerdekaan penuh, mayoritas bangsa Indonesia mengabaikannya. BAB II Hubungan Belanda-Indonesia Hingga Perang Pasifik Kehadiran Belanda di Nusantara selain diawali dengan bermasalah terhadap pribumi, juga mengusik bangsa-bangsa lain yang lebih dulu hadir di Indonesia. Sebelum mereka hadir, bangsa Eropa yang datang kemari antara lain adalah Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis dan Denmark. Terutama terhadap Portugis dan Spanyol, Belanda bermusuhan sengit sebagai akibat permusuhan di Eropa. Permusuhan tersebut selain bercorak duniawi juga bercorak agamawi. Mayoritas bangsa Belanda beragama Protestan Kalvinis dan mayoritas bangsa Spanyol-Portugis adalah Katolik. Perlawanan Belanda untuk meraih kemerdekaan dari kedua bangsa tersebut terkait erat dengan agama, dengan lepas dari kekuasaan Katolik Spanyol-Portugis, artinya lepas dari Gereja Katolik yang dipimpin oleh Paus. Pada awalnya antara Spanyol dan Portugis sempat terjadi persaingan, namun mereka dapat didamaikan oleh Paus dengan membagi bumi ini menjadi dua bagian: sebagian untuk Spanyol dan sebagian lagi untuk Portugis. Sebagian besar Nusantara ditetapkan sebagai jajahan Portugis, adapun Spanyol kebagian Filipina. Pembagian tersebut tidak menyenangkan bangsa-bangsa Eropa lain. Perancis misalnya, walaupun sama-sama Katolik bukan berarti patuh begitu saja dengan Paus dalam soal ini. Raja Francois I mencoba memperluas jajahan di seberang laut. Adapun Inggris, sejak awal abad ke-16 melepaskan diri dari Gereja Katolik dan membentuk gereja sendiri dengan nama Anglikan. Para pelaut Inggris kemudian menjelajah sambil menyerang dan merampok kapal-kapal Spanyol-Portugis. Walaupun Belanda kelak memiliki jajahan di belahan lain, namun kelak Nusantara atau mereka sebut Nederlandsch Oost Indische adalah jajahan Belanda yang paling penting. Wilayah luas, alam kaya dan letak strategis terlalu berharga untuk diabaikan begitu saja. Untuk itu Belanda siap berperang dengan siapa saja, dan satu di antara wewenang VOC adalah menyatakan perang dan damai. Wilayah di Nusantara yang pertama dikuasai Belanda adalah Ambon pada 1605, mereka rebut dari Portugis. Pada 1619 giliran Jayakarta (kini Jakarta) direbut dan diubah dengan nama Batavia. Sejak itu hubungan Belanda-Indonesia sangat diwarnaioleh merah totalnya darah akibat peperangan antara kedua bangsa tersebut. Hal tersebut bersamaan waktunya bagi Belanda menguras sumber alam dan manusia Indonesia. Pada awal abad ke-20 sebagian besar Nusantara telah ditaklukan. Belanda didukung oleh apa yang disebut dengan sistek (sistem senjata teknologi). Sejak abad ke-18 Revolusi Industri muncul di Eropa. Revolusi teknologi tersebut membebaskan sebagian besar tenaga manusia dengan mesin. Produksi massal karena manfaat mesin tersebut juga menjangkau industri atau teknologi militer. Pada abad ke-19 untuk pertama kalinya Barat mengungguli Timur dalam banyak bidang. Di Indonesia, para aktivis anti kolonial berperang dengan senjata-senjata yang teknologinya sudah ketinggalan zaman. Belanda masih memiliki satu keunggulan lain yaitu apa yang disebut sissos (sistem senjata sosial). Masyarakat yang praktis homogen, wilayah yang tak terpisah-pisah oleh laut dan penduduk yang relatif sedikit mempermudah bangsa Belanda bersatu, sulit dipecah-belah. Rasa kebersamaan tersebut semakin kuat ketika Perang 80 Tahun. Bagaimana dengan Indonesia? Wilayah luas, daratan yang terpisah oleh laut dan penduduk yang sangat heterogen sangat mempersulit persatuan. Penduduk Nusantara terpecah-belah oleh berbagai suku atau marga dengan agama dan budaya yang begitu berbeda. Usaha mempersatukan bukan tak ada. Sriwijaya, Majapahit dan Republik Indonesia adalah contoh usaha mempersatukan Nusantara. Sriwijaya runtuh sekitar abad ke-13, Majapahit runtuh sekitar abad ke-16. Ketika Belanda hadir, Nusantara terbagi-bagi oleh beberapa kekuasaan. Ini mempermudah devide et impera (pecah belah dan jajah). Tiada front terpadu melawan kolonial berakibat perlawanan mudah ditumpas satu per satu. Sadar tak sadar Belanda justru mempersatukan Nusantara, walau melalui penaklukan atau peperangan tentunya, ke dalam satu wilayah yang hasilnya menjadi cikal bakal NKRI. Inilah mungkin termasuk suatu warisan berharga rezim kolonial, boleh dibilang tak ada Belanda tak ada Indonesia. Hampir bersamaan dengan pudarnya perlawanan secara militer, muncul kesadaran dari sekelompok dalam bangsa Belanda sendiri untuk meninjau kembali hubungannya dengan jajahan, yang sangat didominasi oleh penindasan atau kekejaman. Mereka menuntut pemerintahnya sendiri untuk menata ulang hubungan tersebut ke arah yang lebih manusiawi, walaupun tidak mencakup memberi kemerdekaan. Pada 1901 Ratu Wilhelmina mengumumkan kebijakan baru yang lazim disebut de etische politiek atau eereschuld, Indonesia mengenalnya dengan istilah politik balas budi. Berangsur-angsur pembangunan dilaksanakan di seantero Hindia Belanda. Jawa mendapat prioritas utama karena pusat pemerintahan kolonial memang di pulau tersebut. Bagi wilayah yang sulit terjangkau oleh pemerintah, para misionaris menyebar apa yang disebut kabar baik dengan pendekatan kesejahteraan pada pribumi. Beberapa kebiasan biadab semisal kanibalisme dan mengayau berangsur-angsur lenyap. Anak-anak pribumi mulai mendapat kesempatan sekolah, namun sifat kolonial tetap berlaku. Makin tinggi jenjang pendidikan makin sulit pula ditempuh, memang harus diakui masih terkesan pilih kasih. Arah pendidikan adalah untuk pandai melayani Belanda, bukan memimpin Hindia Belanda. Rezim kolonial melaksanakan pembangunan fisik serta sistem yang sebagian besar masih terpakai. Ribuan kilometer jalur rel, jalan raya, sekian hektar bendungan, memperkenalkan teknologi komunikasi serta kendaraan adalah contoh hasil pembangunan zaman itu, walaupun (sebagian) prosesnya (mungkin masih) melalui kerja paksa atau kurang manusiawi. Tetapi penulis menilai hubungan Belanda-Indonesia perioda 1901-1942 relatif lebih manusiawi dibanding perioda sebelumnya. Para orangtua yang sempat mengalaminya menyebut perioda itu zaman normal. Mengingat perang boleh dibilang tidak ada –kecuali masih terdapat di Aceh dalam skala kecil– maka kekerasan juga relatif berkurang. Dengan demikian rezim kolonial berpeluang menata Hindia Belanda. Sadar tak sadar, suka tidak suka Belanda memperkenalkan modernisasi kepada jajahannya. Dan bangsa Indonesia –suka tidak suka– juga harus mengakui (dan menghargai) hal tersebut. Hasil pembangunan –terutama pendidikan– kelak menghasilkan kelompok masyarakat intelek, kelompok yang tidak diinginkan oleh rezim kolonial, karena agaknya telah disadari sejak awal bahwa mereka akan menyadarkan rakyat jajahan dengan hak-haknya. Kaum intelek menyadari bahwa untuk memberi pencerahan kepada bangsanya adalah melalui organisasi. Perlawanan militer terbukti gagal mengusir kolonial karena kurang kompak (sissos) dan kurang canggih (sistek), perlu cara lain walaupun hasilnya perlu waktu lama. Pilihan pun tertuju pada perlawanan politik. Berbagai organisasi dibentuk: ada yang jelas bercorak politik, ada yang bercorak ekonomi, ada pula yang bercorak religi. Intinya untuk memberi pencerahan faham kepada rakyat. Pemerintah mencoba mengendalikan hasrat pribumi untuk menuntut lebih banyak hak dengan cara membentuk semacam perwakilan rakyat, yang dikenal dengan Volksraad (Dewan Rakyat) pada November 1918. Diharapkan dalam Volksraad dapat dicari titik temu antara aspirasi pemerintah dengan rakyat, namun tetap dalam lingkup kekuasaan Belanda, yang diwakili oleh gubernur jenderal sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda. Pada tahap ini status sosial antara Belanda dengan pribumi belum sederajat. Berdasar hukum kewarganegaraan Hindia Belanda, masyarakat terbagi dalam empat kasta. Kasta pertama, warga Barat asli, lazim disebut Europeesch. Kasta kedua, warga Indo, lazim disebut Indisch yaitu campuran antara Barat dengan Indonesia. Kasta ketiga, warga Timur Asing, lazim disebut Vreemde Osterlingen yang mencakup bangsa-bangsa Timur selain Indonesia –baik asli maupun campuran– semisal Arab, Cina dan Keling. Kasta keempat, warga Indonesia asli, lazim disebut Inlander. Menurut arti aslinya inlander berarti pribumi. Namun pada zaman kolonial Belanda istilah tersebut memiliki arti tambahan semisal malas, jorok, lamban, bodoh, dekil dan bau. Perbedaan berdasar kasta ras tersebut (masih diusahakan) mencakup segala segi. Ada beberapa tempat publik tertentu yang terlarang untuk warga non Barat/Indo. Bagi yang pernah mengalami zaman tersebut mungkin masih ingat dengan papan peringatan anjing dan pribumi dilarang masuk. Namun rezim telah menghapus perbudakan, yang ada ialah apa yang lazim dikenal dengan istilah kuli atau buruh. Memang, usaha mengharmoniskan hubungan Belanda-Indonesia selama perioda 1901-1942 perlu waktu lebih lama dari periode tersebut itu sendiri. Mengingat begitu buruknya hubungan selama perioda 1596-1901, perlu usaha susah payah membangkitkan kepercayaan Indonesia terhadap niat baik Belanda, seberapapun kadar niat tersebut. Periode yang cenderung dinilai normal tersebut mungkin akan mencapai tahap yang lebih baik jika hubungan tersebut tidak terputus oleh Perang Dunia ke-2 (1 September 1939 – 2 September 1945). Tahap yang lebih baik artinya, makin lama makin tercapai suatu pengertian antara kedua fihak sebagai bagian dari proses menuju hubungan sederajat, atau bahkan merdeka penuh. Beberap niat atau usaha untuk mengharmoniskan hubungan Barat-Timur pernah ditempuh antara lain oleh GSSJ. Ratulangie, seorang intelek didikan Belanda kelahiran Minahasa. Juga oleh Sultan Hamengkubuwono IX dalam pidato pelantikannya pada 1940. Gerakan Indonesia Berparlemen pada 1939 pernah mengusulkan supaya Indonesia diberi pemerintahan sendiri dalam lingkup Kerajaan Belanda, namun pemerintah terpaksa belum siap karena terfokus pada suasana dunia yang menuju perang besar. Perang Dunia ke-2 diawali dengan berbagai pemanasan global semisal kebangkitan Nazi (1933), Perang Italia-Ethipia (1935-1936), Perang Cina-Jepang ke-2 (7 Juli 1937 – 2 September 1945) dan gerakan pencaplokan oleh Nazi ke Austria (Maret 1938), Cekoslovakia (Maret 1939); serta menyerbu Polandia, yang merupakan awal perang besar tersebut. Pemerintah Hindia Belanda (terpaksa) makin memperketat pengawasan terhadap gerakan kebebasan rakyat jajahan berhubungan pasukan Nazi menyerbu Belanda pada 10 Mei 1940. Para anggota kabinet dan keluarga monarki lolos ke Inggris serta membentuk pemerintah dalam pengasingan, Hindia Belanda dituntut untuk mandiri. Usaha mengharmoniskan hubungan Belanda-Indonesia makin terhalang oleh gerak maju pasukan Jepang ke Asia Tenggara, tepatnya Indocina Perancis pada 1940. Kekalahan Perancis oleh Nazi dimanfaatkan oleh Jepang untuk masuk ke jajahannya, namun Jepang hanya memanfaatkan Indocina Perancis sebagai pangkalan militer. Selebihnya dibiarkan dalam wewenang Perancis Vichy, yaitu pemerintahan Perancis yang dibentuk Nazi. Adolf Hitler dengan cerdik tidak menuntut pendudukan seluruh Perancis dan juga tidak meminta jajahannya, sebagian wilayah dibiarkan masih dalam kekuasaan Perancis. Pemerintah Vichy masih berwenang terhadap wilayah jajahannya. Belanda yakin, cepat atau lambat pasukan Jepang akan menyerbu Hindia Belanda. Memang, tujuan pokok menyerbu Asia Tenggara adalah Hindia Belanda. Wilayah tersebut menyediakan apa saja yang diperlukan Jepang pada saat damai, apa lagi saat perang semisal hasil tambang . Hasrat tersebut makin bertambah ketika Belanda –bersama Inggris– mengikuti himbauan AS untuk tidak mengirim hasil tambang ke Jepang. Namun Belanda tidak mengantisipasi akibat dari pilihannya itu, padahal gelagat Jepang untuk menaklukan Asia-Pasifik mestinya sudah diketahui sejak 1931, atau bahkan semestinya diketahui sejak 1905. Harap diketahui bahwa pada 1905 Jepang menang perang dengan Rusia dan mencaplok sebagian Manchuria, dan pada 1931 pasukan Jepang mencaplok Manchuria selebihnya dari Cina serta bergerak maju mencaplok wilayah Cina selebihnya lagi pada 1937. Terkait dengan Hindia Belanda, warga Jepang banyak masuk selama periode 1930-an. Pemerintah kolonial tahu bahwa hampir semua warga Jepang yang masuk ke Hindia Belanda adalah spion, dari profesi konsul jenderal hingga tukang pijat. Namun entah kenapa pemerintah tidak melaksanakan segala tindakan yang perlu untuk mencegah dengan kontra spionase, atau memperkuat militernya sekalian. Mungkin Belanda masih belum pulih dari akibat resesi ekonomi sedunia yang dimulai pada 1929. Usaha mulia menyamankan hubungan Belanda-Indonesia dipastikan kegagalannya ketika Perang Pasifik (7 Desember 1941 – 2 September 1945), sebagai bagian dari berkobarnya Perang Dunia ke-2. Pasukan Jepang membom pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour serta serentak merebut wilayah Samudera Pasifik, yang nota bene sebagian besar adalah wilayah jajahan Barat. Pada Desember 1941 pasukan Jepang mulai membom Hindia Belanda dan masuk pada Januari 1942. Dengan demikian berakhirlah secara kasar periode kolonial Belanda di Indonesia. Ketika Belanda hadir lagi pada 1945, hubungan Belanda-Indonesia terjun bebas ke titik nadir, yang terjadi adalah periode yang lazim disebut dekolonisasi atau Revolusi 1945 (17 Agustus 17 Agustus 1950) yang dihiasi oleh pesta pora kekerasan: kekejaman dan kematian! BAB III PERIODA PENDUDUKAN JEPANG Jepang mungkin relatif beruntung, ketika imperialisme Barat merajalela ke segala penjuru kolong langit, Jepang lekas mencegahnya dengan taktik mengalah untuk menang. Jepang nyaris dua kali tertelan imperialis Barat, pertama pada abad ke-16 dan kedua ketika abad ke-19. Usaha imperialis Barat menjajah Jepang pada abad ke-16 digagalkan dengan politik isolasi oleh pemerintahan Shogun (1192-1868). Pemerintah mengumumkan penutupan negeri Jepang dari dunia luar pada abad ke-17. Hubungan dengan luar negeri sangat dibatasi, hanya satu pintu yang sedikit dibuka yaitu pulau Deshima untuk hubungan dengan luar negeri. Politik isolasi memiliki akibat baik sekaligus buruk: Jepang terlindung tetapi sekaligus terbelakang! Mereka tertingggal sekitar 300 tahun dengan Barat. Ketika AS memaksa Jepang untuk membuka diri dengan kehadiran armada Komodor Matthew Calbraith Perry pada 1853, Jepang tak kuasa menolak. Sejak itu beramai-ramai bangsa-bangsa Barat masuk Jepang dan menyebar pengaruh. Jepang menanggapinya dengan taktik tersebut di atas, Barat dirangkul untuk memajukan Jepang di segala bidang. Para intelek Barat diundang untuk mengajar dan warga Jepang yang berotak encer dikirim bersekolah di Barat. Namun sebelum itu, rezim Shogun harus diakhiri. Revolusi yang dikobarkan oleh sekelompok samurai pada 1860 menempatkan kaisar Jepang lebih dari sekadar lambang. Selama ribuan tahun kaisar hanya menjadi sandera beberapa fihak yang kebetulan berkuasa. Kaisar dipuja sedemikian rupa (hingga tak berdaya) sebagai keturunan Tuhan Matahari Amaterasu Omikami. Dia (beserta keluarga) dilarang membumi dengan cara dijauhi dari segala urusan duniawi, tempat kaisar adalah negeri di awan. Revolusi yang kelak membawa Jepang pada periode yang dikenal dengan istilah Restorasi Meiji memberi beberapa wewenang duniawi kepada kaisar. Dengan bimbingan yang cermat Jepang melangkah menuju modernisasi, pada awal abad ke-20 Jepang boleh dibilang setaraf dengan Barat. Namun seiring waktu berjalan, agaknya Jepang mustahil bertahan tanpa penaklukan ke luar negeri. Wilayah sempit, miskin sumber alam dan terletak pada jalur gempa memaksa Jepang melangkahkan kaki imperialisme sejauh mungkin. Di awali penaklukan wilayah tetangga, Jepang makin sadar telah dihadapkan pada pilihan menjajah atau dijajah mengingat wilayah jajahan Barat begitu dekat dengan wilayah Jepang. Perang Rusia-Jepang (1904-1905) mengejutkan dunia: mitos keunggulan ras Barat runtuh dengan kemenangan Jepang. Perang tersebut dinilai sebagai konflik terbesar pertama awal abad ke-20. Barat mungkin cemas, abad ke-20 bukan lagi abad mereka, suatu kecemasan yang sempat terbukti. Bagi bangsa non Barat terutama Asia, kemenangan tersebut adalah angin segar untuk bangkit dan angin itu bertiup juga ke Hindia Belanda. Waktunya bersamaan dengan kebijakan balas budi Belanda kepada Indonesia. Pribumi agaknya menilai sudah waktunya bagi Barat untuk tidak memperlakukan ras lain seenaknya. Beberapa hak yang terlepas harus diraih kembali dari cengkeraman Barat. Jika bukan kemerdekaan penuh yang didapat, perlakuan sederajat pun jadilah. Berbagai gerakan anti kolonial yang sempat melemah, kembali bersemangat, hanya caranya yang berbeda. Perlawanan politik menjadi pilihan. Walaupun prestasi Jepang mengilhami non Barat untuk percaya diri, namun Jepang tidak layak sepenuhnya dikagumi. Antara 1905-1941 Jepang menghamburkan segala yang dimilikinya untuk berperang dengan sesama Timur yaitu Cina. Waktu luang yang tersisa dipakai untuk menindas sesama Timur pula yaitu Korea selain juga Cina dengan kekejaman yang luar biasa. Pembantaian di Nanking atau Nanjing dan percobaan medis terhadap manusia oleh Unit 731 adalah sekelumit contoh kebiadabannya. Barat mencoba mengendalikan ambisi imperialisme Jepang dengan menggelar konferensi di Washington pada 1922. Mereka menyodori konsep keseimbangan kekuatan yang pada hakikatnya timpang, perbandingan kekuatan angkatan laut AS:Inggris:Jepang adalah 5:5:3. Sekadar hiburan, Jepang menerima kesepakatan bahwa AS dan Inggris tidak membangun kubu pertahanan baru di Asia-Pasifik. Karena kekuatan lautnya dibatasi, Jepang mencoba meraih peluang yang tersisa yaitu memperkuat angkatan darat. Cina harus dipaksa menyerah atau minimal bersedia bekerja sama dalam konsep Sekemakmuran Asia Timur Raya untuk menaklukan wilayah Asia selebihnya. Namun hingga Perang Pasifik usai Jepang tak pernah mengalahkan Cina. Sekali lagi Barat mencoba mengendalikan ambisi Jepang dengan embargo hasil tambang. AS menuntut Jepang untuk menarik tentara dan polisinya di Cina dan Indocina serta menghapus negara boneka Manchukuo. Atas permintaan AS, Inggris dan Belanda ikut embargo. Dihadapkan pada pilihan mati hina karena serba kekurangan akibat dicekik embargo atau mati mulia di medan perang, Jepang pilih perang. Untuk menyulut perang, pilihan jatuh pada pangkalan militer AS di Hawaii: Pearl Harbour. Cara yang dipilihnya mirip dengan memulai Perang Rusia-Jepang: serangan mendadak! Pagi yang cerah 7 Desember 1941 dirobek oleh deru pesawat, hujan bom serta peluru yang berakibat sekitar 2.500 orang tewas, demikian pula beberapa kapal perang dapat dirusak atau ditenggelamkan serta beberapa pesawat dihancurkan. Inilah hari yang terus dikenang oleh rakyat AS sebagai day of infamy. Dan Perang Pasifik dimulai! Penulis tidak bermaksud detail mengisahkan peperangan tersebut. Nasib Hindia Belanda segera jelas dengan jatuhnya Singapura, sekaligus makin meruntuhkan mitos keunggulan ras Barat. Belanda memiliki kekuatan militer yang paling lemah di Asia Tenggara. Bantuan terbatas diterima dari AS, Inggris dan Australia dengan kehadiran militer mereka di Hindia Belanda. Setelah bertempur sekitar tiga bulan, riwayat kolonial Belanda tutup usia dengan penyerahan tanpa syarat di Kalijati. Hubungan Belanda -Indonesia Selama Pendudukan Jepang Perang Dunia ke-2 agaknya ikut menyadarkan Belanda bahwa hubungan Belanda-Indonesia perlu diperbaharui kembali. Politik balas budi boleh dibilang tidak cukup membangun harmoni antara kedua fihak. Propaganda Jepang, yaitu membebaskan dunia Timur dari imperialisme Barat dan mewujudkan Sekemakmuran Asia Timur Raya –di bawah Jepang tentunya– sedikit banyak memiliki pesona bagi rakyat jajahan. Walaupun pendudukan Jepang berakibat derita luar biasa, Barat terkesan kurang maksimal memanfaatkannya. Kebencian dan perlawanan terhadap pendudukan Jepang muncul di Cina dan Filipina. Cina hanya sedikit mengalami penjajahan Barat karena wilayah yang terlepas relatif sedikit, dan rakyat yang sempat kena dijajah Barat tersebut menilai suasananya masih lebih manusiawi dibanding pendudukan Jepang. Selain itu Cina masih memiliki syarat sebagai negara merdeka karena ada pemerintahan, ada wilayah dan rakyat yang masih merdeka dari kekuasaan asing manapun. Filipina boleh dibilang 95 persen anti Jepang karena kekuasaan Barat, tepatnya AS, yang terbilang ramah sejak 1901. Filipina lebih condong lagi kepada AS dengan janji diberi kemerdekaan kelak pada 1946, janji yang terbukti ditepati. Kemerdekaan ala Jepang untuk Filipina pada 1943 praktis diabaikan, suasananya jauh dari merdeka. Di Indonesia, pendudukan Jepang membangkitkan perasaan campur aduk: ada yang tulus percaya bahwa pendudukan Jepang membawa kebaikan, ada yang menilai bahwa kerja sama adalah pilihan yang tak terelakkan untuk kemerdekaan, dan ada yang total tidak percaya pada Jepang. Yang tak percaya pada Jepang umumnya adalah yang relatif dekat dengan Belanda. Mereka cukup menikmati zaman normal antara lain sempat menempuh pendidikan Barat, namun mereka tak banyak. Aktivis kemerdekaan berpendidikan Barat menilai bahwa dijajah Belanda masih lebih baik dibanding pendudukan Jepang semisal Muhammad Hatta dan Sutan Syahrir. Adapun rakyat menengah ke bawah –dan ini mayoritas– sempat terpesona oleh propaganda Jepang. Namun perjalanan waktu memudarkan pesona tersebut, rezim pendudukan banyak merekrut kelompok ini sebagai Romusha yang diterjemahkan sebagai prajurit kerja padahal hakikatnya perbudakan asli! Soekarno termasuk yang bersemangat mendukung Jepang, tidak jelas apakah dia percaya penuh kepada Jepang. Namun yang jelas, hasratnya untuk Indonesia merdeka memiliki semangat anti Barat yang relatif lebih kuat dibanding anti Jepang. Pengerahan Romusha sedikit banyak adalah terdapat peranan Soekarno. Mirip dengan di Eropa, ketika pasukan Jepang menyerbu Hindia Belanda ada sekelompok orang Belanda, Indo dan pribumi pro Belanda yang lolos ke Australia semisal Hubertus Johannes van Mook, CHO. Van der Plas dan Simon Spoor. Mereka kelak kembali ke Indonesia setelah Jepang menyerah dan terlibat Revolusi 1945. Bergabung dengan para pelarian dari bekas jajahan Barat di Asia Tenggara, mereka mencoba menyerang balik. Pemerintahan Hindia Belanda dalam pengasingan pun juga dibentuk, pasukan yang tercerai-berai segera dihimpun kembali. Adapun warga Barat dan Indo yang tercecer di Hindia Belanda masuk kamp tawanan dan banyak yang tewas akibat kekejaman dan kelalaian. Mereka mendapat kesulitan berhubungan dengan pribumi. Mustahil membentuk front bersama melawan Jepang. Usaha membentuk front bersama Belanda-Indonesia pernah dicoba. Aktivis kemerdekaan Amir Syarifuddin diberi dana untuk membentuk gerakan perlawanan. Aksi kontra intelijen Jepang sukses menembus kelompoknya dan dia ditangkap, beberapa sempat dibunuh. Karena usaha Soekarno-Hatta selamatlah Amir dari hukuman mati, dia menjalani hukuman penjara. Usaha menyerang balik dari Australia dihimpun dalam komando South West Pasific Command (AS) dengan panglima Jenderal Douglas MacArthur. Selain membentuk satuan tempur, mereka membentuk satuan intelijen yaitu Allied Intelligent Beureau. Mereka dikirim ke wilayah pendudukan Jepang untuk spionase: banyak yang tewas, hilang atau ditangkap. Boleh dibilang hubungan Belanda-Indonesia selama Perang Pasifik terputus. Jepang relatif sukses menutup rapat Hindia Belanda mengingat rakyat Indonesia –walau jelas-jelas menderita karena pendudukan– enggan membantu usaha Belanda menjalin hubungan, mungkin karena benci atau takut. Usaha mengirim spion untuk mengetahui keadaan Hindia Belanda praktis gagal, termasuk yang dikirim dari satuan intelijen Belanda di bawah South East Asia Command (Inggris) dengan panglima Lord Louis Mountbatten di India dan Sri Langka. Belanda menempatkan Laksamana Conrad Emil Helfrich di dalam organisasi tersebut. Dengan ketertutupan tersebut Jepang sangat menikmati kekuasaannya di Hindia Belanda, walau perilakunya membangkitkan kebencian, kekurangan dan ketakutan ternyata masih sukses menggalang dukungan bagi kampanye anti Barat semisal Asia untuk orang Asia, Gerakan 3A, Inggris kita linggis, Belanda kita perkuda, Amerika kita setrika. Warga dilatih kemiliteran semisal terwadah dalam Pembela Tanah Air dan Heiho. Para aktivis kemerdekaan mencoba menyusupkan dan menyisipkan kebencian terhadap Jepang sekaligus kepada imperialis Barat dalam ceramah atau propaganda terhadap peserta latihan. Hubungan Belanda-Indonesia berangsur terjalin kembali ketika pasukan Sekutu merebut beberapa tempat di pesisir utara Irian. Pada April 1944 pasukan Sekutu merebut Hollandia (kini Jayapura), ibukota Irian Barat dalam Hindia Belanda. Warga setempat dilatih dan dipersenjatai untuk mengganggu pasukan Jepang. Berkat kegiatan misionaris yang menyebar pengaruh Barat di pulau tersebut, mereka relatif senang menyambut kembalinya Belanda. Ada juga gerakan kemerdekaan Indonesia walaupun sedikit, mereka ikut melawan pendudukan Jepang, dengan bantuan Sekutu. Pada 20 Agustus 1944 Sekutu mengumumkan bahwa gerakan militer di Irian dengan resmi berakhir, tetapi fakta di lapangan menunjukkan perlawanan pasukan Jepang masih ada hingga usai Perang Pasifik. Setelah Hollandia direbut, MacArthur mengundang Van Mook membahas masa depan Hindia Belanda. Undangan tersebut tentu disambut antusias oleh Belanda, Belanda berharap bahwa pasukan Sekutu merebut seantero Hindia Belanda, namun tidak disetujui. MacArthur hanya memerlukan pinggiran Hindia Belanda untuk merebut Filipina dan kemudian Jepang. Daerah yang dimaksud adalah pulau Morotai dan bagian timur Kalimantan, pasukan Belanda diajak merebutnya. Dari pada tidak ada yang direbut sama sekali, secuilpun jadilah. Kelak saat Jepang kalah –dan hal tersebut gejalanya jelas terlihat– maka secuil wilayah yang sempat direbut akan berguna sebagai pangkalan untuk masuk Hindia Belanda selebihnya. Mountbatten dengan persetujuan pemerintahnya, pernah berencana merebut Sumatera dengan tujuan Singapura, Belanda berharap bahwa pasukannya akan diajak. Harapan tersebut juga pupus ketika AS mendesak Inggris untuk merebut Birma guna membuka jalur darat dari India ke Cina. Walau menyusup ke Hindia Belanda lebih banyak gagal dibanding sukses, usaha tersebut masih dilaksanakan. Sekitar periode Juni-September 1945 satuan kecil Belanda-Inggris menyusup ke Sumatera Utara, di antaranya Raymond Paul Pierre Westerling yang kelak dikenal karena Peristiwa Sulawesi Selatan (Desember 1946 – Maret 1947) dan Angkatan Perang Ratu Adil (1950). Sebagaimana telah disebut, MacArthur membahas masa depan Hindia Belanda dengan Van Mook. Hasilnya adalah suatu perjanjian yang disebut Civil Affairs Agreement. Perjanjian tersebut kira-kira intinya berisi kesepakatan bahwa pasukan AS akan melaksanakan tugas pendudukan semisal melepas tawanan, melucuti senjata Jepang, mengusut kejahatan perang dan menjaga ketertiban. Pasukan AS kelak berangsur-angsur diganti pasukan Belanda, selama pendudukan tersebut pasukan Belanda berada di bawah komando AS, adapun pasukan AS bertindak atas nama Belanda. Setelah tugas pendudukan usai, seluruh kekuasaan diserahkan kepada Belanda. Perjanjian ini dibuat berdasar anggapan bahwa rakyat akan menerima kembali Belanda dan pasukan AS akan merebut Hindia Belanda. Perjanjian tersebut nyaris gagal dilaksanakan karena terjadi pemindahan wewenang berdasar Konferensi Potsdam. Pendudukan seluruh wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada Inggris. Belanda terpaksa membuat perjanjian serupa –baik judul maupun isi– dengan Inggris, perbedaannya adalah Belanda berurusan dengan pasukan Persemakmuran Inggris dan bukan pasukan AS. Kelak perjanjian ini menjadi sumber konflik dengan aktivis anti Belanda, yang lazim disebut Republik. Walau Belanda sadar dengan gerakan Republik, mereka cenderung meremehkan sebagai bentukan Jepang sekaligus sedikit didukung rakyat. Menjelang usai perang, Jepang mencoba langkah terakhir guna mencegah Belanda kembali. Beberapa tokoh Indonesia diajak membahas kemerdekaan dalam wadah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Hasil dari pembahasan sengit tersebut adalah Indonesia merdeka berdasar ideologi Pancasila, berbentuk republik dan mencakup bekas wilayah Hindia Belanda. Pada 17 Agustus 1945 diumumkan kemerdekaan Indonesia, lazim disebut proklamasi kemerdekaan. Namun kelak menurut pendapat penulis lebih tepat disebut proklamasi kekeliruan, karena proklamasi tersebut menuntut merdeka 100 persen padahal Indonesia belum siap untuk itu. Antara lain karena sekitar 90 persen warga buta huruf dan menderita akibat pendudukan Jepang. Yang dibutuhkan saat itu adalah suatu masa peralihan dengan merdeka 50 persen selama beberapa tahun untuk memulihkan keadaan. Ini yang menjadi pertimbangan Belanda dalam pidato Ratu Wilhelmina pada 7 Desember 1942. Suatu cercah kesadaran Belanda untuk memperlakukan rakyat Hindia Belanda secara lebih manusiawi dibanding periode kebijakan balas budi. Pada periode 1940-1945 Belanda menderita di bawah pendudukan Nazi, hal tersebut sedikit banyak menyadarkan rakyat Belanda bahwa pendudukan asing selama lima tahun sungguh menyakitkan, bagaimana dengan suatu bangsa yang dijajah selama sekitar 350 tahun? Bukankah lebih sakit lagi? Inilah yang ditutup-tutupi dalam sejarah yang diajarkan di Indonesia. Kekuasaan Belanda dijelaskan sebagai keadaan yang seburuk-buruknya atau buruk 100 persen, padahal di dunia ini tidak ada yang baik 100 persen atau buruk 100 persen. Kekuasaan Belanda harus diakui memiliki segi-segi baik antara lain pemerintahan yang bersih dan berwibawa, jauh melebihi pemerintahan Republik Indonesia yang manapun selama 60 tahun merdeka. Demikian juga keteraturan masyarakat karena rasa patuh terhadap berbagai peraturan. BAB IV Hubungan Belanda-Indonesia Pasca Perang Pasifik Kebijakan terhadap hubungan Belanda-Indonesia yang lebih nyaman sebagaimana dijelaskan dalam pidato 7 Desember 1942, adalah konsep persemakmuran mirip Inggris. Persemakmuran tersebut beranggotakan Belanda, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao. Dalam persemakmuran tersebut hubungan antar anggota adalah sederajat di bawah monarki Belanda hanya sebagai lambang. Belanda agaknya siap dengan memberikan status dominion (hak pemerintahan sendiri) kepada Hindia Belanda di bawah naungan Kerajaan Belanda, suatu konsep yang telah dituntut oleh gerakan Indonesia Berparlemen menjelang Perang Dunia ke-2. Ini relatif lebih cocok untuk Indonesia tahun 1945, merdeka 50 persen selama beberapa tahun kemudian merdeka 100 persen. Artinya Indonesia merdeka tak perlu ditempuh melalui revolusi atau perang, yang nota bene mahal ongkosnya. Terbukti bahwa Suriname dilepas Belanda secara baik-baik pada 1975. Konsep idaman Belanda tersebut telah dilaksanakan dengan relatif baik oleh AS terhadap Filipina. Filipina diberi kemerdekaan 50 persen dahulu dengan nama Persemakmuran Filipina, sedangkan kemerdekaan 100 persen diberikan pada tahun 1946. Namun pada 1946 Filipina hancur akibat Perang Pasifik, bukan perang antara AS dengan Filipina. Namun pada umumnya orang lebih mengenal Persemakmuran Inggris, dalam persemakmuran tersebut Kanada dan Australia adalah status dominion. Perdana Menteri dipilih oleh rakyat setempat, namun Gubernur Jenderal dipilih Inggris, biasanya dari keluarga ningrat. Kita kini mengenal bahwa kedua negara tersebut relatif maju. Malaysia adalah negara lain bekas koloni Inggris. Usai Perang Pasifik negeri tersebut kembali dalam kekuasaan Inggris yang longgar hingga dilepas baik-baik pada 1957. Dengan terhindar dari revolusi atau apa yang disebut perang kemerdekaan, Malaysia terhindar dari kerusakan. Malaysia hanya melanjutkan apa yang telah dibangun Inggris dan kini lebih maju dari Indonesia, negeri yang membangga-banggakan perang kemerdekaan. Berbagai peristiwa yang dinilai heroik atau patriotik di Indonesia semisal Hari Pahlawan, Palagan Ambarawa, Bandung Lautan Api, Serangan Fajar dan Serangan Umum menghasilkan Indonesia yang hancur-hancuran. Sekadar contoh, pada pra revolusi, Hindia Belanda merupakan pengekspor gula nomor satu di dunia. Pasca revolusi terjun bebas menjadi pengimpor gula karena sekitar 300 pabrik gula di Jawa dibumihanguskan oleh tindakan yang disebut kepahlawanan Brunei Darussalam adalah contoh lain dari persemakmuran yang sukses diterapkan Inggris. Dengan kemerdekaan 50 persen Brunai hingga 1984 justru lebih makmur dibanding Inggris. Aneh tapi nyata! Bagaimana dengan Belanda-Indonesia? Ketika Belanda hadir kembali ke bekas jajahannya, yang dijumpai bukanlah sambutan rindu namun sikap penolakan penuh dendam kesumat. Propaganda anti Barat yang dikobarkan Jepang sukses mengalihkan cukup banyak dari kebencian terhadap Jepang kepada Belanda. Binasalah hubungan yang lebih manusiawi yang telah dirintis oleh politik balas budi. Disamping kebencian terhadap Jepang, kebencian terhadap Belanda sukses dilestarikan oleh gerakan Republik. Periode vacuum of power dimanfaatkan sepenuhnya oleh Republik untuk menyebar pengaruh ke seantero bekas Hindia Belanda. Kesulitan sarana komunikasi dan transportasi membatasi pengaruhnya. Republik hanya kuat di Jawa dan Sumatera, selebihnya lemah atau nyaris tertumpas akibat cepatnya ambil alih kekuasaan dari Jepang kepada Sekutu. Suasana pasca Perang Dunia ke-2 secara menyeluruh berciri tiga hal yaitu: runtuhnya kolonialisme, merebaknya nasionalisme dan tersebarnya komunisme. Kebangkitan nasionalisme dan komunisme secara umum tidak menguntungkan kolonialisme. Gerakan anti kolonial ekstrim diperlihatkan di Hindia Belanda dan Indocina Perancis. Kedua wilayah tersebut lepas dari kolonial secara berdarah-darah. Komunis –lazim disebut Vietminh– mendominasi perlawanan di Indocina Perancis dan nasionalis mendominasi perlawanan di Hindia Belanda. Hasil dari revolusi pada kedua wilayah tersebut adalah keterbelakangan. Belanda sedikit banyak sadar bahwa hubungan Belanda-Indonesia pasca perang tak mungkin persis sama dengan hubungan saat sebelum perang. Cepat atau lambat hubungan kedua bangsa akan menuju kesederajatan, antara bangsa merdeka dengan bangsa merdeka. Bukan lagi antara majikan dengan pelayan. Indonesia merdeka (penuh) hanya soal waktu, persoalannya kapan waktu tersebut tiba? Kedua fihak memiliki pendapat yang nyata berbeda tentang waktu kemerdekaan. Indonesia menilai bahwa 17 Agustus 1945 adalah waktunya namun Belanda menilai belum waktunya, minimal perlu waktu satu generasi lagi untuk merdeka penuh mengingat bangsa Indonesia sangat terbelakang. Kekurangan akibat perang terasa di mana-mana, nyaris setiap hari jatuh korban akibat lapar dan wabah. Berbagai hasil pembangunan dari zaman balas budi banyak yang rusak atau hilang, sekitar 90 persen rakyat buta huruf. Namun bangsa ini ngotot untuk merdeka sekarang, merdeka 100 persen atau sebagaimana tercetusdalam tekad merdeka atau mati, dan kelak memang banyak yang mati. Ketiadaan atau kesulitan bertemu titik temu menyuguhkan keadaan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah perang! Kelak terbukti merdeka melalui revolusi sangat mahal ongkosnya dibanding reformasi, selain korban harta, jiwa dan raga juga mewariskan kebobrokan moral karena disiplin yang sekian lama terpelihara oleh Belanda lenyap nyaris tak bersisa! Dengan demikian konsep persemakmuran tersebut ditanggapi dengan salah faham oleh mayoritas bangsa ini, mengingat mereka tidak intelek. Ada juga yang faham namun mereka cemas jika tidak lekas merdeka 100 persen, akan menghambat niat mereka untuk berbuat semau gue semisal korupsi, kolusi dan nepotisme. Konsep merdeka 50 persen dianggap mempersulit meraih kekuasaan karena ada Belanda yang mengawasi. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok yaitu orang yang relatif sempat menikmati kebijakan balas budi Belanda antara lain bersekolah Belanda dan orang yang nyaris tidak kebagian nikmat dari zaman normal tersebut. Soeharto misalnya –kelak menjadi presiden kedua Republik– agaknya termasuk orang yang tidak kebagian. Dia berasal dari keluarga miskin di desa. Dengan ikut melawan Belanda selama Revolusi 1945, terbuka peluang untuk meraih kekuasaan tertinggi di negeri ini. Faham aji mumpung diterapkan untuk menguntungkan diri, keluarga dan temannya setelah menjadi presiden, suatu hal yang boleh dinilai mustahil pada zaman Belanda. Soekarno agaknya termasuk kelompok yang sempat menikmati zaman normal, dia bersekolah hingga sarjana di Technische Hogeschool (kini ITB) karena berasal dari keluarga terbilang elit. Namun dia merasa terhalang untuk meraih kekuasaan tertinggi karena Belanda masih berkuasa. Dengan kemerdekaan dia berpeluang memanfaatkannya untuk menjadi presiden seumur hidup, dilimpahi gelar semisal Pemimpin Besar Revolusi. Sejak Jepang menyerah, berangsur-angsur terjadi ambil alih kekuasaan. Pernyataan proklamasi segala pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya diamalkan dengan sungguh-sungguh, sudah beredar kabar bahwa Belanda akan kembali. Berbagai aset semisal kantor, markas, depot, pokoknya apa saja, diambil alih oleh Republik dari cara yang terhalus hingga cara yang terkasar. Revolusi juga mengancam keselamatan para warga Barat, Indo, Cina dan bahkan Indonesia sendiri. Berangsur-angsur mereka keluar dari kamp tawanan dan berbaur di masyarakat bebas. Segera mereka menjadi target kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia. Menjelang kehadiran Sekutu, sekelompok aktivis Republik menerobos kamp di Depok, mereka membawa mantan tawanan dan membunuhnya. Di Surabaya, rombongan truk membawa mantan tawanan dicegat dan dibakar. Di Ambarawa, sempat kejadian serupa dengan di Depok. Di Bandung, para aktivis membakar sebagian selatan kota tersebut sebelum melepas kota. Sekilas penulis kisahkan ini untuk menjelaskan bahwa bukan hanya penjajah yang kejam atau melanggar HAM namun juga para aktivis yang disebut pejuang atau pahlawan. Penulis tegaskan bahwa pejuang atau pahlawan bukanlah malaikat, bukan makhluk tanpa salah! Bangsa ini perlu tahu bahwa riwayatnya penuh dengan kekerasan hingga berdarah-darah! Tegasnya bangsa ini dasarnya biadab, jika ada peradaban maka itu dari impor semisal dari Cina, Arab, India, Persia dan Eropa. Perlu ada keberanian untuk mengusut segala kekerasan yang pernah dilaksanakan bangsa ini. Jika para pelakunya masih hidup, ajukan ke pengadilan. Jika pelakunya sudah tiada, tetap usut dan siarkan sebagai pelajaran untuk tidak mengulanginya lagi! Sudah sekian lama bangsa ini mengagumi diri sendiri sebagai bangsa beradab: beragama dan berbudaya, padahal boleh dibilang itu topeng belaka! Jangan hanya membahas kekejaman penjajah, penulis ulangi bahwa penjajahan tidak buruk belaka! Bukan sedikit warisan bermanfaat untuk kita. Mungkin tak banyak diketahui, Belanda telah melakukan langkah besar dalam pencerahan HAM dengan menerbitkan buku berjudul De Excessennota. Buku tersebut berisi tentang pelanggaran HAM oleh militer Belanda selama Revolusi 1945. Walaupun Belanda sejauh ini belum mengajukan para pelakunya ke pengadilan, namun pengakuan dosa tersebut layak dihargai. Indonesia agaknya masih perlu waktu untuk berani mengaku dosa, padahal banyak dosa yang telah dikerjakan. Sejak 1945 terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bangsa dengan korban berbagai latar belakang ini antara lain mencakup Revolusi 1945, penumpasan berbagai gejolak daerah semisal Darul Islam dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia / Perjuangan Semesta Alam antara 1945-65, Revolusi 1965 yang menampilkan Fir’aun Soeharto dan pelaksanakan status Daerah Operasi Militer di Timor Timur (kini Timor Lorosae), Aceh serta Irian Jaya. Agaknya bangsa ini perlu belajar kepada Belanda tentang pengusutan pelanggaran HAM! Usaha membangun saling pengertian Belanda-Indonesia dimulai lagi pada November 1945 dengan perantaraan Inggris. Suatu kerja yang sulit mengingat propaganda Jepang yang garang anti imperialisme Barat begitu meresap pada rakyat. Usaha tersebut di atas sempat mencapai suatu perjanjian yang lazim disebut Perjanjian Linggajati pada 25 Maret 1947. Isinya antara lain Belanda mengakui de facto pemerintah Republik mencakup Sumatera, Jawa dan Madura. Belanda dan Republik bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat yang mencakup Republik dan beberapa negara bagian yang dibentuk Belanda semisal Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan. Pembentukan Uni Belanda-Indonesia dengan monarki Belanda hanya sebagai lambang. Penulis berpendapat bahwa Perjanjian Linggajati merupakan pencerahan pula dalam hubungan Belanda-Indonesia, karena awal atau dasar pengakuan Belanda bahwa cepat atau lambat Indonesia akan merdeka dan hubungan kedua bangsa akan sederajat, bahkan sudah sederajat dengan adanya perjanjian tersebut. Satu langkah pengakuan sederajat dilakukan lagi oleh Belanda pada 1948, istilah Inlander diganti dengan istilah Indonesier. Berarti Belanda mengakui nama Indonesia untuk bangsa. Namun, kelak perjanjian tersebut makin compang-camping dan kemudian binasa karena manuver kelompok ekstrim pada kedua fihak. Ekstrimis Belanda menilai bahwa pemerintah Republik adalah ciptaan Jepang dan duet Soekarno-Hatta adalah antek Jepang, suatu penilaian yang tidak sepenuhnya salah. Pembentukan pemerintah Republik begitu melibatkan Jepang sebagimana telah penulis bahas pada tulisan yang lalu. Soekarno adalah propagandis Jepang yang bersemangat, mendukung pengerahan Romusha, bahkan konon juga pengerahan apa yang disebut Juugun Ianfu, yaitu perempuan yang ditipu atau dipaksa menjadi pelacur untuk orang Jepang. Pengerahan Romusha dan Juugun Ianfu juga meminta korban warga Barat dan Indo. Adapun ekstrimis Republik menilai perjanjian tersebut akan memberi waktu luang bagi Belanda memperkuat diri, dan menyerang begitu waktunya tiba. Mereka teringat oleh perilaku Belanda melanggar janji di masa lalu yang berakibat tokoh anti kolonial Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda. Kedua orang tersebut ditangkap ketika berunding, dan itu memang suatu pelanggaran. Dengan demikian secara umum inti dari Revolusi 1945 adalah rasa saling tidak percaya antara kedua fihak, terutama dari fihak Indonesia, yang memang harus diakui sempat diperlakukan tidak manusiawi selama ratusan tahun dan belum sempat menikmati sepenuhnya kebijakan balas budi Belanda antara 1901-1942. Kegagalan Perjanjian Linggajati dan kemudian Perjanjian Renville (17 Januari 1948) berbuah dua kali aksi polisional oleh Belanda, yang ditanggapi oleh perang gerilya oleh Republik. Secara menyeluruh konflik Belanda-Indonesia 1945-1950 lebih merugikan Indonesia dibanding Belanda karena terjadi di Indonesia. Ketika itu Belanda sedang membangun negerinya dari kehancuran Perang Dunia ke-2 dengan bantuan dari AS yang dikenal dengan sebutan Marshall Plan. Kelak terbukti 10 tahun setelah Belanda kehilangan Indonesia, sudah pulih kembali. Dan Indonesia masih terlibat konflik sesama yang berdarah-darah, kabinet jatuh bangun sehingga nyaris tak berpeluang untuk membangun. Maklum, umumnya para pelaku adalah orang-orang yang rakus kekuasaan dan kekayaan. Mereka berusaha merebut sebanyak mungkin apa yang ditinggalkan Belanda, antara lain karena merasa berjasa bagi revolusi. Walau konsep Uni Belanda-Indonesia akhirnya tercapai dalam Perjanjian Konferensi Meja Bundar 1949, namun prakteknya kurang berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ambisi Republik untuk meraih Irian Barat berakibat hubungan Belanda-Indonesia berdasar KMB tidak nyaman. Republik mengambil alih berbagai aset Belanda semisal perbankan dan perkebunan, yang berakibat terjadi salah urus karena mereka belum siap dan warga Belanda beramai-ramai hengkang. Perjanjian KMB menemui ajal pada 1956 dan Uni Belanda-Indonesia juga turut masuk liang kubur. Kelak sekian lama setelah Irian Barat masuk Republik, yang ada hanya keterbelakangan, padahal alamnya kaya, dan pelanggaran HAM. Rezim Orde Baru mewarisi kebobrokan rezim Orde Lama semisal inflasi 650 persen. Untuk bangkit, jelas Indonesia butuh bantuan. Lirikannya tertuju kepada Belanda, bangsa yang telah diusir beberapa tahun sebelumnya. Bangsa (sok) pejuang ini akhirnya sekian lama menjadi bangsa pengemis, padahal alam kaya, wilayah luas dan letak strategis, namun tidak becus mengelola. IGGI dibentuk dengan beranggota beberapa negara maju dan Belanda menjadi ketuanya. Usaha memperlihatkan bahwa bangsa ini (masih) berjiwa pejuang terjadi pada 1992: IGGI dibubarkan! Bubar, karena Indonesia marah dengan protes internasional dengan pelanggaran HAM di Timor Timur yang dikenal dengan Insiden Santa Cruz pada 12 November 1991. Namun kebutuhan untuk mengemis masih belum dapat dihilangkan, organisasi Consultative Group for Indonesia dibentuk, tanpa mengajak Belanda. Dan harap diingat, bahwa Soeharto memiliki saham pula mengusir Belanda ketika Revolusi 1945 dan apa yang disebut Pembebasan Irian Barat. Bagaimana Belanda mengetahui ini? Bukan mustahil mereka mengejek Indonesia, dan itu masuk akal, karena capek-capek mengusir Belanda namun akhirnya butuh juga bantuan Belanda. Belanda (mungkin) bersedia saja membantu, hitung-hitung melanjutkan kebijakan balas budi dan menebus dosa. Revolusi 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru memberi peluang atau angin surga bagi pencerahan bangsa ini terutama demokrasi. Terbuka peluang untuk bebas menyatakan pendapat dan terseleksi dengan alami. Penulis berpendapat tidak ada salahnya jika wacana merdeka 50 persen dahulu, merdeka 100 persen kemudian kembali bergulir. Bagaimana jika konsep persemakmuran yang berbentuk Uni Belanda-Indonesia dihidupkan kembali? Agaknya hal tersebut layak direnungkan. Reformasi dan Wacana Uni Belanda-Indonesia Setelah sekian lama Uni Belanda-Indonesia menjadi “mendiang” akibat kejengkelan mayoritas aktivis Republik karena merasa dikekang oleh Belanda untuk “selingkuh”, dengan alam reformasi kini memungkinkan wacana konsep tersebut digulirkan kembali. Dibahas bebas untung ruginya tanpa tekanan penguasa. Sekian lama merdeka telah dihabiskan oleh bangsa ini untuk selingkuh: praktek KKN dan pelanggaran HAM. Hasilnya dirasakan oleh mayoritas rakyat, beberapa haknya berkurang atau hilang akibat perilaku elitnya. Para elit itulah yang banyak menikmati kemerdekaan 100 persen. Beberapa agenda reformasi menurut pendapat penulis memiliki beberapa persamaan dengan kebijakan balas budi Belanda. Pemberantasan KKN misalnya, periode VOC dipenuhi oleh perilaku demikian. Para personil VOC melakukan itu dengan lihai, mereka mampu untuk sekian lama menutupi kebobrokan dalam VOC. Perusahaan yang sesungguhnya memasuki masa banyak rugi akibat KKN masih dinilai untung oleh rakyat Belanda. Pada 1799 rakyat Belanda dikejutkan oleh info bahwa VOC dibubarkan, segala aset dan hutangnya diambil alih pemerintah Belanda. Praktek KKN dalam VOC memberi pelajaran pahit namun berharga, rakyat dan pemerintah Belanda bertekad untuk tidak meneruskannya. Pelan tapi pasti KKN diberantas dan hasilnya kita mengenal bahwa pada zaman normal rezim kolonial Hindia Belanda memiliki pejabat dan aparat lebih bersih dibanding Republik. Justru pemerintahan Republik –bahkan mayoritas bangsa ini– meniru VOC ketika Belanda sudah lama “taubat”. Gerakan reformasi agaknya memiliki persamaan tekad untuk mewujudkan perilaku yang bersih dari KKN. Mengenai pelanggaran HAM, hubungan Belanda-Indonesia perioda 1596-1901 harus diakui penuh dengan pelanggaran HAM: perbudakan, pembantaian, penculikan, penjarahan dan sebagainya. Kebijakan balas budi mencoba untuk mengurangi hal tersebut walaupun tidak mencakup pengusutan. Pelanggaran HAM berkurang seiring dengan peperangan yang berkurang pula walau periode 1901-1942 konflik setingkat kerusuhan masih terjadi sekali-sekali. Kini Belanda mencoba memperbaiki kesalahan masa lalunya dengan memberi kepedulian dengan HAM. Asal tahu saja, Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa berada di Den Haag. Gerakan reformasi agaknya dapat bekerja sama dengan Belanda mengusut pelanggaran HAM selama Indonesia merdeka antara lain mengadili Soeharto. Otonomi daerah yang diusung oleh para reformis sungguh bukan hal baru bagi Belanda. Selama Revolusi 1945 telah dibentuk beberapa negara bagian untuk mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Daerah berhak mendapat bagian lebih besar dari pendapatan daerah. Namun hal tersebut dinilai aktivis Republik sebagai bentuk lain dari usaha devide et impera. Soekarno paling bersemangat menentang federalisme tapi Hatta setuju dengan konsep tersebut. Akibatnya pada 17 Agustus 1950 sempurnalah penghapusan negara bagian. Republik Indonesia Serikat menjadi RI. Saran Jika Uni Belanda-Indonesia diwujudkan kembali, penulis ingin mengajukan beberapa pendapat antara lain: Proklamasi 1945 –yang menuntut merdeka 100 persen– ditiadakan, untuk beberapa lama Indonesia cukup merdeka 50 persen dahulu. Dengan demikian beberapa wewenang mengelola Indonesia diserahkan kepada Belanda semisal pemberantasan KKN dan pelanggaran HAM. Untuk beberapa kasus yang mencakup dua hal tersebut diberlakukan hukuman mati atau penjara seumur hidup. Taman Makam Pahlawan ditiadakan, jadikan taman saja atau makam umum, sebagai bagian dari ruang terbuka hijau. Atau dapat juga untuk membangun aset perusahaan Belanda semisal Unilever, ABN-AMRO, Holland Bakery dan Makro. Dengan demikian membuka lapangan kerja buat rakyat. Republik Indonesia Serikat dihidupkan kembali. Indonesia terbagi atas beberapa negara bagian, yang nota bene daerah memiliki wewenang lebih besar mengatur diri sendiri dibanding jika berstatus provinsi. Hidupkan kembali Misi Militer Belanda untuk memberi bimbingan kepada Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia menuju profesionalisme. Jabatan menengah ke atas dipegang Belanda dan jabatan menengah ke bawah dipegang Indonesia. Ideologi Pancasila boleh dipertahankan namun Undang Undang Dasar 1945 harus ditiadakan. Beberapa ketentuan di dalamnya ada yang boleh dipertahankan dalam konstitusi baru, konstitusi tersebut tetap membuka peluang untuk amandemen sesuai dengan tantangan zaman. Hubungan Kerajaan Belanda-Republik Indonesia Serikat adalah sederajat dengan di bawah monarki Belanda hanya sebagai lambang. Dalam departemen dan badan usaha milik negara perlu ditempatkan orang Belanda sebanyak 50 persen. Segala tindakan atau peristiwa yang dinilai patriotik heroik selama konflik Belanda-Indonesia sejak Proklamasi 1945 dianggap tidak ada, dengan demikian peringatan untuk mengenangnya ditiadakan. Karena Revolusi 1945 dan Pembebasan Irian Barat adalah suatu kesalahfahaman antara Belanda-Indonesia. Dengan demikian keduanya sepakat bahwa tidak ada pahlawan atau pejuang Angkatan 1945 dan Angkatan Tri Komando Rakyat pada kedua fihak. Segala yang berkaitan dengan agama dan budaya dibahas bersama para pakar. Sedapat mungkin Belanda bersama Indonesia mewujudkan kehidupan beragama dan berbudaya yang harmonis, menghargai perbedaan. Uni Belanda-Indonesia masih terbuka peluang diperpanjang. Beberapa usul di atas masih terbuka untuk dibahas demi penyempurnaan hubungan dalam Uni Belanda-Indonesia. Jika pilihan ini kurang disukai, penulis usulkan untuk menghidupkan kembali bentuk Negara Islam Indonesia sebagai yang pernah dibentuk oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Negara tersebut merupakan koreksi –atau bahkan likuidasi– terhadap Proklamasi 1945 yang membentuk NKRI. Dia memang memiliki konsep yang lugas tentang negara Islam. Beberapa konsepnya juga memiliki persamaan dengan agenda reformasi, namun adakah yang mayoritas mendukungnya? Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt