Di tempat pertama, kata suci membawa tekanan yang kuat serta menyeru mereka yang memperbaiki keimanan dan keyakinannya kepada Weda yang Suci, untuk mendengarkan mantera ini dengan penuh penghormatan dan kemuliaan. Para Resi dari zaman dahulu, telah menjaga penekanan ini dalam pandangannya, dan telah mengarahkan bahwa mantera ini harus selalu dibaca di dalam Yagya dan upacara agama lainnya, sehingga mereka yang beriman kepada Weda tidak melupakannya, dan selalu menjaga selalu kesegarannya dalam ingatan mereka. Alasan untuk mendengarkan mantera ini dengan takzim dan mengingat dalam hatinya, ialah bahwa orang yang penuh penghormatan yang disebut di sini, adalah seorang yang berbudi luhur dan sangat terpuji. Bahwa umat Hindu mungkin tidak mau menghormati dan meujinya, tidak mau memahami arti penting istilah Arab Muhammad; mereka telah diberi-tahu dalam bahasa Sanskrit mereka sendiri nama yang manis dan hangat, Narashansa: “Bahwa apa yang kita sebut mawar dengan nama lainpun akan tetap harum baunya”. Setelah mendengar namanya dan kata pujian kepadanya, bila seseorang tetap menolak memberikan penghormatan dan kehormatan kepadanya, ini adalah pengingkaran terhadap perintah Weda dan suatu tindak penghujatan. Bila sudah diperintahkan oleh Parmatma (Tuhan Yang Maha-tinggi), bahwa namanya layak dihormati dan dipuji, dan penghormatan yang tinggi kepadanya harus dilakukan, maka bagi mereka yang tidak menghormati dan memujinya, untuk berfikir serius tentang neraka apa yang menantikan mereka. Kenyataan bahwa dia adalah terpercaya dan sangat terpuji membuktikan bahwa dia bukanlah seorang yang tak dikenal atau awam, melainkan seorang pribadi penting dalam sejarah. Namanya maupun karyanya layak dihormati dan dikagumi; dan dalam kitab suci dari setiap agama bisa didapati namanya yang suci begitu pula pemberian penghormatan atas karyanya; maka tak perlu kiranya sedikitpun alasan yang lain. Tidak hanya dalam kitab-kitab suci dan kitab wahyu dari semua agama bahwa nubuatan atas kedatangannya bersama dengan pujian kepadanya itu hadir, tetapi dalam pandangan para sarjana besar dunia juga, dia adalah yang patut dipuji dan dihormati secara istimewa. Dalam menghormat Nabi Suci Muhammad, ditulis dalam Encyclopaedia Brittanica yang adalah suatu kompilasi dari para pakar yang paling utama dan terkemuka di dunia: Yang paling sukses dari semua Nabi-nabi serta pribadi keagamaan (Edisi ke-11 hal.898). Pemberi pandangan dalam Encyclopaedia Britannica ini bukanlah seorang Muslim melainkan seorang pakar Kristen dengan kecerdasan dan reputasi tinggi. Mahatma Gandhi dan para pemimpin Hindu lainnya, Bernard Shaw, Bertrand Russell dan orang-orang Inggris yang masuk Islam telah menyanyikan pujian kepadanya, merengkuhnya dengan penghormatan yang tinggi. Bukankah kata-kata Weda itu dijamin dan diperkuat oleh kata-kata pujian dan tepuk-tangan yang diucapkan oleh para pakar dan cendikiawan dari abad modern bahwa Muhammad itu tak diragukan lagi adalah orangnya, yang patut mendapatkan semua kehormatan dan pujian, kepada siapa Weda telah berkata bahwa dia akan dihormati dan dipuji setinggi-tingginya? Jika seseorang telah merusak teks Weda, bagaimana itu terjadi bahwa setelah masa ribuan tahun berlalu, para pakar abad modern telah menetapkan atasnya cap pembenaran mereka, yang merupakan alasan yang tak bisa dialihkan atas fakta bahwa yang merubah Weda itu tiada lain adalah Paramatma atau Tuhan Sendiri sehingga kata-kata-Nya telah digenapi. Juga telah diwahyukan dalam mantera Weda bahwa dia akan sendirian sepenuhnya dan bahwa enampuluh atau tujuhpuluh ribu musuh akan menjebaknya. Tetapi meski jumlah mereka begitu besar, para musuh itu tak mampu mengalahkannya. Pangeran perdamaian dan keamanan akan terpaksa pindah dari tanah kelahirannya. Tuhan Yang Maha-tinggi akan menjaganya dalam perlindungan istimewa-Nya sendiri; yakni bisa dikatakan, perlindungannya bukanlah suatu perkara biasa atau kebetulan, melainkan itu akan penuh daya guna dan dilengkapi dengan tangan yang penuh kekuatan dari Tuhan. Setelah menyebutkan semua tanda-tanda yang tergelar ini, pembuktian dari mantera ini dilakukan di tempat lain dari Weda ini sendiri sehingga ini bisa menjadi argumen terhadap mereka yang menyodorkan kilah bahwa telah terjadi kerusakan dan perubahan dalam Weda. Mantera yang lain ini bukanlah suatu mantera dari Kuntap Sukt yang boleh dihapus danb ditolak dengan alasan sudah dirubah. Ini ada dalam Atharwa Eda 20:21.9. Mantera ini terbaca: “Wahai Indra! Dengan cakramu yang tak terkalahkan dan kuat engkau telah menimpakan kekalahan atas duapuluh pemimpin bangsa dan enampuluhribu serta sembilanpuluh sembilan pengikut yang telah mengobarkan peperangan terhadap Sushravah yang tak berdaya dan tak berkawan”. Penyebutan enampuluh ribu musuh juga didapati dalam Kuntap Sukt. Fakta bahwa Narashansah sendirian dan tak berkawan juga disebutkan di sana. Tetapi di sini dikatakan bahwa dia adalah Sushravah, yang tak berdaya dan tak berteman. Jadi Sushravah adalah nama dari pribadi yang terkenal dan terpuji. Jelaslah bahwa Narashansah dan Sushravah adalah nama yang sama. Dalam leksikon arti nama Sushravah adalah terkenal dan tenar; terpuji dan terhormat; seorang nabi; seorang yang terilham, seorang yang sempurna dalam ilmu pengetahuan Ilahi.(20) Tetapi ini bukan suatu kata benda biasa, melainkan nama dari seorang pribadi tertentu yang mempunyai kedudukan tinggi yang berperingkat di atas malaikat di langit tinggi.(21) Semua atribut ini, yang terdapat dalam makna istilah Sushravah, adalah atribut dari Nabi Suci Muhammad, dan suatu terjemahan dari namanya yang suci. Nama gelar dari orang besar ini sesungguhnya adalah terjemahan dari namanya pribadi. Dalam mantera ini suatu hal baru telah dinyatakan bahwa duapuluh pemimpin bangsa adalah musuhnya. Dukungan dan kekuatan dari duapuluh pemimpin ini melebihi enampuluh ribu orang-oarng tempur. Pasukan besar musuh semacam itu maju ke medan perang menghadapi orang yang sendirian ini. Tetapi cakra Indra yang tak terkalahkan yakni mukjizat Ilahi membantu dalam mengusir dan mengalahkan duapuluh pemimpin berikut enampuluh hingga tujuhpuluhribu pasukan tempur ini. Membolak-balik dan mencari dengan teliti dari halaman sejarah dunia untuk menemukan siapakah orang tunggal ini, yang disebut tak berkawan dan tak berdaya dalam Weda, terhadap siapa duapuluh pemimpin bangsa berikut sepasukan besar terdiri dari enampuluh hingga tujuhpuluhribu pasukan dengan kuat menyerangnya, dimana akhirnya orang-orang ini saling berkelahi sendiri, dan orang sendirian ini dimana Tuhan Yang Maha-tinggi ada di belakangnya, dia mendapat kemenangan, serta gerombolan besar yang terdiri dari enampuluh hingga tujuhpuluh ribu orang ini menderita kekalahan yang meremukkan; lalu siapakah orang itu? Orang yang sendirian dan menang ini, di dalam sejarah dunia, tiada lain adalah Nabi Suci Muhammad, yang termasyhur dan terkenal di dunia (Sushravah) serta pantas mendapatkan segala pujian dan pujaan. Wahai para pandit Hindu dan mereka yang melihat Weda sebagai kata-kata Tuhan, beriman bahwa Parmatma itu hadir dan melihat serta takut keada Dia saja, renungkan dan fikirkan yang manakah cakra dari Tuhan (Indra) itu yang bisa mengusir dan mengalahkan enampuluh hingga tujuhpuluhribu musuh. Sesungguhnya ini adalah cakra dari kebijaksanaan dan kekuasaan Tuhan, dan bahkan kini cakra ini di tangan kaum muslimin yakni Quran Suci, terhadap mana, apa yang dikatakan dengan enampuluh hingga tujuhpuluh ribu orang yang gemar berperang, bahkan bila seluruh pendeta dan padri di dunia, begitu pula pandit dari Bharat, atau dengan perkataan lain, seluruh gerombolan Dajjal dan para penyokongnya, Hindu, Yahudi dan Kristen bergabung dan berkonfederasi, maka tidak saja kekuatan Dajjal ini akan menderita kekalahan dan kebingungan, melainkan, sebagaimana telah diramalkan dalam Weda, semua pandit akan berbalik dan lari tunggang-langgang, menarik selendang sucinya dari lehernya dan melemparkan ke bahunya. (Nubuatan ini yang terdapat dalam Rig Weda, akan dikaitkan dan diperbincangkan di lain kesempatan). Setelah menegakkan korelasi antara ketepatan ayat-ayat Weda dengan fakta nyata, jika tetap ada keraguan menyelinap dalam fikiran seorang pandit yang skeptis bahwa tidak hanya dalam Kuntap Sukt dalam Atharwa Weda tetapi juga di Kitab Weda secara keseluruhan, seseorang telah menyisipkan nubuatan dari Nabi Suci Muhammad, maka kami akan, untuk menunjukkan jalan yang lurus baginya yang membimbing dia ke rumahnya, kami serahkan bukti pembenaran mantera ini juga dari Rig Weda, dari mana bahkan suatu terjemahan harfiah akan menunjukkan bahwa dalam mantera ini telah disebutkan nama seseorang yang tiada lain kecuali Nabi Suci Muhammad serta para Sahabatnya yang mulia. Terjemahan harfiah dari mantera dalam Rig Weda ini adalah sebagaimana di bawah ini: (Rig Weda 1:53.9) “Dan yang penolongnya tak seorangpun; dan duapuluh pemimpin bangsa serta enampuluh ribu dan sembilanpuluh sembilan ahli tempur datang untuk berperang dengan dia. Wahai Indra; terhadap mereka semua engkau telah menimpakan kekalahan dengan cakramu yang tak terkalahkan. Dengan pertolonganmu kaulindungi Sushravah dan Turvyan. Demi Sushravah yang berani dan penuh kekuatan, engkau kalahkan Kuts, Atithigva dan Ayum”. Dalam mantera dari Rig Weda ini juga disebutkan kenyataan bahwa Sushrava (yakni Muhammad, yang terpuji) tidak berkawan dan sendirian, serta kekalahan dari lawan-lawannya, duapuluh pemimpin dari kabilah Arab dan enampuluh ribu pasukan tempurnya. Dan dunyatakan pula bahwa kemenangan dan keunggulan dari Sushravah terhadap lawan yang begitu berat semata-mata adalah karena bantuan dan daya kekuatan Tuhan Yang Maha-tinggi. Dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa bersama Sushravah (Muhammad), Tuhan Yang Maha-tinggi memberikan perlindungan-Nya kepada orang lain yang dipanggil Turvayan. Saynacharya, mufasir kuno Weda, telah menerjemahkan istilah ini berarti cepat dan kencang. Ini adalah nama Hazrat Abu Bakar, baik karena kenyataan bahwa dia yang paling pertama dan cepat dalam beriman kepada Nabi Suci, dan karenanya menjadi pemimpin “Orang yang paling depan, yang paling pertama”(Q.S.9:100) atau bahwa dia adalah sahabat Nabi yang menyertai hijrahnya yakni, “Dia adalah yang kedua dari (orang) dua” (Q.S. 9:40) atau bahwa dia melebihi dan paling luhur dibanding semuanya dalam amal salih dan kedermawanan, atau bahwa dia begitu cepat dan kencang dalam kebenaran dan kesucian. Dengan suatu cara, bila Sushravah itu melebihi semua umat manusia dalam kenabian dan ilmu Ilahi, maka Turvyan adalah cepat dan kencang dalam ketaatan serta penyerahan diri kepadanya. Dalam mantera, disebutkan bahwa perlindungan istimewa telah diberikan kepada keduanya, yang telah dilakukan Tuhan Yang Maha-tinggi dengan cara yang sangat ajaib. Selanjutnya, dinyatakan bahwa Kuts dan Atithigva serta Ayum telah dibikin tunduk di bawah perintah Sushravah. Kuts berarti seorang yang bisa membedakan kebenaran dengan kepalsuan; seorang yang bisa merobek berkeping-keping penggempur dan pegulat yang paling besar. (22) Dan nama ini cocok tepat dengan Singa Tuhan, Hazrat Ali r.a. Atithigva berarti keramah-tamahan, menghibur si miskin dan dermawan. Jadi, karena itu ini sama dengan Usman Ghani. Ayu adalah kata yang biasa ditempatkan, yang berarti umar (umur) yakni Hazrat Umar r.a. Adalah sungguh suatu yang kurang menguntungkan, bagi yang main tipu-tipu dengan menuduh bahwa Kuntap Sukt itu tambahan dalam Atharwa Weda, dan telah mengutuk kitab ini sebagai telah rusak; karena mantera ini tidak saja terdapat dalam Kuntap Sukt, namun sebagiannya juga ada di Kand 20, Sukt 21 dan mantera 9. Dan apakah mantera ini juga ditolak dan dianggap sebagai disisipkan, dan seluruh Atharwa Weda disingkirkan ke samping sebagai kitab yang tercemar, bahkan kemudian, mantera yang sama itu juga terdapat dalam Rig Weda, mandal 1, Sukt 53, mantra 9; dan dalam mantera yang berikutnya lebih lanjut ada penjelasan tentang itu, dan bersama dengan Sushravah yang terpuji, juga disebutkan telah melindungi Turvyan; dan adalah suatu kenyataan bahwa Tuhan Yang Maha-tinggi menghubungkan dengan dua pribadu besar: Sushravah dan sahabatnya di gua, Turvyan atau Hazrat Abu Bakar. Tetapi nubuatan ini tak berakhir di sini. Di sana ada juga, dalam mantera ini, disebutkan tiga sahabat yang besar dari Nabi, dan tunduk melayaninya: Singa Tuhan Hazrat Ali, Usman dan Umar, suatu catatn atas akhlak dan kemuliaannya yang luhur juga telah dinyatakan dalam ayat ini. Sifat baik dan keluhuran budi mereka adalah kenyataan sejarah, dan bukan sekedar ceritera fiktif dari para mufasir Weda. --------- 19, 20, 21, 22 The Atharvaveda, XI:7.24. Atharva Veda, XV:6.12. Rig Veda, X:130,6. Chhan, VII: 1-2. Dicatat dalam Shatpath Br. Suatu tafsir yang sangat tua dan otentik dari Yajur Weda, bahwa Purana wajib dibaca pada hari kesembilan dari Yagnya. XIII:4.3.13. XI:5.6.8. Shankhayana S.16. Lihat catatan pada Shatpath Br. XIII:4.3.13. Bhavishya Purana Prati Sarg Prev iii:3.3.5-6. Bhavishya Puran Parv.III:1,4,21-23. Ibid, hh.256,257. Nareshu Ashansah Narashansah astvishyate yashya sah Munashuesh’u Parshansnih. Pt.Khem Karan Bhasjy, hal.4, 451. Dalam ketiga terjemah di atas, kata ini di ambil sebagai proper noun, seolah dia adalah nama beberapa Raja atau otoritas penguasa. Tentang ini Prof.Griffith menulis: ‘Suatu hymne dalam pujian terhadap kebebasan dan pemerintahan yang baik dari Kaurama, raja Rushamas’. Tirmidhi dan Abu Dawud, Mishkat, bab ‘Mafakhira fa-la-Assabiyah’. Mekkah pada saat itu adalah pusat niaga dari Arabia, karena itu penduduknya bisa meningkat menjadi seratus ribu (Al-Mathal-al-kamil). Ini berarti bahwa penduduk tetapnya adalah enampuluh hingga tujuhpuluh ribu orang. Taitriya Brahmn 1:1.3.11; 1.2.1.6. Sam Veda bag.II, 1.12.2; Rig Veda, 8:13.2; Yajur Weda, 34.20. Suatu penyebutan tentang Kuts ada di beberapa tempat dalam Weda. Tetapi dalam pandangan para cendikiawan, istilah ini menunjukkan pribadi yang berbeda-beda, dan tidak hanya seorang saja. Ini berarti bahwa Kuts telah diberikan dalam Nirukt 3:11. Suatu sebutan tentang Kuts bersamaan dengan Atithigva dan qyu, telah di adakan di beberapa tempat 1 53/10, 2 14/7, 8 53/2, 4 26/1. Dia juga disebut sebagai teman Indra, Rigveda 1 51/6, 6 26/3 qtithigva, juga, telah disebutkan pada beberapa tempat dalam Weda; tetapi ini bukan nama satu orang, melainkan nama dari pribadi yang berbeda-beda. Kata Sanskrit rath digunakan bagi segala macam kereta dan kendaraan. Dalam Rig Weda, dikatakan bahwa Matahari berjalan di atas sebuah rath emas.1:35.2. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (5/18) RESI PENUNGGANG UNTA. Mantra 2 Mantera kedua dari Kuntap Sukt berbunyi sebagai berikut: Prof. Grifith memberikan terjemahan berikut ini: setelah bahasa Sanskritnya (Atharwa Weda, 20; 127.2). “Unta-unta dua kali sepuluh yang menarik kendaraan, dengan perempuan di sampingnya, dia berikan. Indah akan kereta-keretanya atasnya merunduk dari sengatan langit”. Maurice Bloomfield menterjemahkan: “Yang dua kali sepuluh kerbau bergerak bersama-sama dengan sapi-sapi mereka, tinggi dari kereta seperti menyundul langit, yang menarik diri dari sentuhannya”. Pandit Khem Karan menterjemahkannya: “Yang binatang kendaraannya yang cepat adalah duapuluh unta dengan betinanya. Orang-orang jahil tidak mengindahkan kedudukan mulia dari lelaki itu”. Pandit Raja Ram memberikan tafsiran lain dari mantera ini: “Duapuluh unta menarik kendarannya, beserta dia dan juga isteri-isterinya. Pucuk kendaraan atau keretanya merunduk menghindari sentuhan langit”. Semua terjemahan ini menunjukkan bahwa orang yang sama yang dirujuk dalam mantera ini seperti yang diacu dalam mantra pertama. Semua terjemahan kecuali Bloomfeld, setuju pada kenyataan bahwa dia adalah seorang penunggang unta. Terjemahan ini juga menunjukkan bahwa pucuk keretanya menyundul langit.(23) Jadi, mantera ini dengan jelas menunjukkan bahwa Resi yang dijanjikan adalah seorang Arab. Seorang resi India tidak dapat mengendarai unta. Sebab, seperti dalam hukum Dharma Shastra, daging dan susu unta itu diharamkan bagi seorang resi India (Manu 5:8, 18), sehingga adalah haram baginya untuk menunggang unta. Dalam sikap yang sama, seorang Brahman juga tidak boleh mengendarai unta. Telah ditulis dalam Manu Smriti: “Seorang Brahma akan tercemar kalau berniat mengendarai seekor keledai atau unta dan mandi telanjang. Pencemaran ini hanya bisa dihilangkan dengan manahan nafas untuk waktu yang lama (Manu 11:201). Larangan dalam Dharma Shastra ini berdasar kenyataan supaya tidak tersisa sedikitpun ambiguitas dalam menafsirkan nubuatan ini, dan hendaknya difahami dengan jelas bahwa Resi yang dijanjikan tidak tinggal di India tetapi seorang Resi penunggang unta dari Arabia. Tak Seorangpun resi India yang pernah mengendarai unta tetapi seorang Nabi bangsa Arab s.a.w. sering­ Kali menaiki unta dan minum air susunya. Tanah Arab dikenal ke seluruh dunia karena untanya dan Bangsa Arab dkenal sebagai para penunggang unta”. NABI YANG MENAIKI UNTA Dalam Kitab Wahyu dimana disebutkan, dalam pengertian harfiah yang dikenal, mengenai seorang nabi atau resi atau dewata yang mengendarai seekor binatang atau lain kendaraan, maka ini ada makna kiasannya, wahana ini menunjukkan dan terdiri dari umat atau bangsanya. Wacana semacam ini sangat umum dalam kitab suci agama Hindu ini dimana para resi atau dewata dikatakan mengendarai lembu jantan, kambing, singa dan tikus; dan kendaraan mereka itu diartikan sebagai gambaran mencolok dari masing-masing pengikut mereka. Secara singkat dan padat, kita hanya akan memberi dua atau tiga contoh. Dalam Q ur’an Suci, suatu kaum atau pemimpin agama mereka disebut seperti seekor keledai yang sekedar terbebani dengan kitab-kitab, tetapi tak bisa memetik manfaat dari timbunan kitab-kitab tersebut. Firman-Nya: “Perumpamaan orang-orang yang dibebani Taurat, lalu mereka tak memperhatikan itu, adalah Ibarat keledai yang mengangkut kitab. Buruk sekali perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tak memberi petunjuk kepada kaum yang lalim” (Q.S.62:5) Dalam kiasan ini, Tuhan Yang Maha-tinggi telah mengumpamakan para ulama Yahudi yang di beri amanat Kitab Taurat, tetapi tidak memperhatikannya, bak seekor keledai yang dibebani dengan kitab-kitab, tetapi tidak mendapat manfaat apa-apa dari situ. Bahkan yang jauh lebih buruk adalah permisalan seekor keledai muda yang menolak ab initio Kitab-kitab Suci dan tidak mau dibebani dengan kitab-kitab. Jelas sekali bahwa setidak-tidaknya orang yang menerima dan menyetujui dibebani dengan Hukum, boleh jadi bisa hidup menurutinya. Tetapi yang dari awal sudah menolak untuk menerima dan memperhatikan Taurat atau Hukum, adalah jelas dari jenis yang lebih rendah dibanding golongan sebelumnya. Dalam Kitab Suci dinyatakan, bahwa Yesus Kristus telah digambarkan mengendarai seekor keledai; dan ini juga terkenal dengan perumpamaan: “Bahkan bila keledai Isa Almasih telah sampai ke Mekkah, dia akan tetap di atas keledainya pada saat dia kembali”. Tetapi perkaranya tidak berakhir sampai di sini. Tidak saja seekor keledai yang dipakai berkendaraan oleh Yesus, melainkan juga keledai muda; dan mengendarai keduanya pada satu dan saat yang sama telah dinyatakan dan disorot. Jelas naif untuk menyatakan bahwa seseorang berkendaraan seekor keledai dan keledai muda secara bersamaan; dan tak ada pemecahan lain atas dilema ini kecuali menganggapnya sebagai nubuatan yang diucapkan dengan bahasa kiasan serta diterjemahkan langsung agar masuk akal (Zakharia 9:9). Bila nabi Zakaria telah meramalkan kedatangan seorang penunggang keledai, bukanlah suatu tugas yang sulit ataupun penemuan besar untuk membuka ikatan dan melepas keledai seseorang atau keledai muda dan mengendarainya sehingga nubuatan itu bisa tergenapi. Sudah jelas sekali bahwa kaum yahudi itu disebut pembawa taurat; dan juga sudah diakui bahwa Yesus dikirim kepada domba-domba Bani Israil; dan juga suatu perkara yang benar bahwa kaum Yahudi, yang tidak bisa memetik manfaat dari taurat, menolak beriman kepada Yesus. Jadi jelas sekali bahwa kaum Yahudi, yang telah disebut sebagai pengemban Taurat berubah menjadi tak lebih dari keledai yang membawa kitab-kitab. Bangsa lain yang nasibnya jauh lebih buruk, diumpamakan sebagai anak keledai. Dengan mengingat hal itu, ditulis dalam Alkitab menurut Matius 21:5, bahwa Yesus mengendarai keduanya, keledai dan anak keledai. Tetapi dalam Lukas 19:35, Markus 11:7, Yohanes 12:14; dinyatakan bahwa dia hanya menunggang anak keledai, yang berdasarkan kenyataan, akan lebih tepat. Betapapun, keledai adalah menunjukkan dan lambang dari kaum Yahudi untuk siapa tuntunan Yesus dimunculkan, tetapi mereka tidak menerimanya. Namun contoh dari mereka yang beriman kepadanya, adalah seperti keledai muda; dan mengenai anak keledai ini, penulis Injil dengan khusus berkata, dimana tak seorangpun laki-laki pernah menungganginya; yakni untuk menyatakan, bahwa tak seorangpun nabi Bani Israil maupun non-Israil yang bisa menjadikannya umat pengikutnya. Jadi, keledai muda dalam perumpamaan ini adalah ibarat orang-orang, yang ab initio, tidak mampu dan tidak cocok untuk membawa amanah Hukum, bahkan tidak bisa membawa beban amanah Yesus Kristus. Dan karena itu, bahwa dalam gambar Yesus ditunjukkan mengendarai anak keledai sedemikian rupa sehingga kaki dan lututnya menyentuh tanah; yakni, bahwa anak keledai itu mutlak tidak mampu membawa bebannya. Dengan cara yang sama, Dajjal dinyatakan dalam hadist mengendarai seekor keledai. Bagusnya, menunggang keledai, berdasarkan teks di atas, diutamakan untuk Yesus; dan Nabi Isaiah melihat dalam rukyah dua pengendara, satu di punggung keledai dan satu lagi menunggang unta. Kisah penunggang keledai berhenti di sini, tetapi perihal dia menaiki keledai muda perlu dtafsirkan lebih lanjut. Ini menunjukkan suatu bangsa yang menolak mengemban amanat Hukum. Pernyataan lain yang diberikan oleh Yesus menunjang hal ini. Misalnya, Yesus mengatakan, bahwa para muridnya adalah kain lama yang tidak dapat dipotong-potong lagi menjadi baju yang baru; atau mereka adalah botol lama yang tidak dapat diisi dengan anggur yang baru. (24) Pada tempat lain, Yesus bahkan berkata dengan istilah yang lebih keras: “Sekali lagi aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum daripada seorang kaya masuk kedalam Kerajaan Allah” (25). Ayat ini diambil untuk diartikan, bahwa adalah mudah bagi seekor unta, binatang yang sangat besar dan bentuknya tidak mulus, bisa melewati mata jarum, meskipun ini benar-benar mustahil. Tetapi di sini istilah unta itu digunakan sebagai lawan kata dari orang kaya; dan orang kaya berarti suka hidup enak-enakan, bermewah-mewah dan cinta-dunia, sedangkan unta itu melambangkan sosok yang selalu bekerja keras, makanannya sederhana, sabar dan tenang, serta melintas dengan selamat melalui jalan Hukum dan perintah Ilahi yang paling rumit, atau secara kiasan, melintasi jalan Lurus yang lebih tajam dan mengiris melebihi mata pedang; tetapi buat orang yang mencari kesenangan pribadi, foya-foya, dan menolak membawa beban amanahnya, serta menggantungkan pengorbanannya kepada kambing hitam, dan menolak Hukum Ilahi, maka jelas baginya sangat sulit untuk memasuki kerajaan Tuhan. Adakah muridnya, betapa pun besarnya dia, dimana Tuannya sendiri menyatakan bahwa (muridnya) itu tidak memahami kata­katanya? (26) Jadi, unta adalah motto dan tanda dari seorang muslim sempurna, menyusuri jalan Hukum Ilahi yang paling rumit untuk memasuki kerajaan Tuhan. Hendaknya juga diingat bahwa kerajaan Tuhan itu bukanlah suatu kerajaan tanpa hukum yang penuh pemberontakan, dan karena itu, orang-orang tersebut, yang menyebut dan menghujat hukum itu sebagai kutukan, tidak akan diizinkan untuk memasukinya.(27) Sesungguhnya itu adalah pintu yang rendah lewat mana seorang yang gemuk berlemak takkan bisa melaluinya. Karena itu, nubuatan ini adalah suatu ramalan yang penuh kebijaksanaan, diucapkan untuk dipertimbangkan dengan hati-hati dan pemikiran mendalam tentang pamrih pribadi dari negeri-negeri Kristen dalam abad ini. Jika dalam Kitab Weda, pada satu sisi, Dia Yang Dijanjikan, Narashans, telah dikatakan sebagai penunggang unta, sebaliknya, dalam Alkitab juga dikatakan, dengan menyebutkan sepasang pengendara, seorang menunggang keledai muda dan seorang lagi dengan unta. Unta dan mengendarai unta merujuk kepada negeri Arabia. Ditulis dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics: “Unta adalah binatang yang sangat penting dalam kehidupan suku Badui. Mengingat makannya sedikit, daya tahan dan kecepatannya, ini adalah wahana umum untuk berjalan lama melintasi gurun pasir”. Dengan memperluas dan memperbincangkan keajaiban serta keingin-tahuan kita terhadap alam penciptaan dari seekor unta akan memakan waktu yang panjang. Namun, Quran Suci telah menujukan perhatian kepada hal itu dengan mengatakan; Apakah mereka tidak melihat unta itu, betapa mereka diciptakan dan peragaannya telah dilakukan oleh Reader’s Digest bulan November 1964 dengan kata-kata berikut ini: “Alam, yang adalah arsitek perancang yang besar, tidak pernah mencapai sesuatu yang lebih baik dibanding camelus-dromedarious, bangsa Arab atau seekor unta yang kuat, untuk melintasi padang pasir di dunia ini. Sesungguhnya ini memang fakta yang lengkap”. Kemudian, setelah menyebutkan keajaiban dan keheranannya atas penciptaan kaki, lehernya yang jenjang, mata, hidung, mulut serta organ “dalam”nya, majalah tersebut selanjutnya berkata: “Ada banyak rahasia tentang unta yang komplit itu yang belum terpecahkan”. Kesederhanaan dari kehidupan seekor unta, hidupnya yang sekedar memakan semak dan tanaman berduri lainnya selama berhari-hari, kesabaran dan ketenangannya menghadapi kelaparan dan kehausan, serta melintas dengan cepat dan aman melalui gurun pasir telanjang dan membakar, sambil memikul di punggungnya baik pengendara maupun bebanyang lain, adalah gambaran seorang muslim dan yang beriman sempurna. Mengacu atas hal itu, para penyair telah bersenandung dengan benar, yakni “Jika anda ingin hidup penuh kehormatan di dunia ini, anda harus membiasakan diri dengan kebiasaan hidup terantuk semak berduri”. Jadi, baik Weda maupun Nabi Isaiah, telah menyebut Nabi Suci seorang penunggang unta, telah menunjukkan dengan jelas atribut eksternal maupun internal beliau, yakni, di samping beliau adalah Nabi dari Arabia, neliau juga sebagai suatu model yang sangat mulia bagi pemerintahan raja-raja maupun penguasa dunia. Meskipun kenyataannya beliau adalah seorang panglima yang berani dan seorang raja, beliau melakukan segala jenis pekerjaan dengan tangannya sendiri. Beliau memerah susu kambingnya sendiri, menyapu lantai rumahnya, memelihara unta-untanya, bekerja sebagai tukang bersama yang lain dalam membangun mesjid, dan menggali parit pertahanan. Dengan mengingat kedudukan raja yang dijalankan oleh Nabi dengan perintahnya sendiri, seseorang dengan tepatnya telah mencermati: “Bisakah kautunjukkan satu saja penguasa dalam sejarah dunia ini yang kehidupan sosialnya semacam ini dimana pada kemejanya ada sepuluh tambalan perbaikan; yang dengan kantung kulit tersandang di bahunya, menimba air untuk para perempuan; yang biasa berbaring di tanah tanpa alas, berjalan di jalan raya dan semuanya serba sendiri tanpa dikawal kemanapun beliau suka; yang menggosokkan minyak dengan tangannya sendiri pada untanya, yang tidak punya balairung untuk audiensi kerajaan, tidak punya pengawal pintu gerbang ataupun sekretaris, tidak pernah melatih pembantu; namun dia bisa memerintah dengan menggentarkan dan penuh wibawa sehingga baik orang Arab maupun non-Arab gemetar kaki-kaki mereka dengan hanya menyebut namanya. Dalam perjalanannya ke Syria Umar Faruk tidak membawa apa-apa kecuali seekor unta yang dikendarainya namun pusat dunia itu gemetar, maka kedudukannya sebagai penunggang kuda itu tepat bagi kedua-nya, baik secara harfiah maupun arti pentingnya”. -------------------------------------------------------------------------------- 23, 24, 25, 26, 27 Nareshu Ashansah Narashansah astvishyate yashya sah Munashuesh’u Parshansnih. Pt.Khem Karan Bhasjy, hal.4, 451. Dalam ketiga terjemah di atas, kata ini di ambil sebagai proper noun, seolah dia adalah nama beberapa Raja atau otoritas penguasa. Tentang ini Prof.Griffith menulis: ‘Suatu hymne dalam pujian terhadap kebebasan dan pemerintahan yang baik dari Kaurama, raja Rushamas’. Tirmidhi dan Abu Dawud, Mishkat, bab ‘Mafakhira fa-la-Assabiyah’. Mekkah pada saat itu adalah pusat niaga dari Arabia, karena itu penduduknya bisa meningkat menjadi seratus ribu (Al-Mathal-al-kamil). Ini berarti bahwa penduduk tetapnya adalah enampuluh hingga tujuhpuluh ribu orang. Taitriya Brahmn 1:1.3.11; 1.2.1.6. Sam Veda bag.II, 1.12.2; Rig Veda, 8:13.2; Yajur Weda, 34.20. Suatu penyebutan tentang Kuts ada di beberapa tempat dalam Weda. Tetapi dalam pandangan para cendikiawan, istilah ini menunjukkan pribadi yang berbeda-beda, dan tidak hanya seorang saja. Ini berarti bahwa Kuts telah diberikan dalam Nirukt 3:11. Suatu sebutan tentang Kuts bersamaan dengan Atithigva dan qyu, telah di adakan di beberapa tempat 1 53/10, 2 14/7, 8 53/2, 4 26/1. Dia juga disebut sebagai teman Indra, Rigveda 1 51/6, 6 26/3 qtithigva, juga, telah disebutkan pada beberapa tempat dalam Weda; tetapi ini bukan nama satu orang, melainkan nama dari pribadi yang berbeda-beda. Kata Sanskrit rath digunakan bagi segala macam kereta dan kendaraan. Dalam Rig Weda, dikatakan bahwa Matahari berjalan di atas sebuah rath emas.1:35.2. Matius 9:16.17; Markus 2:22, Lukas 5:37.38. Matius 19:24, Markus 10:25, Lukas 18:25. Matius 16:23, Markus 8:33, Yohanes 14:9. Lukas 13:24, Matius 7:13. Rig Veda 1:126.3, 6:27.8. Beberapa copy dari Atharva Veda berisi kata davirdarsh yang berisi duapuluh ekor unta yang indah atau unta betina, tetapi di tempat lain kita dapati kata davirdash berarti duapuluh unta dengan betinanya. Kami memeriksa kedua copy tersebut di Kolese Deccan, Poona, dan lebih menyukai bacaan davirdash yang berarti dua unta betina yang indah. Pada saat hijrahnya ke Madinah, Nabi mempunyai dua unta betina, satu dikendarainya dan satu lagi ditunggangi Abu Bakar. Nabi memiliki dua unta betina yang dikenal sebagai Qaswa dan Asba. Jumlah yang tepat dari para sahabat yang ikut ambil bagian dalam perang Badar adalah 313, tetapi pecahan di bawah 100 biasanya dihilangkan. Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6. Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1. Altindisches Leban, 131. Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaff, 42, 237; Buddha, 396. St. Petersburg Dictionary. ‘Sanskrit Bhashya’ dari Khem Karan memberi dua arti dari kata Parikesit. ‘Sarvat Aishvary Yuktasya’ (memiliki segala jenis atribut dan kekuasaan), dan kedua ‘seorang yang memberikan perlindungan lengkap kepada umat’; Quran Suci juga berkata tentang Nabi Suci sebagai ‘lemah-lembut terhadap kaum mukmin’ MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (7/18) Koin Emas. Tuhan mengaruniakan kepada Mamah Rishi atau Nabi Suci Muhammad, seratus koin emas. Seratus koin emas ini adalah kaum mukminin dan para sahabat Nabi di masa awalnya yang diberikan kepadanya dalam kehidupannya di Mekkah yang penuh guncangan, yang menahan segala jenis kesulitan hidup serta penderitaan dan akibatnya menjadi demikian suci dan berharga seperti emas murni. Mereka adalah ‘Orang yang paling depan, yang paling pertama’ (Q.S.9:100) yang setelah menjalani masa penganiayaan yang panjang di tangan orang-orang Mekkah, meninggalkan rumah mereka dengan sanak keluarganya dan bahkan Nabi yang disayanginya serta dipaksa lari ke Abesinia. Mereka meninggalkan semua yang paling disayanginya dan segenap harta miliknya, tetapi tidak meninggalkan Islam dan karenanya menjadi mereka yang terpilih di hadapan Tuhan sebagaimana al-Quran berkata: “Allah berkenan kepada mereka” (Q.S. 98:8). Mereka dihadang oleh cobaan berat dan mereka lulus dengan penuh keberhasilan melintasi setiap ujian. Dalam kata-kata Quran Suci: “Dan sesungguhnya Kami akan menguji kamu dengan sesuatu dari ketakutan dan kelaparan dan kehilangan harta dan jiwa dan buah-buahan”.(Q.S. 2:155). Daln lagi Kitab Suci berfirman: “Dan Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan” (Q.S.21:35). Kata fitnah dalam ayat ini diterangkan bagaikan meletakkan emas dalam api untuk memisahkan yang tidak murni itu dari emasnya. Begitu pula, kaum muslimin yang masuk Islam paling awal dan para sahabat Nabi Suci dicoba dengan keburukan, teraniaya dan tercebur dalam api kesukaran hidup serta penderitaan dan akibatnya mereka menjadi suci bak emas murni. Dinyatakan dalam ‘Shatpath Brahmana’, yang dipandang sebagai sebuah tafsir terilham dari Yajur Weda, bahwa emas itu secara kiasan digunakan untuk menunjukkan kekuatan spiritual dari seseorang. Daya ruhani seseorang yang bisa mengatasi segala kesulitan dan ujian dibandingkan dengan emas murni. Jadi, para sahabat Nabi yang menghadapi segala macam kesulitan dan memikul kesukaran hidup yang berat itu adalah koin emas murni yang dianugerahkan kepada Nabi. Seratus adalah jumlah sahabat yang mengungsi ke Abesinia, menggenapi ramalan bahwa Mamah Rishi akan diberi seratus koin emas. Sepuluh kalung Hadiah kedua yang dikaruniakan kepada Nabi Suci yakni sepuluh kalung yang indah tak ternilai harganya. Ini adalah sepuluh sahabat terbaik dari Nabi Suci yang dikenal sebagai ‘Ashra-i-Mubashshara’. Mereka adalah yang paling sukses dalam missi kehidupan mereka dari antara segenap kaum Muslimin, dan telah menerima kabar baik tentang peningkatan mereka baik di dunia maupun di akhirat dari bibir Nabi sendiri yang menamakan masing-masing dari mereka itu ‘di surga’. Mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, ‘Ali, Talhah, Zubair, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’ad bin Zaid dan Abu ‘Ubaidah (semoga Allah sangat meridhoi mereka). Besar dan tak terhitung pengorbanan yang telah mereka lakukan demi Islam sehingga tak tertandingi pahala bagi mereka itu. Mereka adalah pribadi mencolok tentang mana Weda menamakannya sebagai Dash asrija – ‘sepuluh buket dari Surga’. (Rig Weda 10:184:2). Kata asrijah digunakan dalam bahasa Sanskerta baik dalam pengertian ‘serangkaian’ atau ‘seikat bunga­bungaan’ dan ‘seorang pemimpin’. Dalam Rig Weda kita dapati: “Wahai kalian yang menginginkan seorang anak, semoga Aswani Kumar Dewata menghadiahkan anak-anak kepadamu dengan serangkaian bunga­bungaan di kepalanya” (Rig Weda 10:184.2; Atharwa Weda 1:14.1). Tigaratus kuda pacu yang baik Hadiah ke tiga merujuk kepada mantera di atas adalah tiga ratus ekor kuda pacu yang baik. Kuda-kuda ini digambarkan termasuk keturunan Arab. Kata Sanskrit Arwah berarti seekor kuda pacu Arab terutama digunakan oleh Asura (bukan-Arya) (Rig Weda 5:54:14). Kendaraan Agni dan Indra (dewa ilmu dan kekuatan) juga dinamakan sebagai ‘Arwah’ (Rig Weda 8:42.2; 8:62.3). Karena itu, dalam cahaya mufasir Weda, tiga ratus ekor kuda pacu yang bagus (30) dari Muhammad adalah para sahabat Nabi Suci yang berjihad di perang ‘Badar’ dan disamping berjumlah tigaratus juga adalah cerdas dan perkasa. Mereka itu, di waktu malam, adalah pengabdi yang salih dari Tuhan mereka dan sepanjang siang hari menjadi pejuang besar dan perkasa. Tak seorang panglima pun yang sanggup mengumpulkan kekuatan pemukul semacam itu seperti yang telah dilakukan Muhammad. Mereka juga ilahiah di samping pasukan tempur, dan dengan mengabaikan sejumlah hambatan yang berupa kekurangan senjata, amunisi dan sebagainya, telah bisa menaklukkan kekuatan yang jumlahnya tiga kali lebih banyak. Sepuluh ribu sapi. Hadiah terakhir yang dianugerahkan kepada Nabi Suci, sesuai dengan mantera ini, yakni serombongan sepuluh ribu wali yang menemani Nabi ketika beliau menaklukkan Mekkah. Mereka digambarkan dalam mantera Weda sebagai ‘sapi’. Kata Sanskrit go itu berasal dari gaw yang berarti pergi ke medan perang. Seekor sapi disebut go karena bangsa Arya mengobarkan peperangan terutama untuk menangkap lembu musuh-musuhnya. Inilah sebabnya mengapa lembu jantan dipakai sebagai lambang kemenangan. Dan sangat sering kata yang sama go digunakan baik untuk lembu jantan maupun seekor sapi. Seekor sapi atau lembu jantan digambarkan dalam Weda sebagai simbol perang maupun damai dan aman. Dalam Rig Weda, kami dapati, seorang serdadu perkasa yang mengalahkan musuh-musuhnya, digambarkan sebagai lembu jantan. ‘Gaw iva shaktah’(Rig Weda 8:33.6). Begitu pula, dalam Shatpath Brahmana (5:2.4.13) dan Taitreya Brahman: 2.5.2, seekor sapi digambarkan sebagai simbol keganasan dan kehancuran. Di tempat lain dalam Rig Weda, dikatakan, Gaw iva bhimyoh, ‘dia itu ganas dan kejam seperti seekor sapi’ (Rig Weda 5:56.3). Namun, dalam Rig Weda yang sama, seekor sapi juga disebutkan sebagai tanda perdamaian dan keamanan. (Rig Weda 9:112.3) ‘Manusia dengan bermacam kecerdasan, pencari kekayaan kita hidup (bersama) seperti sapi” (Rig Weda 9:112.3). Begitu pula, dalam Rig Weda, kita dapati: (Rig Weda 10:145.6) “Biarlah hatimu beralih terhadapku sama seperti seekor sapi beralih kepada anaknya” (10:145.6). Seperti seekor sapi yang memberikan kasih-sayangnya kepada anaknya yang muda, wahai suamiku, hendaknya engkau menaruh kasih kepadaku”. Dalam Shatpath Brahmana, sapi-sapi itu dikatakan seperti orang-orang. Sekali lagi, seekor sapi digambarkan sebagai lambang peribadatan, ketegaran (aditi) dan ilmu (saraswati) (12:9.1.7). Dengan membawa semua kutipan ini dalam ingatan, lagi kita menengok kepada mantera itu dan melihat apa yang diartikan dengan sepuluh ribu sapi dari Muhammad. Kutipan ini membuat dua perkara menjadi jelas; pertama, bahwa para sahabat Nabi Suci itu adalah orang-orang suci, salih dan penyayang seperti seekor sapi, dan kedua, mereka keras dan kuat seperti Indra. Jelaslah, sifat-sifat mulia ini bertolak belakang satu sama lain, tetapi Quran Suci dengan mudahnya memecahkan kesulitan ini. Berbicara mengenai Nabi Suci dan para sahabatnya al-Quran bersabda: “Muhammad Utusan Allah; dan orang-orang yang menyertai dia berhati teguh melawan kaum kafir, bercinta-kasih antara mereka. Engkau melihat mereka berruku’, bersujud, memohon anugerah dan perkenan Allah”. (Q.S.48:29). Lagi dia berkata: “Rendah hati terhadap kaum Mukmin, dan gagah berani terhadap kaum kafir”(Q.S.5:54). Pada perang Uhud Nabi Suci melihat dalam kasyaf bahwa sapi-sapi disembelih. Beliau sendiri memberikan penafsiran bahwa dalam pertempuran itu sejumlah sahabatnya akan terbunuh. Ini juga menunjukkan, bahwa para sahabat Nabi Suci itu benar disebut sapi-sapi karena kehangatan dan kasih-sayang sesamanya. Jadi, mantera Weda memberikan gambaran yang tajam tentang sepuluh ribu wali para sahabat Nabi Suci yang menemani beliau pada saat kejatuhan Mekkah. Berbicara mengenai para sahabat ini, Quran Suci juga menyatakan: “Itulah gambaran mereka dalam Taurat, dan gambaran mereka dalam Injil” (Q.S. 48:29). Jadi, al-Quran juga meng-klaim bahwa suatu gambaran tentang Nabi Muhammad dan para sahabatnya akan didapati dan suatu rujukan atas mereka akan diketemukan dalam kitab suci pelbagai agama dan dalam nubuatan sejumlah nabi-nabi. Mantera dari Kuntap Sukt ini, seperti yang kita lihat, dengan jelas memberi nama Nabi Suci sebagai Mamah yang disamping mengandung hakikat yang sama dengan kata Muhammad, juga kemiripan dalam bentuk maupun pengucapannya. Mantera ini juga menunjukkan bahwa Muhammad adalah seorang resi yang besar yang diberi hadiah Ilahi para sahabat yang teruji dan suci, yang murni dan berharga bagaikan emas murni, dan yang terangkat serta sempurna sedemikian sehingga mereka diumpamakan dengan bunga­bunga Surga. Beliau telah diberi para sahabat semacam itu yang baik pengabdi yang wali di sisi Tuhan dan juga pejuang yang gagah-berani di medan perang. Sejarah telah menyatakan kepada kita bahwa tanda­tanda ini hanya digenapi dalam pribadi Nabi Muhammad dan para sahabatnya serta tiada lagi yang lain. Nabi memperoleh hal-hal ini dengan urutan yang sama seperti yang digambarkan oleh mantera tersebut. Pertama beliau memperoleh seratus koin emas, kemudian ‘ashra-i-mubashshara kemudian tigaratus sahabat yang bertempur di medan Badar dan akhirnya sepuluh ribu wali yang menemani Nabi pada penaklukan Mekkah. Sejarah dunia tidak dapat menunjukkan satu pribadi lain yang memiliki atribut ini dan memenuhi yang digambarkan ini kecuali Nabi dari Arabia yang diberkahi (s.a.w.) Seseorang boleh mengingkari kebenaran ini karena mau benar sendiri dan kepala batu, tetapi seseorang tak dapat membuktikan dua fakta yang bertolak-belakang itu memang benar pada suatu kali dan suatu waktu yang sama; karena kebenaran itu tak mungkin bermuka dua. -------------- Jumlah yang tepat dari para sahabat yang ikut ambil bagian dalam perang Badar adalah 313, tetapi pecahan di bawah 100 biasanya dihilangkan. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (8/18) Pemujaan Nabi kepada Tuhan. Mantra 4 (Atharwa Weda 20:127:4). “Pertunjukkan dirimu, wahai penyanyi, pertunjukkan dirimu, bagaikan seekor burung di pohon penuh berbunga, lidahmu mengalir lancar di bibir seperti pisau cukur dengan kulit pengasahnya” (Bloomfield) “Berlimpahlah engkau, wahai penyanyi, berlimpahlah engkau seperti seekor burung di pohon yang berbuah masak” (Griffith). “Sebar-luaskanlah kebenaran, wahai engkau yang selalu memuji (Ahmad), siarkanlah kebenaran, bagaikan seekor burung yang menyanyi di pohon yang berbuah masak. Bibir dan lidahmu bergerak cepat bagaikan pisau tajam di atas sepasang kulit pengasahnya”. (Penerjemah Hindu). Nabi diminta menyiarkan agamanya dan menyebar-luaskan kebenaran. Buah-buahan di pohon telah masak, sukses Nabi sudahlah pasti. Mantera ini menyebut Nabi Suci sebagai ‘Rebh’ yang berarti astuti (31) atau “seorang yang selalu memuji atau mengagungkan”, dan ini adalah terjemahan yang tepat dari Nabi bangsa Arab yang bernama Ahmad. Sesuai dengan itu, Nabi Ahmad mengajarkan agamanya dan dunia memetik buah-buah masak yang beliau bawakan. Quran Suci telah, tepat sesuai dengan mantera ini, menggelar permisalan tentang sebatang pohon yang berbuah lebat dalam kata-kata berikut ini: ‘Kata-kata yang baik bagaikan pohon yang baik, yang akarnya kuat dan cabang-cabangnya di langit” (Q.S.14:24). Jadi, kata-kata yang baik atau Islam itu seperti pohon yang teguh berakar dan berbuah lebat. Mantera dalam Atharwa Weda ini dibenarkan dan diperkuat oleh mantera berikut dari Rig Weda: “Dua ekor burung dengan sayap-sayap yang indah, diikat dengan tali persaudaraan pada pohon pelindung yang sama, telah menemukan tempat pengungsiannya. Satu dari si kembar itu memakan buah tin yang manis, yang satunya lagi tidak makan, hanya melihat” (Rig Weda 1:164:20). Kriteria dari ketulusan seseorang yang diberikan Tuhan dalam mantera ini, dalam pandangan Resi Weda, adalah bahwa dari dua orang, yang diberi kebiasaan dan kekuatan yang sama, termasuk dalam bangsa yang sama, serta hidup di negeri yang sama, yang satu mau memakan buah dari pohon ruhani sedangkan yang lain hanya melihatnya dengan penuh kesedihan. Pohon yang berbuah masak ini adalah pohon Islam atau Nabi Suci Muhammad yang mendapat sukses dan mengandung buah; serta lawan-lawannya yang memandang dengan terpukul oleh kesedihan dan duka-cita. Pohon tin, dalam kiasan Alkitab, bermakna pohon ruhani. Di tempat lain, al-Quran bersabda: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau kebaikan yang melimpah-limpah. Maka bersalatlah kepada Tuhan dikau dan berkorbanlah. Sesungguhnya musuh engkau itu terputus (dari kebaikan)” (Q.S.103:1-3). Diterangi ayat-ayat ini, makna dari mantera ini cukup jelas. Tuhan telah memberikan kebaikan yang melimpah ruah atau buah-buah masak kepada Nabi Ahmad. Karena itu beliau diminta untuk memuji Tuhannya dan mengagungkan Dia. Beliau menggerakkan bibirnya dalam memuji Tuhannya, demikian cepat, sebagaimana digambarkan oleh mantera, bagaikan sepasang pisau tajam di atas kulit pengasahnya, memotong musuh-musuhnya dari kebaikan. Inilah apa yang sebenarnya terjadi dan kebenaran Nabi ditegakkan tepat seperti yang diramalkan oleh Resi Weda. Salat di medan perang. Mantra 5 (Atharwa Weda 20:127:5) “Penyanyi dengan lagunya yang kudus bergegas dengan abai seperti sapi; di rumah adalah anak­anak mereka dan di rumah sapi-sapi pun hadir” (Bloomfield). “Cepat dan berhasrat seperti kerabat datang keluar penyanyi itu dengan nyanyi-pujian mereka: Anak dara kecil mereka di rumah, di rumah mereka menunggu-nunggu sapi-sapi” (Griffith). Inti-sari terjemahan yang diberikan oleh beberapa mufasir Hindu adalah: “Dia yang bersembahyang dengan doanya yang bergegas seperti sapi jantan yang perkasa. Hanya anak-anak mereka yang di rumah, dan di rumahlah mereka menantikan sapi-sapi itu”. Pasukan yang berangkat dari Madinah untuk menyerbu Mekkah adalah sekelompok pejuang yang gagah­berani. Mereka adalah orang-orang yang bersembahyang yang mengucapkan doanya sambil tergesa menuju medan perang. Di Madinah, hanya perempuan dan anak-anak mereka saja yang tertinggal. Seperti juga sapi muda yang dengan gelisah menanti di rumah akan induknya, begitu pula anak-anak kaum Mulsimin menunggu di rumah demi kembali dengan selamatnya dia yang bersembahyang. Quran Suci menyatakan: “Dan mohonlah pertolongan (Allah) dengan sabar dan salat” (Q.S.2:45). Memperagakan kekuatan dan pada saat yang sama dengan rendah hati berdoa kepada Tuhan mereka adalah suatu tanda kakateristik yang tidak didapatkan pada kaum yang lain di dunia kecuali para sahabat Nabi Suci Muhammad. Mengenai Nabi, kata Quran Suci: “Dan apabila engkau berada ditengah-tengah mereka dan memimpin salat untuk mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri bersama-sama engkau, dan hendaklah mereka memegang senjata mereka. Lalu setelah mereka menyelesaikan sujud, hendaklah mereka pergi ke belakang kamu, dan golongan lain yang belum salat hendaklah maju ke depan dan bersalat bersama-sama engkau, dan hendaklah mereka siap dan memegang senjata mereka” (Q.S. 4:102). Sungguh pantas dicatat, gambaran para pejuang Muslim, yang diberikan dalam mantera ini. Seperti sapi jantan yang perkasa, pada satu sisi, mereka bergegas ke medan perang dan bertempur dengan gagah­berani, dan seperti sapi yang rendah hati, di lain fihak, mereka hidup penuh kedamaian dengan umatnya sendiri dan mereka berdoa kepada Tuhannya dimanapun mereka berada baik di medan perang ataupun diluarnya. Penyiaran Kitab. Mantra 6 (Atharwa Weda 20:127.6). ‘Bawalah kemari, wahai penyanyi sajak-sajakmu, yang akan menghasilkan ternak dan menghasilkan barang-barang yang baik! Di antara Dewa-dewa, tempatknlah suaramu seperti seorang pemanah dengan panahnya” – (Bloomfield). “Wahai penyanyi, bawalah ke depan hymne yang menemukan ternak, temukanlah kekayaan. Bahkan seperti seorang pemanah yang menujukan panahnya, yang menujukan doanya kepada Dewa-dewa”. Griffith. “Wahai engkau yang memuji (Tuhan), peganglah erat-erat kebijaksanaan, yang menghasilkan sapi serta barang-barang yang baik. . Sebar-luaskanlah ini diantara orang-orang suci, tepat seperti seorang pemanah yang menempatkan anak panahnya di jalan yang lurus” Para penafsir Hindu. Kebijaksanaan, yang dibicarakan dalam mantera ini, tiada lain adalah Quran Suci. Melalui al-Quran, seseorang dapat menghasilkan kebaikan di dunia ini maupun di akhirat. Nabi diminta menyiarkan ajaran dari kitab ini di antara orang-orang suci, yakni, para sahabatnya, seperti seorang pemanah dengan anak panahnya. Dan Nabi Suci sungguh telah melakukannya. Beliau satu-satunya Nabi yang wahyunya disimpan dalam ingatan para pengikut dan sahabatnya dan yang kitabnya benar-benar ditulis sejak masa hidupnya. Beliau menyiarkan Kitabnya di kalangan para pengikutnya yang suci dan mereka menghafalkan di hatinya. Karena itu tak ada kitab wahyu lain yang ditulis serta dijaga keasliannya. Quran Suci juga memperkuat mantera ini dengan berkata: “Wahai Utusan, sampaikanlah apa yang diturunkan kepada engkau dari Tuhan dikau” (Q.S.5:67). “Tidak, sesungguhnya itu Peringatan. Maka barangsiapa suka, hendaklah ia memperhatikan itu. Dalam Kitab yang dimuliakan, Yang diluhurkan, yang disucikan,Di tangan para penulis, Yang mulia, berbudi baik” (Q.S. 80:11-16). NABI SEBAGAI LAKI-LAKI TERBAIK DAN SEORANG PEMBIMBING BAGI DUNIA. Mantra 7 (Atharwa Weda 20:127.7) “Dengarkanlah engkau kepada pujian tinggi Raja yang memerintah semua orang, Tuhan yang di atas manusia biasa, dari Vaishvanara Parikesit” – (Bloomfield) “Dengarkanlah pujian Parikesit, pemerintahan yang disayangi semua orang, raja yang memerintah semuanya, menaikkan manusia seperti Tuhan” – (Griffith). Mufasir Hindu telah menrejemahkan mantera ini sebagai berikut: “Nyanyikanlah pujian yang tinggi kepada raja dunia atau Cahaya Alam Semesta, yang adalah tuhan serta yang terbaik dari antara manusia. Dia adalah pembimbing seluruh umat manusia dan yang memberikan perlindungan kepada semua orang”. Semua gelar yang diungkapkan dalam mantera ini khususnya cocok kepada Nabi Suci Muhammad. Dia adalah nabi pertama dan terakhir yang menjadi pembimbing bagi seluruh bangsa di dunia. Begitu pula, beliau adalah nabi yang digambarkan sebagai sebaik-baik manusia. Tak seorangpun dari resi Weda bisa memperoleh kedudukan yang demikian tinggi, tidak, bahkan nama merekapun tidak dikenal di dunia. Para pengikut Weda sendiri berbeda pandangan mengenai keunggulan resi satu dengan yang lain. Karena itu, tiap kata dari mantera ini, diterapkan hanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. “Penguasa dunia”, “Cahaya Alam Semesta”, sebaik-baik manusia, ‘seorang pembimbing seluruh umat manusia’, dan ‘satu perlindungan bagi semua orang’ – betapa besar pujian kepada Nabi Suci yang dinyanyikan oleh Resi Weda? -------------------------------------------------------------------------------- 31 Rig Veda 1:126.3, 6:27.8. Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6. Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1. Altindisches Leban, 131. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (9/18) Penjelajahan dalam kerajaan kemakmuran dan perdamaian. Dalam mantera 7 hingga 10 dari Sukt ini, ada disebutkan seorang pribadi besar dimana pemerintahannya yang damai serta populer telah dipuja dan dipuji. Namanya adalah Parikesit; dan pemerintahannya adalah menjadi impian semua umat manusia, dan raja itu adalah kesayangan umat. Adalah suatu perkara yang sungguh disesalkan, bahwa penafsir Weda, Mahabharata, Bhagawat dan Purana telah menyingkirkan serta mengabaikannya sebagai bayangan khayal atau kilasan dari lamunan liar. Siapakah itu Parikesit, dan dimanakah pemerintahannya yang diberkahi, membaca suatu peristiwa dimana dalam Weda sendiri yang menimbulkan hingga kini suatu dambaan dalam fikiran untuk berziarah ke tempat itu? Pujian Parikesit telah dinyanyikan dalam Rig Weda, Atharwa Weda dan Brahman Grantha,(32) serta disebutkan adalah kerajaannya yang damai dan warganya yang bahagia serta makmur, dan suatu perintah telah diberikan agar selalu menjaga kesegaran ingatan kita terhadap pemerintahan yang ideal ini dalam Yagya tahunan. Di samping pandit Hindu, kaum orientalis Eropa pun, yang menjadi musafir serta wisatawan yang tak kenal lelah ke tanah Hindu ini, sama-sekali kosong dalam memberi kita petunjuk dalam perkara ini, yakni siapakah itu Parikesit yang telah dinyanyikan dalam Weda; kapan dan dimanakah beliau hidup? Parikesit di sana, seorang yang sangat disayang dari Rumah Kurawa, yang telah disebut dalam Mahabharata, Bhagawat Puran serta legenda Hindu lainnya; Adakah dia Parikesit yang sama yang telah dinyanyikan dalam Atharwa Weda? Jika jawabannya adalah anggukan, maka Mahabharata harus dianggap lebih kuno dibanding Atharwa Weda. Dan bila tidak demikian; dan Atharwa Weda sesungguhnya adalah suatu kitab yang jauh lebih tua, maka, dengan penyebutannya apakah Parikesit telah disisipkan dalam Purana, dan belakangan, dalam Weda? Dalam kedua kasus di atas, maka ini jelas sekali, akan menimbulkan pelecehan umum terhadap Weda dan menimbulkan rasa sakit dan menderita di hati seorang yang beriman. Tetapi bila kedua perkara itu tidak benar, dan Weda adalah kata-kata dari Tuhan Yang Maha-tinggi, maka kita harus, dalam menghormati Parikesit ini, menyelidiki dengan lebih mendalam dan memecahkan kulit untuk mengeluarkan isinya. Mengenai Weda, para ulama telah mempunyai pandangan yang bermacam­macam dan saling bertentangan: Ada kisah binatang dan dongeng dalam Weda. Tidak ada kisah binatang dan dongeng dalam Weda. Fabel dan dongeng dalam Weda itu bukan fakta nyata, tetapi adalah gambaran dari wacana dan perumpamaan. Pandangan yang bermacam-ragam serta perbedaan semacam itu didapati baik dari pandit Hindu maupun kaum orientalis. Kelompok pertama berpendapat: “Dia (Parikesit) muncul dalam Atharwa Weda sebagai seorang raja dimana kerajaannya yang besar itu makmur serta damai. Ini adalah nama dari seorang raja kuno (putera Abimanyu dan ayah Janmejaya). Karena itu ayat-ayat Dimana dia dipuja-puji belakangan disebut ‘Pariksitya’. Baik Zwimmer(33) maupun Oldenbrug(34) Mengenal Parikesit sebagai benar-benar seorang raja, suatu pandangan yang didukung oleh fakta bahwa dalam kepustakaan Weda belakangan, raja Janmejaya membawa nama ayahnya yakni Parikesit. Jika memang benar demikian, maka Parikesit termasuk kepada periode belakangan, karena Bait-bait Atharwa dimana namanya terdapat itu pasti dari masa belakanagan, dan tak seorangpun dari Samhita yang lain mengenal Parikesit sama-sekali. Roth(35) dan Bloomfield(35) yang kurang Senang dalam Hymne dari Atharwa Weda, 690, 691 menganggap Parikesit itu bukanlah sebagai Raja yang berasal dari manusia sama-sekali”. Dengan cara yang sama, beberapa pendeta Arya juga berpendapat bahwa dalam Atharwa Weda tidak disebutkan raja secara khusus, dan bahwa arti dari Parikesit adalah: Tinggal di sekitar, tinggal atau menyebar di sekitar, sekeliling, meluas. Raja yang tinggal bersama warganya, dan bercampur bebas dengan mereka, adalah Parikesit. Berdasarkan pengertian ini, Brahma Grantha telah mengambilnya untuk mengartikannya sebagai Agni, bumi dan langit yang menyebar di sekeliling umat manusia. Komentar kita terhadap penafsiran ini. Bahwa tidak ada dongeng atau ceritera dalam Weda, adalah sekedar ciptaan kaum Arya Samaj. Bahkan di antara kaum Arya Samaj sendiri ada beberapa pandit yang percaya bahwa Weda itu mengandung kisah dan anekdot. Selanjutnya, pengarang leksikon yang paling otentik dari Weda, Nirukt, telah menyebutkan kisah tentang para raja, kota, dinasti dan resi yang ditemukan di sini dan di sana dalam Weda. Menerjemahkan nama-nama ini akan mengalihkan mantera menjadi tak bermakna dan naif. Ceritera ini tidak saja terdapat dalam Atharwa Weda, melainkan juga dalam seluruh Weda. Akankan anda, menyanyikan sedikit lalu mengakui bahwa Weda itu bukannya Kitab Wahyu, atau bahwa ini Kitab yang dirusak dan tercemar, atau bahwa semua pandit non-Arya itu bodoh dan buta huruf? Dalam tingkat pertama, pengumuman ini seharusnya dibuat oleh Weda sendiri, bahwa: Akulah Kitab pertama sejak dunia ini ada; maka tak ada kisah maupun dongeng di dalamnya. Tetapi adalah klaim kita bahwa tak ada mantera semacam itu dalam seluruh keempat Weda. Karena topik ini tak bisa kita perbincangkan dengan rinci di tempat ini, maka kita memuaskan diri dengan menulis sesuatu tentang pribadi Parikesit. Dari terjemahan mantera yang kita diskusikan, kelihatannya itu muncul sebagai kisah atau bukan, kita tinggalkan kepada para pembaca untuk menentukan dengan segenap keadilannya. Terjemah harfiah dari mantera itu adalah: “Raja dari seluruh umat manusia, yang adalah suci serta murni di antara manusia; Pemimpin dari semua orang, Parikesit; dengarkanlah atas pujian yang tinggi kepadanya”. Jelaslah bahwa dalam mantera ini, Parikesit, adalah seorang yang terpuji, dan bahwa seluruh umat manusia itu hadir karena dia adalah raja; pada sisi lain, dia itu suci dan murni (devta) doi antara laki-laki, dan pemimpin seluruh dunia, serta patut dipuji dan dihormati; dan Weda telah memerintahkan untuk memasang telinga dan mendengarkan pujian yang tinggi kepadanya. Dengan memandang terjemah harfiah ini di hadapan mata kita, maka kita harus melihat: Apakah ini sekedar ceritera? Apakah ini suatu nubuatan? Jika Parikesit hidup sebelumnya dan Weda datang belakangan, maka kemudian akan jelas bahwa ini sebuah ceritera, suatu dongeng atau kisah binatang; dan pertanyaan sewajarnya akan timbul: Kapankah Parikesit ini hidup? Jika dia sama dengan Parikesit yang disebut dalam Mahabharata dan Bhagwat Purana, dan adalah putera Kuru, dalam kasus ini, maka mantera dan Weda ini kitab pada masa Mahabharata. Tetapi Parikesit ini bukan seorang raja dari seluruh umat manusia, tidak lebih unggul dan mengatasi semua makhluk manusia. Karena itu, demi alasan ini, maka Parikesit di sini bukanlah Parikesit dalam Mahabharata, karena Weda itu sudah ada sebelumnya, dan Parikesit hidup belakangan. Dan bila beralasan bahwa tak diragukan, Weda itu ada sebelumnya tetapi kisah ini dirubah dan disisipkan dalam Weda di belakang hari, maka dalam kasus ini, anda harus mengakui bahwa Weda itu tidak terjaga dan bukan kitab yang terlindungi. Sekarang kita mengambil dan mempertimbangkan aspek lain dari pertanyaan, yakni bahwa Weda itu ada sebelumnya dan Parikesit datang belakangan. Ini bukanlah dongeng atau cerita, namun suatu nubuatan; dan dalam hal ini, anda tidak akan menganggap Weda sebagai kitab yang datang belakangan sesudah Mahabharata, ataupun mengakui suatu kerusakan atau perubahan di dalamnya. Namun, anda harus menjawab satu pertanyaan: Siapakah itu Parikesit, atau pada siapa nubuatan ini digenapi? Dalam pujian kepada Parikesit ini dinyatakan bahwa dia akan menjadi raja dari seluruh umat manusia, serta yang paling suci dan murni (devta) dari seluruh makhluk manusia. Putera Kuru bukanlah raja dari seluruh umat manusia. Dan mengapa pujian ini harus diingat-ingat selamanya dengan sarana yagya? Karena itu, teranglah bahwa Parikesit ini adalah orang lain, yang diberkahi dengan sifat yang utama dan mulia, serta yang akan datang pada suatu waktu mendatang. Tetapi orang-orang ini yang tidak percaya adanya kisah atau nubuatan dalam Weda, mengambil arti harfiah untuk istilah Parikesit dan menyebutnya sebagai nama gelar. Maka, dikatakan, berdasarkan kamus, dengan mengambil arti: tinggal di sekitar, tinggal atau menyebar ke sekitar, sekitar, meluas. Dan karena itu, Pandit Arya Samaj, memberi kita untuk memahami bahwa istilah Parikesit itu terdiri dari dan menunjukkan bahwa itu adalah raja yang dalam kehidupannya bercampur dengan rakyatnya. Bahkan bila kita menerima penafsiran ini, tidak akan menimbulkan hambatan di jalan bahwa itu suatu ramalan. Sudah ada, dalam kronik sejarah manusia, hanya ada satu raja, kepada siapa dibuktikan oleh sejarah serta kejadian yang dialami oleh musuh-musuhnya, bahwa dia bangkit dari keadaan yatim yang sederhana dan tanpa daya lalu mencapai puncak tertinggi dari kekuasaan dan kerajaan. Tetapi dia tidak pernah memakai mahkota di kepalanya, bahkan tidak pernah duduk di tahta kerajaan, atau membangun istana buat dirinya. Dia duduk dalam lingkaran bersama rakyatnya sedemikian rupa, sehingga seorang pendatang baru tidak bisa tahu, siapakah di antara mereka itu yang menjadi rajanya, dan siapa yang muslim awam. Lututnya menyentuh begitu dekat dengan lutut para sahabatnya sehingga, seorang yang baru datang harus bertanya: "Siapa diantara kalian, yang bernama Muhammad?" Dalam masalah berbusana beliau benar-benar seperti oarng biasa. Tetapi Weda berkata, bahwa dari semua anak Adam, dia-lah yang paling suci dan murni, dan terbebas dari segala dosa dan kejahatan. Dan ini adalah argumen atas adanya dia sebagai Pemimpin dan Kepala dari dunia ini. Karena itu, Parikesit, menyangkut sifatnya, ucapannya dan amal perbuatannya, tiada lain adalah Nabi Suci Muhammad. Dengan menerima kebenaran ini, maka kehormatan dan keagungan Weda pasti akan berlipat dan membesar; bahwa ribuan tahun yang lalu, suatu nubuatan telah ada di dalamnya, dan setelah berlalunya waktu yang begitu panjang, datang untuk digenapi kata demi kata oleh Nabi Suci Muhammad dari Arabia, dan bahwa di dalamnya telah dinyatakan suatu model yang luhur dari pemerintahan untuk seluruh umat manusia; dan model pemerintahan ideal serta kerajaan dunia ini bahkan sampai sekarang sangat dibutuhkan. Weda telah memerintahkan: Pasanglah telinga dan dengarkanlah pujiannya. Dan umat Weda, dengan memperhatikan kata-kata ini, telah menjaga dalam kesegaran ingatannya kerajaan yang aneh ini dalam yagya tahunan mereka, sehingga ketika Dia Yang Dijanjikan muncul, mereka tidak akan melakukan kesalahan sedikitpun dalam mengenalinya, serta menujukan keimanan mereka kepadanya, dan melagukan pujian kepadanya. Mungkin anda akan mengira, bahwa saya telah, berdasarkan mantera ini, menyatakan dengan jelas kepada pandit Hindu realitas dari Parikesit Yang Dijanjikan, dan melengkapi argumen saya demi keyakinan agama. Tetapi, wahai para pencari kebenaran, Hindu maupun Kristiani, pinjamkanlah telinga anda dan dengarkanlah alasan saya pula. -------------------------------------------------------------------------------- 32, 33, 34, 35 Rig Veda 1:126.3, 6:27.8. Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6. Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1. Altindisches Leban, 131. Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaff, 42, 237; Buddha, 396. St. Petersburg Dictionary. ‘Sanskrit Bhashya’ dari Khem Karan memberi dua arti dari kata Parikesit. ‘Sarvat Aishvary Yuktasya’ (memiliki segala jenis atribut dan kekuasaan), dan kedua ‘seorang yang memberikan perlindungan lengkap kepada umat’; Quran Suci juga berkata tentang Nabi Suci sebagai ‘lemah-lembut terhadap kaum mukmin’ (Q.S. 15:88). Atharva Veda, 20:21.6, Rig Veda, 1:53.6. Ibid. 2:15.6, 4:30.11, 8:91.7, 10:75.6, 10:38.5. Yajur Veda 3:35.36:3, Rig Veda, mandal 3, Sukt 62, mantra 10. Rig Veda 8:4.16. Sam nah shishihi bhurijoriv Khahsvram. Matius 26:34,75. Lukas 22:24.61, Markus 14:30.72. Quran Suci 22:47,24. Manu 1:66.73; Farvardin 3:40:2. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (10/18) Parikesit Yang Dijanjikan dalam weda dan Paraclete dari Yesus Kristus adalah satu dan orang yang sama. Prinsip dari dua agama, yakni Hindu dan Kristen, jelas pusatnya terpisah, dan saling pengaruh di pusatnya diperkirakan mustahil. Tetapi, sebagaimana penyair dengan sangat tepatnya mengungkapkan; yakni: “Meskipun jalan yang kami pakai dan arahkan olehku dan sainganku itu berbeda, namun kami bisa datang bersama serta bertemu di tujuan yang sama demi seorang yang paling dicinta” Titik pusat dimana kedua agama ini bisa datang dan bertemu bersama-sama, adalah pribadi yang pemurah dan welas-asih dari Nabi Suci Muhammad, yang kedatangannya telah diramalkan tidak saja oleh para nabi Bani Israil, yang memberi kabar gembira, melainkan juga oleh Mahatma Buddha, Zend Avestha dan Dasatir, serta para resi Weda yang menyanyikan pujian dan pujaan kepadanya, suatu penyebutan yang akan anda dapati sepanjang kitab ini di sini dan di sana. Pribadi Nabi Suci adalah batu-karang yang teguh dimana dibangun dasar dari semua agama di dunia. Dan ini bukanlah suatu kejadian kebetulan, melainkan suatu rencana yang telah diputuskan oleh Pencipta Agung dari alam semesta ini. Saudara-saudaraku Hindu dan kawan-kawan Kristiani, renungkanlah dan fikirkan, sekali lagi bercerminlah dan bernalar, bahwa baik Weda maupun Alkitab keduanya menunjukkan persaingan kepada pusat yang sama dari semua agama, yakni Parikesit Yang Dijanjikan dalam Weda dan Paraclete yang diramalkan oleh Yesus, dengan perbedaan hanyalah bahwa Weda itu berbahasa Sanskerta sedangkan Alkitab itu dalam bahasa Yunani. Dalam Weda adalah Kshi sedangkan dalam Alkitab cle; dan kalian tahu betapa bentuk kata itu diadopsi bila digunakan dalam bahasa lain. Tetapi, disamping alasan yang sederhana dan akrab ini, saya juga ingin menambahkan fakta ilmiah lain demi pertimbangan para pakar. Mereka yang telah mempelajari “Perbandingan Tata-bahasa Sanskerta, Parsi, Yunani, Latin dan Jerman, dan sebagainya” mengetahui sepenuhnya dengan baik bahwa dalam bahasa sanskerta Ksha adalah kata yang sederhana, dan bahwa dalam bahasa Yunani tidak ada kata yang berhubungan dengan itu, dan ini berubah menjadi Cle di sana. Jadi Parikshit dalam Sanskrit menjadi Paraclete dalam bahasa Yunani. Suatu diskusi terinci atas istilah ini, Paraclete, dalam pandangan pakar Kristiani juga telah direproduksi, akan diketemukan di bawah judul “Nubuatan Yesus”. Istilah ini, Paraclete, dalam pandangan beberapa cendikiawan, bukanlah istilah Yunani, tetapi ini termasuk dalam agama asing lainnya. Tepat seperti pandit Hindu yang menebak-nebak dan bingung dalam memberi arti sebenarnya dari Parikshit, dengan cara yang sama, para cendikiawan Kristen juga menyerah dan bingung dalam menerjemahkan istilah ini. Tetapi kesulitan ini dengan mudah dapat dipecahkan dengan sedikit becermin bahwa gelar Paraclete Yang Dijanjikan atau pujian kepadanya seperti yang dikatakan oleh Yesus, dalam kenyataannya adalah terjemahan dari Parikesit yang sayangnya telah menjadi tersembunyi dan tertutupi dari pandangan para pandit Hindu. Kesimpulan dari apa yang dikatakan baik oleh Weda maupun Alkitab tentang Dia Yang Dijanjikan, kita berikan di bawah ini: Alkitab menurut Yohanes: Dia akan mengadili semua orang dengan keadilan dan persamaan (Yohanes 14:16). Dia akan tinggal besertamu selamanya (Yohanes 14:16). Dia berdiam bersamamu dan akan besertamu (Yohanes 14:17) Atharwa Weda: Dalam kerajaan Raja (Parikesit) yang memberikan perdamaian serta perlindungan kepada semuanya… Orang-orang makmur dalam pemerintahan Raja (Parikesit). (Atharwa Weda 20:127:9-10). Parikesit …. tinggal di sekitar. Kshit…..akhir atau bagian ujung dari suatu benda. Pernyataan Weda yang sukar dibedakan dan kabur telah diperjelas melalui mulut Yesus Kristus, yang berkata, bahwa tinggalnya di antara orang-orang akan selamanya; yakni untuk mengatakan, bahwa kenabiannya tiada akhir, dan tak ada nabi lagi setelah dia untuk memansukh-kan dan menghapuskan kenabiannya. Perkara lain yang dinyatakan oleh Weda yalah bahwa Parikesit akan menjadi penguasa dari seluruh umat manusia; Yesus Kristus telah menerangkannya dengan berkata, bahwa dia akan mengadili dunia dengan keadilan dan persamaan hak; atau dengan perkataan lain, dia tidak hanya raja atau penguasa dari seluruh umat manusia, melainkan juga, sesuai dengan hukum alam, memberikan persamaan hak kepada seluruh umat manusia. Dengan cara ini, Yesus Kristus telah memperjelas dan menerangkan pujian yang telah dinyanyikan Weda untuk Parikesit; dan komentar yang terbaik yang mengatakan bagaimana Nabi itu kelak kiranya hanyalah dari seorang nabi yang lain. Ada juga kepentingan lain dari Parikesit sebagaimana disebutkan dalam mantera ini (Rig Weda 4:6.11), yakni seorang yang selalu memuji. Dalam Rig Weda istilah vaishvanar telah digunakan, yang berarti “Pujian dan pengagungan dari beberapa !”(36). Yakni untuk mengatakan, bahwa Parikesit adalah Ahmad disamping juga Muhammad (Ahmad berarti seorang yang paling banyak memuji Tuhan Yang Esa dan Sejati, dan Muhammad berarti dia yang sangat terpuji). Dan siapakah yang bisa lebih besar daripada Ahmad serta Muhammad selain dia yang bisa menyingkirkan dari dunia ini kebencian dan kecemburuan akibat pembedaan warna kulit serta keyakinan, keunggulan geografis maupun nasional, dan mencampur seluruh umat manusia ini ke dalam satu Persaudaraan, dengan Tuhan Yang Benar di atasnya sebagai Pencipta dan Tuan dari seluruh alam semesta; yang telah menyampaikan ajaran luhur tentang persatuan dan persamaaan, serta menyisihkan segala perbedaan yang dibuat orang akibat kelahiran seperti Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra, atau bahkan di antara Bani Israil, para putera Yudah adalah lebih unggul, hanya karena peristiwa kelahiran, terhadap putera Benyamin; yang telah menyingkirkan ke samping serta menolak catatan tinggi dan rendah semacam ini, dan menegakkan bagi seluruh ras kemanusiaan pada kedirian yang tak terpisahkan dan sederajat. Karena itu dia adalah (Vaishvanar). Pujian dan pujaan umat manusia! Nabi Suci Muhammad s.a.w. Tujukanlah pandangan keimanan kalian kepadanya, dan raihlah kebebasan serta emansipasi dari kutukan kasta serta kelahiran. Muhammad memeberikan perlindungan dan perdamaian kepada dunia. Mantra 8 “Parikesit telah menjamin kita bagi suatu tempat tinggal yang aman, pada waktu dia, seorang yang paling mulia, pergi, ke tempat duduknya. (Jadi) suami di tanah Kuru ketika dia mendapati keluarga­ nya, bercakap dengan isterinya” – (Bloomfield). “Duduk di atas tahtanya, Parikesit, yang terbaik dari semuanya memberi kita perdamaian dan ketenangan, mengatakan suatu Kauravya kepada isterinya ketika dia menata rumahnya”- (Griffith). “Dia, yang menyediakan perlindungan kepada semua orang, memberikan perdamaian kepada dunia, segera setelah dia duduk di singgasananya. Orang-orang di tanah Kuru membicarakan dia yang pembuat perdamaian pada waktu membangun rumahnya” – (Komentator Hindu). Pada waktu pembangunan kembali Ka’bah (rumah Tuhan), para kabilah Arab nyaris saling memotong leher; dan ketika masalah itu dibawa ke hadapan nabi Suci, maka beliau menyelesaikan pertikaian itu dengan cara yang demikian indah sehingga seluruh kabilah sangat puas tanpa setetes darahpun yang keluar. Karena itu Nabi memberikan perdamaian ke dunia dan menjaga Rumah Tuhan dari darah manusia yang menetes di dalamnya. Begitu pula, pada saat penaklukan Mekkah, ketika pemerintahan Nabi ditegakkan, beliau memberikan perdamaian dan perlindungan bahkan kepada musuhnya yang paling keras dan menyuruh mereka pergi hanya dengan kata-kata: “Dia berkata: Pada hari ini tak ada celaan bagi kamu” (Q.S. 12:92). Kata Kauravya yang digunakan dalam mantera ini meminta beberapa komentar. Pertempuran di antara Pendawa dan Kurawa itu sangat dikenal dalam kepustakaan agama Hindu, suatu sebutan yang juga ada dalam Mahabharata. Padang dimana pertempuran ini dilangsungkan dikenal hingga hari ini sebagai Kurusetra. Kuru adalah suatu kaum yang sangat kuno, di mana Rig Weda menyebutnya sebagai Puru. Aslinya orang-orang ini adalah penduduk Babylonia, dan mereka datang ke India beberapa saat sesudah perpindahan kaum Arya dari tanah itu. Alkitab juga menyebutkan suatu bangsa yang disebut Kora yang berselisih dengan Bani Harun menyangkut hubungannya dengan sajian mereka di Kuil Suci Yerusalem. Seseorang yang termasuk kaum ini, karenanya dikenal sebagai Kaurawa. Kata ini juga telah diterjemahkan sebagai seorang ‘pekerja’, dan ini tepat sesuai dengan rasa dimana kata ini digunakan dalam mantera ini yakni, seorang ‘mason’ atau pembangun rumah. Dalam bahasa Ibrani, kata Kuru berarti ‘dia yang melindungi rumah’, Kore berarti suatu rumah, dalam bahasa Ibrani maupun Pashto. Jadi, ini juga mungkin bahwa kata ini menjadi bentuk lain dalam kata Koreish. KERAJAAN PENUH PERDAMAIAN. Mantra ke-9. (Atharwa Weda 20:127.9) “Apa yang saya bawakan kepadamu, kepala susu, minuman yang diaduk, ataukah miras? (Demikianlah) sang isteri menanyakan kepada suaminya dlm kerajaan Raja Parikesit” (Bloomfield). “Apakah yang akan aku sajikan kepadamu, kepala susu, susu tipis, atau ragi gandum? Demikianlah sang isteri menanyai suaminya dalam kerajaan dimana Raja Parikesit memerintah”- (Griffith). “Dalam kerajaan sang Raja, yang memberikan perdamaian dan perlindungan kepada semuanya, seorang isteri menanyakan kepada suaminya apakah yang harus dihidangkan kepadanya kepala susu ataukah beberapa minuman ringan” – (Para mufassir Hindu). Mantera ini juga mengacu kepada kerajaan penuh damai dimana Dia Yang Dijanjikan, yakni Parikesit, membawakan pemerintahannya . Ini diriwayatkan sebagai suatu nubuatan dalam masa awal Hadist Nabi, bahwa suatu saat akan tiba di Arabia dimana seorang perempuan bisa melakukan perjalanan sendirian dari Medinah ke Mekkah tanpa takut akan sesuatupun di jalan. Dan dunia telah melihat betapa setelah kedatangan Nabi itu perdamaian serta keamanan telah menyebar luas di seluruh tanah Arab, dimana sebelum munculnya Islam baik kesucian seorang perempuan maupun perlindungan atas hidup dan hak milik itu tak dijamin aman. Sepanjang pemerintahan nabi yang penuh damai maka para perempuan dengan mudah bisa melakukan perjalanan sendirian maupun pergi ke pasar untuk berjual beli barang dagangan. TANDA BUKTI SUATU AGAMA SEJATI. Mantra ke-10 (Atharwa Weda 29:127:10). “Seperti cahaya gandum yang masak tercurah di bawah mulut (bejana). Orang-orang berkembang dengan suka-cita dalam kerajaan Raja Parikesit” – (Bloomfield). “Menanjak seperti itu kepada cahaya langit , bersemi gandum yang masak di atas rekahan. Gembiralah orang-orang yang menjadi makmur di tanah dimana Parikesit memerintah” - (Griffith). “Gandum yang masak bersemi dari rekahan dan berkembang sampai ke langit. Orang-orang berkembang makmur dalam pemerintahan raja yang memberikan perlindungan kepada semuanya” Para komentator Hindu. Satu dari tanda bukti utama atas kebenaran sejati agama dan Kerajaan Ilahi yakni bahwa orang-orang berkembang kebahagiaan dan kemakmurannya di bawah pemerintahannya, persis seperti gandum yang bersemi di padang yang baik. Sebelum kedatangan Nabi Suci, bangsa Arab itu tenggelam dalam segala jenis kejahatan dan telah jatuh mendalam di kemerosotan. Tetapi dengan kekuatan ruhani Nabi dan berkah dari agamanya, kaum yang sama itu bangkit kepada ketinggian yang agung dan mulia. Taurat, Injil, Weda, dan Kitab-kitab Ilahi lainnya juga telah berdiri saksi atas kenyataan ini, sebagaimana Quran Suci menyatakan: “Itulah gambaran mereka dalam Taurat, dan gambaran mereka dalam Injil; bagaikan benih yang mengeluarkan tunasnya, lalu menguatkan itu, maka jadilah itu kuat dan berdiri dengan teguh di atas batangnya” (Q.S. 48:29). Kata-kata Weda abhivsvah prajihite yavah (biji-bijian yang berkembang dan menjulang) mengandung ide yang sama sebagaimana diungkapkan dalam ayat yang dikutip di atas dari Quran Suci. Kitab Suci itu sekali lagi bersabda di tempat lain: “Apakah engkau tak melihat bagaimana Allah membuat perumpamaan tentang kata-kata yang baik bagaikan pohon yang baik, yang akarnya kuat dan cabang-cabangnya di langit, Yang menghasilkan buahnya pada tiap tiap musim dengan seizin Tuhannya? Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia agar mereka ingat” (Q.S. 14:24-25). Baik Weda maupun al-Quran telah menggelar perumpamaan ini sebagai kalam ibarat dari agama yang benar. Al-Quran menyebutnya sebagai pohon yang baik, dan Weda menamakannya bhadram, yang berarti kebajikan dan kemakmuran yang berlimpah. Menurut al-Quran maka akar dari pohon kebaikan itu menghunjam teguh di tanah, dan menurut Weda akar dari Yavah (atau pohon dari biji-bijian) mendalam di rengkahan. Al-Quran menyatakan bahwa cabang­cabangnya di langit, sedangkan Weda juga menyatakan bahwa pohon itu berkembang mencakar langit. Kemudian al-Quran menyatakan: “Allah mengukuhkan orang-orang yang beriman dengan sabda yang mantap dalam kehidupan dunia dan di Akhirat” (Q.S. 14:27). Weda, dengan cara yang sama, menyatakan bahwa manusia akan berkembang makmur dan bahagia di bawah pemerintahan agama yang benar. Al-Quran menggambarkannya sebagai pohon yang berbuah lebat : “Yang menghasilkan buahnya pada setiap musim” (Q.S. 14:25). Dan Weda juga menggambarkannya sebagai pohon yang berbuah masak. Quran Suci memberikan perumpamaan ini untuk mendukung kebenaran Nabi Suci Muhammad, dan kita telah melihat betapa mantera Weda memperkuatnya kata demi kata. Dalam kata-kata Quran Suci: “Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia agar mereka ingat” (Q.S. 14:25). Karena itu, silahkan para pengikut Weda merenungkan fakta-fakta ini sebagaimana al-Quran telah memperkuat mantera-mantera Weda; mereka hendaknya juga beriman dan membuktikan kebenaran Nabi Suci Muhammad dalam mendukung apa yang telah dikatakan oleh ayat dan mantera di atas. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (11/18) NABI DIMINTA BANGUN DAN MEMPERINGATKAN. Mantra 11 (Atharwa Weda 20: 127.11) “Indra telah membangunkan sang penyair, berkata: Bangunlah, bergeraklah, dan bernyanyilah; tentang aku, yang kuat, sesungguhnya, nyanyikanlah puji-pujian; setiap orang yang salih akan memberikan kepadamu (pahala pengurbanan)” – (Bloomfield). “Indra telah membangunkan penyair dan berkata, Bangunlah berkelana bernyanyi di sini dan di sana. Pujilah aku, yang kuat; tiap orang salih akan memberi engkau kekayan sebagai balasan”- (Griffith). “Indra membangunkan penyanyi dengan pujiannya dan memintanya untuk pergi kepada orang-orang di setiap jurusan. Dia diminta untuk mengagungkan Indra, yang perkasa, dan semua orang salih yang akan memuji usahanya serta Tuhan yang akan memberkahinya dengan pahala-Nya” (Para mufasir Hindu) Mantera ini memberikan, kurang lebih, terjemahan yang tepat dari surat 74 Quran Suci yang bernama Al-Muddatstsir (Orang yang berselubung): “Wahai orang yang berselubung. Bangun dan berilah peringatan. Dan Tuhan dikau agungkanlah”. (Q.S. 74:1-3). Kemudian kata al-Quran: “Dan janganlah memberi sesuatu untuk mencari keuntungan. Dan demi Tuhan dikau, bersabarlah”. (Q.S. 74:6-7). Dan lagi: “Dan Tuhan dikau segera akan memberikan kepada engkau, sehingga engkau menjadi puas”. (Q.S. 93:5) Di tempat lain dikatakan: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau kebaikan yang melimpah-limpah. Maka bersalatlah kepada Tuhan dikau dan berkorbanlah” (Q.S. 108:1-2). Tanpa suatu catatan atau komentar, kami telah memberikan terjemahan setepat mungkin dari mantera Weda dan ayat-ayat al-Quran, sehingga setiap pencari kebenaran yang tanpa bias akan menyaksikan bagi dirinya sendiri betapa ribuan tahun sebelumnya para resi Weda telah mengucapkan kata-kata yang sama, yang kemudian diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mantera ini sendiri sudah cukup untuk menegakkan kebenaran pengakuan Nabi. Al-Quran berfirman: “Wahai orang yang berselubung! Bangunlah”.(QS.74:1). Weda berkata: “Indra membangunkan penyanyi untuk memuji (yakni Ahmad)”. Al-Quran menyatakan kepadanya agar memperingatkan orang-orang, dan begitu pula, dalam Weda dia diminta untuk pergi ke oarng-orang di setiap jurusan. Al-Quran berkata: “Dan Tuhan dikau agungkanlah” (Q.S. 74:3). Weda berkata, “Agungkanlah Indra, yang perkasa” Menurut al-Quran: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau kebaikan yang melimpah-ruah” (Q.S. 108:1). Dan di dalam kata-kata mantera, “Tuhan akan memberikan dia pahala-Nya”. Semua tanda-tanda yang jelas ini digenapi dalam pribadi Nabi Muhammad dan tidak kepada resi atau utusan yang lain. Dia bangkit dan memperingatkan umat serta mengagungkan Tuhannya. Siang dan malam dia menyiarkan keimanannya dan menyebar-luaskan kebenaran, serta, dalam kata-kata Weda, seperti seekor burung di suatu pohon yang berbuah masak dia menyanyikan pujian kepada Tuhannya. Wahai Tuhan berikahilah Nabi Muhammad. KEDERMAWANAN NABI. Mantra 12 (Atharwa Weda 20:127.12) “Di sini, wahai ternak, engkau akan dilahirkan, di sini, wahai kuda, di sini, wahai para penghuni! Dan Pushan juga, yang menganugerahkan seribu (sapi) sebagai hadiah pengorbanan, menetap di sini” – (Bloomfield). “Di sini, sapi-sapi! bertambah dan berkembang biaklah di sini, di sini, wahai kuda, di sini, wahai manusia. Di sini dengan seribu hadiah kekayaan, Pushan juga melakukannya dengan duduk sendiri” (Griffith). Komentator Hindu memberikan terjemah berikut ini: “Sapi, kuda, dan manusia, berkembang biak dan bertambah-tambah di sini, karena di sini memerintah seorang yang pemurah dan sangat dermawan yang memberikan ribuan dalam sedekah dan pengorbanan”. Sejarah Islam mengusung suatu kesaksian yang terang tentang kebenaran nubuatan ini. Dunia telah menyaksikan betapa segalanya berkembang dan meningkat dalam kerajaan Nabi Suci. Bangsa yang paling terbelakang di dunia menjadi pemimpin utama dan pembawa obor cahaya dan ilmu. Kemakmuran, manusia dan ternak, segala sesuatu bertambah dan berlipat-ganda. Dan ini juga menjadi suatu fakta yang tegak bahwa Muhammad adalah orang yang paling dermawan, pemurah dan welas-asih yang pernah disaksikan dunia. Quran Suci mengatakan: “Jadi dengan rahmat Allah itulah engkau bertindak lemah-lembut terhadap mereka. Dan sekiranya engkau kasar (dan) kejam, niscaya mereka akan bubar dari sekeliling engkau” (Q.S. 3:158). Jadi, karena kelembutan hati Nabi, kemuliaan akhlak, serta kedermawanannya maka umat dari segala penjuru berduyun-duyun dan berkumpul di sekelilingnya. Bila tidak maka suatu kaum kepala batu seperti bangsa Arab mustahil bisa dikalahkan dan diperintah. DOA RESI WEDA BAGI NABI . Mantra 13 (Atharwa Weda 20:127:13). “Semoga ternak ini, wahai Indra, tak terluka, dan semoga pemiliknya tidak cedera, semoga kelompok yang tidak suka, wahai Indra, semoga pencuri tak bisa memperoleh milik dari mereka”-(Bloomfield). “Wahai Indra, semoga sapi-sapi ini selamat, tuannya bebas dari cedera. Semoga yang hatinya benci atau para perampok tidak bisa mengendalikan mereka” – (Griffith). “ Wahai Indra, semoga sapi-sapi ini (wali-wali pengikut Nabi) selamat, dan semoga tuan mereka tidak cedera. Dan jangan biarkan seorang musuh, wahai Indra, atau seorang perampok, menguasai mereka” - Para komentator Hindu. Betapa luar-biasa doa dari Resi Weda ini terhadap Nabi Suci serta para pengikutnya. Tidak ada sedikitpun penolakan bahwa doa ramalan dari Resi ini jelas telah tergenapi. Nabi dan para pengikutnya yang suci telah berhasil dalam dakwah mereka dan telah diselamatkan serta ditolong oleh Tangan Tuhan. Para lawannya yang membenci serta musuhnya yang keras tidak dapat menguasai mereka ataupun merampok mereka dari kemurahan yang Nabi telah berikan kepada mereka. Kaum Muslim berkembang makmur sedangkan lawan-lawannya binasa, dan karena itu, doa dari Resi itu telah diterima. Doa yang sama juga terdapat dalam surat terakhir dari Quran Suci: “Katakan: Aku berlindung kepada rabb-nya manusia, Rajanya manusia, Ilahnya manusia. Dari keburukan bisikan (setan) yang menyelinap. Yang berbisik-bisik dalam hati manusia Dari golongan jin dan manusia” (Q.S. 114: 1-6). Nabi Suci juga diriwayatkan telah mengajarkan suatu doa kepada para pengikutnya: “Wahai Tuhan; janganlah beri kekuatan dia atas kami yang tidak berbelas-kasihan kepada kami”. Dan Tuhan Sendiri berkata tentang Nabi Suci dalam al-Quran: “Dan Allah akan melindungi engkau dari manusia” (Q.S. 5:67). Resi berdoa kepada Tuhan demi keselamatan Nabi, dan Tuhan menerima doa tersebut serta mengumumkan bahwa Nabi dijamin aman dan akan berhasil dalam dakwahnya. PUJIAN DAN DOA RESI. Mantra 14 (Atharwa Weda 20:127.14) “Kami berseru kepada pahlawan dengan hymne dan nyanyian: Kami (berseru) dengan lagu yang menyenangkan. Bergembiralah dalam lagu-lagu kami; semoga kita tidak mengalami cedera!” (Bloomfield) “Berulang-ulang dan lagi kami mengagungkan pahlawan dengan hymne pujian, dengan doa, dengan doa yang penuh harapan. Ambillah kesenangan dalam lagu-lagu yang kami nyanyikan; semoga kejahatan tak pernah menimpa kami”. – (Griffith) “Kami nyanyikan pujian dari pahlawan besar dan dengan lagu yang menyenangkan kami agungkan dia. Dengan bahagia terimalah doa ini, wahai pahlawan, sehingga tak ada kejahatan yang bisa menimpamu” – (Para komentator Hindu). Ini adalah mantra terakhir yang kita telah kutip dalam halaman-halaman yang lalu, dan di sini Resi Weda pemohon dengan sungguh-sungguh agar Nabi Suci mau menerima doa dan pujiannya ini. Permohonan Resi ini, sebagai suatu fakta, membuatnya wajib bagi para pengikut Weda bahwa hendaknya mereka juga menyanyikan pujian kepada nabi dan dengan mengagungkannya akan menyelamatkan diri mereka dari kejahatan di dunia ini maupun di akhirat. Doktrin palsu dari sistim kasta, tumimbal lahir serta takhayul yang lain, adalah rantai yang telah memperbudak mereka di dunia ini; dan begitu pula perbedaan dalam keagamaan telah menjadikan keselamatan dan pembebasan mereka di akhirat juga menjadi tanda tanya. Karena itu, Muhammad datang ke dunia untuk membebaskan umat dari segala jenis kejahatan dan menunjukkan kepada mereka jalan yang benar. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (12/18) BEBERAPA FAKTA LAGI TENTANG NUBUATAN INI Beberapa penerangan tambahan diperlukan untuk menyoroti nubuatan dalam Atharwa Weda yang telah kita diskusikan dalam halaman yang telah lalu. Ada dua aliran pemikiran yang berbeda menyangkut ramalan ini dalam Kuntap Sukt. Beberapa mahasiswa peneliti modern seperti Pandit Bhagawat Datt, cendikiawan peneliti di Kolese D.A.V. Lahore, dan Swami Hari Prashad, muni Weda, cenderung berfikir bahwa Kuntap Sukt, atau koleksi ramalan ini, tidaklah benar-benar membentuk bagian dari Atharwa Weda tetapi dimasukkan pada hari-hari belakangan. Kedua aliran pemikiran ini, berpendapat bahwa mantera ini adalah teka-teki dan sulit masuk akal. Dan kaum modernis itu juga, sebagai akibatnya, menarik kesimpulannya setelah tidak mampu memahami apa yang diartikan oleh mantera-mantera itu. Ide bahwa Kuntap Sukt itu dimasukkan dalam Atharwa Weda pada hari-hari belakangan, adalah tanpa dasar dari berbagai sumber. Buku yang paling kuno pun tidak lupa menyebutkan Kuntap Sukt, seperti misalnya, Aitreya Brahmana (6:32), Kaushitki Brahmana (30:5), Shankhayana Shraut Sutar (12:14), Ashvlayana Shraut Sutar (12:3:7), Vaitan Sutar (32:19) dan Gopath Brahmana (2:7:12). Kalau mantera­mantera ini ditambahkan kepada Weda pada hari-hari belakangan, tak mungkin mereka dirujuk dalam begitu banyak kitab kuno. Hanya karena mereka sulit diterima akal, janganlah mendorong orang untuk berfikir bahwa mereka itu tidak merupakan bagian dari kitabnya yang benar. Kedua, mantera-mantera ini, sebagaimana dinyatakan dalam Brahmana Granth selalu diulang-ulang setiap tahun di dalam majelis yang besar dimana soma dipersembahkan kepada dewa-dewi, dan tujuhbelas pandit biasa menyenandungkan mereka untuk jangka yang panjang. Jadi, suatu hal yang diulang-ulang setiap tahun dengan penuh pengabdian dan kekhidmatan dan yang sudah dipraktikkan berabad-abad tidak dapat dianggap sebagai apokripal atau penemuan di belakang hari. Hanya bagian dari suatu kitab keagamaan itu yang diberi peran demikian penting dan diingat-ingat dalam hati serta dibaca dengan khidmat, yang pasti berguna serta bermanfaat bagi para pengabdi dan membantu dia dalam meraih suatu ilmu yang lebih dalam dari alam semesta ini dan lebih mengenal Dzat Ilahi. Ini menunjukkan bahwa Kuntap Sukt adalah bukan suatu koleksi teka-teki tanpa makna ataupun tambahan di bagian bawah dari Weda. Dicatat dalam Shatpath Brahmana bahwa “mantera itu dibagi 21 adalah perut. Ada 20 cairan (Kuntap) dalam usus, perut sendiri adalah yang ke-21. Jadi mantera yang dibagi 21 dikenal sebagai perut” (Shatpath Brahmana 12:2,1,126). Kesaksian dari buku kuno semacam Shatpath Brahmana sudah cukup sebagai bukti keaslian dari mantera ini. Bahkan kini jumlah seluruh mantera ini adalah 147 yang merupakan kelipatan dari 21. Morris Bloomfield dalam tafsirnya tentang Atharwa Weda menulis: “Yang berwenang dari kaum Brahmana setuju mencantumkan apa yang disebut hymne Kuntap ke dalam kepustakaan jenis ini, dan stanza pembukaan 20:127, tidak menyisakan keraguan akan keasliannya….Jumlah seluruhnya dari stanza hymne Kuntap dikutip dalam Brahmana menunjukkan pada essensinya kerusakan teks yang sama seperti dalam versi Atharwa. Shankhayana Shraut Sutar 12:14, memperagakan mereka seluruhnya” (halaman 689). Prof Maxmuller juga memperbincangkan hal ini dalam ‘History of Sanskrit Literature’ halaman 493). Sejumlah cendikiawan berpendapat bahwa mantera ini tidak mengandung makna yang jelas dan agak membingungkan. Pandit Raja Ram Bhashya misalnya, menulis: “Sepuluh sukta ini dikenal sebagai Kuntap Sukt. Kuntap adalah cairan di perut yang jumlahnya 20. Sukta ini mengandung masalah yang berbeda-beda, kebanyakan darinya adalah hanya teka-teki, Teks maupun maknanya membingungkan dan dalam beberapa kasus teks itu mutlak tidak berarti apa-apa”.(halaman 991). Begitu pula M.Bloomfield berkata: “Teks dari syair kedua itu adalah sangat rusak; perubahan bentuk dalam edisinya menjadi dasar terjemahan kami”. (halaman 691). Dengan sikap yang sama, Prof. Griffith menulis tentang mantera ini sebagai berikut: “Bagian dari kitab ini yang membawa nama Kuntap adalah suatu koleksi nyanyi pujian yang aneh dan bermacam ragam, rumus-rumus pengorbanan, kantata, teka-teki dan campur-baur” (‘Hymns of the Atharva Veda’, halaman 443 dan catatan kaki). Mantera-mantera ini dianggap sebagai teka-teki hanya karena mereka itu nubuatan dan suatu ramalan perlu harus sebagai misteri dan suatu rahasia sebab kalau tidak ini akan bisa dirusak melalui bias dan prasangka dari suatu kaum. Bila ini benar-benar telah digenapi, maka makna dari ramalan itu akan menjadi sangat jelas. Jadi, kenyataan sebenarnya adalah tafsiran yang benar dari suatu nubuatan. Ketika menerjemahkan mantera-mantera dari Kuntap Sukt ini, kita telah menunjukkan, betapa tepatnya mereka diterapkan ke dalam kehidupan Nabi Suci. Tak ada misteri dalam maknanya dan segala sesuatu menjadi jelas dan terang. Dan dari segenap pribadi keagamaan serta para Nabi, Muhammad adalah satu-satunya Nabi yang sejarah kehidupannya dengan sangat rinci adalah tepat dan terjaga tanpa bisa dibantah lagi. Ada bukti-bukti sejarah bagi semua fakta dalam kehidupan Nabi Suci. Dan karena itu jika seseorang mencoba untuk menerapkan nubuatan ini kedalam kehidupan beberapa pribadi suci yang lain, maka dia juga harus membuktikan dengan bukti-bukti sejarah bahwa perkara ini terjadi dalam masa hidupnya; dan ini seperti yang dilakukan penelitian modern, selanjutnya adalah mustahil. Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa mantera ini disebut Kuntap? Jika Kuntap berarti cairan perut, dengan cara bagaimana nama ini bisa diterapkan ke dalam mantera-mantera ini? Tak seorangpun mufasir Weda yang telah mendiskusikan hal ini dan mencoba memecahkan teka-teki ini. Kami berikan tiga alasan untuk nama ini seperti di bawah ini: (a). Kata Kuntap terdiri dari dua akar kata kun dan tap. Kun berarti dosa dan penderitaan, serta tap berarti mengkonsumsi. Jadi Kuntap berarti ‘pengguna dosa dan penderitaan’. Kumpulan dari semua mantera ini dimana disebutkan pengobatan atas penderitaan dunia, itu disebut Kuntap Sukt. Suatu nubuatan yang sama diketemukan dalam Farvardin Yasht, diungkapkan oleh Nabi Zarathustra. Quran Suci juga mengatakan: “Ia (Nabi) menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka berbuat jahat, dan menghalalkan kepada mereka barang-barang yang baik, dan mengharamkan kepada mereka barang-barang yang kotor, dan menyingkirkan dari mereka beban mereka dan belenggu yang ada pada mereka”.(7:157). (b). Kata Kuntap menurut Brahmana Grantha yang otentik berarti cairan di dalam perut atau perut itu sendiri. Jadi, mantera ini diberi nama demikian karena mereka mengandung suatu nubuatan tentang rumah pertama untuk ibadah kepada Ilahi di Mekkah, pusar atau titik tengah dari bumi ini; sebagaimana al-Quran menyatakan: “Sesungguhnya rumah permulaan yang ditetapkan bagi manusia ialah Rumah yang ada di Bakkah, yang diberkahi dan pimpinan bagi sekalian bangsa” (Q.S. 3:95). Tepat seperti manusia yang memperoleh pemeliharaannya dari perut, begitu pula, pemeliharaan spiritual yang diberikan kepada dunia ini dari Mekkah atau Bakkah, rumah pertama dari Cahaya Ilahi. (c). Kata Qurani Bakka dan Kuntap dalam Weda itu tidak hanya sinonim, melainkan kata Kuntap itu sekedar bentuk kebalikan dari kata Arab Bakka. Ratusan kata-kata dalam bahasa Sanskerta itu dipinjam dari bahasa Arab dan digunakan sebaliknya dari bahasa asalnya. Di bawah ini kami kutipkan beberapa : Bahasa Arab Bahasa Sanskerta Artinya: Ras Shir Kepala Um Ma Ibu Luj Jal Air Dab Pad Kaki Siraj Surya Matahari Nahar Ahan Siang hari Qat Tak Potong Qinob Bang Daun Bhang Shanah Anash Bahu Kitab Pustak Kitab Masa Sam, Sayam Senja Rumman Anaram Buah beri. Geam Megh Awan Tallah Latta Terbaring Mubashra Shambra Hujan pertama Dalam cahaya penerang di atas, kami bisa katakan dengan pasti bahwa kata Kuntap juga suatu perubahan bentuk dari Bakkatun. Kata bakkatun mengandung tiga abjad. K, B, T dan huruf ini sama dengan yang terdapat dalam kata Kuntap yang punya K, T, P dan B Arab berubah menjadi P dalam sanskerta. Adalah suatu kenyataan yang aneh bahwa dalam semua nubuatan kata Bakka digunakan sebagai ganti Mekkah. Quran Suci menempatkan Bakka rumah pertama dan terakhir dari ibadah kepada Ilahi. Di samping Weda, Nabi Daud juga merujuk Rumah Tuhan dengan nama yang sama. Dalam Mazmur kita dapati: ”Ya Rajaku dan Allahku! Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, Yang terus-menerus memuji-muji engkau, Sela. Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah! Apabila melintasi lembah Bakka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air; Bahkan hujan pada awal musim menyelubunginya dengan berkat. Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion”(Mazmur 84:5-8). Kesimpulan berikut ini bisa ditarik dari Mazmur: Rumah Tuhan dimana Daud merujuknya tiada lain adalah satu yang di Bakka, karena kanisah suci di Yerusalem belum dibangun pada saat itu dan Tuhan tinggal di Sion (satu tenda). Nabi Daud sedang menunggu perintah Ilahi untuk menyerbu Palestina, dan dalam rangka mencari rahmat dari rumah Tuhan yang dibangun oleh Bapa Ibrahim, dia datang ke lembah Baca. Nama lembah Baca, yang dalam bahasa Ibrani ditulis dan diucapkan sebagai Bacah, akhir huruf h menunjukkan bahwa itu adalah tempat terkenal. Penghuni lembah ini akan selalu memuji Tuhan mereka. Dan dunia mengetahui betapa kaum Muslimin berdoa dan mengagungkan Tuhannya. Setiap Muslim sujud di hadapan Tuhannya dan memuji-Nya paling tidak lima kali sehari. Kata-kata ini juga bisa berarti bahwa rumah Tuhan di Bakka tidak akan pernah musnah dan Tuhan akan selalu dipuji di dalamnya, sedangkan Yerusalem lebih dari sekali telah dihancurkan. ‘Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau’, jelas merujuk kepada Nabi, yang, meskipun seorang anak yatim, lemah dan tak berkawan, bisa mengalahkan musuh-musuhnya dengan berkah Tuhan dan mengambil kekuatan dari-Nya. Di padang pasir Mekkah sumur (Zamzam) adalah tanda-bukti lain dari rahmat Tuhan di tanah ini. Seorang yang diberkahi dan ‘yang semakin dan semakin kuat’, adalah terjemah dari kata-kata al-Quran (Q.S. 3:95). ‘Hendak menghadap Allah di Sion’, merujuk kepada ibadah haji tahunan di Mekkah. Kita telah mebicarakan panjang lebar apa yang dimaksudkan dengan Sion ini, dalam nubuat keenam dari Isaiah. Jadi baik Weda maupun Mazmur membenarkan fakta bahwa Nabi Muhammad, pembimbing dunia dan juru selamat umat manusia akan muncul di Bakkah. Weda menyanyikan pujian Nabi dalam istilah berikut: Dia adalah narashansah atau seorang yang terpuji (Muhammad). Dia adalah pangeran perdamaian atau imigran, yang diselamatkan meskipun di tengah kepungan musuh-musuhnya (Mantra 1). Dia adalah Resi yang mengendarai unta, dimana keretanya menyentuh langit (Mantra 2). Dia adalah Mamah Rishi yang dianugerahi seratus koin emas, sepuluh kalung, tigaratus kuda pacu yang baik dan sepuluh ribu sapi (Mantra3). Dia dan para pengikutnya selalu khusu’ dalam salatnya, bahkan di medan pertempuran mereka sujud di hadapan Tuhannya (Mantra 4). Dia dikaruniai pejuang yang tangguh yang bertempur dengan gagah-berani di medan perang dan hidup penuh kedamaian dengan umatnya (Mantra 5). Dia memberi kebijaksanaan kepada dunia yakni Quran Suci (Mantra 6). Dia adalah Raja dunia, sebaik-baik manusia dan pembimbing bagi seluruh umat manusia (Mantra 7). Dia menjamin tempat tinggal yang aman bagi umatnya, memberikan perlindungan kepada semua orang serta menyebar-luaskan perdamaian di dunia (Mantra 8). Rakyat berkembang dengan bahagia dan makmur di bawah pemerintahannya, dan dari kedalaman degradasi mereka meningkat ke ketinggian kejayaan (Mantra 9-10). Dia diminta bangun dan memperingatkan dunia (Mantra 11). Dia luar-biasa pemurah dan sangat dermawan (Mantra 12). Para pengikutnya diselamatkan dari kebencian dan perampokan oleh setan (Mantra 13). Dalam mantera terakhir, Resi telah memohonkan dia agar menerima doanya (Resi) dan telah mohon perlindungan dari segala cedera dan kejahatan. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (13/18) PERANG AHZAB DIGAMBARKAN DALAM WEDA (Atharwa Weda 20:21:6) “Inilah minuman kami, soma yang kuat mengilhami, yang menggairahkanmu dalam berperang dengan Vritra, Dewa pahlawan. Berapa lama engkau memotong dengan pedang demi penyanyi dengan barisan rumput sepuluh ribu Vritra, engkau bertahan dalam keperkasaanmu”- (Griffith). “Pangeran dari orang-orang tulus! minuman suci ini, tindakan keberanian ini dan nyanyian yang terilham menyenangkan kamu di medan perang. Ketika kauberikan kemenangan tanpa bertempur atas sepuluh ribu lawan dari dia yang selalu memuji, selalu mengagungkan”. (Komentator Hindu). Nubuatan dari Weda ini menggambarkan pertempuran yang terkenal dari Nabi Suci yang disebut dalam sejarah Islam sebagai Perang Ahzab atau Perang Gabungan. Kata-kata dalam mantera ini secara mencolok memperkuat fakta sejarah yang diberikan dalam Quran Suci. Hal pertama yang pantas dicatat adalah bahwa Tuhan menyatakan dalam mantera ini sebagai Satpati. Sat berarti pencinta ketulusan atau orang yang penuh ketulusan, dan pati berarti tuan atau pangeran. Karena itu, Satpati berarti Pangeran ketulusan. Para sahabat Nabi Suci Muhammad terkenal akan ketulusannya. Dalam surat yang menyebut adanya Perang Ahzab ini, para sahabat Nabi dikatakan sebagai: “Di antara kaum mukmin ada orang yang setia kepada perjanjian yang mereka buat dengan Allah”. (Q.S.33:23). Dan kemudian, “Agar Allah mengganjar orang-orang tulus oleh ketulusan mereka” (Q.S. 33:24). Al-Quran menyebut mereka orang-orang tulus dan Weda juga menyebut Pangeran mereka sebagai Pangeran dari orang-orang tulus. Hal kedua dari mantera itu adalah bahwa Tuhan sangat ridla dengan nyanyian yang gagah-berani serta terilham dari para sahabat Nabi. Mereka hanya berjumlah tigaribu dengan sember daya yang kurang mencukupi sedangkan musuh-musuhnya bersenjata lengkap serta lebih dari tiga kali jumlah mereka; namun para sahabat Nabi tidak sedikitpun menunjukkan kegelisahan, mereka malahan senang mendapati bahwa ramalan Nabi Suci telah tergenapi. Dalam kata-kata Quran Suci: “Dan pada waktu kaum mukmin melihat pasukan gabungan, mereka berkata: Inilah apa yang di janjikan oleh Allah dan Utusan-Nya kepada kami, dan benarlah firman Allah dan Utusan-Nya. Dan ini hanya menambah iman dan keberserahan-diri mereka” (Q.S. 33:22). Kata-kata para sahabat yang gagah-berani dan terilham ini memuaskan Tuhannya dan Dia mengaruniai mereka suatu kemenangan tanpa pertempuran fisik. Nabi Ahmad Kata-kata dalam mantera, ‘seorang yang selalu memuji’, menunjukkan bahwa nubuatan ini dimaksudkan untuk Nabi Ahmad, s.a.w. Kata Sanskrit Karu, yang digunakan dalam mantera, telah diterjemahkan oleh Professor Griffith sebagai ‘Penyanyi’ dan Pandit Raja Ram dari Kolese D.A.V. Lahore, menerjemahkannya sebagai ‘Stota’ yang berarti dia yang selalu memuji atau Ahmad, yakni nama kedua dari Nabi Muhammad, yang adalah pahlawan dalam Perang Ahzab. Gelar lain dari Nabi yang diberikan dalam mantera ini, yakni Brihashmate. Kata ini berasal dari akar kata Brhi yang berarti rumput suci yang dihamparkan di kuil ibadah.37 karena itu, lelaki dengan rumput suci secara kiasan berarti ‘abid’ atau seorang yang mengagungkan Tuhannya. Sepuluh ribu lawan Masalah pokoknya adalah lawan yang berjumlah sepuluh ribu. Musuh Nabi dalam perang Ahzab itu berjumlah sepuluh ribu, dan kaum Muslimin hanya tiga ribu orang. Mantera ini khusus menyebutkan keberanian dari para sahabat Nabi. Dan tak ada bukti yang lebih besar atas keperkasaan dan keberanian mereka daripada kenyataan bahwa disamping kekurangan dalam jumlah maupun sumber daya yang tidak mencukupi, dalam melihat musuhnya mereka tidak kehilangan akal ataupun menunjukkan sedikitpun kecemasan kecuali berseru: “Inilah apa yang dijanjikan oleh Allah dan Utusan-Nya kepada kami” (QS.33:22). Ini memberi mereka kebahagiaan yang terbesar dalam menyimak tanda-bukti kebenaran yang lain dari Nabi mereka yang telah menubuatkan peperangan ini jauh sebelum ini benar-benar terjadi. Tersebut adanya di dalam mantera ini tentang keperkasaan dan keberanian dari para pejuang, kekuatan lawan-lawannya dan jumlah mereka yang besar, tetapi kekalahan dan kemunduran mereka digambarkan hanya karena pujian Ahmad. Kata-kata terakhir dari mantera ‘aprati ni barhayah’ berarti bahwa kekalahan ditimpakan kepada musuh tanpa pertempuran fisik. Baik Pandit Khem Karan maupun Prof. Raja Ram telah menerjemahkan kata-kata ini sebagai ‘anda mengalahkannya tanpa benar-benar berkelahi’. Adalah suatu kenyataan yang umum diketahui, bahwa dibanding dengan musuhnya, mereka itu sangat kecil dalam jumlah dan terkendala oleh pelbagai jalan yang memungkinkan, dan karena keadaan inilah maka mereka lebih senang bertahan dengan membentengi diri mereka di Madinah. Sebaliknya, musuhnya telah mengumpulkan kekuatan yang luar biasa besar, dan bahkan penduduk non-Muslim di Madinah sendiri telah memihak mereka. Dengan mengabaikan semua keuntungan ini musuh berbalik lari tanpa perlawanan dan kemenangan bagi kaum Muslimin. Semua ini dipenuhi melalui pertolongan Ilahi, karena adalah diluar kekuatan manusia untuk membawakan kemenangan semacam itu. Begitu pula, Weda telah menubuatkan jauh hari sebelum pertempuran ini terjadi. Dewa yang dirujuk dalam amntera ini dinamai Indra. Dia juga dituju dalam mantera 1 hingga 8 dari Sukta yang sama. Indra ini dalam Rig Weda digambarkan sebagai ‘Pemegang senjata petir’ dan Dewa dari petir serta angin badai. Betapa terang dan jelas kata-kata dari mantera ini, ‘Wahai Indra, engkau telah menyebabkan sepuluh ribu lawan kalah tanpa benar-benar berkelahi’. Kata-kata ramalan dari Resi Weda ini tidak bisa diterapkan kepada peristiwa lain dengan demikian tepat seperti perang al-Ahzab. Musuh tiba dengan membusungkan dada serta pamer, sadar akan kekuatannya dan yakin akan keberhasilannya. Kaum Muslimin juga cukup sadar atas kedudukan mereka yang lemah; mereka memutuskan untuk tinggal di kota, dan suatu parit digali sebagai sarana perlindungan terhadap serbuan dari musuh yang begitu kuat. Tetapi Tangan Tuhan bergerak dan Indra yang perkasa menyebabkan musuh beterbangan takut mati akibat petir dan angin badai. Dengan sepatah kata, nubuatan dalam Weda ini terinci dalam sepuluh fakta berikut : Ini berkaitan dengan suatu pertempuran. Tuhan akan memberikan kemenangan kepada orang-orang yang benar-benar beriman. Orang yang benar-benar beriman akan bergembira dan mengucapkan kata-kata keberanian serta kekuatan yang terilham. Tuhan akan meridlai mereka atas keberaniannya. Panglima dari pertempuran ini kelak adalah seorang yang selalu memuji Tuhan (Ahmad). Musuh akan berjumlah sepuluh ribu orang. Tidak terjadi pertempuran fisik. Musuh akan lari karena pertolongan Ilahi, sebagaimana al-Quran telah berkata: “Dan Allah mencukupi kaum mukmin dalam pertempuran. Dan Allah senantiasa Yang Maha-kuat, Yang Maha-perkasa” (Q.S. 33:25). Kata-kata al-Quran Kuat, Perkasa berarti tepat seperti arti dari Indra. Tangan Tuhan telah menampakkan Diri-Nya melalui angin badai yang besar. Dalam kata-kata al-Quran: “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah kepada kamu, tatkala pasukan gabungan besar mendekati kamu, maka Kami turunkan kepada mereka angin puyuh dan pasukan yang kamu tak melihatnya. Dan Allah senantiasa Yang Maha-melihat apa yang kamu lakukan” (Q.S. 33:9). Angin dan hujan menerpa tenda musuh tanpa ampun. Angin puyuh meningkat menjadi badai. Api padam, tenda tertiup rubuh, bejana makanan dan perlengkapan lain porak-poranda. Jadi, musuh lari lintang-pukang meninggalkan padang itu untuk kaum Muslimin dan meneguhkan kebenaran dakwah Ilahi Nabi Muhammad s.a.w. Nabi bertempur dalam peperangan yang lain. Mantera 7 hingga 11 dalam Atharwa Weda, mengikuti satu yang berkaitan dengan perang Ahzab, juga perlu dipertimbangkan. Selama perang ini seluruh lawan-lawan Islam telah bergabung bersama. Kaum Yahudi bersekutu dengan Nabi Suci, dan ketika musuh siap siaga ke Medinah mereka terikat untuk melawan serbuan itu. Bukannya demikian mereka malahan berfihak kepada pasukan penyerbu dan diam­diam mengadakan perjanjian dengan kaum Quraisy untuk menyerang kaum Muslimin dari dalam. Jadi, dari sekutu mereka berbalik menjadi musuh. Karena itu ketika pasukan yang bersiaga itu melarikan diri dan kaum Yahudi kembali ke bentengnya, maka mereka dikepung oleh Nabi Suci, dan tetap dikepung selama duapuluh lima hari. Tidak disebutkan benteng dalam mantera yang menyangkut perang Ahzab ini, tetapi di sini kita dapati: (Atharwa Weda 20:21:6). “Engkau pergi dari pertempuran ke pertempuran tanpa gentar menghancurkan kastil ke kastil di sini dengan kekuatan. Engkau Indra, dengan temanmu yang membuat musuh tunduk menebas dari jauh Namuchi yang licik dan penuh tipu daya” – (Griffith). “Engkau berangkat dari satu pertempuran ke peperangan yang lain dengan gagah-berani menghancurkan benteng demi benteng di sini dengan keberanian dan kekuatanmu. Engkau, wahai Indra, dengan kawanmu yang berdoa kepada tuhan, telah menebas dari jauh Namuchi yang licik dan pengkhianat” (Para komentator Hindu). Nabi baru saja menyelesaikan satu pertempuran ketika dia diminta untuk berjuang di medan yang lain. Ini adalah tanda-bukti atas keberaniannya dan para sahabatnya. Tentunya, dalam pertempuran pertama, mereka tidak menghancurkan kastil, tetapi pada medan yang satu lagi, mereka menghancurkan benteng demi benteng dan menebarkan kegentaran di hati musuh-musuh mereka. Dalam kata-kata Quran Suci: “Dan Ia menghalau sebagian kaum Ahli Kitab yang membantu mereka dari benteng-benteng mereka, dan Ia memasukkan rasa takut dalam hati mereka; sebagian kamu bunuh, dan sebagian lagi kamu tawan” (Q.S. 33:26). Tepat seperti mantera 6 dari Sukta ini yang cocok diterapkan untuk perang Ahzab, begitu pula, peristiwa yang dikisahkan dalam mantera berikutnya juga mempunyai kesamaan berkaitan dengan peristiwa dalam kehidupan Nabi dan berhubungan dengan periode tepat setelah perang yang disebut di atas. Inilah sebabnya mengapa Nabi dikatakan pergi dari pertempuran ke peperangan. Usaha yang sungguh-sungguh dari kaum Muslimin ini, tak diragukan lagi, merupakan tanda-bukti kegagah-beranian dan daya tahan mereka. Nabi menghancurkan benteng-benteng Quraiza, Qainuq’a dan Nadir. Lagi, kata-kata dalam mantera (Namya yat Indra sakhya) dengan kawanmu yang tunduk berdoa kepada Tuhan, wahai Indra, dengan indahnya cocok bagi Nabi Suci Muhammad yang selalu berdoa kepada Tuhannya. Musuh-musuh Nabi dalam mantera ini disebut sebagai orang-orang yang terbaring jauh atau yang terbuang oleh Tuhan. Alkitab juga mengandung kesaksian atas hal ini dan menyatakan bahwa orang-orang ini ditolak Tuhan (Yeremia 6:30). Lagi, musuh-musuh kaum Muslim ini, kaum Yahudi, digambarkan dalam mantera ini sebagai ‘pengkhianat dan licik’. Orang-orang ini adalah sekutu dari kaum Muslimin dan dengan syarat perjanjian, yang mereka buat dengan Nabi, terikat untuk berjuang melawan musuh yang menyerang Madinah. Tetapi mereka terbukti berkhianat dan penuh tipu-daya serta meninggalkan sekutunya pada jam sebelas. Kata Sanskerta mayinam berasal dari maya yang berarti suatu hal yang kelihatan indah padahal sesungguhnya tak ada harganya. Alkitab juga menggambarkan orang-orang ini sebagai perak yang ditolak (Yeremia 6:30). Weda telah menyebut orang-orang ini Nemuchi. Arti daripada kata ini sebagaimana disebutkan dalam tata­bahasa Panini adalah, ‘seorang yang menahan hujan’. Arti lain dari kata ini adalah ‘patut dihukum’. Umat Yahudi berpendapat bahwa mereka satu-satunya penerima wahyu Ilahi dan hujan atau pancuran air wahyu Ilahi tidak akan jatuh ke umat lain. Indra atau Tuhan Yang-perkasa menebas orang-orang ini dan karena itu menunjukkan bahwa tak seorangpun bisa menahan wahyu Ilahi; ini tidak dapat dibatasi hanya khusus untuk Yahudi atau Arya saja tetapi adalah hadiah Tuhan yang bisa dikaruniakan kepada siapapun yang Ia sukai. Kata ini, sebagai telah kami katakan, juga berarti bisa dihukum. Kaum Yahudi bisa dihukum di mata Tuhan tidak hanya karena kejahatan mereka melainkan juga karena tipu daya dan pengkhianatan terhadap Nabi Suci Muhammad, pemberi manfaat bagi seluruh umat manusia. Begitulah, mereka dihukum atas pengkhianatannya dan dihukum mati, dan pengadilan ini diumumkan oleh seorang pemimpin mereka sendiri. Kata namuchi, karenanya, cocok diterapkan kepada kaum Yahudi. Dalam Rig Weda serta kitab lain semacam Namuchi berarti ruh jahat yang menahan awan dari membawa hujan turun ke bumi, dan kemudian Indra, menyembelih ruh jahat ini, membebaskan awan. Nyaris semua bangsa di dunia berpendapat bahwa wahyu Ilahi itu terbatas kepada lingkungan khusus saja, dan, karenanya membatasi awan hujan Samawi itu bagi dirinya sendiri Tetapi dunia berhutang budi kepada Nabi Islam yang telah menyembelih Namuchi ini dan mengumumkan bahwa pancuran dari hujan spiritual ini telah jatuh kepada segala bangsa dan tidak dibatasi kepada suatu kasta atau kelompok. Quran Suci berkata: “Dan Allah menurunkan air dari langit, dan dengan ini Ia menghidupkan bumi setealh matinya. Sesungguhnya dalam ini adalah pertanda bagi kaum yang mendengar” (Q.S. 16:65). Dengan air dari langit jelas diartikan wahyu Ilahi. Tepat seperti hujan yang memberikan kehidupan fisik kepada bumi, begitu pula wahyu memberikan kehidupan ruhani kepada orang-orang yang menderita kematian akibat kejahatan mereka. Jadi, risalah universal dari Nabi memberikan kehidupan kepada segala bangsa di dunia karena Nabi telah menyingkirkan Namuchi, ruh kejahatan. Kekalahan musuh dalam penaklukan Mekkah. Nubuatan berkenaan dengan peperangan oleh Nabi Suci berakhir dengan ramalan atas penaklukan Mekkah. Di dalam Sukta yang sama dari Atharwa Weda, kita dapati: (Atharwa Weda 20:21:9). “Dengan semua keretamu yang rodanya melaju cepat, wahai Indra, engkau yang terkenal sampai jauh telah melengserkan dua kali sepuluh raja manusia, dengan enampuluh ribu dan sembilanpuluh sembilan pengikut yang datang dengan senjatanya untuk bertempur bersama Sushrava yang tak berkawan” – (Griffith). “Wahai Indra, engkau telah mengalahkan duapuluh raja dan enampuluh ribu sembilanpuluh sembilan lelaki dengan keretamu yang melaju cepat yang datang untuk bertempur demi dia yang terpuji atau anak yatim yang tenar sampai jauh (Muhammad)” – (Para komentator Hindu). Kita telah menyatakan dalam halaman yang lalu bahwa penduduk Mekkah pada saat datangnya Nabi itu hampir berjumlah enampuluh ribu orang. Mekkah pada saat itu mempunyai semacam pemerintahan yang demokratis. Setiap kabilah mempunyai pemimpinnya sendiri dan karena itu ada duapuluh kepala kabilah yang memerintah penduduk, Quraish adalah pimpinan tertinggi dan penjaga Ka’bah. Jadi, pada satu fihak, ada enampuluhribu orang dengan duapuluh pimpinan besar, dan di fihak lain ada seorang abandhu, atau hanya seorang laki-laki yang tak berdaya. Tetapi seorang lelaki ini (Muhammad) terkenal sangat jauh dan dipuji oleh banyak orang. Ini bukanlah pertempuran antara dua raja, melainkan antara seorang lelaki dengan segerombolan lawan; dan dunia telah menyaksikan betapa orang yang tak berdaya ini mengalahkan musuh-musuhnya dan betapa Tangan Tuhan bergerak seperti kereta yang melaju cepat untuk menggilas lawan-lawannya. Hanya satu fakta ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa Muhammad adalah benar-benar seorang nabi dari Tuhan dan bahwa Tangan Ilahi senantiasa di belakangnya, yang dalam waktu yang sangat pendek telah mengangkatnya dari keadaan tak berdaya kepada ketinggian kekuasaan dan kejayaan. Nubuatan yang sama juga terdapat dalam Rig Weda, 1:53:9, sebagai ramalan dari Resi Angiras, putera dari Resi Savya. Kata sushrava berarti ‘pantas dipuji atau benar-benar terpuji’, yang adalah serupa dengan nama Nabi Muhammad s.a.w. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (14/18) Suatu kesaksian gabungan dari tiga Weda. Nubuatan berikut ini diberikan oleh tiga Weda, Rig Weda (8:96:13-15), Atharwa Weda (20:137:7-9) dan Sama Weda (3:10:1). Kesaksian gabungan dari Weda ini menunjukkan bahwa ini benar-benar sesuatu yang besar sehingga nubuatan ini merujuknya. Dan pada waktu yang sama ini selain jelas juga terang di samping keagungannya. (Atharwa Weda 20:137: 7-8-9) 7. “Tetesan hitam masuk ke dada Ansumati, maju bersama sepuluh ribu di sekelilingnya. Indra dengan kekuatannya mencarinya ketika itu menahan nafas; si hati-pahlawan meletakkan senjatanya ke samping” (Atharwa Weda 20:137:7) 8. “Aku melihat tetesan di jarak kejauhan bergerak di lengkung tepi sungai Ansumati, seperti awan hitam yang tercelup ke air. Pahlawan, aku kirim kau berangkat. Pergilah berjuang dalam peperangan” (Atharwa Weda 20:137:8). 9. “Dan kemudian tetesan di dada Ansumati, bersinar dengan cahaya, memakai tubuhnya yang cocok; dan Indra, dengan Brihaspati yang membantunya, menaklukkan kaum yang tak bertuhan yang datang melawannya. (Atharwa Weda 20:137:9). Terjemahan bahasa Inggris dari mufasir Hindu “Krisna Chandra (rembulan hitam) menyelam di Anusmati (haud-i-Kauthar). Indra dilindungi dengan sepuluh ribu orang yang gagah-berani di sekelilingnya. Pejuang yang berani telah meletakkan senjatanya dan menyanyikan kemenangan”. “Saya melihat rembulan bergerak di kejauhan, di tepi sungai Ansumati, seperti awan gelap yang terbenam di dalam air. Pahlawan, saya kirim kau berangkat. Pergilah, berjuanglah dalam peperangan”. “Dan kemudian di dada Anusumati (haud-i-Kauthar) rembulan hitam memakaikan jasad nyatanya bersinar dengan cahaya, dan Indra, dengan bantuan Brihaspati, menaklukkan suku-suku yang tak bertuhan yang datang melawannya”. Sesuai dengan sudut pandang agama Hindu, sebagaimana disajikan oleh Syna Acharya, mufasir Weda, rembulan menjadi benar-benar hitam sewaktu malam terakhir dari satu bulan dan kemudian setelah terbenam di dalam sungai imaginer Ansumati, dia kembali bersinar lagi dan timbul sebagai bulan baru. Tetapi dalam cahaya Gita, mantera ini berarti bahwa bila kata-kata Ilahi dirusakkan, Krisna Chandra datang ke dunia ini dalam pribadi seorang yang baru dan memberikan sinar baru bagi dunia. Demikianlah, kita temukan Krisna memberi nasihat Arjuna dalam Gita: (4:1-8). “Hukum yang tak berubah ini, pertama Aku wahyukan ke Vivasvan (Matahari atau Jibril). Vivasvan mewahyukannya kepada Manu dan Manu menceriterakan kepada Ikshvaku. Raj Rishi mengenal benar kerajaan yang diserahkan dari seorang kepada yang lain dan yang sekarang menjadi suatu negeri yang sudah hancur. Ini adalah hukum tua yang sama yang kuajarkan kepadamu hari ini. Engkau adalah temanku dan abdiku. Ini semuanya adalah rahasia. Arjuna berkata: “Tuanku! Engkau dilahirkan dalam abad ini dan Vivasvat sudah lahir jauh hari sebelumnya; bagaimana saya tahu bahwa engkau berbicara seperti ini juga sebelumnya?” Sri Krisna berkata: “Wahai Arjuna! Engkau dan aku mempunyai beberapa kelahiran, Aku mengetahui semuanya tetapi engkau tidak mengetahui”. Jiwa yang abadi, Tuhan dari segala ciptaan membabarkan Dirinya dalam pribadi seseorang tanpa pernah dilahirkan. Wahai Arjuna! di saat agama rusak dan hujatan kepada Tuhan merajalela, Aku ungkapkan diriku dan menjadikan kekuatanKu tergelar di dunia. Aku nampak di setiap abad untuk menjaga mereka yang salih, memerangi pembuat kejahatan dan memegang teguh agama”. Dengan satu kata, pada waktu rembulan menjadi gelap atau ketika agama kehilangan cahaya dan kekuatannya serta dunia ini mengalami kerusakan, maka seorang nabi baru akan muncul dengan cahaya Ilahi yang sama dengan yang diberikan kepada para pendahulunya. Dalam Weda pula rembulan (dan menurut beberapa orang matahari juga) digambarkan sebagai Sahasr shringo vrikhbho yah smudrat udachrat, ‘seekor banteng dengan seribu tanduk yang muncul dari laut’. Nubuat ini menyajikan suatu tanda-bukti yang terang atas kebenaran Nabi Suci. Rembulan ruhani telah menjadi hitam dan ada kegelapan di seluruh penjuru dunia. Tak ada satu agamapun yang menyinarkan cahayanya yang asli. Di India, orang-orang menyebut rembulan itu sebagai Krisna atau si hitam. Karena itu, pada saat semacam itu, ketika dunia gelap dan murung, Nabi Muhammad muncul seperti matahari dengan seribu pendar dan pancaran cahayanya. Weda berkata bahwa matahari ini akan bersinar selamanya, dia akan terjaga dari kegelapan dan bersinar terang di alam semesta ini demikian agung seperti kuasa yang menang berderap maju di padang. Pada penaklukan Mekkah, Nabi muncul dengan para sahabatnya seperti matahari dengan seribu lidah cahaya, dan dalam kata-kata mantera, dia dengan beraninya meletakkan senjatanya dan memberi maaf serta pengampunan kepada musuhnya yang paling sengit. Hal itu adalah suatu nubuatan yang pantas dicatat, yang digenapi dalam kehidupan Nabi kata demi kata. Quran Suci juga menyatakan: “Dan Kami telah membuat malam dan siang sebagai dua pertanda, dan Kami lenyapkan pertanda malam, dan Kami tampakkan pertanda siang, sehingga kamu dapat mencari karunia Tuhan kamu, dan agar kamu tahu bilangan tahun dan perhitungan. Dan Kami menjelaskan segala sesuatu sejelas-jelasnya”.(Q.S.17:12). Tanda siang adalah matahari dan tanda malam adalah rembulan. Tuhan membuat tanda malam berlalu atau rembulan kehilangan cahaya serta terangnya. Ilmu modern telah menunjukkan bahwa rembulan seperti matahari juga memiliki cahayanya sendiri, tetapi secara perlahan dia mendingin dan menjadi gelap. Kata-kata dalam al-Quran tidak saja merujuk kepada dunia fisik serta siang hari dan malamnya, melainkan juga dunia ruhani. Pertama, rembulan biasa memberikan cahayanya ke bumi tetapi karena pendinginannya maka dia menjadi gelap sehingga dijadikan pertanda malam hari. Malam di sini berarti kegelapan jahiliyah dan kekafiran, serta berlalunya malam menunjukkan bahwa kebodohan akan lenyap dan cahaya Islam akan menggantikan tempatnya. Pad berlalunya malam Nabi muncul ke langit dunia seperti matahari yang bersinar sedemikian sehingga dengan cahayanya manusia akan mencari karunia Ilahi. Rembulan sebagai motto bangsa Arab. Di negeri Arab sebelum Islam, rembulan adalah lambang nasional dan motto bangsa Arab. Bab dari Quran Suci yang meramalkan berakhirnya kaum Mekkah, juga diberi judul ‘al-Qmar’, ‘Rembulan’, dan dimulai dengan kata-kata: “Sa’at sudah dekat dan rembulan terbelah” (Q.S. 54:1). Karena itu, rembulan mewakili kekuasaan bangsa Arab penyembah berhala, dan bahwa dia terbelah dua menunjukkan surutnya kekuasaan itu melalui instrumen Nabi Suci. Peristiwa ini terjadi pada perang Badar. Karena itu, al-Quran telah menggabungkan dua fakta ini, menunjukkan bahwa menjadi gelapnya rembulan sebagaimana digambarkan dalam Weda dan kembali bersinarnya itu sama dengan munculnya Nabi Suci Muhammad dan penyingkiran kekuasaan lawan-lawannya. Suatu fakta yang aneh bahwa mantera Weda setelah menyebutkan menjadi gelapnya rembulan, lalu berkata “Para pahlawan, aku kirimkan engkau keluar. Pergilah, berjuanglah dalam pertempuran’. Jelas, rupanya seperti tak ada hubungan antara dua fakta ini, tetapi dalam kenyataannya ini adalah suatu bukti lain dari fakta-fakta yang telah kami ceriterakan di atas. Kaum Muslimin diminta keluar dari kota Medinah dan memerangi orang-orang kafir: “(Perang) diizinkan kepada orang-orang yang diperangi” (Q.S. 22:39). Jadi para pahlawan Muslim diminta pergi keluar dan berperang. Mereka diberi julukan ‘pemberani, karena mereka sangat sedikit jumlahnya dan tanpa persediaan yang memadai untuk bertempur toh bisa mengalahkan kekuatan lawan yang jauh lebih besar dan perkasa. Dalam perang Badar serta peperangan lain yang mengikutinya para sahabat Nabi dengan gagah-berani telah berjuang melawan musuh­musuhnya, dan pada pertempuran yang menentukan, yakni penaklukan Mekkah, beliau sekali lagi menggenapi nubuatan Weda ‘Indra maju dengan sepuluh ribu orang di sekitarnya’. Nabi Suci memiliki sepuluh ribu sahabat bersamanya ketika beliau maju menuju Mekkah dan menaklukkannya. Tetapi beliau tak membunuh lawannya seorangpun, namun, sebagaimana dikatakan Weda, ‘pahlawan yang lembut hati itu meletakkan senjatanya ke samping’. Beliau menaklukkan kota tanpa pertumpahan darah. Fakta sejarah yang benar-benar terjadi ini diperkuat oleh mantera Weda yang hanya benar pada masa Nabi Suci dan tak ada seorang Nabi atau Resi lainpun yang mengalaminya. Hanya Nabi Islam yang perkasa dan welas-asih yang memenuhi ramalan Weda ini. Kata-kata terakhir dari mantera, ‘Indra, dengan pertolongan Brihaspati (Tuhan dari dunia) menaklukkan suku-suku yang tak bertuhan yang datang melawan dia’, juga cocok untuk Nabi Muhammad, yang dengan pertolongan serta rahmat Ilahi mengalahkan para musuhnya. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (15/18) MUHAMMAD DENGAN SEPULUH RIBU SAHABATNYA (Rig Weda 5:27:1). “Pemilik wahana, yang tulus dan pencinta kebenaran, sangat bijaksana, gagah-perkasa dan dermawan, Mamah (Muhammad) telah menghadiahi aku dengan kata-katanya. Putera dari Yang Maha-kuasa, memiliki semua asma yang baik-baik, rahmat bagi seluruh alam, telah menjadi tenar dengan sepuluh ribu (sahabatnya)”. Setiap kata dari nubuatan ini menyatakan kebenaran dari Nabi Suci Muhammad. Beliau adalah penuh ketulusan dan pencinta kebenaran. Dari sejak kecilnya beliau dikenal akan kejujuran dan ketulusannya. Orang-orang memenggilnya Al-Amin, pemegang amanah atau orang yang terpercaya. Ketika Abu Bakar mengetahui bahwa Muhammad mendakwahkan diri atas kenabiannya, maka dia langsung mempercayainya, karena dia tahu benar bahwa Muhammad itu tak pernah berdusta. Begitu pula, fakta yang tak terhitung jumlahnya yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sejarah menunjukkan akan kebijaksanaan Nabi yang luar biasa. Begitu gagah-perkasanya beliau, sehingga selama perang Ahzab, Nabi dengan sekali pukulan palunya, bisa memecahkan batu besar yang orang lain tidak mampu. Beliau begitu dermawan sehingga menghadiahkan segalanya kepada para pengikutnya dan dirinya sendiri tidak punya apa-apa. Apapun juga kekayaan atau rampasan perang datang, langsung dibagikannya ke masyarakat, Nabi sendiri tidak mengambil sedikitpun buat dirinya. “Rahmat bagi semesta alam” adalah julukan khusus dari Nabi Suci, dan begitu pula, beliau adalah satu-satunya Nabi yang terkenal dengan sepuluh ribu sahabatnya. Semua gelar ini jelas cocok untuk Nabi, tetapi gelar pertama yakni ‘pemilik wahana’ perlu sedikit komentar. Jelas bahwa Nabi tidak memiliki atribut ini, tetapi bila kita mengambil makna yang sejati dari kata ini,kami akan menemukan bahwa ini juga sesuai dengan Nabi Suci. Kata ‘anaswanta’ (pemilik wahana) digunakan pada beberapa peristiwa dalam kitab Hindu. Misalnya, Indra dikatakan menaiki kereta (Rig Weda 1:127:7). Kemudian dia dikatakan memecahkan suatu wahana cakrawala. (38) Begitu pula, matahari itu dikatakan mengendarai wahana yang ditarik oleh kuda, dan anaknya di lahirkan di wahana (Rig Weda 10:85:10). Semua kutipan ini menunjukkan bahwa kata ini digunakan dalam arti kiasan. Ini tidak berarti memuat dalam wahana dalam arti harfiah, Swami Dayanand juga telah menggambarkannya, tetapi ini berarti, yang mulia, terhormat dan berwibawa. Jadi, ‘pemilik wahana’ juga merupakan gelar dari Nabi Muhammad dan, dengan mengambil maknanya yang sesungguhnya, sangat tepat buat dia. Ka’bah dari kaum Muslim Atharwa Weda berisi Sukta yang panjang dalam pujian kepada Ka’bah. Namun, agar bisa memahami nubuatan ini dengan jelas, tiga fakta hendaknya di simpan dalam ingatan. Mantera ini diberi judul sebagai Purush Medha, yang berarti ‘pengurbanan manusia’. Pada masa-masa awal seorang pribadi yang besar dikurbankan, dan mantera ini dibacakan pada peristiwa penyerahan kurban persis untuk mengingat peristiwa itu. ‘Atharwa Resi’ yang di rujuk dalam mantera ini adalah Nabi Ismail. Kami telah memperbincangkan hal ini cukup panjang dalam nubuatan Ibrahim. Menurut penelitian kami, Ibrahim dan Brahmaji adalah dua nama dari pribadi yang sama. Puteranya yang sulung dikenal sebagai Atharwa atau Ismail dan yang lebih muda dinamai Angira atau Ishak. Mantera ini mengacu kepada Ismail yang dikurbankan. Ini adalah suatu perkara nyata, suatu pengurbanan baik bapak maupun puteranya. Puteranya ini dalam usianya yang lanjut adalah satu-satunya harapan Ibrahim, putera keduanya belum dilahirkan sampai terjadinya peristiwa ini. Dengan mengabaikan hal ini, dia memutuskan untuk mengurbankan puteranya, setelah melihat dirinya berbuat demikian dalam rukyah. Karena itu, ini adalah suatu pengurbanan besar baginya di samping pengurbanan puteranya. Dengan menyimpan fakta-fakta ini dalam ingatan maka arti dari mantera ini akan menjadi lebih jelas: “Maka setelah dua-duanya berserah diri, dan ia (Ibrahim) menelungkupkan dia di atas dahinya. Dan Kami menyeru kepadanya: wahai Ibrahim, Sesungguhnya engkau telah memenuhi impian (dikau). Demikianlah Kami mengganjar orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. 37:103-105). Dalam Atharwa Weda kami dapati: (Atharwa Weda 10:2:26) “Atharwa menjahit kepala dan hatinya bersama-sama, kesalehan bergerak di dahinya”. Nabi Ibrahim melihat dalam mimpi bahwa dia mengurbankan puteranya, Ismail. Dia meminta pandangan puteranya akan masalah ini, dan puteranya menjawab: “Wahai ayahku! kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada engkau; insya Allah engkau akan menemukan aku golongan orang yang sabar” (Q.S.37:102). Jadi, Ismail dengan gembira menaati permintaan ayahnya, dan inilah apa yang dikatakan Weda bahwa Atharwa atau Ismail telah menjahit kepalanya dengan hatinya, dengan perkataan lain, setuju untuk meletakkan kepalanya. Dalam mantera berikutnya, dikatakan: (Atharwa Weda 10:2:27). “Kepala Atharwa adalah suatu tempat dimana tinggal para dewa. Ini tertutup dari segala penjuru, hati dan perlengkapan yang menjaganya” Tempat dimana Ibrahim mengurbankan puteranya adalah tempat duduk para malaikat dan ruhul kudus. Ini dibentengi dengan baik dan dijaga, sehingga musuh tak akan pernah bisa menaklukkannya. Kata pranah, dalam mantera, berarti malaikat, dengan kepala yang dimaksudkan adalah Ismail dan dengan hati, yang dituju adalah Ibrahim. Semua atribut yang menonjol ini hanya terdapat dalam Ka’bah kaum Muslimin dan tak ada dalam bangunan keagamaan yang lain. Ka’bah adalah tempat dimana para malaikat tinggal dan yang dilindungi dari musuh, tak ada kekuatan yang membencinya yang pernah bisa mengalahkannya, para malaikat dan Tuhanlah penjaganya. BEBERAPA ATRIBUT LAIN DARI KA’BAH (Atharwa Weda 10:2:28) “Apakah itu dibangun tinggi, dindingnya bergaris lurus atau tidak, tetapi Tuhan kelihatan di setiap sudutnya. Dia yang mengenal Rumah Tuhan, akan mengetahuinya karena Tuhan diingat di sana” Ka’bah itu bukanlah suatu bangunan yang indah atau dihias-hias, - tidak, bahkan ini tidak dibangun dengan metodologi atau ketepatan. Dindingnya tidak paralel satu sama lain. Jika panjang salah satu dindingnya adalah 26 kaki, maka panjang yang satunya lagi 25 kaki dan begitu pula lebarnya yang sebelah 22 kaki dan di sebalah lainnya 20kaki. Ini bukan suatu kuil emas atau perak tetapi suatu bangunan yang sangat sederhana dari batu-bata biasa; tetapi meskipun demikian ini dianggap suci oleh jutaan orang yang menemukan dalam setiap inci dari bangunan ini manifestasi dari Tuhan serta rahmatnya yang tak terhingga. Tuhan selalu diingat di sini dan dia yang pergi ke Ka’bah merasa benar betapa dekat dia kepada Tuhan. Weda benar ketika menggambarkannya sebagai suatu bangunan tanpa dinding yang lurus tetapi di mana Tuhan terlihat dan dipuja. Dalam mantera yang berikutnya kita dapati: (Atharwa Weda 10:2:29) “Dia yang mengenal Rumah Tuhan yang suci ini, yang penuh dengan kehidupan, Tuhan dan Brahma (Nabi dari Tuhan) menghadiahi dia penglihatan mendalam, kehidupan dan anak-anak”. Ka’bah dari kaum Muslimin dipenuhi dengan kehidupan ruhani dan menjadi sumber utama spiritualitas. Telah ditulis dalam Taurat Musa bahwa Ibrahim mendapat kabar gembira atas anaknya yang besar dan keturunannya yang banyak. Bahkan hingga kini para pengikut Ibrahim lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan kaum lain. Inilah tepatnya apa yang dikatakan oleh mantera Weda, ‘dia yang menghubungkan dirinya dengan Rumah Tuhan, yakni Ka’bah kaum Muslimin, akan diberi penglihatan mendalam, kehidupan serta keturunan yang besar”. Mantera yang berikut ini juga memberi makna yang sama: (Atharwa Weda 10:2:30) “Dia yang mengenal Rumah suci ini, spiritualitas dan penglihatan mendalam tidak akan meninggalkannya sebelum usia tua, karena Tuhan diingat dalam Rumah ini”. Bila seseorang sekali telah diberi penglihatan mendalam yang benar dan dia menyusuri jejak-langkah Nabi Suci dan mempelajari apa arti Ka’bah itu, ruhaninya akan meningkat dari hari ke hari dan dia tak akan terpisahkan dari ilham dan petunjuk Ilahi. SUATU GAMBARAN DARI KA’BAH (Atharwa Weda 10:2:31) “Tempat tinggal para malaikat ini mempunyai delapan lingkaran dan sembilan pintu. Bangunan ini tak terkalahkan, di sana ada kehidupan abadi di dalamnya dan ini berkilauan dengan cahaya Ilahi”. Weda telah memberikan gambaran yang benar tentang Ka’bah. Sesungguhnya, Rumah Tuhan mempunyai sembilan pintu. 1 Bab Ibrahim, 2. Bab-al-Vida, 3. Bab-al-Safa, 4 bab Ali, 5. Bab Abbas, 6. Bab al-Nabi, 7. Bab al-Salam, 8. Bab al-Ziarat, 9. Bab al-Haram. Delapan lingkaran adalah garis alami yang mengitari wilayah itu di antara perbukitan yang mengitarinya, namanya adalah: 1. Jabl Khalij, 2. Jabl Kaikan, 3. Jabl Hindi, 4. Jabl Lala, 5. Jabl Kada, 6. Jabl Abu Hadida, 7. Jabl Abi Qabes, 8. Jabl Umar. Lagi, Ka’bah adalah tempat tinggal para malaikat dan tetap selalu tak terkalahkan. (Atharwa Weda 10:2:32) “Ruh Yang Unggul yang pantas disembah tinggal di Rumah yang dibangun di atas tiga pilar dan tiga kuda-kuda kayu serta ini adalah pusat dari kehidupan abadi. Manusia ilahiyah mengenal ini baik­baik”. Ka’bah tidak ada berhala ataupun benda obyek sesembahan yang lain. Ini adalah suatu bangunan biasa tegak di atas tiga pilar dengan tiga kuda-kuda kayu di atasnya, namun demikian ini adalah pusat dari kehidupan abadi dan suatu tambang ruhani. Ruh Yang Maha-tinggi terlihat dan terasakan di sini bagi manusia ilahiyah yang memiliki kedalaman penglihatan. (Atharwa Weda 10:2:33) “Brahma atau Ibrahim tinggal di hunian ini yang disinari oleh cahaya langit dan diselimuti dengan berkah Ilahi. Ini adalah tempat yang memberi kehidupan (ruhani) kepada orang-orang dan tak bisa ditaklukkan”. Semua mantera dari Atharwa Weda di atas telah memberi gambaran tentang Ka’bah dan memuji tempat ibadah yang suci ini. Setiap mantera memberi gelar yang baru yang merupakan kualitas karakteristik sejati dari Rumah Tuhan ini. Untuk menyimpulkan seluruh perkara ini, maka Ka’bah adalah suatu memorial yang memperingati suatu pengurbanan yang besar; ini selalu bebas dari pemerintahan, para penghuninya mendapatkan makanan yang berlimpah, dinding-dindingnya tidak dibangun lurus, ini adalah tempat yang penuh dengan kehidupan spiritual, ini memiliki sembilan pintu dan delapan lingkaran, ada tiga pilar dan tiga kuda-kuda di atasnya, dan ini adalah tempat dimana Ibrahim datang dari tanah yang jauh, membuatnya jadi tempat tinggal untuk sementara lalu membangun Rumah Tuhan di sana. Jadi, mantera-mantera ini tepat sesuai dengan gambaran al-Quran mengenai Ka’bah: “Sesungguhnya rumah permulaan yang ditetapkan bagi manusia ialah Rumah yang ada di Bakkah, yang diberkahi dan pimpinan bagi sekalian bangsa. Di dalamnya terdapat tanda bukti yang terang, (yaitu) Tempat Ibrahim; dan barangsiapa Memasuki itu ia akan aman”. (Q.S. 3:95-96). ------------- 38, Rig Veda 1:126.3, 6:27.8. Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6. Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1. Altindisches Leban, 131. Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaff, 42, 237; Buddha, 396. St. Petersburg Dictionary. ‘Sanskrit Bhashya’ dari Khem Karan memberi dua arti dari kata Parikesit. ‘Sarvat Aishvary Yuktasya’ (memiliki segala jenis atribut dan kekuasaan), dan kedua ‘seorang yang memberikan perlindungan lengkap kepada umat’; Quran Suci juga berkata tentang Nabi Suci sebagai ‘lemah-lembut terhadap kaum mukmin’ (Q.S. 15:88). Atharva Veda, 20:21.6, Rig Veda, 1:53.6. Ibid. 2:15.6, 4:30.11, 8:91.7, 10:75.6, 10:38.5. Yajur Veda 3:35.36:3, Rig Veda, mandal 3, Sukt 62, mantra 10. Rig Veda 8:4.16. Sam nah shishihi bhurijoriv Khahsvram. Matius 26:34,75. Lukas 22:24.61, Markus 14:30.72. Quran Suci 22:47,24. Manu 1:66.73; Farvardin 3:40:2. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (16/18) NUBUATAN TENTANG NABI DALAM SAMA WEDA. Sama Weda adalah satu dari empat Weda, dan menurut para Brahmana Sama Weda, kitab ini lebih unggul dalam penghormatan dibanding Weda yang lain. Kata Sama dalam kepustakaan keagamaan berarti ketenangan, ketenteraman, berbicara lembut seperti dengung lebah dan juga suatu nyanyian. ‘Gitishu sama akhya’ ‘lagu-lagu itu disebut sebagai Sama’. Ciri lain dari Weda ini yalah bahwa manteranya khusus cocok untuk dinyanyikan dengan berirama dan nyaman terdengar. Kedudukannya yang tinggi di antara kitab-kitab agama Hindu jelas dari kutipan berikut ini: “Yajur Weda adalah kepala Brahma, Rig Weda adalah anggota badan bagian kanan, Sama Weda anggota badan bagian kiri, Upanishad itu jiwanya dan Atharwa Weda ekornya” – (Taitreya Aranyaka 2:9,10 ). ‘Yajur Weda adalah perutnya dan sama Weda adalah kepalanya” – (Kaushitki Brahmana 6:11). “Rig Weda itu cahaya, Yajur Weda kekuatan dan Sama Weda adalah kemasyhuran” – (Shatpath Brahmana 12:3.4.9). “Rig Weda adalah bumi, Sama Weda atmosfir dan Yajur Weda adalah langit” – (Taitreya Upanishad). “Sama Weda adalah pori-pori dan Atharwa Weda adalah mulut” – (Atharwa Weda 10:7.20). “Sama Weda itu sesungguhnya adalah suami dari Rig Weda” – (Shatpath 8:3.1.5). “Sama Weda adalah inti-sari dari semua Weda” – (Shatpath 12:8.3.23). “Dunia ini dicipta dari Brahma, Waisya dicipta dari mantera Rig Weda, Ksatrya diciptakan dari Yajur Weda dan Brahmana diciptakan dari Sama Weda” – (Taitreya Brahmana). “Sama Weda tidak dinyanyikan oleh Om melainkan oleh Hin – (Shatpath 1:4.1). “Yajur Weda adalah tulangnya, Sama Weda kulitnya dan Yajur Weda hatinya” – (Atharwa Weda 9:6.2). Sama Weda juga menceriterakan banyak nubuatan mengenai kedatangan Nabi Suci Muhammad. Kita petik hanya satu di antaranya. Ramalan ini terdapat dalam Sama Weda, 2:6.8. “Ahmad memperoleh hukum-hukum agama dari Tuhannya. Hukum ini penuh dengan kebijaksanaan. Aku menerima cahaya dari-Nya tepat seperti dari matahari”. Nubuatan ini memperkuat kebenaran berikut ini: Nama Nabi Ahmad dengan jelas disebutkan. Nabi juga dikatakan telah dianugerahi Hukum oleh Tuhannya. Dia juga dikatakan telah dikaruniai kebijaksanaan bersamaan dengan itu. Resi diterangi melalui Hukum dari Nabi seperti halnya pelbagai obyek yang diterangi oleh cahaya matahari. Sina Acharya, seorang mufasir tua dari Weda, dan para penerjemah Arya lainnya telah membuat kesalahan dalam menerjemahkan mantera ini. Mereka tidak mampu memahami nama Arab Ahmed, dan mengambilnya sebagai Ahm at hi, jadi menerjemahkan mantera itu sebagai: “Saya sendiri telah memperoleh kebijaksanaan sejati dari Bapaku, sehingga saya seperti matahari”. Terjemahan ini terbuka untuk dua keberatan. Pertama, resi dari mantera ini adalah Vatsah Kanvah termasuk dalam keluarga Kanv dan pengakuannya sebagai satu-satunya orang yang memperoleh kebijaksanaan sejati dari Bapa jelas bertentangan dengan Weda Dharma. Telah disebutkan dalam Weda akan adanya seratus satu resi seperti Vatsah, dan tidak ada bukti untuk menunjang pengakuan Vatsah ini bahwa dia adalah satu-satunya penerima kebijaksanaan Bapa. Kedua, dewa dalam mantera ini adalah Indra, dan Vatsah Kanvah bukanlah satu-satunya putera dan pewarisnya. Tidak ada bukti sejarah untuk kenyataan bahwa Vatsah sendiri yang menjadi pewaris dan penerus Indra. Jadi Resi tidak dapat membuat pernyataan palsu. Betapapun, Quran Suci telah memecahkan teka-teki ini dengan firman-Nya: “Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai Saksi, dan pengemban kabar baik, dan sebagai juru ingat. Dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya, dan sebagai Matahari yang menerangi” (Q.S. 33:45-46). Jadi, Nabi adalah pembawa kabar baik dan Matahari yang memberikan cahaya (ruhani) kepada dunia. Di tempat lain al-Quran berkata: “Maha Berkah Dia Yang membuat bintang-bintang di langit, dan di sana Ia membuat pula matahari dan bulan yang menerangi” (Q.S. 25:61). Ada dua macam bintang dan planet di angkasa ini. Bintang yang memiliki cahaya sendiri dan mereka yang menerima cahaya melalui planet lain. Rembulan dan bintang pada waktu malam menerima cahaya dari matahari dan dengan cara itu memberi saksi akan kehadirannya. Begitu pula Nabi Muhammad adalah matahari dan nabi-nabi yang lain adalah seperti rembulan dan bintang-bintang yeng menerima cahaya dari beliau dan menyinari bumi dari masa ke masa. Resi Vatsah berkata bahwa dia itu seperti matahari, adalah cara lain untuk menyatakan bahwa dia menerima cahaya dari Ahmad Nabi Islam, yang tentang kedatangannya telah dia ramalkan. Nabi Muhammad memiliki cahayanya sendiri dan yang lain memetik cahaya mereka dari beliau. KEDATANGAN NABI SUCI MUHAMMAD SEBAGAIMANA DIRAMALKAN DALAM GAYATRI MANTRA, INDUK DARI WEDA DAN KAUM HINDU. Bagi kaum Hindu, Gayatri mantra mengusung banyak sekali makna suci yang sama seperti kalimah suci (kalimat syahadat) bagi kaum Muslimin. Mantera (ayat-ayat suci) ini, juga disebut Sawitri, induk dari semua Weda, sama seperti Surat al-Fatihah (surat pembukaan dari Quran Suci) yang telah disebut Umm-al Quran (induk atau basis dari al-Quran) oleh kaum Muslimin. Dalam bahasa perumpamaan, Gayatri mantra itu seperti ratu yang tak terperikan cantiknya; dan bayangannya adalah dia turun dari langit, dan karena itu, berisi kehangatan dan rahmat dari seluruh dewa-dewi di langit. Dalam Gayatri mantra, hanya ada sepuluh kata-kata, dan duapuluh empat silabus (kata singkatan); dan karena itu suatu triplet, maka setiap baris berisi delapan silabus. Gayatri mantra, secara kiasan, telah dipandang dan dianggap sebagai pasangan Brahma – Brahma yang sama kepada siapa, menurut kepercayaan Hindu, seluruh keempat Weda telah diwahyukan. Meskipun Weda itu empat jilid besar, namun Gayatri mantra adalah induk dari semuanya; dan jika mantra ini, di satu sisi, merupakan induk dari Weda, ini juga, di sisi lain, induk dari semua kaum Hindu juga, yang merupakan suatu nama gabungan dari tiga komunitas, Brahmana, Ksatrya dan Waisya. Gayatri mantra diketemukan nyaris di semua Weda. Ini telah dinyanyikan dalam Upanishad yang otentik serta banyak Sastra yang lain – dinyanyikan dengan alasan bahwa ini adalah sebuah lagu suci dan tanpa lagu itu seorang Hindu tidak dapat disebut sebagai penganut agama Hindu. Seperti halnya baptis dalam agama Kristen, dan Kalimah Syahadat bagi seorang Muslim, begitu pula Gayatri mantra dalam agama Hindu. Adalah ayat ini yang pertama sekali dibacakan oleh seorang guru ruhani pada waktu mengalungi seorang anak kecil Hindu dengan benang suci. Setiap hari, pagi dan petang, pada saat matahari terbit dan terbenam, Gayatri mantra dibacakan dalam sembahyang, dan ketika itu dibacakan, semua anggauta tubuh yang berbeda-beda itu disentuh dengan berurutan – hidung, telinga, mata, mulut, kepala, telapak tangan, masing-masing jari secara terpisah, lengan dan pusar, serta berdoa kepada dewata untuk keselamatan dan perlindungan dari anggauta tubuh itu. Di samping sembahyang harian, ini juga dibaca dan dilagukan dalam upacara perkawinan, festival serta pawai umum. Pembacaan Gayatri mantra membawa dalam dirinya pengaruh kebaikan dan manfaat yang tak terhitung. Ini tidak saja menjadi jaminan bagi seorang Hindu akan kesejahteraan dan kesehatan dari semua anggauta tetapi juga membasuh semua dosa. Betapapun menakutkannya dosa seorang Hindu yang telah dilakukannya, dia tidak perlu sakit karena cemas atau ketakutan; cukup membaca Gayatri mantra dengan tasbih 3.000 kali, dan akan puas serta gembira bahwa dosanya telah diampuni dan dimaafkan. Dosa yang sama juga bisa dihapuskan bahkan dengan cara membacakannya setiap hari. Gayatri mantra, seperti anda dengar, telah turun dari langit; tetapi keajaibannya yalah bahwa ini juga mengandung tenaga yang membawa pembacanya ke langit tinggi. Karena Gayatri itu bersumber dari mulut Brahma, dan ibu dari kaum Brahmana, Ksatrya dan Waisya. Kewajibannya hanyalah memberi makan dan susu kepada mereka; karena tak ada ibu yang wajib menyusui keturunan orang-orang lain. (39) Dan karena itu adalah hal yang murni dan suci, bangsa-bangsa yang tidak bersih tidak bisa menuntut akan hal itu. Setiap orang, perseorangan maupun kaum, harus menyimpan barangnya dalam penjagaan yang aman; dan ini tidak menjadikan yang lain bisa mengambil manfaat yang tidak perlu untuk menuntut hak milik orang lain. Semua faktor ini tergabung dalam menegakkan pentingnya, agung dan unggulnya Gayatri mantra. Bangsa­bangsa selain Hindu barangkali tidak bisa memahami dan mengagumi kenapa suatu triplet yang terdiri dari tiga baris bisa menjadi isteri seseorang dan induk dari bangsa-bangsa yang demikian besar serta ibu dari berjilid-jilid Weda yang besar. Dan karena alasan inilah maka saya telah mengangkat pena sehingga saya bisa memahami setidaknya sesuatu bagi diri saya sendiri, dan juga membuat yang lain bisa memahaminya. Pengetahuan atas arti penting dari Gayatri Mantra itu tidak diperlukan. Mereka berkata bahwa sekedar membaca lisan Gayatri mantra maka semua kehendak dan keinginan hati akan terpenuhi dan terlaksana. Karena itu, tidaklah penting untuk mengenal arti penting dan maknanya. Ini hanya sekedar masalah kepercayaan dan dogma, dan karena itu, apa perlunya memasuki perbincangan tentang itu. Ini adalah dari dewata, dan sesuatu yang indah; sehingga bodoh dan tak ada gunanya menimbang dan memeriksa keindahannya dalam neraca hukum dan logika. Bukankah suatu keajaiban kecil di mata bahwa mantera ini pada saat yang sama bisa berpengaruh, baik sebagai racun maupun obat sekaligus? Di mana bagi kaum Brahmana, Ksatrya dan Waisya ini merupakan obat yang menguasai, suatu risalah tentang anugerah dan kebahagiaan, tetapi bagi kaum Sudra pandangan terkutuk terhadapnya mendapat sanksi kematian dan kehinaan. Orang-orang yang berusaha menyelami dan mencermatinya dengan sarana pisau tajam hukum logika dan bahasa, dicambuk dengan keras bahwa mereka telah terasing dari kebaikan serta berkah di dua dunia. Alasannya jelas yalah bahwa dalam mencari jalan untuk memahami maknanya yang benar, maka labirin hukum bahasa akan menimbulkan kekacauan sedemikian luasnya sehingga akan sangat sulit untuk memperoleh pengertiannya yang tepat. Apa yang mau dikata bagi kita, sedangkan pandit dengan kemampuan dan enersi yang besar saja, dalam permainan ini, telah terjebak dalam kebingungan dan putus asa. Bahasa dari mantra ini tak begitu sulit, tetapi kata-katanya telah disusun keluar dari takaran sedemikian rupa sehingga fikiran, alih-alih menapak lebih lanjut untuk memahami artinya, malah lebih senang bergerak mundur. Pastilah lebih mudah untuk menyusun mantera sesuai dengan selera dan kecenderungan kita, atau bahkan menciptakan Gayatri baru dalam bahasa Hindi, Urdu atau Inggris, tetapi pasti sulit dan berat untuk menerjemahkan makna tersembunyi dari Gayatri yang nyata, diwahyukan dan dari langit. Arti harfiah dari Gayatri (Rig Weda 3:62:10) That Savitur Varenyam Bhargo Devasya Dhi Mahi Dhiyo Yo Nah Prachodyat Arti harfiahnya adalah: “Matahari itu, yang benderang dan murni, kebijaksanaan tuhan yang besar – semoga dia mempertajam dan menghaluskan kecerdasan kami. Dalam terjemahan ini kami tidak akan menambah sedikitpun dari pendapat sendiri. Teks dari Gayatri telah dikutip dari Rig Weda, mandal 3, Sukt 62, mantra 10 : dan terjemahnya juga, bukannya dari kita melainkan dari para pandit sendiri. KEKABURAN DALAM PENERJEMAHAN .Kesulitan pertama: Orang, tempat atau benda yang dirujuk oleh kata depan yang demonstratif tat (itu), atau, dengan perkataan lain, obyek utamanya, tidak dapat diyakinkan. Matahari adalah obyek langsung dari sembahyang dan pemujaan dari mantra sehingga kata depan yang demonstratif tat, yang menunjuk obyek yang sangat jauh, karena itu, tidak dapat digunakan untuk matahari. Dalam bahasa Arab dan Inggris definite article menunjuk dengan jelas kepada noun yang khusus dari kalimat itu: ‘Alif lam’ dalam bahasa Arab, dan ‘the’ dalam bahasa Inggris, ditempatkan sebelumnya dan dilekatkan kepada kata bendanya. Namun, dalam Weda, tidak ada huruf besar maupun definite article. Misalnya, kata benda agni tidak mempunyai huruf besar ataupun definite article yang melekat sebelumnya padanya; sehingga orang tidak dapat mengatakan apakah agni itu dewa ataukah resi, api ataukah panas alami. Latihlah akal sehat anda dan ketemukan sendiri apakah itu api biasa ataukah dewa agni yang dimaksudkan. Dalam ayat yang didiskusikan sulit jadinya untuk mengetahui particular noun ataukah pribadi yang dimaksudkan di sini. Dalam bahasa sanskerta, katakerja untuk laki-laki dan perempuan bentuk atau rupanya sama saja. Anda bisa, dalam menerjemahkannya, menganggapnya sebagai lelaki atau perempuan. Misalnya, makan makanan, bisa bagi seorang laki-laki, dan juga bisa bagi seorang perempuan. Di-klaim sebagai kecanggihan bahasa Sanskerta bahwa satu kalimat dalam bahasa ini bisa memiliki limapuluh arti yang berbeda. Dalam kenyataannya, ini bukan suatu kualitas yang baik, karena ini jelas bertentangan dengan prinsip keelokan serta kemurnian dari bahasa itu yang dengan sarana mana kita dapat sampai kepada maksud yang benar dan tepat dari si pembicara. SIAPAKAH YANG DITUJU DALAM DOA ITU? Mengingat kebingungan ini dalam pergelaran kita, orang pasti akan tergoda untuk bertanya: Kepada siapakah doa itu ditujukan dalam mantera tersebut? Kepada Matahari, atau Cahaya Matahari, atau kebijaksanaan dan kecerdasannya? Tetapi kepada Gayatri mantra para pandit telah memulainya dengan empat kata yang tidak ada dalam Weda : Om bhur bhavah svaha. Kata Om, sebagaimana bisa dicatat, tidak diketemukan dimanapun dalam Rig Weda. Empat kata-kata ini mereka rubah dan selipkan sebelum pembacaan Gayatri mantra demi alasan bahwa ini semoga pada akhirnya bisa menghasilkan beberapa kepentingan. Beberapa pandit, demi menjadikan Matahari sebagai obyek utamanya, dari istilah tat, mereka tambahkan supaya cocok kata tasya sesudahnya. Dalam hal ini, istilah tat kelihatannya jadi berlebihan dan mubasir. Fikiran yang disebut di atas berasal dari orang-orang yang menggeluti kepercayaan Suraj Bhagwan, Tuhan-matahari. Tetapi ada juga orang-orang lain yang berpandangan bahwa doa di atas tidak ditujukan kepada Matahari, meskipun dewa dalam mantra, menurut peraturan, adalah dewa yang dituju dan didambakan. Alasan yang ditambahkan oleh orang-orang yang berpandangan bahwa doa itu tidak ditujukan kepada Matahari melainkan kepada Cahaya Matahari, juga layak untuk dipertimbangkan, karena doa kepada kekuasaan dan gelar seseorang sesungguhnya berarti permohonan kepada tuannya. Ini hanyalah setengah kebenaran. Ketika anda memuji kepada suatu rumah, suatu kerajinan atau seekor kuda, ini sesungguhnya memuji pemilik dan tuannya. Tetapi setelah pujian itu, doa atau permohonan selalu harus ditujukan kepada tuannya. Ketika anda memuji suatu rumah, atau keterampilan, atau kuda, sesudahnya tak mungkin anda berkata: Wahai rumah Panditji, saya mohon kepadamu untuk masuk; atau biarkanlah saya keluar; dan itu akan menjadi kebaikan yang besar dari anda; wahai kuda Panditji, perbolehkan saya menunggangi punggung mu. Namun sungguh patut disayangkan bahwa para pandit tidak mau mendengarkan kata-kata bijak ini, dan puas dengan dengan mantera semacam ini dan itu, permohonan ditujukan, tidak kepada tuannya melainkan kepada atributnya. Mereka mengutip mantera berikut ini: PEEPVANSAM SARASVATAH ASTNAM YO VISHV DARASHTAH –BHAKSHI MAHI PRAJAM ISHAM. yakni, Montok dan menonjol dengan indah payudara Saraswati, dalam pemandangan dan penglihatan dari semuanya; kami menyeru dan bermohon kepada mereka untuk menganugerahi kami anak-anak serta roti (Rig Weda 7:96:6). Mantera ini seolah-olah tidak anggun atau berbudaya. Tetapi bacalah peragaan kita atas itu per bagian Para pandit berbantah bahwa permohonan dalam mantera ini tidak ditujukan kepada dewi Saraswati, tetapi kepada kemontokan dadanya. Doa itu, meskipun tidak secara langsung, pada akhirnya telah tertuju kepada sang dewi melalui saluran tersebut. Tekanan penuh dari Gayatri mantra itu pada baris terakhirnya, yang berharap semoga bisa mempertajam dan menghaluskan kecerdasan kita. Beberapa orang menerjemahkannya sebagai: itu bisa menyucikan fikiran kita; yang mana, tentunya, suatu doa atau aspirasi yang cukup bagus. Doa apa yang bisa lebih bermanfaat dan terpuji kecuali kebijaksanaan dan kecerdasan seseorang itu bisa ditinggikan dan diperhalus? Di beberapa tempat dalam Weda doa yang sama juga terdapat. “Sam nah shishihi bhurijoriv Khohvram”. Ini berarti: “Pertajamlah kecerdasanku seperti mata pisau cukur”. Beberapa pandit, setelah gelisah dan bingung oleh kendala dimana hukum bahasa telah dibuang dalam memahami Gayatri mantra, telah mengusulkan bahwa apapun juga caranya terjemah dari mantera itu dibuat baik dan bisa disetujui, ini harus dilakukan, dan bahwa Weda tidak terikat pada suatu hukum, dan bahwa banyak contoh dalam Weda dimana jumlah jamak telah digunakan untuk tunggal, dan sebaliknya, dan bahwa kalimat serta mantera (ayat) seringkali tidak lengkap, yang seharusnya, dengan pertolongan seni dan keahlian anda, bisa diterjemahkan dengan lengkap dan sepenuhnya. -------------- 39 Rig Veda 1:126.3, 6:27.8. Nighantu, III:16, Rigveda, 1:127.10, 6:3.6, 7:63.3, 8:97.11, 9:7.6. Rig Veda i:123.7, iii:7.1, X:65.8, Athar xx.127.7-10, Aita Br. Vi:32.1. Altindisches Leban, 131. Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesellschaff, 42, 237; Buddha, 396. St. Petersburg Dictionary. ‘Sanskrit Bhashya’ dari Khem Karan memberi dua arti dari kata Parikesit. ‘Sarvat Aishvary Yuktasya’ (memiliki segala jenis atribut dan kekuasaan), dan kedua ‘seorang yang memberikan perlindungan lengkap kepada umat’; Quran Suci juga berkata tentang Nabi Suci sebagai ‘lemah-lembut terhadap kaum mukmin’ (Q.S. 15:88). Atharva Veda, 20:21.6, Rig Veda, 1:53.6. Ibid. 2:15.6, 4:30.11, 8:91.7, 10:75.6, 10:38.5. Yajur Veda 3:35.36:3, Rig Veda, mandal 3, Sukt 62, mantra 10. Rig Veda 8:4.16. Sam nah shishihi bhurijoriv Khahsvram. Matius 26:34,75. Lukas 22:24.61, Markus 14:30.72. Quran Suci 22:47,24. Manu 1:66.73; Farvardin 3:40:2. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (17/18) LUKISAN PENA TENTANG MATAHARI YANG MEMBERI CAHAYA (SIRAJ-AL MUNIRA)DALAM GAYATRI Istilah Gayatri berasal dari akar kata bahasa sanskrit gayi yang berarti bernyanyi. Karena itu, arti Gayatri adalah mengagungkan pemilik dari sifat-sifat mulia; menyanyikan pujian kepada yang patut dipuji. Karena itu, Gayatri adalah nyanyian pujaan dalam mengenang seseorang. Membalikkan istilah Gayatri menjadi trigaya, arti berikut ini juga bisa disajikan: Ini dengan tiga kaki; yakni untuk mengatakan, ini memiliki tiga baris. Dalam dua baris pertama ada pujian kepadanya,untuk kehormatan siapa mantera ini disusun. Arti ketiga dari Gayatri yang saya fahami, adalah bahwa malam itu telah dibagi dalam empat periode, dan saat untuk menyanyikan Gayatri atau waktu untuk bersembahyang sesudah Gayatri dinyanyikan, adalah periode ke tiga yang berlangsung sesudah tengah malam; yakni untuk dikatakan, sepertiga bagian malam yang berlangsung sejak tengah malam. Trigay jatuh pada pertengahan darinya, tepat seperti dalam Quran Suci: “Wahai orang yang berselimut! Bangunlah untuk bersalat malam, kecuali sebagian kecil. Separonya, atau kurangilah itu sedikit. Atau tambahlah itu, dan bacalah Quran secara santai” (Q.S. 73:1-4). Gayatri, sebagai fakta nyata, adalah pujian, pujaan, dari manusia Ilahiyah yang biasa selalu bangun pada tengah malam, dan berdiri serta menyanyikan doa kepada Tuhan yang Maha-tinggi, serta membaca Quran Suci dengan sikap santai, hingga fajar subuh. Karena itu, Gayatri menunjuk dan mengarahkan perhatian kaum Hindu kepada Orang Besar ini, Nabi Suci dari Arabia. Nama yang lain dari Gayatri adalah Sawitri yang adalah gender perempuan dari Savitur, suatu nama dari matahari. Tetapi dengan mengabaikan fakta bahwa ada semacam persamaan atau nama – kemiripan antara Savitur dengan Matahari, ada pula suatu perbedaan di antara keduanya, yang akan kami sebutkan secepatnya belakangan. Gayatri adalah pasangan Brahma; tetapi pasangan Brahma itu adalah kesayangannya. Karena itu, dalam arti kiasan, suatu kata atau pembicaraan yang disajikan Brahma dalam doanya, yang mana maksud dan tujuannya, atau kabar gembira tentang terkabulnya, telah diberikan dalam Gayatri. Gayatri adalah ibu kaum Arya, yakni kaum Brahmana, Ksatrya dan Waisya. Penyembahan ibu itu jelas lebih penting dan perlu daripada penyembahan Bharatmata. Penyembahan berarti membayar ketaatan yang tak terbatas dan melakukan apa yang dikatakan. Hidupmu tergantung kepada kepatuhanmu kepada ibumu. Ketika dia memberikan kamu payudaranya, dan engkau tidak mau menyusu, di sini terletak kepastian akan kematianmu. Setelah ini, ingat pula untuk seumur hidupmu bahwa Yang Maha- tinggi telah menciptakanmu; dan sepanjang engkau tak dapat menjaga terhadap hal itu dan melindungi dirimu, maka ibumulah yang memelihara dan membesarkanmu. Juga simpanlah dalam fikiranmu dan ingatlah bahwa segenap hewan, anak manusia, seperti halnya engkau seringkali, lebih membutuhkan perlindungan ibu; karena itu, ketemu dan wajiblah bagi seorang anak itu, agar seumur hidupnya, selalu berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada ibunya. Tetapi bagaimana bisa Gayatri ini menjadi ibumu? Ini karena dia telah menimbang dan menyediakan bagimu kehidupan ruhani. Pelajaran spiritual pertama yang kaubaca adalah, dan makanan ruhani pertama yang engkau nikmati dari tangan gurumu yalah, sesungguhnya Gayatri ini, dan karena itu benar-benar Gayatri ini adalah guru ruhanimu. Gayatri adalah induk dari Weda. Weda itu berjilid-jilid, besar dan panjang-lebar, masing-masing memiliki sejumlah manuskrip. Rig Weda mempunyai 21 MSS; Yajur Weda, 101; Sama weda, 1000; dan Atharwa Weda, 9 (maha bhashya). Dari ini, dua manuskrip Rig Weda yang berbeda, delapan dari Yajur Weda dan beberapa banyak lagi yang baik-baik dari Sama Weda, serta dua dari Atharwa Weda, bisa didapati bahkan sampai kini. Di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak suci dan kerusakan, ketidak cocokan satu sama lain dan variannya, serta banyak kesulitan dalam memahami arti penting yang sebenarnya. Karena itu, agar supaya selamat dari segala bencana dan penderitaan, adalah masuk akal serta bijaksana bila kita minta perlindungan di bawah sayap ibu. Inilah ibumu, yakni Gayatri. Dia adalah kehendak baik yang seluas­luasnya seperti cara setiap ibu kepada puteranya. Kini, pasanglah telingamu sepenuhnya dan dengarkanlah dengan penuh perhatian risalah dimana induk dari Weda, ibumu sendiri, wahyu Brahma dan puteri langit, yang mengusungnya untukmu: Huruf pertama dari Gayatri adalah tat yang berarti itu yang sekarang masih sangat jauh, atau masa dan zaman di mana kedatangannya masih jauh dan lama. Huruf kedua yakni Savitur yang berarti Matahari. Yang memberi gerak, dan yang mempercepat kehidupan, adalah atributnya. Tetapi ada suatu perbedaan di antara Suraj (Matahari) dan Savitur. Matahari adalah yang terbit dan tetap bisa dipandang mata hingga terbenam, sedangkan Savita itu adalah yang belum pernah terbit sehingga belum terlihat di mata (Nirukt 12:12); maka yang mendambakan untuk melihatnya, apapun yang kita nyanyikan pada malam yang senyap, adalah Gayatri; yakni untuk dikatakan, Gayatri mempunyai hubungan dengan pendatang pada waktu malam yang sunyi; dan untuk alasan inilah maka Quran Suci telah menamai dia Al-Tariq; dan, karena itu, jika huruf Gayatri dibalik sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam Nirukt (7:12), maka ini menjadi Al-Tariq, dimana huruf gaf dalam Sanskerta telah berubah dalam huruf Arab menjadi qaf. Di satu sisi, arti Gayatri yalah bagian sepertiga malam sesudah tengah malam, dan pada segi yang lain, arti Tariq dalam bahasa Arab yalah “Yang datang pada waktu malam”. Pengembara, musafir, tetapi istilah itu digunakan secara khusus bagi pendatang di waktu malam; dan itu pula alasannya mengapa sebuah bintang juga disebut Tariq, karena dia terbit di waktu malam. Pendeknya, kedua istilah Gayatri dan Savita yang digabungkan, menunjukkan Pendatang di waktu Malam; Nabi biasa selalu bangun di sebagian malam, dan menyanyikan pujian kepada Tuhan Yang Maha-tinggi. Gayatri, sebagaimana kita katakan, adalah Al-Tariq tidak saja secara harfiah melainkan juga dalam praktek. Dia, selalu dan selamanya, biasa terbangun dan bangkit dari tempat tidurnya pada sebagian malam serta berdiri hadir di hadapan Ilahi menyanyikan pujian-Nya. Savita yakni bangun pada tengah malam, mempunyai dua atribut atau kualitas; pertama, seorang yang menghadiahkan gerak, dan lainnya, dia yang menggiatkan kehidupan. Di sini, jangan disesatkan atau ditipu oleh kata-kata yang menggiatkan kehidupan. Satu kehidupan yang telah dikaruniakan kepadamu, dan kelahiran kedua dimana juga disebut janam kedua, terjadi setelah membaca Gayatri, memahami arti penting yang sebenarnya, dan beramal perbuatan sesuai dengannya dengan penuh keimanan. Bukankah aneh bahwa Matahari naik ke langit dan memberikan cahayanya sepanjang hari, tidak menciptakan kehidupan yang dibawakan oleh Savita dan diciptakannya? Savita tidak di bawah rengkuhan atau kendali terbit dan terbenam; dia adalah Matahari yang lain; dan di antara dua ini, ada, dengan mengabaikan kesamaan dalam nama, dalam artinya mengandung pertentangan dan benturan. Matahari ini adalah yang terbit dan terbenam, berputar terus memotong pendek hidup manusia setiap hari hingga dia mengakhirinya pada suatu hari; dalam bahasa Arab dan Ibrani dia disebut ‘seen’, yang berarti menggigit dengan gigi-giginya. Manusia serta binatang lain-lainnya menggigit dengan giginya, tetapi untuk benda­benda lain dipotong berkeping dengan pisau gergaji. Seen dalam realitasnya adalah sangat serupa halnya dengan memotong, atau gergaji yang menggunakan giginya dalam jenis yang berbeda. Tetapi Matahari yang tidak memotong, tetapi memberi kehidupan abadi, disebut Savita. Bila Matahari itu terbit dan muncul di ufuk dunia, maka dia takkan pernah terbenam atau tenggelam. Anda boleh menyebutnya Matahari yang abadi dan tiada akhir, Matahari dari tanah yang berhak disebut Negeri tanpa esok hari. Matahari ini tidak menjadikan hari ini ke besok pagi, maupun melakukan perampokan terhadap hidup kita. Dalam Quran Suci dia diberi nama Matahari Yang Memberikan-cahaya-Nya, sangat mungkin alasannya karena cahayanya itu tak henti-henti dan abadi. Tak ada nabi lagi sekarang yang akan datang sampai Hari Kebangkitan; karena, di hadapan Matahari ini, tidak diperlukan lagi cahaya yang lain. Huruf ketiga dari Gayatri adalah Verenyam. Hubungan antara huruf ini dengan Savita jelas perlu. Ini adalah kunci yang melepas dan membuka nubuatan ini. Verenyam berarti Munira, yakni pemberi cahaya; dan arti Munira adalah Matahari yang memberikan cahaya-Nya. Dan keajaiabannya di sini adalah, bila anda membalik Verenyam, dia menjadi Munira; karena hubungan antara Arab dan Sanskerta itu adalah antara tangan kanan dengan tangan kiri; yang satu ditulis dari kanan ke kiri, yang lain dari kiri ke kanan dan bila anda membacanya dari kanan ke kiri, maka itu adalah bahasa Arab dan bila anda membacanya dari kiri ke kanan, maka itu adalah kata-kata Sanskrit. Gabungan antara Verenyam sesudah Savita itu tepat seperti Sirajam Munira dalam Quran Suci, yang berarti Matahari yang senantiasa bersinar. Huruf ke empat dari Gayatri yalah bhargah yang dalam bahasa Arab adalah barokah, memberi pengertian berkah dan kesucian. Di mana fungsi Matahari itu, di satu sisis, adalah memberi cahaya dan menerangi, juga kerjanya yang lain adalah penyingkiran segala yang memalukan dan mesum. Kuman­bakteri penyakit yang mematikan itu berkembang-biak dan marak dalam kegelapan, dan mempercepat kehancurannya dalam waktu singkat. Menafsirkan Ahimsa Parmodharma bahkan sebagai tidak membunuh kuman-bakteri ini, jelas tidak benar alias salah. Seluruh singa di rimba, harimau, serigala dan ular, digabung bersama-sama, tidak menyebabakan begitu luasnya kehancuran kepada kehidupan manusia dibandingkan dengan kuman-bakteri yang mematikan ini. Berdasarkan Sastra dan akal fikiran manusia dan kebijaksanaan, karenanya, hinsa (membunuh) itu bukanlah kejahatan; ini, sebaliknya, adalah tindakan terpuji dan kebajikan. Matahari yang besar, sepanjang hari, membunuh dan membinasakan segala macam kuman-bakteri yang mesum dan menjijikkan; dan bukannya kesucian serta kemurnian ini bisa diperoleh setelah melakukan dosa yang menakutkan dan tak berampun dengan sekedar membaca Gayatri di tempat tidur ayunan, untuk menyenang-nyenangkan diri dengan kepercayaan dan mengira bahwa dosanya telah dicuci dan dibersihkan. Agama yang benar itu, di samping menciptakan kebencian yang sangat dan perasaan tidak suka kepada dosa, juga membunuh dan menghancurkan kuman-bakteri dosa. Huruf ke lima adalah devasya yang berarti satu dewa; dan dia adalah benar-benar sama dengan Matahari (Sirajam Munira) yang rahmat dan karunianya abadi serta tiada akhir, dan tidak terbatas atau terkungkung untuk zaman tertentu. Meskipun saat kedatangannya itu pada periode belakangan, namun dia adalah semacam dewa yang membersihkan dan menyingkirkan tidak saja yang memalukan dan mesum pada zamannya yang akan datang namun juga menjawab dan membuang tuduhan yang mengotori dimana orang-orang membebankannya terhadap orang yang baik dan tulus sejak dunia terkembang. Dia membersihkan dan membebaskan dari dosa semua nabi dan resi dari segenap agama dari perbuatan dosa yang dinisbahkan kepada mereka oleh orang-orang. Sungguh mengejutkan, Alkitab menuduh para nabinya sendiri dengan kelakuan mesum, dan menaruh tuduhan kepada mereka atas perbuatan bejat luar biasa yang bahkan orang biasa pun akan gemetar dan mengkeret untuk melakukannya; toh Alkitab lebih menyukai tuduhan semacam ini terhadap para nabi suci, Musa, Ibrahim, Luth, Nuh, Daud, Sulaiman, Harun, dan Yakub alaihissalam. Namun, Quran Suci membersihkan dari dosa semua manusia suci ini dari semua tuduhan yang menjijikkan, dan wahyu kepada Nabi Suci mengumumkan mereka sebagai maksum, bersih dan bebas dari dosa. Kaum Hindu percaya di satu sisi bahwa cahaya Weda itu menerangi Brahma; tetapi mereka juga menyatakan dalam tarikan nafas yang sama bahwa karena jatuh cinta dengan puteri kandungnya sendiri maka Brahma lari dan mengejarnya. Krisna yang suci diproklamasikan dan diakui sebagai avtar atau inkarnasi Tuhan; tetapi tentang dia umat Hindu juga mengakui bahwa dia sangat bernafsu dengan Radha, dan juga menikmati perzinaan dengan para gopis atau pemerah susu. Tetapi Nabi Suci Muhammad s.a.w. adalah yang menyucikan para dewa dan seorang utusan suci yang mengembalikan kehormatan dari para pribadi suci di segala bangsa di dunia, dan membebaskan mereka dari segala prasangka atas kesenangan dan kelakuan yang membawa dosa. Lelaki yang jaya dan agung ini, sebutlah dia dewa atau malaikat yang mulia, tidak saja dirinya di atas dan bebas dari segala dosa melainkan juga yang menyucikan orang-orang lain. Selanjutnya kita dapatkan kata-kata Dhi Mahi dalam Gayatri mantra. Ini adalah kebalikan dan sinonim dari Mahdi. Di sini, menyangkut artinya, terdapat perbedaan pendapat. Beberapa orang berkata bahwa arti dhi adalah meditasi, dan mengalih-bahasakan frasa ini sebagai kami bermeditasi, sedangkan yang lain berpendapat bahwa dhi berarti cendikia dan bijaksana, dan mahi berarti besar, sehingga, mereka berdalil, ini adalah kebijaksanaan yang besar; sedangkan pengertian Mahdi adalah pembebasan atau refleksi mendalam serta berfikir dalam kesunyian; dan kebijaksanaan serta bakat adalah nama untuk menciptakan dalam fikiran orang-orang suatu rasa takut akan konsekwensi dari perbuatan jahat, dan membimbing mereka ke jalan yang benar. Kalimat terakhir dari Gayatri mantra dimulai dengan dhiyo yo nah yakni, kecerdasan dan fikiran kita semoga dia (prachodyat) menjadikannya tajam atau suci dan halus. Setelah memberikan suatu peragaan secara harfiah dari mantera itu, sekarang kita melaju dengan melayangkan pandangan terhadap hal itu secara bersamaan. Telah ditunjukkan bahwa Gayatri adalah induk dari Weda maupun kaum Hindu; dan memperhatikan serta menaati diktum dan perintah ibu adalah penting sekali bagi para puteranya. Adalah tidak bijak dan naif untuk menyatakan bahwa bahkan tanpa mengetahui arti yang sebenarnya dari Gayatri mantra, dan sekedar mengulang-ulanginya seperti burung kakaktua, maka semua karya dan janji akan terpenuhi, atau keselamatan dan pembebasan akan diperoleh. Dengan sekedar menggosok-gosok resep dokter, yakni selembar kertas itu, di kepala atau diperut, atau hanya sekedar mengulang-ulang nama obat, lalu yakin bahwa penyakitnya akan menyingkir; dan bila engkau tidak menggunakan obat itu sesuai dengan arahan dokter, maka itu tak ada manfaatnya sama sekali.Bila ada kebenarannya dalam klaim bahwa semua dosa dicuci bersih dan dihapuskan hanya dengan membaca Gayatri mantra, maka semua perampok dan bajingan serta para kriminal lainnya akan bisa lolos dari penangkapan dan penghukuman hanya dengan sekedar membaca mantera ini satu dan setengah baris saja. Karena itu, adalah penting bahwa kita harus mengetahui dan memahami arti dari Gayatri mantra, lalu beramal dengan mengikutinya. Adalah jelas sekali dari istilah Gayatri dan nama dewanya, Savita, bahwa matahari yang disebut dalam mantera ini adalah matahari yang terbit dan nampak pada waktu malam, dan bukannya matahari yang terbit dan terbenam setiap hari. Matahari yang dirujuk itu adalah suatu yang belum terbit maupun nampak pada zaman Weda. Matahari yang anda lihat serta tangkap setiap hari, telah diciptakan oleh Parmatma (Tuhan). Tanpa kehendak dan perintah dari Parmatma, matahari ini tidak dapat memberikan kebaikan ataupun keburukan. Jika ada manfaat atau keuntungan dalam menyembahnya, maka kaum Brahmana yang menyembah dan memujanya pasti akan bisa menimbun di rumahnya seluruh kekayaan di bumi; tetapi para pandit malahan orang-orang yang hidup dari penghasilan dan sedekah orang lain. “Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan jangan pula kepada rembulan, dan sujudlah kepada Allah yang menciptakan itu, jika kamu mengabdi kepada-Nya” (Q.S. 41:37). Kata bijak ini, atau kata yang yang mempertajam dan memperhalus akal kita, diajarkan olehnya, yang telah dibicarakan dan disebutkan dalam Gayatri mantra yakni, Savita Varenyam, atau Sirajam Munira s.a.w. Dalam Gayatri mantra tiada doa yang ditujukan kepada Matahari atau cahayanya, tetapi ini adalah suatu keinginan atau kehendak yang kuat untuk mendapatkan ketajaman dan kesucian nalar oleh Sirajam Munira tersebut; ini di susun dalam doa, bangun pada tengah malam, dan mengikuti teladannya yang mulia, demi ketajaman intelek serta kebijaksanaan, dan penyucian karakter serta kelakuan. Sekarang anda barangkali akan mengajukan pertanyaan: Kapan Matahari Ruhani ini terbit? Siapakah dia? Dimanakah dia dilahirkan? Apa tanda-bukti yang disebut dalam Weda dan Sastra untuk memeriksa dan meyakini kejujurannya? Ini jelas suatu subyek yang sangat luas, tetapi saya akan mencoba untuk menjawabnya dalam beberapa patah kata-kata. Untuk menjawab pertanyaan pertama yang ingin tahu kapan saat munculnya Matahari Ruhani itu, telah dinyatakan bahwa dia datang pada waktu malam atau segera sesudahnya; yakni untuk menyatakan, bahwa itu bukanlah Matahari yang terbit pada waktu siang, tetapi ini adalah seorang yang menampakkan dirinya pada saat gelap pekat serta kebingungan. Di sini, dalam menunjang masalah itu, suatu ayat dari Rig Weda sebagaimana diterjemahkan oleh Professor Griffith: Paling bijaksanalah Dia, yang, membuka paksa pintu-pintu Panis, membawa matahari kepada kita yang memberi makan kepada banyak makhluk. Pendeta yang ceria, kawan umat manusia, dan sahabat di rumah, melalui kegelapan malam yang sunyi dia menampakkan dirinya”. (Rig Weda 7:9:21). Istilah Pani, dalam mantera ini, membutuhkan beberapa penjelasan. Ini adalah Bani Israil. Mereka telah mengunci wahyu Ilahi dan kenabian dalam rumah-rumah mereka. Yasak Acharya, pengarang Nirukt, mengatakan, bahwa ini adalah negeri riba yang sehari-hari hanya menujukan matanya kepada untung dan laba. Kaum Israil Baniya ini telah jatuh kepada kepercayaan bahwa seorang nabi tidak bisa muncul di luar empat dinding rumahnya atau negerinya. Tetapi Tuhan Pencipta mendobrak pintu mereka, dan membawa keluar sang Surya. Masing-masing dan setiap kata dari mantera ini membicarakan kejayaan dan keagungan dari Nabi Suci s.a.w. Ini, dalam kebenaran yang sesungguhnya, adalah Sirajam Munira yang muncul di Malam Yang Agung. Tetapi jika ada semacam orang yang kacau fikirannya dan kepala batu yang, bahkan setelah pernyataan yang jelas dan menonjol ini, tetap condong kepada pandangan yang salah bahwa ini bukanlah Nabi Suci Muhammad s.a.w. tetapi seorang resi atau muni yang tidak dikenal, maka silahkan dia membuka telinganya dan mendengarkan apa yang telah dikatakan Yesus Kristus dalam Injil, menyangkut peristiwa ini, meskipun faktanya Yesus tidak punya ilmu tentang ayat-ayat dalam Weda ini, tetapi berbicara setelah menerima pengetahuan langsung dari Tuhan yang Maha-tinggi. Dia berkata: “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu bilamanakah tuan rumah itu pulang, menjelang malam, atau tengah malam, atau larut malam, atau pagi-pagi buta, supaya ia kalau tiba-tiba datang jangan kamu didapatinya sedang tidur. Apa yang kukatakan kepada kamu, kukatakan kepada semua orang: berjaga-jagalah!” (Markus 13:35-37). Peringatan, berjaga-jagalah, dengan jelas menunjukkan bahwa dia datang sesudah tengah malam tepat seperti yang dinyatakan dalam perumpamaan Sepuluh Gadis, yang disebutkan dalam Alkitab menurut Markus 25:6: “Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia!” Weda mengucapkan ramalan tentang dia yang datang pada tengah malam, Sirajam Munira, dan Nabi Bani Israil yang terakhir memperkuat dan membenarkannya, kata demi kata. Isa a.s. telah memperingatkan tidak hanya kaumnya tetapi seluruh bangsa di dunia bahwa Dia yang Dijanjikan akan datang setelah dia (Isa) pada tengah malam, atau pada suatu saat ketika dunia sedang mendengkur dalam tidur nyenyak kelalaian. MUHAMMAD dalam 'KITAB SUCI HINDU' KEDATANGAN NABI MUHAMMAD DIRAMALKAN DALAM KITAB SUCI HINDU (18/18) KOKOK AYAM JAGO SEBAGAI PENGUMUMAN ATAS KEDATANGAN SIRAJAM MUNIRA Beberapa peristiwa sesungguhnya menakjubkan dan aneh. Kisah kehidupan lebah dengan ratunya sangat banyak persamaannya dengan kisah hidup dan karya Nabi Suci. Cinta, kesetiaan dan ketaatan yang lebah perlihatkan kepada ratunya, mengandung kemiripan yang dekat dengan kecintaan, kesetiaan serta ketaatan dari para Sahabat kepada Nabi Suci. Pemandangan dan kaca-mata yang aneh ini tidak diketemukan dalam kisah hidup nabi yang lain. Di manapun dalam buku ini saya telah berhubungan dan memperbincangkan topik ini secara rinci, menelusuri ratusan halaman, berdasarkan percobaan dan pengamatan atas orang-orang yang memelihara tawon. Saya telah menunjukkan dalam baris-baris yang telah lalu dengan merujuk kepada teks Alkitab bahwa kokok ayam jago adalah suatu tanda akan datangnya Dia Yang Agung Yang Dijanjikan. Apakah di sana, sesudah itu semuanya, yang mengungkapkan ayam jantan membangunkan di sepertiga malam dan mengingatkan orang-orang? Penyair dunia, menyebutnya seorang pendakwah dari matahari, yakni, dia memberikan kabar gembira atas kedatangan matahari. Ide para penyair itu barangkali tidak membutuhkan suatu penghormatan atau perhatian. Namun tepat ketika Alkitab telah menentukan bahwa saat berkokoknya ayam jago adalah waktu datangnya tuan dari rumah itu, Weda juga , telah mengakui dan membenarkan fakta ini, bahwa kokok ayam jantan adalah berita baik akan datangnya matahari. Seperti halnya mantera 16 dari Adhyay pertama Yajur Weda terbaca sebagai berikut: Kukkto asi madhu jehva isham urjam avad (Yajur Weda 1: 16). Yakni, “Engkau adalah ayam jantan dengan lidah manis; yang berkokok bagi kita menyerukan hujan dan benih”. Yakni untuk mengatakan, kokok ayam jago memberikan berita gembira akan saat ketika berkah dari langit akan dicurahkan ke bumi. Petrus yang dikatakan sebagai batu-karang dalam gereja Kristen, telah menolak Yesus tiga kali sebelum ayam jantan berkokok.(41) Ini untuk meramalkan dalam bahasa kiasan bahwa gereja Kristen, dalam tiga dari konferensi keagamaannya, akan mengingkari Yesus, dan membuang ajarannya yang sejati; dan kemudian melanjutkan dengan menolak dan menuduh Nabi Suci Muhammad yang kedatangannya oleh Yesus Kristus yang tidak diragukan lagi adalah seorang penginjil, dan membawa tanda bukti kebahagiaan (Injil) tentang kedatangan Nabi Suci dan pada akhirnya, persis seperti ketika Petrus menangis sedih dan bertaubat, dengan cara yang sama para pengikut Isa Almasih akan menyesal dan bertaubat, serta merubah keimanannya kepada Nabi Suci Muhammad, yang, sesungguhnya, adalah batu-karang dari semua agama di dunia. Pertanyaan kedua adalah: Bila Sirajam Munira(Matahari Ruhani) itu akan muncul, dan siapakah dia dimana nubuatan ini akan digenapi? Sudah dijelaskan bahwa saat kedatangan Sirajam Munira, menurut Weda dan Alkitab, adalah sebentar sesudah lewat tengah malam, yakni, dia akan memunculkan dirinya pada Malam Yang Agung (Lailat al-Qadr). Namun waat tengah malam ini minta dipertimbangkan dengan hati-hati. Dalam Kitab Wahyu, satu hari itu dihitung dan berarti seribu tahun. Rujukan atas pengaruh ini telah dikutip dari Zend Avesta, Alkitab, Shastra Hindu dan Quran Suci di beberapa tempat dalam buku ini. (42) Nabi dilahirkan pada tahun 561 Masehi. Setelah 40 tahun beliau diangkat dalam kedudukan Sirajam Munira; karena itu, waktunya adalah 611 tahun sesudah Yesus; dan satu-satunya orang, pada saat itu, yang meng­klaim dirinya sebagai seorang nabi, adalah Muhammad s.a.w. Dia adalah laki-laki, yang bangun pada tengah malam, yang memperbarui dirinya ke gua yang gelap dan sempit serta menangis di hadapan Tuhan Yang Maha-tinggi, bermohon dengan sungguh-sungguh atas petunjuk-Nya guna mereformasi seluruh dunia Pertanyaan ke tiga adalah: Di tempat mana lahir Dia Yang Dijanjikan dari semua agama di dunia? Mantera berikut dari Weda telah dikutip di atas ketika memberikan penjelasan atas Gayatri mantra (Rig Weda 7:96:6): “Menonjol dengan indah serta montok payudara Saraswati dalam pandangan serta terlihat oleh semuanya; kami menyeru dan memohon untuk memberi kita anak-anak yang berani serta roti”. Professor Griffith telah menerjemahkannya sebagai berikut: “Semoga kita menyenangi payudara Saraswati yang indah sempurna, yang montok dengan alurnya. Semoga kita mendapatkan makanan dan keturunan”. (Rig Weda 7:96:6). Di antara terjemahan kami dan satunya lagi yang diberikan oleh Professor Griffith hanya ada sedikit perbedaan; tetapi arti dan pesan keduanya sama. Suatu permohonan ditujukan kepada dada Saraswati, yang montok dengan susu, agar menganugerahkan kepada kita susu ruhani dan putera yang berani. Dalam Quran Suci, ini disebut Umm-al-Qura, yakni, ibu dari semua kota dan bangsa di dunia, yang mengairi dengan susu dari keesaan Ilahi serta kenabian. Dada yang montok penuh susu ini sedemikian besar dan lebar sehingga Weda berkata bahwa ini adalah Vishv darashtah, yakni, bisa ditangkap dan di pandang oleh seluruh dunia. Duduk di pangkuannya, segenap bangsa di dunia menyusu di dadanya, dan dia tidak menolaknya, memberikan susu kepada setiap orang di dunia, baik Arya maupun Sudra, entah putih ataukah berwarna, baik Timur maupun Barat. Betapapun, istilah sarasvatah perlu dengan hati-hati dipertimbangkan. Ini berarti sumber dari semua sungai dan mata-air yang merupakan arti yang tepat dan benar dari istilah Arab Quran. Qura berarti reservoir atau persediaan air bawah-tanah dari mana mengalir dan berkumpul semua air dari aliran serta mata-air sekitarnya. Istilah Sanskrit sarasvatah dan istilah al-Quran dalam bahasa Arab, jelas serupa, menunjukkan kenyataan bahwa dalam al-Quran wahy atau wahyu dari semua aliran keruhanian (Kitab-kitab Wahyu) itu telah dikumpulkan dan disusun. RESUME Gayatri itu summum bonum dari agama Hindu, dan inti-sari Weda sehingga tanpa itu seorang Hindu tidak bisa disebut seorang Hindu. Tetapi para pandit mengemukakan, berdasarkan tata-bahasa Sanskerta, bahwa artinya tidak terjangkau. Maka mereka menambahkan kepada teks aslinya empat kata, Om, Bhur, bhuvah, svaha, untuk membuatnya bisa difahami. Kata-kata ini tidak terdapat dalam Rig Weda 3:62.10 dan dalam Yajur Weda 3:35 serta tidak ada ‘OM’ dalam Yajur Weda 36:3. Gayatri, ketika dibalik, menjadi tri-gay yang kenyataannya adalah istilah Arab Tariq, yang berari “Dia Yang datang di waktu malam” dan ini di dalam Quran Suci, adalah nama dari Nabi Suci Muhammad. Karena Savita itu adalah nama Matahari yang nampak pada tengah malam, karena itu ini tidak dapat diartikan sebagai matahari yang terbit di pagi hari; ini adalah matahari ruhani yang muncul pada saat kegelapan spiritual. Istilah Gayatri yang adakah tri-gay atau Tariq, dan Savita, matahari yang muncul pada waktu malam, keduanya saling memperkuat dan membenarkan satu sama lain. Setelah Savita, datang istilah Varenyam yang, ketika dibalik, menjadi Munira dan Sirajam Munira adalah gelar dari Nabi Suci Muhammad. Lalu, kita menemukan istilah bhargo, istilah Sanskrit yang dalam kata Arab adalah barokah yang berarti diberkati dan suci, serta, sekali lagi, adalah satu sifat dari Nabi Suci. Savita adalah yang mengalirkan gerak serta membangkitkan kehidupan, yang adalah gelar lain dari Nabi Suci. Tentang beliau dikatakan dalam Quran Suci: “Ia (Nabi Suci) mengajak kamu kepada apa yang memberi hidup kepada kamu”(Q.S. 9:24). Dia disebut devta; Pangeran dari para dewa; yang paling suci dari orang-orang suci; yang menjamin dan membenarkan kesucian dari semua nabi di dunia. Dia yang membersihkan seluruh bangsa di dunia dari segala macam syirik, menegakkan mereka dengan teguh di batu-karang Keesaan Ilahi. Guru yang bijaksana, yang menarik dunia dari kutukan penyembahan berhala; penyembahan bintang, matahari, mengajarkan kepada mereka ilmu yang luhur serta merubah keimanan mereka sepenuhnya kepada Tuhan Yang Esa dan Sejati. Baik Weda maupun Alkitab telah mengumumkan saat kedatangan Dia yang Dijanjikan dari segenap agama di dunia, yang akan berlangsung segera setelah tengah malam. Resi Weda dan pengemban Injil, Yesus Kristus, telah mengkomunikasikan saat ini kepada dunia, tidak berdasarkan konsultasi bersama, melainkan setelah menerima wahyu dari Tuhan Yang Maha-tinggi. Weda dan Alkitab keduanya menyatakan kepada kita bahwa kokok dari ayam jantan adalah kabar gembira atas kedatangan Sirajam Munira ruhani itu. Kedatangan Nabi Suci disebut Lailat al-Qadr di mana para malaikat dan ruh (yakni, kata Ilahi) akan turun hingga terbitnya waktu fajar pagi. Setelah Yesus, pada habisnya tengah malam, yakni, setelah 611 tahun (satu hari berarti 1000 tahun), adalah saat yang diperkirakan dari datangnya Sirajam Munira. Dalam Weda, Sarasvatah adalah aliran air dari mana dunia akan memperoleh suatu pancuran yang sangat besar dari susu spiritual. Tidak ada sungai Sarasvati di India. Ini hanya ada dalam khayalan para pandit. Sesungguhnya Sarasvatah adalah sungai atau aliran dari mana terjun ke semua sungai di dunia. Dan ini adalah Quran Suci dimana Wahyu Ilahi dari segala bangsa dan agama telah dikumpulkan. Istilah Sarasvatah dan Quran, menurut leksikon, telah memiliki arti yang sama, yakni, dimana berkumpul air dari segenap hujan samawi. Dalam bahasa Arab, qara berarti persediaan air di bawah tanah, dan Quran berarti di mana terkumpul air dari segenap sungai. Dari Sarasvatah ini Weda telah menyatakan suatu kualitas yang menonjol, Vishv darshtah, yakni, terlihat dan tertangkap oleh seluruh dunia. Tetapi sungai Sarasvati tidak kelihatan dan tertangkap oleh seorangpun. Dalam kebaikannya, dalam Gayatri, induk dari Weda, ada pujian dan kabar gembira akan Sirajam Munira yang akan datang pada waktu malam, yakni ketika dunia dan bangsa-bangsa sedang meluncur dalam kegelapan. Dia datang pada waktu malam, dan membawa bersamanya suatu perbendaharaan yang sangat berharga yakni susu yang merupakan inti-sari dari semua Kitab Wahyu di dunia - Weda, Taurat, Zend Avesta dan Injil; yang mengungkapkan pelajaran yang demikian luhur tentang Keesaan Ilahi dan kenabian yang mencocokkan kaum Arya dan Israil kedalam persaudaraan yang hangat, dan yang mempersatukan seluruh agama di dunia ke dalam satu ikatan bersama. Dan ini, sebenarnya, adalah cahaya dari Sirajam Munira (Matahari Ruhani) yang mengusir dan menghilangkan segala jenis kegelapan; Gayatri yang mempertajam penalaran manusia, dan menyucikan ras manusia dari kotoran serta karat dari saling memarahi dan bertengkar. (Atharwa Weda 20:127:4) --------- 41, 42 Matius 26:34,75. Lukas 22:24.61, Markus 14:30.72. Quran Suci 22:47,24. Manu 1:66.73; Farvardin 3:40:2. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) KATA PENGANTAR: SUATU PENEMUAN REVOLUSIONER Buku kecil ini telah menemukan dari kepustakaan Buddhist suatu rahasia mendalam yang akan merombak pandangan keagamaan dari sepertiga penduduk dunia yang memeluk keimanan kepada Gautama Buddha. Ini adalah nubuatan dalam bahasa seterang mungkin mengenai kedatangan dari Guru besar dunia, digambarkan sebagai Maitreya Buddha, yang berarti “Rahmat kepada seluruh bangsa-bangsa”, suatu terjemahan harfiah dari gambaran al-Quran atas Nabi Suci Muhammad sebagai Rahmatan-lil-‘alamien. Al-Quran mengklaim bahwa kedatangan Nabi Suci telah diramalkan oleh setiap Guru agama dunia dan dimasukkan dalam masing-masing Kitab sucinya. Nubuatan dalam Injil telah diketemukan yang menekankan tergenapinya dalam pemunculan diri Nabi Suci. Nubuatan dalam Weda, Kitab suci agama Hindu, juga telah membawa ke tempat terang penemuan terpenuhinya kedatangan Nabi Suci secara ajaib. Penemuan kini tentang nubuatan yang sama dari Buddha, memberikan nyaris setiap gambaran yang menonjol dari tata aturan Nabi Suci, yang membubuhkan segel penutup atas pembenaran dari klaim al-Quran. Pengarangnya, Maulana Abdul Haque Vidyarthi yang adalah seorang pakar Sanskerta yang besar, melakukan perjalanan panjang untuk melengkapi penelitiannya, mendalami arsip dari British Museum di London dan perpustakaan Buddhist di Ceylon untuk mencari tahu Kitab-kitab asli yang sangat langka. Kitab ini, di samping mengusung persamaan yang kuat antara ajaran Islam dan Buddha, masih harus menempuh perjalanan panjang dalam membawa umat Muslim dan Buddha lebih erat di dunia. Muhammad Yakub Khan Editor The Civil and Military Gazette Lahore, December 22, 1955. BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN MUHAMMAD Sekarang sampailah kita kepada agama Buddha, yang mempunyai lebih banyak pemeluk dibanding setiap agama lain di dunia. Jumlah penganutnya adalah sepertiga dari penduduk bumi. Karena itu, adalah benar­benar tidak adil pada fihak Tuhan bila Dia meninggalkan begitu besar komunitas tanpa seorang saksi. Jika memang benar bagi bangsa Yahudi, bahwa bila mereka percaya kepada Tuhan dan para rasul-Nya, lalu mengapa kaum Hindu dan Buddha tidak memiliki nabi-nabi di antara mereka sehingga mereka bisa beriman kepada Tuhan dan Utusan-Nya serta mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana dicantumkan dalam al-Quran. Beberapa ulama Muslim mengira bahwa Quran Suci hanya menyebutkan para nabi Bani Israil. Ini adalah benar-benar kesalah-fahaman. Yakinlah bahwa ada nabi-nabi yang tidak termasuk dalam Rumah Israil. Ini dinyatakan dengan kata-kata yang jelas: “Dan (Kami telah mengutus) para Utusan, yang sebelumnya telah Kami kisahkan kepada engkau, dan para Utusan yang tak Kami kisahkan kepada engkau”. (Q.S. 4:164). Pada akhir ayat ini, Tuhan Sendiri menekankan: “Para Utusan, mereka mengemban kabar baik dan memberi peringatan, agar manusia tak mempunyai alasan untuk menentang Allah setelah (datangnya) para Utusan. Dan allah itu senantiasa Yang Maha-perkasa, yang Maha-bijaksana” (Q.S. 4:165). Manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan ini adalah bahwa perlu juga dalam hal bangsa-bangsa lain sebagaimana dalam hal bangsa Yahudi. Dinyatakan dalam al-Quran bahwa Hud telah dikirim ke kaum Ad. Bangsa ini tinggal di gurun Al-Ahqaf yang memanjang dari Oman sampai Hadramaut, di Arabia selatan. Nabi saleh dikirim ke kaum Tsamud. Ini tidak hanya para nabi yang disebutkan dalam al-Quran yang sama sekali tak terdapat dalam Alkitab. Dia juga menyebutkan nabi-nabi non-Israil yang bersamaan waktunya dengan Musa dan kepada siapa Musa pergi mencari ilmu. Dia tinggal di pertemuan kedua Sungai Nil yakni di Khartoum. Lagi pula, al-Quran juga membicarakan Darius, Raja Persia, yang disebut Dzulqarnain, atau seorang yang bertanduk dua, berdasarkan rukyah Nabi Daniel. Ada juga surat dalam Quran Suci yang mengandung nama Luqman (al-Quran surat 31). Luqman adalah seorang Ethiopia dan meskipun demikian dia adalah seorang nabi, meski mufassir berbeda masalah identitasnya, beberapa mengatakan bahwa dia seorang Yunani, yang lain menyatakan bahwa dia termasuk kaum ‘Ad, namun tetap yang lain menyatakan bahwa dia seorang Ethiopia. Sebagai tambahan atas hal ini dalam surat berjudul “Para Nabi” (al-Anbiyya) dinyatakan: “Dan Ismail dan Idris dan Dhul-Kifli; semua itu orang yang sabar. Dan mereka Kami masukkan dalam rahmat Kami, sesungguhnya mereka golongan orang yang saleh” (Q.S. 21:85-86). Di sini, setelah menyatakan penderitaan, cobaan dan kesukaran yang datang menimpa Ayub dari Tuhan, dikatakan bahwa dia menghadapkan diri kepada Tuhan bagaikan bayi ketika dipukul oleh ibunya. Sang bayi menangis namun lari kepada ibunya minta perlindungan. Demikianlah maka para Nabiyullah lari kepada Tuhan untuk mohon perlindungan bahkan ketika tahu dari Tuhanlah suatu cobaan tertentu itu datang menimpa mereka. Ismail dan ibunya, misalnya, hidup dalam kesunyian mutlak di tanah yang asing di bawah perintah Tuhan yang diberikan kepada Ibrahim, namun mereka tidak pernah mengeluh kepada Tuhan dan tetap bersabar serta penuh yakin kepada-Nya seperti saat-saat sebelumnya. Terlebih lagi, Ismail dalam pengabdiannya kepada Tuhan menyerahkan sepenuh hidup dan pengorbanannya. Dan Idris, nabi Tuhan yang lain, menyerahkan seluruh hidupnya, yakni tigaratus tahun, dalam mempelajari jalan-jalan Tuhan. Setelah ini Tuhan menyebut seorang nabi yang membawa nama Dzulkifli yang jelas bukan dari ras Israil. Adalah suatu pemutar-balikan sejarah para nabi yang mengatakan bahwa dia seorang nabi Israili. Kisah Dzulkifli sebagaimana diberikan oleh Ibnu Abbas tidak ada sebutannya dalam tradisi Yahudi dan Kristiani serta Kitab-kitab suci mereka. Di sisi lain, Mujahid mengira bahwa Dzulkifli adalah nama lain dari Ilyas, dan Abu-Musa Asy’ari berkata bahwa Dzulkifli bukanlah seorang nabi. Tetapi Hasan mengatakan kepada kita bahwa dia adalah seorang nabi karena dia telah disebutkan dalam surat ‘Para Nabi’ (Al-Anbiyya). Kedua, dia telah digabungkan dengan Ismail dan Idris dan mereka itu diakui adalah nabi, yang menunjukkan bahwa dia seorang nabi juga. Ketiga, Tuhan Sendiri berfirman: “Dan Ismail dan Idris dan Dhul-Kifli; semua itu orang yang sabar” (Q.S. 21:85). Rahmat ini (rahmatina) adalah nama lain dari kenabian. Ke empat, Dzulkifli begitu pun Ismail dan Idris adalah teladan kesabaran; yakni keteguhan hati mereka inilah yang menunjukkan bahwa mereka itu nabi. Tak seorangpun dari kita tanpa kesulitan. Kita harus merasakan kesedihan dan penderitaan serta tunduk kepada nasib yang kurang beruntung. Tetapi hanya ketika kehilangan ini diderita dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan maka hal ini baru menjadi punya nilai spiritual. Terlebih lagi, kesucian didapat oleh dia yang berduka tidak untuk dirinya sendiri melainkan demi derita orang-orang lain dan yang mengabdikan kehidupannya demi kesejahteraan orang lain, tidak pernah mempedulikan kepentingan dirinya sendiri. Penuh kehormatanlah dia yang mencintai umat manusia dan menunjukkan kasih-sayangnya dengan tindak pertolongan serta kedermawanan. Tak diragukan lagi, dia adalah benar-benar sedih tetapi tak pernah mengeluh. Kata Arab sabar yang, memberi arti berlainan tergantung penggunaannya, dalam terminologi teologi Islam ini berarti: Menghindari berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kebijaksanaan dan hukum. Tidak menjerit dan menangis pada waktu kesulitan. Dalam medan perang atau waktu agresi, sabar berarti keberanian dan ketegaran, sebagaimana Quran Suci telah berkata: “Keberanian sejati itu adalah mereka yang berdiri teguh dan berlaku sabar di bawah sakit dan kesulitan kesabaran mereka hanyalah demi Tuhan, dan tidak memperagakan keberaniannya”. Kebranian sejati terletak dalam kesabaran serta ketegaran dalam menahan nafsu, dan berdiri tanpa takut untuk menyokong kebaikan dan mencegah kejahatan. Jika seseorang itu sabar dalam pengertian yang benar, dia bertindak sebagai pembaharu dan pemimpin dari komunitas yang lebih besar dan tetap bertambah demikian bila dia kelihatan tidak hanya mencari makan untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk memberi makan orang-orang yang menderita kelaparan. Sesungguhnya dia adalah putera langit yang terilham. Buddha meninggalkan mahkota dan istana serta segala kesenangan hidup demi orang-orang yang terlantar dan mengalami kesulitan untuk membawa mereka keluar dari penderitaan dan kesedihan. Meskipun dia seorang pangeran, dia tidak pernah menangisi rasa sakit dan kesukarannya sendiri melainkan tetap sabar dalam menghadapinya. Dia menahan marahnya terhadap musuh-musuhnya dan mengajari para pengikutnya moral yang tinggi. Dia teguh dalam kebenaran bila kehormatan bahkan kehidupan dalam bahaya. Orang-orang mempercayai kejujurannya. Ada kisah yang diceriterakan oleh Ibnu Abbas bahwa ada seorang nabi yang Tuhan memberinya kerajaan. Tiada berapa lama, Dia mewahyukan kepadanya: “Aku akan mematikan engkau segera, karena itu serahkanlah kerajaan itu kepada orang lain, yang akan menjadi pewarismu, dia harus menyembah Tuhan pada waktu malam dan menjalani puasa sepanjang hari. Dia tidak boleh marah selagi mengadili orang”. Atas pariwara sebagai nabi, seorang lelaki menyerahkan dirinya mengaku bahwa dia adalah orang yang dimaksud. Setan datang mencobainya dengan keras tetapi dia terbukti sempurna dan bersyukur kepada Tuhan. Sesuai dengan itu, Tuhan berkenan kepadanya dan memberi nama Dzulkifli (Razi jilid 6 halaman 136). Perawi yang lain Mujahid menceriterakan kisah ini untuk Ilyas. Dari kisah ini bila kita hilangkan namanya, jelaslah bahwa kisah ini hanya punya sedikit sekali perbedaan dengan riwayat Buddha, yang meninggalkan kerajaannya dan menjalani praktek hidup bertapa yang keras. Mara (setan) mencobainya tetapi dia tetap teguh dalam menolak bisikan jahat dari setan. Dia menghilangkan kecemburuan dan kemarahan, meskipun musuh-musuhnya membencinya dengan sengit. Mereka yang telah mempelajari riwayat hidup Buddha, kenal benar bahwa dia memiliki semua sifat moral yang tinggi. Sekarang, menyimpulkan bahwa Buddha adalah seorang yang terilham. Quran Suci berulang-ulang berfirman: “Dan bagi tiap-tiap umat ada Utusan. Maka apabila Utusan mereka datang, perkara akan diputuskan antara mereka dengan adil, dan mereka tak akan dianiaya” (Q.S.10:47). Orang-orang dari Timur Jauh, Cina, Jepang, dan Tibet, membentuk sejumlah besar mayoritas populasi dunia. Bagaimana ini bisa masuk di akal untuk mengira bahwa sejumlah besar umat semacam itu tidak mendapatkan juru ingat atau utusan yang dikirimkan kepada mereka, dan kemudian mereka bisa menegakkan suatu agama yang mengaku mempunyai penganut yang lebih besar dari umat lain. Pada hari pengadilan ketika hukum pembalasan Ilahi akan mengadili di antara umat sesuai dengan kitab wahyunya masing-masing, jika tidak ada kitab atau hukum yang pernah diturunkan kepada suatu umat tertentu melalui utusan-Nya, lalu atas dasar apa mereka akan diadili? Hendaknya dicatat bahwa umat Buddha bukanlah suku terasing melainkan bangsa yang beradab. Dinyatakan dalam Quran Suci: “Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami, Kami pasti akan memimpin mereka di jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah itu menyertai orang yang berbuat baik”. (Q.S. 29:69). Dan siapakah yang mengingkari bahwa Buddha berjuang keras untuk mengenal jalan yang lurus dan menderita dirinya demi mencari cahaya ruhani. Perkara revolusioner pertama dalam kehidupan gautama yalah bahwa dia mendapat julukan ‘Buddha’ yang berarti ‘seorang yang tercerahkan’. Dia duduk di bawah satu Pohon tertentu (belakangan disebut pohon ilmu). Dia memutuskan bahwa dia tak akan berdiri sebelum menerima pencahayaan. Dia memiliki kemauan baja; sehingga dia lebih disukai dengan gelar ‘Buddha’ (seorang yang mendapat pencerahan) dari langit. Dia langsung kembali kepada para pertapa yang mengutuknya dan kini mereka berlari menemuinya dan memanggilnya “Saudara”. Untuk itu, dia menjawab: “Wahai pertapa, jangan tujukan seorang yang sempurna sebagai ‘Saudara’, seorang yang sempurna adalah Buddha(yang tercerahkan) yang suci dan utama”. Dan tertulis dalam Quran Suci: “Apakah orang yang telah mati, lalu Kami hidupkan lagi, dan kepadanya Kami beri cahaya yang dengan itu dia berjalan di antara manusia” (Q.S. 6:123). Buddha telah bangkit dari kematiannya menuju hidup; dia sekarang telah membawa cahaya dengan mana dia menunjukkan jalan kepada orang-orang lain. Suatu hari setelah enam tahun dengan bertapa menahan diri yang sangat ketat yang telah menurunkan dirinya hingga berubah tinggal tulang, dia diserang penyakit keras dan jatuh pingsan. Maka dia tiba pada kesimpulan bahwa dia harus menggunakan suatu ‘jalan tengah’(majjhima pad), langkah antara penolakan diri dari seorang pertapa dengan keinginan sensual, dan inilah jalan yang lurus.”jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat” (Q.S. 1:5, 4:69). Dikatakan dalam Quran Suci: “Dan tiada suatu umat, melainkan telah berlalu di kalangan mereka seseorang juru ingat” (Q.S. 35:24).Alasan yang diberikan adalah: “agar manusia tak mempunyai alasan untuk menentang Allah setelah (datangnya) para Utusan” (Q.S. 4:165). Jika tak seorangpun juru ingat telah datang di kalangan bangsa India, maka alasan mereka pada hari pengadilan terhadap Tuhan adalah bahwa Dia tidak mengirim utusan seorangpun kepada mereka sehingga mereka bisa beriman kepada rasul-Nya dan beriman kepada-Nya. Adalah masuk akal untuk berpendapat bahwa suatu komunitas yang besar semacam itu tersisih dari “Rahmat bagi segala bangsa” s.a.w., bahwa dia tidak membenarkan Buddha atau ‘cahaya Asia’, maupun Buddha menubuatkan “demi kehendak dari segala bangsa” (Kejadian 49:10, Yesaya 2:2, 11:10, 42:1,4). Dalam ayat yang dikutip di atas, disebutkan tiga nabi besar – Ismail, Idris dan Dzulkifli dalam satu kategori yang sama dan dinyatakan bahwa mereka itu sabar dalam segala keadaan. Ismail telah menyerahkan dirinya dalam ketaatan kepada Tuhan. Idris (Henokh) membaktikan seluruh hidupnya dalam mempelajari sifat-sifat Tuhan dan berjalan bersamanya selama tigaratus tahun (Enokh dalam bahasa Ibrani berarti ‘seorang yang sangat berbakti’, Kejadian 5:22-24). Yang ketiga adalah Dzulkifli, kifl berarti ‘dua kali, dua­kelipatan pahalanya’. Karena itu, Dzulkifli berarti, ‘Seorang yang telah diberi pahala dua kali lipat’. Ada juga ayat lain yang menerangi arti dari kata sifat ini. Bahwa ahli Kitab bila mereka percaya kepada Nabi Suci, maka mereka akan dihadiahi Tuhan pahala dua kali: “Dan apabila dibacakan kepada mereka, mereka berkata: Kami beriman kepadanya; sesungguhnya itu Kebenaran dari Tuhan kami. Sesungguhnya sebelum itu kami orang yang berserah diri. Mereka akan diberi ganjaran lipat dua, karena mereka sabar, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, dan membelanjakan sebagian yang Kami rezekikan kepada mereka” (Q.S. 28:53-54). Alasan untuk memberikan pahala dua kali lipat diberikan dengan kata-kata: “Karena mereka menolak kejahatan dengan kebaikan”. Orang-orang yang disebutkan dalam ayat-ayat ini adalah “ahli kitab”, yang beriman kepada kitab-kitab suci mereka maupun kepada Nabi Suci s.a.w. Jelaslah bahwa Buddha atau Dzulkifli adalah salah-satu dari mereka, dia beriman kepada kitabnya sendiri dan meramalkan datangnya Maitreya Buddha yang mirip dirinya. Karena itu, Tuhan menghadiahi dia dengan pahala berlipat dua sesuai dengan gelarnya yakni ‘Dzulkifli’. Sebagai penutup, boleh saya katakan bahwa Islam meletakkan landasan universalisme. Ini terbukti tidak saja yang terbesar melainkan juga tenaga yang mempersatukan elemen kemanusiaan yang berbenturan. Untuk pertama kalinya diumumkan bahwa kepada setiap bangsa itu dikirim seorang utusan dan Nabi Suci kita yalah yang membenarkan semua nabi. Sekarang buku berjudul “Muhammad dalam Kitab-kitab Suci Dunia” adalah suatu bukti tercatat, yang diterbitkan untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, mengenai fakta skriptural yang besar yang diperkuat dalam al-Quran bahwa semua nabi, mereka yang muncul sebelum Nabi Suci Muhammad s.a.w. telah meramalkan kedatangannya yang diberkahi. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) BUDDHA DAN MUHAMMAD S.A.W. “Boleh jadi engkau akan membunuh dirimu karena duka-cita, karena mereka tak mau beriman” (Q.S. 26:3). Buddha, sebagaimana telah kami ceriterakan, adalah putera seorang Raja. Sketsa hidupnya secara singkat berisi tujuh perkara: Pada masa mudanya suatu kali dia melihat seorang tua, seorang sakit dan seorang mati. Melihat tiga bencana dalam kehidupan manusia ini, dia sangat sedih sehingga memutuskan untuk mencari tahu penyebab dari kesedihan ini serta cara untuk menghindarinya. Karena itu dia mengasingkan diri untuk menyelamatkan manusia dari kekacauan yang menakutkan ini. Lalu dia membuang pakaian kerajaannya, berpisah dari isteri dan puteranya, meninggalkan istana dan menjalani hidup kependetaan, menarik diri dari segala keinginan duniawi. Dia mengabdikan dirinya semata­mata untuk menemukan penyebab dari kesakitan dan kesusahan yang meraja-lela di antara umat manusia. Dia mengunjungi banyak Resi dan muni (para wali dalam agama Hindu) dan mengadakan diskusi bersama mereka selama enam tahun. Tidak puas dengan mereka lalu dirinya sendiri menjalankan banyak praktik yang keras dalam Hindu Yogi tanpa ahasil. Tetapi simpatinya kepada penderitaan umat manusia serta hasratnya yang kuat untuk menyelamatkan kemanusiaan telah menarik turun kepemurah dan pengasih-Nya Tuhan, dan akhirnya di bawah pohon Bo dia menerima rahmat Ilahi dan cahaya yang menjadikannya memperoleh gelar “Cahaya Asia” (Ashvghosha, Kion I verg 3). Mereka yang mempelajari kehidupan Nabi Suci kita akan mengetahui betapa beliau sangat terkejut melihat orang-orang yang terbenam dalam kebobrokan moral serta upacara mesum. Beliau demikian gelisah memikirkan mereka dan seringkali bangun pada waktu malam serta hatinya membubung tinggi; dia sering meninggalkan rumahnya dan pergi ke gua di Bukit Hira. Kesunyianlah sesungguhnya yang menjadi hasrat dalam dirinya. Di sini dalam gua ini dia sering tinggal semalam suntuk, merenungkan nasib murung dari umatnya, berdoa dan menangis di hadapan Tuhan Yang Maha-kuasa untuk menciptakan bangsa yang beradab kelaur dari kaum yang liar itu. Seorang sufi zaman ini telah mnggambarkannya dengan kata-kata berikut ini: “Saya tak tahu betapa besar kegelisahan, kesedihan dan kedukaan yang meliputi fikirannya, dan yang menariknya ke gua yang sunyi itu dengan prihatin dan susah hati. Tiada ketakutan sedikitpun terhadap kegelapan dalam fikirannya ataupun kegentaran terhadap kesunyian, tidak takut mati, tidak khawatir terhadap reptil berbisa. Dia menangis penuh kesakitan demi perbaikan umatnya. Bermohon kepada Tuhan siang dan malam telah menjadi hasratnya. Karena itu mengingat kerendah-hatiannya, doa dan kesungguhan permohonannya, maka Tuhan Yang Maha-pengasih telah menganugerahkan kepadanya rahmat bagi dunia yang gelap mencekam”. Di gua ini kata-kata Tuhan yang diucapkan kepadanya akhirnya menjadi kekuatan yang memberi kehidupan kepada dunia. Karena itu Bukit Hira disebut Bukit Cahaya (Jabal an-Nur).. Demikianlah Nabi Suci dipanggil untuk mengemban tugas berat ini, yakni reformasi dari seluruh umat manusia; dan sesuai dengan nubuat dari Sakyamuni Gautama, Muhammad adalah Maitreya Buddha yang dihormati oleh sekitarnya. ANEKDOT KEDUA Buddha meskipun seorang pangeran, meninggalkan kerajaannya dan menjalani kehidupan seorang pertapa. Muhammad bukanlah seorang pangeran atau raja, tetapi kaum Quraish mencoba memenangkan hatinya dengan godaan dan mendatanginya secara langsung: “Jika ambisimu untuk memiliki kekayaan maka kami akan timbunkan kekayaan seberapapun kamu ingini; jika kamu menghendaki kehormatan, kami akan bersiap untuk berikrar mengakui kamu sebagai raja dan tuan kami; jika engkau senang kepada kecantikan, kami akan menyerahkan ke tanganmu gadis-gadis yang tercantik sesuai pilihanmu”. Tetapi beliau menjawab: “Saya tidak menginginkan kekayaan ataupun kekuasaan politik. Saya telah ditunjuk Tuhan sebagai juru-ingat kepada umat manusia, serta menyampaikan risalah­ Nya kepadamu. Bila kalian menerimanya, maka engkau akan mendapatkan kebahagiaan besar dalam kehidupan ini maupun di akhirat nanti; bila kalian menolak firman Tuhan, sesungguhnya Tuhan akan memutuskan antara aku dengan kalian”. Beliau diancam dengan pembunuhan, dan bahkan Abu Talib, pamannya dan pendukung tunggalnya, menyatakan kepadanya bahwa dia tak sanggup lagi menghadapi persatuan perlawanan dari Quraish. Namun nabi bergeming; katanya: “Wahai paman, meskipun mereka menaruh matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku membatalkan dakwahku ini; aku takkan berbuat demikian; aku takkan pernah menyerah hingga Tuhan memperkenankannya dengan kemenangan atau aku binasa dalam usahaku” (Ibnu Hisham, halaman 15, “Spirit of Islam”, oleh Amir Ali, halaman 186). Setelah berbilang tahun penderitaan yang paling berat demi kebaikan dari umat itu sendiri yang mendapat kesenangan dengan menimpakan kepadanya siksaan yang paling kejam, di saat beliau mendaki ke puncak kemuliaan kerajaan, beliau tetap hidup dengan makanannya yang sederhana dan memakai busana yang sama bersahajanya. Memang berat untuk meninggalkan mahkota Raja, dan menjalani hidup sebagai pertapa, tetapi lebih berat lagi bila mendapatkan kewenangan sebagai raja dan pada waktu yang sama menjalani kehidupan seorang pertapa. Meskipun penguasa negara, beberapa malam beliau tidur tanpa makanan dan beberapa hari hidup hanya dari sekedar kurma semata. Beliau senantiasa tidur di atas hambal yang kasar dari daun kurma. Tak ada istana yang dibangun buat dirinya dan dia tak punya mahkota yang bertatahkan intan dan mutiara. Ketika isteri-isterinya datang untuk meminta sedikit barang bagus dengan hiasannya, dengan dingin dikatakan kepada mereka bahwa bila mereka menginginkan benda-benda tersebut maka mereka tidak layak hidup di rumah nabi (Q.S. 33:28). Beliau menambal sepatunya sendiri, memerah susu kambing, menyalakan api di pediangan isteri-isterinya, dan melayani beberapa janda yang kekurangan. ANEKDOT KE TIGA Kembali kepada pokok acara, Gautama Buddha ditetapkan dengan Ilmu Ilahi, dan dia menghangatkan diri di bawah Pohon Bo dengan Cahaya Ilahi, yang merubah hidupnya secara total. Untuk merayakan hal ini maka kaum Buddhis melakukan jamaah dan pertemuannya di bawah bayangan pohon Bo. Teosofis juga telah mengikuti jalan ini. Di antara umat Hindu pohon seperti Bo dan pipal dianggap suci, karena dipercaya bahwa para dewata beristirahat di bawahnya (Atharwa Weda 5:135:1; Rig Weda 1:164:20,22). Dalam buku-buku Metafisika Yunani dan “Buku Orang Mati” Mesir Kuno pohon Sidrah dipandang sebagai puncak yang terpuji, ilmu dan kendali universal. Menurut kata Homer seorang yang makan buah pohon Sidrah tidak pernah akan kembali ke dunia ini melainkan mencapai kesempurnaan ruhani kedamaian dan ketenteraman. (2) Quran Suci mewahyukan bahwa Nabi Muhammad telah mencapai tujuan ini : “Dan sesungguhnya ia melihat Dia di landasan yang lain, Di sisi pohon Sidrah yang paling jauh. Di sisinya adalah Taman yang Kekal. Tatkala apa yang menutupi pohon Sidrah; Penglihatan tak membalik ke arah lain, dan tak pula melebihi batas. Sesungguhnya ia melihat sebagian tanda-bukti Tuhannya Yang Maha-besar” (Q.S. 53:13-18). Ayat-ayat dalam wahyu Ilahi ini berbicara tentang mi’raj Nabi Muhammad. Dan apa yang diperoleh Buddha di bawah pohon Bo adalah mi’rajnya. Karena itu: ‘Segera setelah pencerahannya maka Brahma sang kepala dewata datang mengunjungi Buddha Gautama di bawah pohon Bo” (“Majjhima Nikaya” oleh Silchara, halaman 151). Dan mi’rajnya Musa itu disebutkan dalam Quran Suci pada pertemuan dua laut yakni ilmu manusiawi dan Ilmu Ilahi. Kaum Buddhis salah menilai pohon Bo sebagai akhir tujuan. Peningkatan dan peninggian ini secara kiasan disamakan dengan pohon yang tinggi, yang oleh kaum Buddhis dan Hindu dianggapnya pohon itu Bo atau pipal (ashvatha). Menurut al-Quran ini berarti bahwa Nabi Suci melihat tanda-bukti dan argumen akan adanya Tuhan, pencapaian semacam itu diluar kemampuan ilmu manusiawi. Pohon ini, yang oleh kaum Hindu dan Buddhis yang memberhalakannya karena terbaliknya penglihatan ‘dalam’ mereka lalu diturunkan menjadi sesembahan, sesungguhnya berarti pohon ruhani yakni wahyu Tuhan dan Ilmu Ilahi. ANEKDOT KE EMPAT Buddha menguak tabir kebenaran keagamaan yang banyak tersembunyi, yang dirahasiakan oleh para ulama Hindu. Dia mengkritik dengan sangat Kitab Weda. Dia mengakhiri segala jenis eksploatasi dalam bidang keagamaan dan kepercayaan, serta meletakkan landasan persamaan dan persaudaraan. Dhammapad berisi kata-kata: “Tumhehi Kiccan atappan akkatara Tathagata. (Engkau sendiri yang harus mengendalikan dirimu; Tathagata hanyalah guru-gurumu) “. Tentangnya dia mengumumkan: “Aku adalah seorang guru manusia”. Bhiksu Narada menulis tentang Buddha bahwa dia tak pernah mengaku sebagai inkarnasi Wisnu, sebagaimana umat Hindu cenderung mempercayainya, ataupun dia seorang juru-selamat yang menyelamatkan orang lain dengan penyelamatan oleh pribadinya. (“Buddhism, in a nutshell” oleh Bhikku Narada.). Sungguh disayangkan bahwa sekte Buddhis Mahayana telah jauh menyeleweng sehingga mereka percaya bahwa Buddha itu Tuhan Yang Maha-kuasa. Padahal kenyataannya, seperti halnya Buddha, banyak risalah yang diusung oleh Muhammad, dimaksudkan untuk memperbarui agama-agama sebelumnya. Ahli hukum dan para pendeta Kristen dan Yahudi, dan pandit di kalangan Hindu dan Buddha telah menambah dan merubah dengan penemuan baru dalam kitab-kitab mereka. Quran Suci mengkaji kembali semuanya dengan dalil, logika dan rujukan, jadi dengan demikian telah membunyikan lonceng kematian bagi monopoli para pendeta atau pastur, dan membuatnya wajib bagi setiap orang, baik lelaki maupun perempuan, untuk mereguk pengetahuan kebenaran agama. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) ADEGAN KE LIMA DALAM KARAKTER BUDDHISTIS Riwayat hidup Buddha mengungkapkan anekdot menyedihkan tentang perpisahannya dengan yang akrab dan yang paling dicintai, sekali untuk selamanya. Perkawinan adalah suatu ikatan keagamaan dan hukum di antara suami dengan isteri. Jika tidak ada kesalahan, maka pembatalan atas perjanjian ini jelas diluar hukum. Sikap mental Buddha berubah. Dia meninggalkan kehidupan duniawi dan menjalani kerahiban, namun isteri dan anaknya tidak ada hal yang salah sehingga ditinggalkan. Tak ada bangsa yang bisa bertahan dengan mengikuti jejak langkah Buddha ini. Betapa pun, kaum Buddhis harus menikah, meskipun bertentangan dengan teladan yang digelar oleh Buddha dan harus berkumpul dengan para isteri dan anak-anaknya hingga akhir hayatnya. Di sini tidak ada analogi antara Buddha dan Nabi Muhammad. Memang, perpisahan sementara harus diikuti oleh orang yang tulus dalam mengabdi kepada Tuhan. Tetapi Nabi Muhammad juga hidup di tengah isteri dan anak-anaknya, menyampaikan risalah tentang cinta Ilahi, yang, sesungguhnya, adalah pelajaran yang paling bisa dipraktikkan oleh manusia. Contoh yang dilakukan oleh Buddha semasa hidupnya sendiri kelihatannya tidak bisa dipraktikkan bagi umat secara umum. Sebaliknya, karakter ideal dari Nabi Muhammad bisa diikuti oleh semua orang. Meskipun hidupnya menunjukkan sekilas perpisahannya dengan isteri dan anak-anaknya, di kala minum sedalam-dalamnya saat memuja dan menyembah Tuhannya. Menurut suatu riwayat, beliau langsung meninggalkan isterinya seketika setelah mendengar panggilan salat. Ini bukanlah suatu tugas yang mudah, hanya ahli jiwa yang bisa menghayati arti pentingnya. Seorang laki-laki yang sedang bercengkerama dengan isterinya, menikmati keakraban pasangan yang lembut penuh daya tarik dengan penuh canda dan tawa, harus menarik diri mendengar panggilan. Ikatan cinta terputus di kala mendengar seruan . Beliau mengabdikan diri sepenuhnya kepada panggilan dan Tuhan. Ini adalah saat dimana beliau bangkit untuk berubah demi mengungkapkan kecintaanya kepada Tuhan, dan seketika melepaskan seluruh kesenangan duniawi, dan menghadap Tuhan lima kali sehari. Dalam berbuat demikian, beliau bersabda: “Sesungguhnya memang ada kecintaan dan kehangatan kepada isteri dan anak-anak, tetapi ketenteraman hati itu terletak dalam pengabdian kepada Tuhan”. Adalah kilatan kecintaan kepada Tuhan ini yang mendorongnya dari isterinya bahkan di waktu malam hari. Sebagai hasilnya, beliau selalu ditemukan bersujud di hadapan Tuhan bahkan sebelum tengah malam. Seorang laki-laki yang menyelinap pergi dari keluarganya, ke dalam pengasingan di rimba, tidak dapat mencapai ketinggian tempat berpijak seperti ini yang penuh pujaan setiap hari. PELAJARAN KEENAM DARI KARAKTER BUDDHA Upacara agama dan segala jenis sembahyang yang tidak ada pengaruhnya terhadap kehidupan moral dan spiritual bagi manusia itu tidak ada gunanya. Mereka yang dalam pencarian terhadap kebebasan abadi serta puncak kebenaran harus menjaga diri mereka terhadap nafsu mementingkan diri sendiri dan emosi pribadi. Sesuai dengan itu, Buddha berkata: “Bukannya kebajikan orang lain, atau dosa mereka atas apa yang diperbuat dan tidak diperbuat, tetapi adalah perbuatan salahnya sendiri serta kelalaiaannya yang harus diperhatikan oleh orang yang bijak. Bagaikan sekuntum bunga yang indah, penuh warna-warni tetapi tanpa harumnya, memang bagus tetapi tak berbuah; begitulah kata-kata dari dia yang tidak diikuti dengan perbuatan yang sama”. Menurut Nabi Muhammad dan al-Quran, menjaga diri dari kejahatan atau menyelamatkan diri dari dosa adalah tujuan utama dari ibadah. Al-Quran berkata: “Sesungguhnya salat itu menjaga (diri) seseorang dari perbuatan keji dan munkar” (Q.S. 29:45). Seperti dalam perintah untuk berpuasa dikatakan: “Wahai orang yang beriman, puasa diwajibkan kepadamu, sebagaimana diwajibkan kepada orang­orang sebelum kamu, supaya kamu bisa menjaga diri dari kejahatan” (Q.S. 2:183). Seorang yang beribadah kepada Tuhan demi keserakahan atau kekikiran telah dirujuk dalam ayat ini: “Tahukan engkau orang yang mengambil keinginan rendahnya sebagai tuhan?” (Q.S. 25:43) Tidak hanya sekedar menyembah patung yang dikutuk, melainkan juga mengikuti hawa-nafsunya dengan membabi-buta, sama juga, terkutuk. Banyak orang yang menganggap dirinya hamba Tuhan Yang Esa sesungguhnya menundukkan diri dalam penyerahan kepada berhala mereka yang terbesar, yakni hawa nafsunya. Nabi Muhammad dari buaian hingga ke liang kubur melewati keadaan yang sulit, suatu kesulitan yang jarang bisa ditemui dalam kehidupan seorang yang sendirian. Keadaan yatim piatu adalah kondisi yang sangat tidak berdaya, sedangkan mengemban tugas sebagai raja adalah puncak dari kekuasaan. Dari seorang yang yatim piatu, dia merambat naik ke puncak kemuliaan kerajaan, tetapi dia tidak membawa sedikitpun perubahan dalam cara hidupnya. Dia hidup persis sama sederhananya dalam jenis makanannya, sama sederhananya dalam berpakaian serta dalam segala hal yang khusus dia menjalani hidup yang sama sederhananya dengan ketika dia menjalani hidupnya dalam keadaan yatim-piatu. Meskipun dia penguasa dari Negara, perabot rumahnya terdiri dari satu hambal yang kasar dari daun kurma sebagai tempat tidurnya dan satu bejana air dari tanah. Dia tidak malu-malu untuk bekerja, dia menjahit sepatunya dan menambal pakaiannya sendiri. Ketika masjid Madinah sedang dibangun, beliau bekerja seperti pekerja yang lain. Ini adalah adegan pertapa dari segala keinginan duniawi dan keserakahan, yang tersisih dari kehidupan Nabi Muhammad. Buddha, juga menganggap keserakahan duniawi itu sebagai menipu, menjauh darinya berarti menuntun kepada keselamatan akhir. Quran Suci mengatakan: “Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia; tetapi sesuatu yang kekal, (yakni) perbuatan baik, itu menurut Tuhan dikau baik sekali ganjarannya, dan baik sekali harapannya” (Q.S. 18:46). Jadi Quran Suci tidak mengajarkan doa untuk memohon emas yang tak terbatas, kekayaan atau panjang umur, seperti yang kita temui dalam Weda. Sebaliknya, Quran Suci mengajarkan semacam permohonan untuk membantu seseorang agar bisa mencapai tingkat tertinggi dari ketulusan, kebebasan dari dosa, serta kebaikan. ANEKDOT KE TUJUH Keselamatan (nirwana) adalah tingkat kesucian seseorang dimana dikenal sebagai kedamaian dan ketenteraman jiwa. Menghilangkan benturan kecil-kecilan dalam kehidupan dan mengurbankan segalanya untuk memperoleh kedamaian abadi adalah sesuatu yang sulit dipikul. Hingga keinginan nafsu rendah, sebagai suatu akibat dari keserakahan dan kekikiran, dihapuskan dari dalam, maka tak seorangpun dapat selamat dari api neraka. Quran Suci, dalam mendiskusikan berbagai tahap dari jiwa manusia telah berbicara mengenai ketenteraman dan kedamaian jiwa: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan dikau, dengan perasaan ridla, amat memuaskan di hati. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke Taman-Ku” (Q.S. 89:27-30). Menurut fraseologi Buddhis status ini disebut kedamaian sempurna, ketulusan, harmoni, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Buddha telah meramalkan kedatangan seorang Buddha seperti dia, karena itu, dianggap cocok untuk menunjukkan beberapa persamaan di antara Buddha dengan Nabi Muhammad. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) KITAB SUCI AGAMA BUDDHA “Maka celaka sekali orang yang menulis Kitab dengan tangan mereka, lalu berkata: Ini dari Allah”. (Q.S. 2:79). Adalah suatu fakta yang dikenal umum bahwa Buddha tidak meninggalkan kitab atau naskah suci sesudahnya. Seperti ditulis Ward: “Buddha (seperti juga Yesus) tidak meninggalkan karya tulis sepeninggalnya, tetapi segera sesudah kematiannya, menurut tradisi Buddhistis ortodoks, suatu konsili besar dari 500 rahib datang bersama-sama di Rajagaha dan Upali dan Ananda mengulangi masing-masing Vinya dan Dhamma…. tak disebutkan di sini pembuatan Abhi Dhamma divisi ke tiga yang, bersama Vinya dan Dhamma, melengkapi kanon Buddhis” (Ward, “Outline of Buddhism”, halaman 15). Ini terjadi demikian meskipun apa yang dinasihatkan Buddha kepada para muridnya adalah: Pelajarilah apa yang telah dikatakan, peganglah erat-erat, dan hayatilah dia” (Majjihma, 3:199)”. Meskipun demikian penganut Buddhis percaya bahwa para murid Buddha telah menghafal dalam ingatan apa yang dikatakannya, dan sebelum ajarannya ditulis mereka adalah para perawi yang jujur. Meskipun para muridnya gagal untuk menghafal semua kata-katanya, pastilah mereka ingat akan maknanya. Namun dalam waktu singkat riwayat ini mengalami banyak perubahan. Rhys Davids menulis tentang hal ini: “Selanjutnya, fakta bahwa ajaran ini tidak disimpan dalam tulisan hingga berabad-abad setelah wafatnya sang guru, teatpi terdapat hanya dalam tradisi lisan, membuatnya sangat sulit untuk menentukan yang manakah ajarannya yang asli itu. Tetapi tidak ada disebutkan dalam Pitaka orang-orang yang mengulanginya itu” (Rhys Davids, “Sakia” hal.360, 384, 389). ”Dalam seluruh Pitaka ada elemen dari ajaran yang sangat awal bercampur dengan hal-hal yang jelas masuk dari abad-abad belakangan….Tetapi kata-kata dari Buddha telah turun kepada kita dalam bahasa Pali, dan dalam bentuk bahasa Pali yang sempurna, yang barangkali bahkan belum ada ketika saat inskripsi Asoka dibuat. Jadi kata-kata Buddha dalam Teks bahasa Pali adalah terjemahan dari bahasa lain serta ungkapan yang biasa dipergunakannya”. (Rhys Davids, “Outline of Buddhism” hal. 20). Untuk koreksi dari kitab-kitab ini konsili yang sewaktu-waktu diadakan tidak ada gunanya akibat terpecahnya peringkat umat Buddha yang menimbulkan timbulnya pelbagai sekte dan usulan agar diterbitkan kitab yang terpisah serta berbeda. Di zaman modern, agama Buddha dianggap terdiri dari tiga bagian. Dalam terminologi keagamaan tiga bagian ini digambarkan sebagai tiga Keranjang (Tripitaka) nama-nama mereka adalah: 1. Vinya Pitaka, 2. Sutta Pitaka, 3. Abhidhamma Pitaka. Sebagian dari yang kedua dari ini, Sutta Pitaka, dikenal sebagai Dhamma Pada. Kitab suci ini ditulis dalam bahasa Pali. Sejarah menceriterakan kepada kita bahwa bahasa yang digunakan Buddha tidak sampai kepada kita. Bahasa Pali itu datang belakangan; dan ini tidak pernah jadi bahasa lisan maupun tertulis pada saat pilar-pilar Ashoka diukir dengan ajaran serta doktrin Buddha. Maka kaum Buddhis mengakui bahwa kata-kata asli dari Buddha tidak pernah sampai kepada mereka tanpa perubahan. Seorang otoritas tentang keaslian seperti Mrs. Rhys Davids menulis: “Dalam Pitaka Buddha tidak terdapat penyebutan seorangpun dari orang-orang yang menghafal Pitaka dalam ingatan atau semacam yang mengulang-ulangi”. Kitab-kitab suci yang ada kini tidak pernah disetujui sebagai yang otentik secara keseluruhan oleh umat Buddhis permulaan. Dalam konsili Rajgaha, seorang Eklesias seperti Puran menolak bersetuju terhadap otentisitas dari kitab itu sebagai yang asli. Puran sebaliknya lebih menyukai copynya sendiri. (4) SEKTE SEKTE BUDDHA Ada dua sekte besar di antara kaum Buddhis; 1. Mahayana, dan 2. Hinayana. Dikatakan bahwa yang pertama itu sangat jauh dari ajaran asli Buddha. Menurut Pali Pitaka Mahayana adalah khayalan yang tak berdasar dan sudah dirubah-rubah. Umat yang termasuk dalam sekte ini percaya bahwa Buddha bukanlah suatu entitas manusiawi. Mereka lebih mempercayai dia sebagai manusia super. “Sakya Muni tidak pernah berinkarnasi di dunia; dia hanya menurunkan bayangannya dan Buddha sendiri adalah Tuhan Yang Maha-kuasa, abadi dan hidup selamanya”. (3) Sebaliknya sekte Hinayana tidak mempercayai Tuhan dan wahyu-Nya (“Buddhism” oleh Bhikku Narada). Dia selanjutnya menulis bahwa Buddha adalah seorang manusia. Dia dilahirkan, hidup dan meninggal, dan seterusnya. Buddha sendiri telah mengumumkan: “Menggantungkan keselamatan kepada yang lain itu negatif tetapi menggantungkan kepada diri sendiri itu positif”. Lagi, diriwayatkan dia telah berkata: “Jadilah kepulauan dirimu sendiri, dan jadilah pelabuhanmu sendiri. Janganlah mencari perlindungan di bawah orang lain” (Parinibhan Sutta). Sebagai kenyataan, bahasa Pali dimana Kitab-kitab suci ini ditulis, adalah penanggung-jawab tunggal dari terciptanya sekte-sekte di kalangan Buddhis ini. Tata-bahasa Pali adalah begitu membingungkan sehingga setiap cendikiawan bisa meramunya sesuai dengan pandanagannya sendiri. Untuk merinci dan membetulkan ajaran Buddha serta merawatnya dari perubahan maka tiga konsili berturutan dalam masa satu abad telah diselenggarakan. Namun adalah suatu kenyataan yang diakui bahwa kitab-kitab suci ini ditulis jauh belakangan sesudah Buddha. Keith berkata bahwa Sutta Pitaka ditulis 200 tahun sesudah Ashoka wafat dan satu dari seksinya dilengkapi pada abad kedua Masehi. (5) Sekte Buddhis yang berbeda-beda menarik otoritasnya untuk kepercayaannya masing-masing dari berbagai kitab serta naskah suci. Setiap sekte mempercayai bahwa naskahnyalah yang paling otentik. Tetapi pakar penyusun “Sacred Books of the east” menulis: “Seluruh MSS India secara perbandingan adalah modern dan seseorang barangkali telah menyerahkan lebih banyak MSS India daripada yang lain. Mr. A.Burnel, belakangan telah mengungkapkan keyakinannya bahwa tak ada MS yang ditulis seribu tahun yang lalu yang masih ada di India, dan adalah nyaris mustahil untuk menemukan satu yang ditulis limaratus tahun yang lalu, karena sebagian besar MSS yang meng-klaim berasal dari masa itu adalah hanya copy dari MSS yang tua dimana tanggalnya juga diulangi lagi oleh yang meng-copy”. (“Sacred Books of the East”, jilid 10 halaman 29). Tiga konsili yang dilangsungkan dengan sukses setelah setiap abad telah mengeluarkan fatwa bahwa telah terjadi penambahan dan penghapusan dari Kitab-kitab suci tersebut. Beberapa bagian dari Pitaka telah ditambahkan kepadanya setelah konvensi ke tiga pada 242 s.M. (6) Buddha dikatakan telah mengumumkan, bahwa: “Sepeninggalku lima perkara akan hilang berturutan”. Dari sini, satu dari ajarannya akan hilang, karena itu kaum Buddhis percaya bahwa saatnya akan tiba dimana seorang Raja Buddhis akan mengumumkan bahwa barangsiapa ingat akan empat baris ajarannya maka dia akan mendapat hadiah seribu keping perak dalam peti emas di punggung seekor gajah. Namun tak seorang pun di kota bisa memenangkan piala itu bahkan setelah itu diumumkan berulang-kali. Dalam sebuah buku berjudul, “What is Buddhism” yang baru-baru ini diterbitkan oleh Buddhi Mission London (pada halaman 176) dinyatakan: Tanya: Tetapi apakah anda bahkan tidak menganggap kitab suci anda sendiri itu sebagai bisa dipercaya? Jawab: “Sudah pasti tidak. Kecenderungan dari penelitian modern itu menunjukkan bahwa kitab suci Buddhis, sebagaimana Alkitab Kristen terdiri dari penulisan yang bermacam ragam, disusun oleh pengarang yang berlainan dalam abad yang berbeda-beda, jadi tak satupun, atau satu bagian darinya bisa dipercaya sebagai kata-kata pribadi Yang Tercerahkan sendiri”. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) BUDDHA SEBAGAI PEMBAHARU AGAMA WEDA Umumnya dianggap bahwa Buddha itu tidak percaya kepada Tuhan ataupun dalam jiwa dan bahwa penolakannya atas adanya jiwa terdapat dalam “Vishudhi mag” (Bab 16). Tetapi para filsuf Buddha tidak pernah berhasil dalam memecahkan masalah ini. Mereka menduga bahwa ada nasib buruk; ada perbuatan jahat, tetapi bukan pelakunya; ada keselamatan, tetapi bukan pencarinya; ada jalan tetapi tak seorangpun mengikutinya. Dengan perkataan lain, ada kesusahan, penderitaan, amal dan keselamatan, tetapi jiwa yang merasakan itu semua tidak ada. Perbuatan terjadi tanpa pelaku, yakni jiwa. Kebenaran dan keselamatan ada dan harus dicapai, tetapi yang meraih tujuan ini bukanlah suatu entitas atau benda substantif. Bagaimana bisa Buddha tidak mempercayai perasaan masing-masing orang dan kepercayaan umum dari semua agama. Sebagai fakta, penolakan terhadap jiwa dan Tuhan sebagai bagian dari Buddha adalah sama nilainya dengan mengingkari konsepsi Tuhan dan jiwa dalam agama Hindu. Dalam agama Weda jiwa itu dianggap sebagai kepingan Tuhan dan tak berubah serta segala sesuatu dipercaya sebagai Tuhan. Di mata kaum Brahmana, Buddha adalah seorang ateis. Kini beberapa aliran filosofi Buddha juga bersifat ateis, tetapi apakah Gautama Sakyamuni Buddha sendiri seorang ateis itu sangat diragukan dan penolakannya terhadap dewa-dewi yang populer pasti tidak menjadikannya demikian. Dalam inskripsi Rupnath (221 s.M.) Ashoka berjasa dengan mengatakan bahwa dewa-dewi yang sepanjang masa ini dipandang benar dalam Jambudvipa tidak boleh ditolak. (7) Di mata para hakim Athena Socrates adalah seorang ateis, meskipun dia bahkan tak pernah menolak dewa-dewi Yunani, tetapi sekedar meng-klaim haknya untuk mempercayai sesuatu. Buddha tidak percaya akan konsepsi jiwa dan Tuhan yang seperti ini. Menurutnya, jiwa itu lebih bisa berubah daripada jasad material dan dia hidup serta mati di setiap saat. Ini seperti suatu kaleidoscope. Ketika dia terpecah, maka berbagai bentuk dan gambar yang tak terhitung terlihat di dalamnya. Suatu gambar, sekali dibuat di dalamnya, tak akan pernah terlihat lagi, tidak peduli betapa sering anda memutarnya. Maka jiwa kini dan fikiran dan yang di masa depan tidak dapat seperti yang lama. Nama serta gambar-gambar itu semuanya variabel yang selalu menjalani perubahan setiap saat. Buddha juga membuang doktrin inkarnasi dimana manusia dan binatang dipercaya sebagai Tuhan. Karena inilah maka disangka bahwa Buddha itu mengingkari adanya Tuhan dan jiwa. Sesungguhnya ini bukannya pengingkaran tetapi suatu penolakan terhadap kepercayaan Weda bahwa segalanya itu Tuhan dan dia ber- inkarnasi dalam segala sesuatu dan bahwa jiwa itu subyek yang bisa dipindah-pindahkan. Di samping ini Buddha menentang upacara penyerahan kurban bakaran, yang berarti bahwa seseorang itu bisa mencapai tujuan duniawi maupun agamawi dengan hanya sekedar menyerahkan kurban ini di hadapan Tuhan tanpa berbuat kebajikan sedikitpun. Dengan kepercayaan semacam ini dalam pandangan, maka kaum Hindu ingin menenangkan dewa-dewi. Buddha mengangkat suara melawan upacara barbar ini dan menentang ide ini dengan sangat keras. Buddha tidak percaya kepada ajaran Weda yang tidak masuk akal begitu juga asal-usulnya yang Ilahiyah. Catatannya sendiri tentang Weda adalah bahwa karena sejarah dan saat dikumpulkannya Weda itu salah dan mereka jauh dari perasaan serta tanda-bukti Ilahi, maka mereka tidak mungkin merupakan sabda Ilahi (Buddha Shastra Adhyay 2 Sutar 1). Weda ini mencurigakan dan jauh dari kebenaran, adalah seperti rumput-rumputan, langka dari semua kenyataan, nilai atau kebenaran.(8) Buddha melawan pengurbanan Weda, dan mengumumkan dengan tegas bahwa ajaran Weda itu tiada lain kecuali tidak masuk akal dan pembodohan (“Buddha” oleh Oldenberg, hal. 172). Dan lagi: dengan membaca Weda, memberi hadiah kepada pendeta, berkurban untuk dewata, dan praktek yang lama serta latihan ibadah lainnya tidak bisa menyucikan seseorang atau mengeluarkan dia dari takhayul. (9) Tetapi Buddha tidak bisa dipersalahkan akan penolakan ini, bahkan Dayananda menulis dalam Satyarth Prakash: “Melihat perbuatan jahat dari Popes (pendeta Hindu) ini, Buddhisme dan Jainisme yang sangat marah membunyikan lonceng kematian terhadap kitab-kitab agama Hindu serta Weda” (“Satyarth Prakash” bab 11). BUDDHISME DAN UTUSAN YANG MEMBENARKAN Quran Suci telah membenarkan banyak prinsip agama Buddha. Doktrin pertumbuhan berangsur-angsur baik fisik maupun segi spiritual dan kemungkinan perubahan jiwa serta penolakan atas asal-usul diakui adalah merupakan prinsip Islam. Quran Suci mengatakan: “Dan mereka bertanya kepada engkau tentang Ruh. Katakanlah: Ruh itu dari perintah Tuhanku, dan kamu tak diberi ilmu (tentang itu) kecuali hanya sedikit” (Q.S. 17:85). Tiga hal perlu dipertimbangkan dalam ayat ini: Ruh itu adalah perintah. Ini adalah perintah Tuhan (Rabb). Ruh itu ilmu. Arti pertama bahwa ruh adalah perintah, yang datang mewujud oleh perintah Tuhan dan ada dengan perintah Ilahi. Arti kedua yalah bahwa ini merupakan perintah Tuhan (Rabb). Istilah Arab ‘Rabb’ berarti Dia yang menciptakan sesuatu dan secara berangsur membuatnya maju dan ber-evolusi setelah melalui bermacam tahapan. Ketiga, Buddha mengambil ruh sebagai ilmu. Maka Nabi Suci dan Buddha saling membenarkan dalam konsepsi mereka tentang ruh. Tidak hanya Buddha, melainkan juga semua Nabiyullah menentang filosofi Hindu ini berhadapan mata dengan mata dalam kepercayaan ini. Klaim Buddha adalah bahwa dia seorang guru perbaikan moral serta perbuatan baik. Dia percaya bahwa tujuan ini tidak dapat dicapai dengan pengurbanan binatang dan melakukan upacara atau resital puji-pujian. Dan bahwa tak seorang pendeta atau pandit pun yang dapat menjadi perantara dosa dari umat manusia. Sebaliknya, dia percaya bahwa setiap individu itu memanggul salibnya sendiri. Dan ini sungguh seirama dengan semangat Islam. Klaim Buddha sebagai pembaharu dari ajaran Weda sesuai dengan konsepsi Islam, bahwa di saat kesalahan merayap kedalam dasar-dasar suatu agama, maka seorang pembaharu harus datang untuk membetulkannya. Buddha juga telah dipersalahkan karena mengkonsumsi babi. Tetapi kita dapati dalam istilah eksplisit di “Outline of Buddhism” beberapa pakar modern menyatakan bahwa Gautama tidak makan babi. (10) tetapi semacam umbi yang sangat digemari oleh babi. Kitab agama Buddha hanya berceritera banyak tentang hal ini, bahwa Buddha meninggal seperti “Shushk”. Shushk berarti ‘kering’, Sukar mardva berarti ‘selembut daging seekor babi, dan nama ini diberikan untuk umbi-umbian itu’. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) NUBUATAN TENTANG “CAHAYA YANG NAMPAK” OLEH ”CAHAYA ASIA” Dr. Paul Carus menulis dalam ‘The Dharma’ : “Buddhisme dengan benar disebut sebagai agama pencerahan, karena rencana dasar keimanannya dibimbing oleh kebijaksanaan, dilukiskan oleh cahaya yang bersinar di jalan kita, menjadikan kita bisa meyakini dan meneguhkan langkah-langkah kita. Pendengar kata, segera setelah mencocokkan, biasanya diriwayatkan lalu berikutnya mengucapkan pengakuan ”. “Bagus sekali, wahai Tuan! ini bagus sekali!” “Ketika seseorang membangkitkan apa yang telah dibuang ke bawah atau mengungkapkan apa yang tersembunyi, atau memberi-tahu dia jalan kepada dia yang tersesat, atau memegang lampu dalam kegelapan sehingga mereka yang punya mata bisa melihat obyek, bahkan demikianlah ajaran ini telah dibuat jelas oleh Tuan dalam peragaan yang bersegi banyak. Dan aku, bahkan aku, mencari perlindungan kepada Tuan, ajarannya dan tatanannya. Mudah-mudahan Tuan menerima, sebagai murid biasa, dari hari ini hingga sepanjang hidup saya, aku yang telah mencari pelindungan (kepadanya)”. Karena Buddha berarti cahaya dan tanda awal dari Buddhisme adalah lampu yang berarti petunjuk, maka kita dapati pada prasasti dan patung kuno terukir lampu yang menyala. Demikianlah di cadas Qandhara ada sebuah patung dimana seorang guru ditunjukkan sedang memegang lampu dan seorang murid dengan tangan berlipat penuh penghormatan, melihat kepadanya. Ini mengungkapkan kenyataan bahwa para pengikut Buddhisme telah mengukir tanda-bukti dari Dia yang Dijanjikan yang kedatangannya digambarkan di tabut batu, yang bertindak sebagai lampu petunjuk demi keturunannya, sesuai dengan ajaran Buddha. Jelas bahwa cahaya yang dipancarkan Buddha di dunia sekarang tiada lagi dalam agama Buddha, karena kita telah membuktikannya di bawah judul ‘Kitab-kitab suci agama Buddha’. Bagi kaum Buddhis yang menyembah cahaya, apa yang harus dipertimbangkan adalah, apakah dunia ini memerlukan Cahaya lain setelah satu yang telah menampakkan dirinya dalam pribadi Buddha. Bila tidak, lalu mengapa umat sebelum Buddha memerlukannya. Dunia memerlukan cahaya setelah Buddha pada saat lenyapnya cahaya (ajaran)nya, tepat seperti yang terjadi sebelumnya. Dalam patung-patung yang kita rujuk di atas, guru memegang lampu bukanlah Buddha sendiri melainkan suatu potret bayangan dari seseorang yang lain. Murid dengan tangan terlipat yang melihat kepada gurunya dengan penuh penghormatan sesungguhnya adalah wakil dari agama Buddha. Tidakkah perasaan yang timbul di hati pengabdi Buddha pada saat lampu yang bersinar itu diukir pada patung patung itu meminta para penganut Buddha untuk mencari tahu dari lampu yang bersinar ini siapakah yang meminjamkan kepadanya setelah Buddha sendiri memperoleh cahayanya? Dalam kitab mereka sebagaimana juga yang diukir di bebatuan di sana ada cahaya dari mana mereka bisa mengenal cahaya yang datang atau lampu yang bercahaya. Dengan mengingat nubuatan ini dalam pandangan, maka Quran Suci berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu tanda bukti dari Tuhan kamu, dan telah Kami turunkan kepada kamu cahaya yang terang” (Q.S. 4:175). Untuk penjelasan lebih lanjut dari lampu petunjuk ini dikatakan: “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan tiang yang di atasnya terdapat satu lampu, lampu berada dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang gemerlapan, yang dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkahi, bukan kepunyaan Timur dan bukan kepunyaan Barat, minyak itu menerangi walaupun tak tersentuh api, cahaya di atas cahaya. Allah memimpin orang yang Ia kehendaki kepada cahaya-Nya. Dan Allah mengemukakan banyak perumpamaan kepada manusia, Dan Allah itu Yang Maha-tahu akan segala sesuatu” (Q.S. 24:35). Ayat ini merujuk kepada cahaya tersebut, lampu petunjuk yang pada suatu saat menyinari benua India dan sinarnya mencapai Cina dan Jepang serta dinamakan Cahaya Asia. Namun pada masa yang lain ini akan terbit di atas batas Timur dan Barat serta menyinari bagaikan pilar cahaya tertinggi untuk seluruh dunia. Ini akan dicerahkan dengan minyak wahyu yang disucikan, yang tidak tersentuh oleh api dunia; cahaya itu jauh lebih benderang dan dinampakkan dari luasnya populasi Muslim dari Sri Lanka, Indonesia, Burma, Thailand dan Cina. Mereka mengenal cahaya ini berdasarkan cahaya yang diberikan oleh Buddha. Dan cahaya di atas cahaya ini yalah Muhammad s.a.w. Perumpamaan tentang Buddha ini dengan cantiknya telah digelar oleh Isa Almasih dalam perumpamaan “Sepuluh Gadis” dan dia juga meramalkan bahwa nubuatan ini akan digenapi setelah dia; vide perumpamaan sepuluh gadis: “Pada waktu itu hal Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana. Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka. Tetapi karena mempelai itu lama tidak datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur. Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia! Gadis-gadis itupun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka. Gadis-gadis yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu; Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu. Lebih baik kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ”. (Matius 25: 1-9). “Akan tetapi, waktu mereka sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah siap-sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup. Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu! Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya, aku tidak mengenal kamu. Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya Anak manusia akan datang” (Matius 24: 10-13). Kata-kata “Anak Manusia” dalam perumpamaan ini oleh gadis-gadis yang bijaksana diartikan sebagai orang-orang yang mengenal pengantin yang berhubungan dengan Nabi Yang Dijanjikan (Muhammad) dan beriman kepadanya. Secara kiasan lampu mewakili wahyu Ilahi, dalam cahaya mana seorang manusia menelusuri. Daud dalam Mazmurnya berkata: “FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku: (Mazmur 119:105). Samuel berkata: “Karena Engkaulah pelitaku, ya Tuhan, dan Tuhan menyinari kegelapanku”(II Samuel 22:29). Dan Tuhan berkata kepada Daud: “Aku akan menyediakan sebuah pelita bagi orang yang Kuurapi” (Mazmur 132:17). Yang agaknya seirama dengan ini adalah kata-kata Buddha: “Seperti lampu yang menyala di kegelapan tanpa pamrih untuk dirinya sendiri, diri yang bersinar demikianlah menyala lampu Tathagata tanpa bayangan perasaan pribadi”. Maka al-Quran berkata: “Meskipun api dunia tidak menyentuhnya” dan lagi dikatakan dalam Quran Suci “Mereka (para nabi itu) adalah orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: Untuk ini, aku tak minta ganjaran kepada kamu. Sesungguhnya itu tiada lain hanya Juru-ingat bagi sekalian bangsa” (Q.S.6:91). Sesungguhnya, nabi itu di sini dinyatakan bahwa dia sekarang adalah sebagai wakil dari semua nabi yang telah berlalu sebelumnya. Penafsiran dari perumpamaan dalam Alkitab itu jadinya berjalan sebagai berikut: pengantin telah dikawinkan dengan segenap bangsa-bangsa di dunia, tetpi lima dari mereka ini akibat daya cahaya ‘dalam’ mereka, maka bisa mengenalinya dan memasuki rumah perdamaian bersamanya. Tetapi bagi mereka yang jahil, cahaya ‘dalam’ mereka padam pada saat kedatangan sang pengantin; mereka tetap berada di luar. Bahkan hingga hari ini mereka tidak dapat bergabung dengan sang pengantin, meski mereka telah disediakan obor dan lampu yang masih tetap ada berupa kitab mereka, tetapi pandangan ‘dalam’ mereka telah hilang. Mata mereka kehilangan pandangan; inilah sebabnya mereka tidak dapat menangkap cahaya yang nampak. Dalam Kitab-kitab suci kata-kata lampu dan obor digunakan secara kiasan baik berupa cahaya spiritual (wahyu) maupun penglihatan ‘dalam’ dari hati nurani. Di antara Bani Israil menyalakan lampu atau lilin dalam Kanisah adalah populer. Tentang hal ini Alkitab berkata: “Haruslah kauperintahkan kepada orang Israel, supaya mereka membawa kepadamu minyak zaitun tumbuk yang murni untuk lampu, supaya orang dapat memasang lampu agar tetap menyala. Di dalam Kemah Pertemuan di depan tabir yang menutupi tabut hukum, haruslah Harun dan anak-anak-nya mengaturnya dari petang sampai pagi di hadapan Tuhan. Itulah suatu ketetapan yang berlaku untuk selama-lamanya bagi orang Israel turun-temurun” (Keluaran 27: 20-21, Lewi 24:2-4 ). Catat, kata-kata Alkitab yang kita kutip di atas, ‘minyak zaitun tumbuk yang murni untuk lampu’ dan bandingkanlah dengan kata-kata Quran Suci. Ini adalah lampu yang dinyalakan dari pohon zaitun yang diberkahi, tidak di Timur ataupun Barat, suatu hukum bagi segala bangsa di dunia dan ini memberikan secara terus-menerus untuk selamanya dan selama-lamanya, nubuatan mana terdapat dalam lampu simbolis dari Buddha dan lampu minyak zaitun dari Bani Israil. Ini mendorong orang untuk membayangkan mengapa Tuhan menekankan penyalaan lampu di tempat­tempat ibadah? Ini dengan begitu ketatnya diikuti sehingga dalam gereja Katolik Roma lampu-lampu dinyalakan siang dan malam terus menerus. Tetapi bisa ditanyakan apa maksud sebenarnya dalam menyalakan lampu minyak zaitun. Di mana saja orang berdiam, dia menyalakan lampu. Ini suatu fakta nyata, suatu hal yang sangat cerdas. Meskipun tidak ada perintah bagi Bani Israel untuk berdoa di waktu malam, namun tetap ada fatwa untuk menyalakan lampu pada waktu malam. Dan sesungguhnya, hal ini dinyatakan dalam Alkitab tentang dinyalakannya lampu dari Buddha mengandung arti yang sama juga dengan pastur Katolik yang mengunjungi gerejanya pada waktu malam dalam mendambakan Dia yang Dijanjikan (Nabi Muhammad, utusan Tuhan). Quran Suci merujuk hal itu: “Demi langit yang datang pada waktu malam! Dan apakah yang membuat engkau tahu apakah yang datang pada waktu malam itu? (Yaitu) bintang yang mempunyai sinar tembus”.(Q.S. 86: 1-3). Alasannya yalah bahwa Nabi Suci muncul ketika kegelapan total menyebar ke seluruh bumi, sebagaimana Yesus berkata: “Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga” (Matius 24:44). Dan lagi dikatakan dalam al-Quran: “Allah Yang Maha-pemurah! Demi Kitab yang terang! Sesungguhnya Kami menurunkan itu pada malam yang diberkahi” (Q.S. 44:1-3). Dan lagi: “Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai Saksi, dan pengemban kabar baik, dan sebagai juru ingat. Dan sebagai orang yang mengajak kepada Allah dengan izin-Nya, dan sebagai matahari yang menerangi (lampu yang dijanjikan oleh para Nabi)” (Q.S. 33:45-46). BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) RAHMAT KEPADA SELURUH BANGSA BANGSA SUATU NUBUATAN YANG TERKENAL DARI BUDDHA Buddha telah meramalkan kedatangan seorang “Maitreya” dan nubuatan itu begitu tenar sehingga beberapa misionaris Kristen, pandit Hindu dan propagandis Teosofi telah berusaha menerapkannya kepada pembaharunya masing-masing. Ini mendorong kepada keotentikan dari nubuatan tersebut. Meskipun kaum Kristen tidak percaya kepada kenabian Buddha, mereka juga berusaha untuk menisbahkan ramalan ini kepada Kristus. Pundit Hindu mengira bahwa ini adalah ramalan untuk Shankara Acharya, dan kaum Teosofi mencoba sebisa mungkin untuk menggunakannya bagi seorang Krisna Murti; tetapi mereka semua telah gagal dalam tanda-tandanya. Nyaris semua kitab Buddhis berisi nubuatan ini. Dalam Chakkavatti Sinhnad Suttanta (D III:76): “Akan muncul di dunia seorang Buddha bernama Maitreya (seorang yang pemurah dan pengasih). Seorang yang suci, seorang yang utama, seorang yang tercerahkan, diberkahi dengan kebijaksanaan dalam tingkah-lakunya, beruntung, mengenal alam semesta; manusia pengendara yang tak tertandingi dari orang-orang yang dijinakkan hatinya, tuan dari para malaikat dan manusia, Buddha yang diberkahi bahkan seperti saya yang sekarang dibangkitkan di dunia, seorang Buddha yang dianugerahi dengan kualitas yang sama seperti ini. Apa yang disadarinya berkat ilmu supernatural­nya sendiri, akan disiarkannya ke alam semesta ini, dengan para malaikatnya, sahabatnya, dan kepala malaikat serta ras ahli filsafat dan Brahmin, pangeran dan awam, bahkan seperti saya sekarang, setelah mengenal semua pengetahuan ini, menerbitkan yang sama bagi sesama. Dia akan mengajarkan agamanya, terpuji asal-usulnya, terpuji pada puncaknya, terpuji pada tujuannya, dalam semangat maupun tulisan. Dia akan memproklamirkan kehidupan keagamaan, sempurna seluruhnya, dan murni sepenuhnya; bahkan seperti saya yang kini mengajarkan agamaku dan kehidupan serupa yang saya umumkan. Dia akan memimpin masyarakat pendeta berjumlah ribuan, bahkan saya kini hanya memimpin masyarakat pendeta sejumlah ratusan”. “Ada cukup alasan untuk perbandingan antara Metteyya dengan ide barat tentang Almasih. Ide itu tentunya, tidak persis sama, tetapi ada beberapa hal yang sama. Zaman Metteyya digambarkan sebagai Abad Emas dimana raja, menteri dan rakyat akan bersaing satu sama lain dalam menjaga tatanan ketulusan dan kemenangan dari kebenaran” (11) Nama pribadi dari Buddha yang akan datang, diberikan dalam sajak, dan di tempat lain, sebagai Ajita, Yang tak-terkalahkan! Inti-sari yang dirujuk adalah satu baris dalam dialog ke 26 dari Digha yang mencatat suatu nubuatan, yang diucapkan melalui mulut Buddha bahwa Metteyya akan mempunyai ribuan pengikut sedangkan Buddha sendiri hanya ratusan. (“Encyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I, hal 414). Ada suatu alasan untuk percaya bahwa Maitreya (Buddha masa depan) misalnya, yang kedudukan ajarannya ditegakkan dengan lebih baik, haruslah aslinya mengambil dari pendahulunya. Dan ada tulisan yang patut dicatat serta otentik, semacam seperti Sanskrit-Tibetan Lexicon (Mahavyutpatti) dan catatan Tiongkok yang mendorong kita untuk percaya bahwa Maitreya ini bisa mempertahankan posisinya. Dalam satu hal, hendaknya diperhatikan akan peran “Bodhisattva yang Baik”, penolong dan Ilahiyah, yang sangat terhormat (paramarya) pemberi keamanan (abhayamdada) dan sebagainya. (Ibid. jilid 2 hal.258). “Di antara nubuatan yang diucapkan oleh Buddha adalah satu yang berkenaan dengan masa depan agama yang dia tegakkan dan puncak kemerosotannya serta lenyapnya dari muka bumi. Deklarasi ini terdapat dalam Anagatvansha (Kisah dari Peristiwa mendatang) dan diberikan di Kapilavastu dalam tanggapannya terhadap satu pertanyaan oleh Sariputta. Sejarah dari Buddha Maitreya di masa depan (Pali Metteyya) digambarkan, lalu sesudah jeda yang panjang sepeninggalnya terjadilah lima pelenyapan pencapaian, ketika para muridnya akan bangkit bahkan lebih tinggi derajatnya dalam kesucian dari metode dimana pengetahuan tentang rumus dan jalan keselamatan akan hilang, dari pelajaran, ketika teks suci itu sendiri akan dilupakan, dari simbol, jubah kependetaan, mangkuk, dan sebagainya. ……..Kemudian mereka akan menangis, berkata: Sejak sekarang dan selanjutnya kita akan dalam kegelapan”. (“Encyclopaedia of Religion and Ethics” jilid 2, halaman 885). “Om manipadme”, (Yah, 10 mutiara dalam teratai, Amien) yang kini adalah doa yang paling suci dari kaum Buddhis Tibet. .. Dalam gambar Tibet modern Maitreya digambarkan di singgasana teratai, (“Encyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid 8 halaman 143). “Maitreya, nama dari Bodhisatva yang adalah Buddha selanjutnya di masa depan. Teori tentang Buddha yang hadir berkali-kali mungkin tidak primitif, tetapi ini jelas, timbul sebelum kedekatan dengan kanun Pali, sebagaimana Metteyya disebut dua kali dalam Digha Nikaya, no.26, dan kepercayaan ini menjadi mapan di semua aliran”.(“Encyclopaedia Britannica” art. “Maitreya”). “Maitreya nama dari Buddha masa depan, dalam satu dari karyanya termasuk dalam kanun Pali Digha Nikaya …..patung-patung Maitreya terdapat dalam kuil-kuil Buddha, dari semua sekte, pada saat ini, dan kepercayaan terhadap kedatangannya di masa depan adalah merata di kalangan umat Buddhis”. (12) “Maitreya, Buddha kemudian hari, beberapa menyebutnya Buddha Almasih”… “Suatu kuil Lama di Peking berisi satu ukiran kayu dari orang suci setinggi 70 kaki. Di Urga Mongolia, sebuah ukiran emas setinggi 33 kaki, dalam rumah-rumah dan toko-toko , Patungnya mewakili rahmat” (“Crolier Encyclopaedia”, jilid 7). “Maitreya akan datang untuk menegakkan kebenaran yang hilang dengan segenap kesuciannya” (13) KEMASYHURAN RAMALAN INI Di antara Kepustakaan Buddhis belakangan. Ada suatu kitab tentang agama Buddha yang berjilid-jilid dan otentik, “Milinda Prashna”. Ini berisi pertanyaan dari Raja Milinda. Raja ini dilahirkan 500 tahun setelah Buddha. Dia menyodorkan beberapa pertanyaan terhadap seorang Misionaris Buddhis Nagsena, dan setelah puas dirinya dengan jawabannya, dia mengumpulkan ini dalam sebuah kitab. Kitab ini diterbitkan oleh Buddhis Colombo pada tahun 1877, dengan biaya yang luar biasa besarnya. Ini diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh T.W.Rhys Davids. Setelah tiga tahun, pada tahun 1880 teks Pali ditransliterasikan ke huruf Latin oleh V.Treckner dari Edinburg, yang telah saya kaji di British Museum Oriental Library, London. Kata-kata asli dalam bahasa Pali dari ramalan itu terdapat pada halaman 159 dimulai dari baris keenam. “Bhante Nagsena, Bhasitam P. etam Bhagvata Tatha gattassa kho Ananda na evam hoti, aham Bhikku sangham paraharissam iti va ti, mamuddesko Bhikku sangho iti va ti, Puna ca Metteyyassa bhagvato sabbavagunanam paridi payamanena evam bhanitam, so anek asahassam Bhikkusangham pariharissiti seytha pi aham etarhi anekasatam Bhikkusangham pariharamiti. Bhasitam. Petam Maharaja Bhagvata Tathagatassa kho Ananda na evam hoti, aham Bhikkusangham pariharamu eti va, mamuddesiko Bhikkusangho ti vati, Metteyyassa pi bhagvato sabhava gunani paridi paymanena bhagvata Bhanitam. So anek asahassam Bhikkusangham pariharissiti seyatha pi aham etarahi anekasatam Bhikkusangham pariharamiti”. Terjemahan bahasa Inggris dari naskah ini oleh T.W.Rhys davids dalam “Sacred Books of the East” berbunyi sebagai berikut: “Yang terhormat Nagsena; telah dikatakan oleh dia yang diberkati. Sekarang Tathagata tidak memikirkan Ananda, yakni, dia yang harus memimpin persaudaraan, atau bahwa perintahnya itu bergantung kepadanya.Tetapi sebaliknya, ketika menggambarkan kemuliaan akhlak dan sifat dari Maitreya, dia yang diberkati, berkata sebagai berikut: “Dia akan menjadi pemimpin suatu persaudaraan yang berjumlah beberapa ribu sedangkan saya sekarang pemimpin dari persaudaraan yang terdiri dari beberapa ratus jumlahnya”. (Terjemahan ini ketika saya bandingkan dengan baris-baris dalam bahasa Pali saya dapati tidak lengkap. Dalam aslinya kata-kata ini diulang dua kali). “Raja Milinda berkata bahwa ada pertentangan dalam kata-kata Buddha. Suatu kali dia berkata bahwa tidak diperlukan lagi Tathagata atau Buddha, dan pada kali yang lain dia berkata bahwa Maitreya dengan sifat semacam dan semacam ini akan datang. Bhikku nagsena menjawab bahwa tidak ada kontradiksi. Dikatakan bahwa, saya tidak saja Buddha kepada siapa bergantung kepemimpinan dan tatanan. Setelah saya ada Buddha Maitreya lain dengan sifat mulia semacam dan semacam itu akan tiba. Saya sekarang adalah pimpinan dari rausan, sedangkan dia akan menjadi pimpinan ribuan”. (“Sacred Books of the East”, jilid 35 halaman 225). Tidak saja sepanjang zaman Raja Milinda, tetapi misionaris Buddha juga selalu mengumumkan dengan penuh penekanan bahwa Maitreya Buddhisatva akan datang.Bahkan pada dewasa ini, seorang pendeta Burma, Ledi Sayadow, mempropagandakan bahwa kedatangan Buddha Maitreya sudah sangat dekat. Dalam hubungan ini dia mendeklarasikan bahwa Maitreya Yang Diberkati telah meninggalkan langit Tushita dan sekarang dia menjadi seorang anak muda pada tahun 1914 . (“Coming World Teacher” oleh Pavri, halaman 52). Rujukan yang sama atas nubuatan ini dapat diketemukan dalam buku-buku suci Buddhisme dengan bermacam-ragam bahasa misalnya Burma, Cina, dan Sinhala dengan sedikit perubahan verbal. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) ‘Metteya’ apakah itu artinya? Istilah “Maitreya” diketemukan di semua buku tentang Buddhisme dengan sedikit perbedaan pengucapan. Dalam Sinhali dia adalah Maitri, dalam Siami dialah Phrae, Bayampaspa dalam Tibetan Chamra atau Po dalam Mgon, dalam bahasa Pali dia adalah Metteya, dalam Sanskrit Maitreya, dalam Burma Aremideia, dalam bahasa Cina Mei-ta-li-ye atau Mili Pusa atau Tzushih. Nama kedua dalam bahasa Tibet adalah Mahitreja, di Jepang Miroku, di Mongolia kita dapati Maidari. (14) Setelah kita saksikan di pelbagai negeri yang berbeda pengucapannya sedikit berlainan mengikuti logat masing-masing, artinya juga sedikit berubah sebagaimana kita perlihatkan di bawah ini: Maitreya dalam bahasa Sanskerta berarti mencintai dengan penuh kehangatan, dan penyayang, pemurah. (15) “Ini juga nama dari Buddhisatva seorang yang diberkahi yang akan datang yang adalah Buddha ke lima dari dunia ini”. (16) Ini berasal dari Maitai yang berarti persaudaraan, kemauan baik. (“Buddhism”, oleh Monier Williams, halaman 128). “Ini berarti kualitas dari persahabatan, pemurah, kasih yang hangat, persaudaraan antar bangsa, simpati, penuh perhatian kepada yang lain” (“Pali Dictionary”, oleh William Steade). “Dia yang namanya adalah kebaikan” (“The Gospel of Buddha”, oleh Paul Carus, hal. 218). “Kasih-sayang universal atau pemurah” (“Essence of Buddhism”, halaman 101, 105). Nabi Muhammad layak bergelar Maitreya. Menurut ramalan Buddha ini, nama Maitreya perlu dipertimbangkan. Rujukan di atas nampak menunjukkan bahwa kata maitreya berarti penuh kasih-sayang atau sahabat baik. Quran Suci telah menggambarkan Nabi Muhammad seperti itu, dan untuk memperkuat hal ini bisa ditemui dalam kehidupannya: “Dan tiada Kami mengutus engkau kecuali sebagai rahmat bagi sekalian bangsa” (Q.S. 21:107). “Jadi dengan rahmat Allah itulah engkau bertindak lemah-lembut terhadap mereka. Dan sekiranya engkau kasar (dan) kejam, niscaya mereka akan bubar dari sekeliling engkau” (Q.S. 3:158). “Dan ( Muhammad adalah) rahmat bagi orang yang beriman di antara kamu” (Q.S. 9:61). “Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Utusan dari kalangan kamu sendiri, pedih terasa olehnya kamu jatuh dalam kesengsaraan, sangat cemas terhadap kamu, kepada kaum mukmin ia belas kasih” (Q.S. 9:128). Ini adalah gembaran yang sebenarnya dari hati yang sedih, tidak saja terhadap para pengikutnya sendiri, tidak kepada kabilah atau negerinya, melainkan kepada seluruh kemanusiaan. Dia sedih demi beban yang mesti dipikul oleh semuanya, dan dia solider demi kesejahteraan semuanya. Tetapi ada suatu hubungan khusus yang diberikan kepada para pengikutnya; kepada mereka ini, sebagai tambahan, dia penuh kasih sayang dan rahmat. Inilah sebabnya, mengapa Nabi Muhammad itu terbukti sebagai Maitreya yang dijanjikan, karena rahmat, kebaikan dan kasih-sayangnya yang melimpah. Alasan lain dia sebagai Maitreya yang Dijanjikan. Bagi orang biasa, apa yang dibaca, diulangi atau difikirkan itu adalah perkara yang mengawang dan kabur serta habislah sampai di sini. Bagi seorang siswa pemikir, apa yang diulang-ulang adalah suatu kekuatan besar, suatu daya tenaga yang bisa mengendalikan daya-daya yang lain. Seorang penulis terkenal, yang berbicara tentang pemikiran universal, berkata: Dia berfikir, dan jumlahnya berkembang menjadi bentuk; dia berkehendak, dan dunia menjadi terpecah; dia mencinta, maka lahirlah jiwa. Seperti dalam fikiran Universal, begitu pula fikiran manusia yang luhur; perbedaan itu tidak satu macam, melainkan dalam tingkatan. Ada pepatah Latin “Lex orandi, lex credendi”. Cara terbaik untuk menemukan dasar keimanan dari seseorang yalah menelaah kata-kata yang digunakannya ketika berdoa. Adalah dengan cara yang tepat sama bahwa fikiran nabi itu membidik kata-kata pujian yang sama seperti pancuran, ketika kata pujian Tuhan diulang-ulangi dalam komunikasi dengan Tuhannya. Seorang pencinta sejati akan selalu mengulang-ulangi nama kecintaannya. Tidak ada kitab agama atau kitab suci lain dimana nama Tuhan Yang Maha-pemurah dan Maha-pengasih begitu seringnya disebut kecuali dalam Quran Suci. Kaum Kristiani meng-klaim bahwa Tuhan itu kasih. Tetapi dalam kualitas pengutamaan Tuhan, bahkan gambaran Tuhan semacam ini sulit disebutkan bahkan oleh Yesus sendiri. Nabi Suci Muhammad telah menggambarkan manifestasi rahmat Ilahi ini adalah tujuan penciptaan manusia: “Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhan dikau; dan untuk itulah Ia menciptakan mereka”. (Q.S. 11:119). Nabi Suci telah menggambarkan rahmat sebagai batu landasan dari seluruh kepercayaan agama. Dia menyebutkan semua ikatan perkawinan dan hubungan darah sebagai sarana manifestasi rahmat Ilahi.(Q.S. 30:21). Wahyu Ilahi, adanya malaikat, kedatangannya utusan, semuanya adalah perwujudan rahmat-Nya. (Q.S. 55: 1-2, 40:7, 6:148, 7:156). Dia menekankan, bahwa argumen dan penalaran adalah rahmat Tuhan. (Q.S. 16:125). Keadilan, persamaan dan kewargaan adalah berdasarkan rahmat Ilahi, dia mengaku. Di dalam peperangan maupun perang salib, yang merupakan kejahatan terburuk dari setan, dia menetapkan rambu-rambu, sehingga merubah peristiwa itu menjadi rahmat yang lengkap. Asal-usul penciptaan, ikhtiar di bumi dan hidup sesudah mati, dia nisbahkan semuanya itu menjadi rahmat Ilahi. Bahkan pada saat-saat yang penuh duka-cita dalam hidup manusia dia tidak membiarkan manusia melupakan kemurahan dan kasih-sayang Tuhan. Dia mengajarkan agar manusia tidak mengeluh kepada Tuhan bahkan karena kematian dari seorang yang dekat dan tersayang , tetapi harus membacakan doa untuk rahmat dan kasih-sayang-Nya. Inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad adalah perwujudan dari maitreya, utusan yang baik hati, pengasih-penyayang, dan karenanya menggenapi nubuatan dari Buddha. “Berdakwahlah ke jalan Tuhan dikau dengan bijaksana dan nasehat yang baik, dan berbantahlah dengan mereka dengan cara yang amat baik”. (Q.S. 16:125). “Dan jika kamu memberi hukuman, maka berilah mereka hukuman yang sepadan dengan hukuman yang ditimpakan kepada kamu. Tetapi jika kamu bersabar, niscaya ini lebih baik bagi orang yang bersabar” (Q.S. 16:126). “Dan bersabarlah, dan kesabaran dikau tiada lain hanyalah karena (pertolongan) Allah; dan janganlah engkau berduka cita akan mereka, dan jangan pula engkau merasa kuatir akan apa yang mereka rencanakan” (Q.S. 16:127). “Sesungguhnya Allah itu menyertai orang yang bertaqwa dan mereka yang berbuat baik” (QS.16:128) “Ia menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Ia kehendaki. Dan barangsiapa diberi hikmah, dia itu sebenarnya diberi banyak kebaikan. Dan tak seorang pun akan ingat, kecuali orang yang mempunyai akal” (Q.S. 2:269). Kitab Maitreya (Muhammad) akan merupakan Kebenaran yang sempurna. Buddha dengan jelas meramalkan: “Kecintaan kepada Kebenaran dalam tingkat tinggi akan diumumkannya, baik dalam semangat maupun dalam tulisannya”. (“Sacred Books of the East”, jilid 4, halaman 74). “Wahyunya akan lebih elok. Mereka yang mendengarkannya tidak akan mengenal bosan dalam menyimaknya, mereka ingin mendengar lebih lagi darinya”. (T.W.Rhys Davids, “Buddhism” halaman 183). “Maitreya akan menerbitkan Pengetahuan Langitnya sendiri atas alam semesta ini…. Sepenuhnya sempurna dan seluruhnya murni” (Chakkavatti Sinhnad Suttanta D.III :76). Quran Suci disebut ‘kebenaran yang sempurna’ karena: Dia diturunkan oleh Tuhan, Tuhan yang Sejati. Ini diwahyukan pada saat yang paling dibutuhkan (diturunkan pada saat yang benar). Kepalsuan tidak dapat menemukan jalan ke dalamnya, atau bisa berbuat demikian. Kitab ini kebal terhadap penggantian dan perubahan; (Q.S. 41:42). Semua nabi telah meramalkan kedatangan dari seorang nabi ke seluruh bangsa-bangsa yang akan membuktikan kebenaran dari semua nabi serta kitab suci keagamaan (Q.S. 3:80). Di masa depan tidak ada nubuatan semacam itu yang tetap belum tergenapi (Q.S. 41:42). Kitab ini datang dari Kebenaran Yang-sempurna dan membimbing ke tujuan yang sama. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) PERAGAAN KEBENARAN Bangsa-bangsa sebelumnya hanya percaya kepada kitabnya masing-masing. Meskipun Yahudi dan Kristen mengikuti kitab yang sama, namun mereka menolak kebenaran yang utuh dan ketulusan: “Dan kaum Yahudi berkata, kaum Nasrani tak menganut sesuatu (yang baik); dan kaum Nasrani berkata: kaum Yahudi tak menganut sesuatu (yang baik); padahal mereka membaca Kitab (yang sama)” (Q.S. 2:113). Mereka tidak percaya akan adanya kehormatan dalam seseorang yang diluar batas negeri atau kaumnya. Quran Suci telah diturunkan dan ini membawa besertanya kabar baik: “Dan tiada satu umat, melainkan telah berlalu di kalangan mereka seorang juru-ingat” (Q.S. 35:24). “Dan sesungguhnya telah Kami bangkitkan bagi tiap-tiap umat seorang Utusan, sabdanya: Mengabdilah kepada Allah dan jauhkanlah diri kamu dari setan” (Q.S. 16:36). Kebenaran ini telah ditolak sebelum kedatangan Islam. Tetapi apakah dunia masa kini juga masih mengingkari dan menolak kebenaran universal ini? Tidak, kaum Brahma Samaj dan Teosofis, di antara umat Hindu, Unionis dan Rasionalis, di kalangan Kristen, mengumumkan tidak tertandinginya dan memuji kebenaran Quran Suci. Para penentang Islam yang besar-besar meleleh di hadapan kebenaran-Nya. Sesungguhnya, transformasi yang diusung oleh Quran Suci sungguh tak ada tandingannya dalam sejarah dunia. ISLAM YANG BENAR DAN KRISTEN SEJATI Islam dan Kristen sebagaimana diajarkan oleh Kristus sendiri adalah agama bersaudara, hanya dipisahkan oleh para biarawan sepeninggal Yesus. Disini adalah keselarasan yang diberikan oleh J.F.Rutherford Pendiri dari Watch Tower Society ( Bala Keselamatan): “Pada masa awal Kristiani Setan melakukan kerjanya demi maksud untuk membingungkan manusia berkenaan dengan pertanyaan yang penting ini. Para biarawan sepanjang waktu berperan sebagai wakil Tuhan di bumi. Setan mencengkeram fikiran dari para biarawan ini dan menyuntikkan dalam kepalanya doktrin, doktrin mana oleh para biarawan telah diajarkan kepada orang-orang mengenai Yesus dan pengurbanannya. Doktrin ini telah membuat kebingungan besar. Para rasul telah mengajarkan kebenaran, tetapi tidak lama setelah kematian mereka maka setan menemukan beberapa biarawan yang dengan khayalannya sendiri merasa bisa mengajarkan yang lebih hebat daripada para rasul yang terilham. Doktrin trinitas pertama-tama diperkenalkan dalam gereja Kristen oleh seorang biarawan dari Antioch bernama Theopilus. Doktrin semacam itu yang diajarkan oleh sang biarawan, dan yang sejak itu diikuti oleh orang-orang lain, secara singkat adalah, bahwa ada tiga tuhan dalam satu, fikirnya, Tuhan bapa, tuhan anak, dan Tuhan ruhul kudus, ketiga-tiganya dalam kekuatan, substansi dan keabadian Kredo dari Church of England ditulis dengan kata-kata: “Ada Satu Tuhan yang hidup dan benar….dan dalam kesatuan Ketuhanan ini ada tiga pribadi dalam substansi, kekuasaan, dan keabadian, Bapa, Firman, dan Ruhul Kudus”. Suatu Konsili dari para imam telah dilangsungkan di Nice, pada tahun 325 M., konsili mana membenarkan doktrin trinitas, dan belakangan konsili yang sama di Konstantinopel, mengkonfirmasi keilahian dari Ruhul Kudus dan keesaan Tuhan, mendeklarasikan doktrin trinitas sebagai kesatuan dalam doktrin gereja. Para biarawan sejak itu selalu berpegang kepada doktrin yang melecehkan Tuhan dan tidak masuk akal ini. Demi membantu para agennya agar doktrin ini tetap lekat di kepalanya maka setan harus mengadakan satu obyek yang kelihatan untuk melambangkannya. Segitiga mistis diciptakan sebagai simbol, yang bisa di dapati di makam mereka yang dikubur pada masa itu. Juga ada usaha untuk membuktikannya dengan membuat tiga kepala atau wajah di satu leher, matanya menjadi satu bagian dari masing-masing wajah.Juga suatu kombinasi dari segitiga dan lingkaran, dan kadang-kadang tumbuhan berdaun tiga juga digunakan demi maksud yang sama. Bila anda bertanya kepada seorang biarawan apa yang dimaksud dengan trinitas maka dia akan berkata: “Ini suatu misteri”. Dia tidak tahu, dan tak seorangpun tahu, karena ini palsu. Tidak pernah ada doktrin di zaman kemajuan yang lebih menipu dibandingkan dengan trinitas ini. Ini hanaya bisa berasal dari satu pemikiran, dan itu adalah fikiran Setan atau Iblis. Maksudnya adalah dan ini menghasilkan kekacauan dalam fikiran manusia serta menghancurkan filsafat sejati dari jaminan pengurbanan yang besar. Jika Yesus di bumi ini adalah Tuhan, dia melebihi lelaki yang sempurna dan karenanya tidak bisa menjadi harga yang tepat berkaitan dengan pembebasan manusia dari dosa. Karena itu adalah logis mengikuti pandangan bahwa mengalirnya darah Yesus tidak bisa membentuk dasar rekonsiliasi manusia dengan Tuhan. Jika Yesus itu satu bagian dari trinitas, maka adalah mustahil bagi trinitas atau bagian darinya untuk menyediakan harga pembebasan dari dosa bagi seorang laki-laki yang sempurna itu, karena ini tidak ada hubungannya yang tepat. Siapakah yang berminat untuk mebuat kekacauan semacam ini? Setan sang Iblis. Untuk mengusung kebalauan ini dia menggunakan orang-orang yang berpamrih pribadi dan ambisius. Dia membujuk mereka untuk membuat dua yang lain yang sederajat dengan Tuhan dan menyembah makhluk lebih dari Sang Pencipta. Paulus meletakkan ini dengan kata-katanya: “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Alllah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya fikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh….. “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya”. (Surat Paulus kepada Jemaat di Roma, 1:21-22, 25). Adalah suatu fakta yang bisa dicatat bahwa dalam sistim gereja maka nama Yesus telah dibuat lebih utama dibandingkan dengan Jehovah Tuhan. Para imam telah membujuk orang-orang agar menyembah Maria sebagai ibunya Yesus dan beribadah kepadanya, jadi memberi kehormatan kepada perempuan sederajat dengan Tuhan. Nama Maria dan Yesus lebih sering disebut-sebut dalam sistem gerejawi dibandingkan dengan Jehovah Tuhan. Penyembahan berhala serta obyek-obyek yang kasat mata juga telah diresapkan oleh para imam. Seluruh skema dan tujuan dari dalang di balik ini adalah untuk meminimalisir nama Jehovah dan membawa-Nya ke dalam hujatan, dan ejekan, serta pencemaran nama. Adalah mustahil untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dari rencana Tuhan untuk rekonsiliasi manusia dengan Tuhannya hingga hubungan antara Yesus dengan Tuhan itu dimengerti. Karenanya adalah mutlak penting bahawa doktrin palsu bernama trinitas ini harus disingkirkan dan digusur dari fikiran manusia hingga cahaya kebenaran bisa menyinari jiwanya. Tiada lain hanya ada Tuhan Yang-esa, Pencipta langit dan bumi serta Pemberi nafas kepada segenap ciptaan”. (J.F. Rutherford, “Reconciliation”, halaman 100-103). SELURUH AL-QURAN DI SIMPAN DALAM INGATAN Wahyu dan penglihatan ‘dalam’ Buddha kita puji dama nubuatannya mengenai Quran Suci. Berabad-abad sebelumnya, dia telah menggambarkan Kitab Suci itu sebagai kumpulan dari kebajikan yang menonjol. Quran Suci ditulis dalam fikiran umat sebagai kebajikan yang tak tertandingi, karena tidak ada Alkitab maupun Kitab keagamaan atau naskah suci yang lain yang tetap di simpan dalam ingatan umat. Tak diragukan lagi ada bebarapa tulisan yang disenangi orang dan dihargai lebih dari hidup mereka sendiri, dan mereka menyimpan isinya dalam ingatan. Tetapi kesinambungan dimana Quran Suci selalu diingat dalam ingatan tak ada contohnya dimanapun. Tak ada naskah suci, tulisan atau kitab dimana begitu banyak orang mengabdikan dirinya untuk menghafalkannya, selain Quran Suci. Kitab suci agama melewati perubahan tak terduga dan abad-abad yang gelap menimpanya, sehingga isinya sendiri dan kehadirannya dicurigai. Dalam kegalauan seperti inilah maka Weda berkembang dari satu menjadi empat kitab, dan kemudian dari empat menjadi sebanyak 1131, ada suatu ayat dalam Maha Bhashya yang menerangkan bahwa ada seratus dan satu bait Yajur Weda, seribu Sama Weda, duapuluh satu macam Rig Weda dan sembilan Atharwa Weda. Pada hari-hari ini kita bisa melihat selusin Weda yang diterbitkan, sesungguhnya, yang bisa menerangkan perubahannya. Versi Masorah dan Septuagint dari Perjanjian Lama, edisi resmi yang berbeda dari Saduki dan Farisi, kepustakaan apokripal yang dipercaya sebagai bagian dari naskah suci yang terilham, dipakai oleh satu sekte dan ditolak oleh sekte yang lain, versi yang berbeda-beda dari Alkitab apokripal, membuktikan kredibilitas fakta bahwa tidak ada kitab suci keagamaan yang tidak tersentuh atau terjaga dengan rapi atau tersimpan dalam ingatan dalam masa kehidupan nabi kepada siapa itu diwahyukan. Sampai sedemikian besar dan luas kebenaran yang telah diajarkan oleh Weda, Zend Avesta, dan Alkitab suci begitu pula dari Buddha sendiri, tidak dijaga oleh misionarisnya, sebagaimana telah kita buktikan di bawah judul “Kitab-kitab suci Buddhis”. Mengenai Quran Suci Sir William Muir berdiri saksi sebagai berikut: “Tetapi ada alasan yang baik untuk percaya bahwa banyak copy yang terpisah-pisah, merangkum di antaranya seluruh al-Quran atau nyaris seluruhnya, yang sudah ada sejak masa-hidupnya Nabi yang ditulis oleh para pengikutnya” (“Life of Mahomet”, Introduction, halaman 18). Ada hadist sahih yang menyatakan bahwa Abu Bakar telah membangun satu masjid kecil di rumahnya. Dan dalam masjid inilah dia biasa membaca Quran Suci. “Dia sangat suka menghafalkannya. Tidak hanya laki-laki, tetapi kaum perempuan juga berlomba dalam hal ini. Di antara mereka adalah Aisyah, Hafsah, Ummi Salmah dan Ummi Warqah, yang telah hafal seluruh al-Quran dalam hatinya” (Ibn-I-Jarir Tabri). AL-QURAN DIWAHYUKAN DAN DITULIS BERSAMAAN Gautama Buddha telah meramalkan mengenai Maitreya yang dijanjikan dimana risalahnya akan diterbitkan. Di antara semua Kitab suci dari langit dan Alkitab, adalah Quran Suci sendiri yang dijadikan tulisan sejak kitab ini turun kepada Nabi. Selanjutnya ini di simpan dalam ingatan, dimana Nabi melakukannya dengan dibacakan kepada mereka yang di sekitarnya. Karena alasan ini sejarah wahyu Quran Suci jauh lebih lengkap daripada kasus Kitab suci yang lain. Dalam hadist sahih kita, saat turunnya ayat, tempat dimana itu diwahyukan, dan latar-belakang dari setiap ayat semua tercatat dengan rinci. Setiap copy antik dari Quran Suci memiliki sejarah di belakangnya, yang tidak hancur sampai sekarang, dan rantai ingatan itu menuju langsung kepada Nabi Suci. Karena banyaknya manusia yang menyimpan wahyu dalam ingatan inilah maka kritikus yang sangat benci seperti Sir William Muir terpaksa mengakui ketepatan dan kesempurnaan dari Quran Suci dalam kata-kata berikut ini: “Barangkali di dunia ini tidak ada karya lain yang bisa bertahan selama dua belas abad dengan teks yang demikian murni” Dia selanjutnya mengutip catatan dari von Hammer : “Kami memegang al-Quran ini dengan keyakinan penuh sebagai kata-kata Muhammad, sebagaimana kaum Muslim memegangnya sebagai firman Tuhan”. Sebagai fakta nyata kaum Orientalis terdorong untuk percaya sedemikian karena fakta yang tak terbantah. Al-Quran tesimpan dengan aman dan terjaga mulai sejak periode yang paling awal. Sudah dijelaskan bahwa wahyu itu perlu disimpan dalam penjagaan. Copy-nya di kirim ke pelbagai negara dan bermacam bangsa. Negara yang diberi amanat, menyebarkannya ke Timur maupun Barat dalam jangka waktu yang sangat singkat, dan karena itu copy dari Quran Suci juga segera tersebar ke seluruh dunia. Dan adalah suatu fakta yang diakui bahwa terdapat banyak golongan di antara Muslim masa kini dan semuanya mereka beriman dan mengikuti al-Quran yang sama. Tak ada satu titik koma ataupun satu huruf dari Kitab itu telah dirubah. Dan ini adalah sesungguhnya apa yang diramalkan oleh Buddha serta juga para nabi yang lain. Para nabi terdahulu telah meramalkan bahwa wahyu dari nabi yang dijanjikan itu akan dijamin terjaga dan aman. Dan adalah atribut al-Quran ini yang membuktikan kebenaran Nabi Suci sebagai yang terakhir dari galaksi. Dalam al-Quran Tuhan menyatakan diri-Nya sebagai Penjaga dari Kitab ini (Q.S. 15:9) dan menyatakan ini sebagai wahyu kenabian yang terakhir, dan dengan kemuliaannya Islam akan berdiri sebagai agama yang terakhir. Basant Kummar Bose menulis dalam “Muhammadanism”, Calcutta, 1931, halaman 4: “Maka tak ada kesempatan bagi setiap orang yang mau merubah atau penipu yang berpura-pura saleh dalam al-Quran, yang membedakannya dari nyaris semua karya agama lain dari zaman kuno…. Adalah sungguh aneh bahwa pribadi yang buta-huruf ini bisa menyusun kitab yang terbaik dalam bahasa”. Charles Francis Potter menulis dalam “The Faiths Men Live”: “Kitab ini lebih banyak dibaca orang dibanding kitab lain di dunia. Alkitab Kristen mungkin suatu buku yang paling laku. Tetapi hampir 250 juta pengikut Nabi Muhammad membaca dan mengaji ruku’ yang panjang dari al-Quran lima kali sehari, setiap hari seumur hidupnya, sejak mereka bisa berbicara”. John William Draper menulis dalam “A History of the Intellectual Development in Europe” jilid I halaman 343-344: “Al-Quran berlimpah dalam anjuran moral yang mulia serta etika, komposisinya begitu beragam sehingga kita tidak bisa melewatkan satu halamanpun tanpa menemukan sebanyak mungkin yang bisa dipetik. Konstruksi yang beragam ini menghasilkan teks dan motto, serta aturan yang lengkap dalam dirinya, cocok untuk orang biasa dalam menghadapi setiap peristiwa kehidupan”. Harry Gaylord Dorman menulis dalam “Towards Understanding Islam”: “(Quran) ini, adalah suatu wahyu tertulis dari Tuhan, yang diimlakkan kepada Muhammad oleh Jibril, sempurna di setiap hurufnya. Ini adalah mukjizat yang senantiasa hadir, berdiri saksi bagi dirinya dan Muhammad, nabi dari Tuhan. Kualitas mukjizatnya terdapat sebagian dalam style, begitu sempurna dan luhur, sehingga baik manusia dan jin tak mungkin bisa menghasilkan satu surat saja meskipun itu surat yang terpendek, dan sebagian isinya ajaran, nubuatan tentang masa depan, dan begitu menakjubkan ketepatan informasinya dimana seorang buta-huruf seperti Muhammad mustahil bisa mengumpulkannya dengan kehendak sendiri”. Paul Casanova mengemukakan dalam L.Enseignement de Arabian College de Ferance in Legon Doverture tanggal 26 April 1909: “Bilamana Muhammad ditanya tentang mukjizat, sebagai bukti otentisitas dakwahnya, dia mengutip komposisi al-Quran dan kemuliaannya yang tak tertandingi; sebagai bukti bahwa ini berasal dari Tuhan. Dan sesungguhnya, bahkan bagi mereka yang non-Muslim, tidak ada yang lebih menakjubkan daripada bahasanya, dimana dengan ruang lingkup yang melimpah dan irama yang memukau dengan lagu yang sederhana, telah merampas pujian dari orang-orang primitif itu yang sangat menyukai keelokan. Melimpahnya silabus dengan irama yang agung dan suatu ritme yang mengesankan, telah menimbulkan banyak detik-detik yang bisa merubah pandangan orang yang paling benci dan paling skeptis”. James A. Michener menyatakan dalam ‘Islam the Misunderstood Religion”, Reader’s Digest, May 1955: “Al-Quran kemungkinan adalah kitab yang paling sering dibaca orang di dunia ini. Sesungguhnya yang paling sering dihafal, dan mungkin yang paling berpengaruh dalam kehidupan sehari- hari dari umat yang beriman kepadanya. Tidak sepanjang seperti Perjanjian Baru, ditulis dalam style yang luhur, ini bukan sajak dan bukan pula prosa, namun dia memiliki kemampuan untuk membangkitkan para pendengarnya dalam kegairahan iman. Al-Quran diturunkan kepada Muhammad antara tahun 610 dan 632 di kota Mekkah dan Madinah. Para penulis yang salih menuliskannya dalam “helaian kertas, kulit kayu dan daun atau kulit binatang”. Sebagai penutup kata-kata yang transparan dari Buddha: “Wahyu-Nya akan lebih elok. Mereka yang mendengarkannya tak akan bosan-bosannya dalam mendengarkan, mereka bahkan menyukai untuk mendengarnya lagi lebih lanjut” (T.W. Rhys Davids, halaman 183). Dan inilah penutup oleh Laura Vaccia Vaglieri: “Secara keseluruhan kita dapati di dalamnya suatu kumpulan kebijaksanaan yang bisa digunakan oleh orang-orang yang paling cerdas, filosof yang paling besar dan politisi yang paling ahli,….Tetapi di sini ada bukti Ketuhanan dalam al-Quran, adalah suatu fakta bahwa dia telah dijaga tanpa tersentuh melintasi abad-abad sejak turunyya Wahyu hingga hari ini….Dibaca dan dibaca lagi oleh dunia Muslim, Kitab ini tidak menimbulkan dalam diri orang-orang beriman kelelahan sedikitpun, bahkan, dengan mengulang-ulanginya maka semakin dicintai dari hari ke hari. Ini menimbulkan perasaan mendalam, rasa takut dan hormat kepada seseorang yang membaca atau mendengarkannya…. Karena itu, tanpa sarana kekerasan atau senjata maupun melalui tekanan misionaris yang membujuk, yang menyebabkan terpancarnya islam secara besar-besaran dan cepat; tetapi di atas semuanya melalui fakta bahwa Kitab ini, yang disajikan oleh kaum Muslimin untuk menaklukkan dengan kebebasan untuk menerima ataukah menolaknya, ini adalah Kitab Tuhan, kata Kebenaran, mukjizat terbesar yang ditunjukkan Muhammad kepada mereka yang dalam keraguan dan mereka yang tetap berkepala-batu” (”Apologize de L Islamisme”, halaman 57-59). BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) IDENTIFIKASI MAITREYA OLEH BUDDHA. Mengenai identifikasi dari Maitreya yang Dijanjikan, Buddha telah memberikan wacana terinci dengan tulisannya sendiri. Dia berkata bahwa Dia Yang Dijanjikan itu kelak adalah: Kasih sayang kepada segenap ciptaan. Utusan perdamaian, seorang pembuat perdamaian. Seorang yang tidurnya tak terganggu. Seorang pemikir mendalam, seorang laki-laki yang bijaksana. Seorang yang tidak akan dirasuki mimpi buruk. Akan dibawah penjagaan langsung oleh para malaikat. Pencinta yang sangat dari umat manusia. Racun tidak dapat mencederainya. Di bawah lindungan Allah dalam peperangan. Selamat dari kerugian akibat api dan air. Yang paling sukses di dunia dan setelah wafatnya dekat dengan Tuhannya. Maitreya sebagai pengajar moral: Amanah Dihormati. Lemah-lembut dalam bicara. Berwibawa, terhormat. Tidak sombong. Tidak pernah menipu seseorang. Tidak pernah meremehkan orang lain. Menahan marahnya. Tidak merasa senang atas kerugian orang lain. Kasih-sayang kepada sesama makhluk seperti seorang ibu. Gabungan dari perencanaan yang baik. Suatu contoh bagi yang lain dalam perbuatan maupun kata-kata. (Dhamma pad, Matteya Sutta, 151) Sekarang marilah kita lihat sejauh mana Nabi Suci Muhammad cocok dengan kriteria yang ditetapkan oleh Buddha ini: 1. Kasih-sayang kepada segenap ciptaan: Karena kebaikan budi Nabi Muhammad inilah, maka dia ditetapkan Tuhan “sebagai rahmat bagi sekalian bangsa” (Q.S. 21:107). Kasih sayang dan penuh perhatian terhadap sesama makhluk ini mempunyai arti berbeda dari titik pandang bermacam ragam agama. Umumnya, dipercaya oleh umat Hindu dan Buddha bahwa menyembelih binatang itu bertentangan dengan kasih-sayang, atau perhatian terhadap makhluk. Sebagai kenyataan, maka umat Muslim, Kristen, Yahudi dan bahkan macam-macam sekte Hindu dan Buddha berbeda pendapat mengenai konsep vegetarian. Dalam hal ini kata-kata Buddha sendiri kiranya boleh dikutip: “Di manakah kasih-sayang orang itu, yang percaya, bahwa dengan menyembelih binatang bisa menghapuskan dosanya? Dapatkah satu dosa baru menghilangkan dosa lama? Bisakah darah makhluk tak berdosa membersihkan manusia dari dosa-dosanya?” Kata-kata Buddha ini hanya ingin menunjukkan bahwa menganggap kurban binatang itu sebagai penghapus dosa adalah blunder besar. Pada zamannya, para Brahmana menurut Weda suka membakar hidup-hidup ratusan hewan sebagai kurban untuk para dewata. Mereka percaya bahwa tindakan ini bisa membebaskannya dari dosa dan perbuatan jahat mereka. Mereka senang menikmati adu binatang. Sering-kali mereka menggelar acara itu secara besar-besaran hanya untuk merusak panenan dan buah-buahan rakyat miskin. Buddha menyaksikan semua kekejaman terhadap binatang ini dan mengeraskan suaranya terhadap pemborosan yang tak masuk akal ini. Apa yang kita yakini sebagai rahmat dan penuh perhatian terhadap binatang adalah dengan tidak mencederai dan menganiaya mereka. Dan penggunaan terbaik untuk mereka harus dimanfaatkan sesuai dengan maksud penciptaannya, dan dengan berbuat demikian kita tidak boleh melampaui batas. Binatang yang sakit, kurang sehat, lemah dan kurus-kering, tidak boleh digunakan untuk bekerja. Perawatan harus diberikan dengan memberi makanan yang pantas. Inilah bagaiamana kita memperlakukan binatang dan menggunakan mereka apa yang kiranya cocok. Mengumbar mereka kemana-mana atau menyembahnya atau menjadikan jumlah mereka jauh melebihi batas sehingga membuat cemas manusia jelas juga melawan ajaran Islam dan akal sehat. Islam bukanlah agama pertapa. Ini lebih dekat kepada ilmu. Menurut Islam, binatang itu diciptakan demi kemaslahatan kta, sebagaimana Quran Suci secara eksplisit berfirman: “Dan sesungguhnya dalam hal ternak, terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberi kamu minum dari apa yang ada di dalam perutnya, dan mengenai (ternak) itu banyak sekali faedahnya bagi kamu, dan sebagian kamu makan” (Q.S. 23:21). Tidak diragukan lagi fakta bahwa kita mengumpulkan banyak sekali ilmu dari binatang. Mereka memberi banyak sekali keuntungan kepada kita dengan memberikan kulit, tulang, wol, jeroan, dan sebagainya. Banyak kebutuhan kita tergantung kepada barang-barang ini. Dan ada beberapa hewan, yang tidak ada gunya kecuali dagingnya. Dalam segala hal itu, penyembelihan sungguh diperlukan. Bukanlah berlebihan untuk mengatakan bahwa perhatian dan kasih-sayang yang bersemayam di hati Nabi Muhammad untuk satwa ini tak ada duanya dalam sejarah. Bahkan Almasih dan Buddha tidak bisa menandinginya. Dalam kitab hadist kita dan kisah hidup Nabi Suci, banyak ditulis tentang hal ini. Suatu ringkasan atas hal ini mungkin menarik untuk disimak: Suatu kali Nabi pergi ke kebun, dan melihat seekor unta yang kelaparan. Belia memanggil tuannya dan bersabda: ‘Apakah engkau tidak takut kepada Tuhan, sehingga memperlakukan binatang yang malang seperti ini?’ Suatu kali Nabi dalam perjalanan. Seseorang membawa sebutir telur. Segera seekor gagak datang dan kelihatan menunjukkan kesedihannya karena itu. Maka rasulullah s.a.w. berkata: “Siapakah yang menyakiti burung yang malang itu dengan mengambil telurnya/” Orang itu menjawab: ‘Wahai Nabi, sayalah yang telah melakukannya”. Nabi kemudian memerintahkan agar telur itu diletakkan kembali ke sarangnya. c. Nabi dengan keras melarang memotong daging dari binatang yang masih hidup, yang umum dilakukan orang. d. Ia melarang menyakiti binatang dengan api. Dia melarang mendorong-dorong binatang untuk beradu satu sama lain. Seorang pelacur melihat seekor anjing sedemikian haus sehingga dia menjulurkan lidahnya ke bumi yang basah. Dia sangat menaruh kasihan kepada makhluk yang malang itu, dan memberinya air untuk memuaskan dahaganya yang sangat. Nabi, setelah mendengar anekdot tersebut, bersabda bahwa pintu surga dibukakan baginya. Seorang perempuan mengikat seekor kucing hingga kehausan dan kelaparan dan akhirnya mati. Mendengar hal ini Nabi mengatakan bahwa perempuan jahat itu akan membukakan jalannya sendiri ke neraka. Anas bin Malik, seorang sahabat Nabi, berkata: bahwa para sahabat Nabi suka melepas pelana dari unta mereka segera setelah mereka berhenti dalam perjalanan, kemudian mereka akan mendirikan salat sehingga binatang itu ditinggalkan bebas untuk mencari makanannya dan beristirahat. Muhammad sebagai pembuat perdamaian. Nama ini sendiri adalah agamanya “Islam” yang berarti “damai”. Nabi telah disebut pertama sebagai pembuat perdamaian. “dan aku adalah permulaan orang pembuat perdamaian” (Q.S. 6:164). Sifat beliau ini tidak sekedar dibenarkan oleh makna kamus saja. Agama Islam itu, semua dan seluruhnya, sebagai risalah, adalah suatu peraturan dan petunjuk bagi perdamaian dan ketenteraman. Tidak ada satupun fatwa, yang tidak menyadari perdamaian. Seorang yang tidur tanpa terganggu. Al-Quran menyatakan Nabi yang bersabda: “Katakanlah: Sesungguhnya salatku dan pengurbananku dan hidupku dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan sarwa sekalian alam” (Q.S. 6:163). Betapa tenteram, nyaman dan damainya yang bersemayam di hati Nabi karena hidup dan matinya adalah demi Allah semata-mata! Hadist meriwayatkan, bahwa Nabi biasa salat sebelum berangkat tidur. Dia biasa memuji Tuhan, dan bersyukur kepada-Nya pada jam-jam itu. Beliau tak pernah tidur tanpa sebelumnya membaca al-Quran. Dan ketika menjelang lelap, beliau biasa berdoa: “Wahai Tuhan, saya mati dan hidup demi asma-Mu”. Dan ketika terbangun dari lelapnya, beliau biasa berdoa: “Segala puji bagi Allah, Dia, yang telah memberiku kehidupan sesudah kematianku”. Ini menunjukkan betapa tak terganggu dan damainya tidur yang dinikmati oleh Nabi, dengan seluruh penyerahan dirinya kepada Tuhan. Mengenai para Nabi yang lain beliau mengatakan bahwa mata mereka terpejam tetapi hatinya jaga. Sedangkan mengenai dirinya, beliau katakan bahwa matanye terpejam, tetapi hatinya selalu sibuk dalam berkomunikasi dengan Allah (H.R.Muslim, bab “Salat-ul-lail”). Kebijaksanaan dari nabi Suci. Kehidupan Nabi memberi suatu anekdot yang menunjukkan kebijaksanaannya yang tidak ada bandingannya.Saat itu adalah ketika kaum Quraish sedang bergotong royong untuk memperbaiki Ka’bah. Bermacam kabilah dan semuanya saling iri satu sama lain dan setiap suku ingin menaikkan Hajar Aswad ke dinding Ka’bah. Persaingan ini nyaris menimbulkan pertumpahan darah. Kemudian datanglah Nabi yang menggelar kainnya, meminta tiap kepala kabilah untuk memegang masing-masing ujungnya, mengangkatnya dan semuanya berperan serta dalam melaksanakan tugas yang suci dan terhormat itu. Dalam rapat-rapat perang dan dalam menasihati delegasinya ketika mendiskusikan perkara yang Penting, dia bekerja secara ajaib dalam memberikan pandangannya sebagai hakim yang paling adil dan Penasihat yang terbaik. Karena sifat Nabi yang seperti inilah maka partikel pasir yang bertebaran di tanah Arab itu bisa di semen menjadi satu dinding yang kokoh dan solid. Kebal terhadap mimpi buruk.Di sini kita faham, mimpi buruk berarti impian yang timbul dari emosi yang berlebihan atau kekenyangan. Dalam Quran Suci, dikatakan tentang Nabi Muhammad: “Sesungguhnya Allah telah memenuhi ru’ya Rasul-Nya dengan benar” (Q.S. 48:27). Beliau melihat banyak ru’yah di masa mudanya dan itu benar terjadi seperti di siang hari. Mimpi buruk karena kekenyangan atau hasrat dan emosi berlebihan tak mungkin terjadi pada para nabi. Menurut hadist dari Nabi kita: “Ru’yah datang dari Tuhan, sedangkan mimpi buruk datang dari Setan” (H.R. Bukhari). Dan dalam hadist lain dikatakan: “Wahyu mulai turun kepadanya dengan ru’yah yang suci. Dia melihat rukyah dan mereka terjadi dengan sebenarnya satu demi satu”. (H.R. Bukari. Malaikat akan menjaganya. Dikemukakan dalam segala kitab dan naskah suci, bahwa para nabi itu dijaga oleh malaikat. Dalam hal ini menarik untuk disebutkan, bahwa “Devdutta”, melihat kemuliaan yang menonjol dari Buddha, menyimpan dalam hatinya kecemburuan, dan karenanya kehilangan semua kekuatan pemikiran abstraksinya. Dia juga merencanakan skema jahat untuk menghentikan tersiarnya hukum yang benar. Naik ke gunung dia gelindingkan sebuah batu untuk mencederai Buddha; batu itu terbelah menjadi dua, setiap belahan melewati sisinya, hanya satu kakinya yang terluka. Karena itu Buddha berkata kepada Devdutta: “Wahai orang yang bodoh, betapa besarnya kerugian yang kamu timpakan pada dirimu sendiri, dengan kejahatan serta niatmu untuk membunuh maka kamu telah menyebabkan darah Tatha­ gata mengalir”. Bhikku (murid-murid Buddha) berkumpul untuk menjaganya, tetapi Buddha berkata kepada mereka: “Ini, wahai Bhikku, adalah perkara yang mustahil, dan satu yang tak dapat terjadi pada seseorang, yakni seseorang harus meninggalkan kehidupan Tathagata karena kekerasan”. “Tathagata, wahai Bhikku, dikecualikan (dari kematian) karena sebab alami. Mereka ini, wahai Bhikku, adalah lima macam guru yang sekarang ini hidp di dunia. Dan ini, wahai Bhikku, adalah suatu perkara yang mustahil, bahawa seorang Tathagatha bisa disembelih oleh perbuatan seseorang selain dirinya sendiri. Para Tathagata, wahai Bhikku, dikecualikan (dari kematian) karena sebab (alami)”. “Karena ini, wahai Bhikku, pergilah masing-masing ke biaranya, karena para Tathagata tidak membutuhkan perlindungan”. Sekarang, kita tiba kepada Nabi Suci atau Maitreya Buddha. Di Mekkah, satu-satunya musuh Nabi hanyalah kaum Quraish. Di Madinah, kaum Yahudi adalah bangsa yang sangat berkuasa, dan sedikit saja bicara sudah menjadikan mereka musuh yang menakutkan. Begitu pula halnya dengan kaum Kristiani. Para kabilah lain di Arabia pada saat itu juga telah berhasil ditarik oleh Quraish agar memihak mereka. Tak ada kebaikan ataupun kemurahan betapapun, yang diperlihatkan Nabi, bisa memuaskan kaum Yahudi, tak suatupun yang dapat merukunkan perasaan pahit yang mereka hidupkan, mereka segera saja menempatkan dirinya di jajaran musuh-musuh Islam. Kaum Kristen juga lebih menyukai penyembah berhala dengan segala ikutannya yang jahat daripada ajaran Muhammad. Dalam suasana yang mencekam ini diwahyukan dalam Quran Suci: “Dan Allah akan melindungi engkau dari manusia” (Q.S. 5:67). Bahwa beliau akan selalu di bawah perlindungan Ilahi di tengah bahaya yang tak terhitung yang mengancamnya dari segala penjuru dan rencana jahat tak terhitung yang mengancam jiwanya. Ketika ayat ini diwahyukan beliau memanggil penjaga rumahnya dan meminta dia pergi karena Tuhan telah menjanjikan perlindungan baginya. Ketika kita membaca Kitab-kitab Buddhis kita akan menemukan di sana dua atau tiga musuh dari Buddha dan ketika para Bhikku berkumpul untuk menjaga dan melindunginya, maka dia berkata: “Dan ini, wahai Bhikku, adalah perkara yang mustahil dan tak mungkin terjadi bahwa seorang Tathagata itu bisa terbunuh……Karena itu, pergilah, wahai Bhikku, masing-masing ke biaranya karena seorang Tathagata tidak perlu dilindungi”. Begitu pula, meskipun para musuh Nabi Suci datang menyerbunya dalam jumlah ribuan adalah mustahil bagi mereka untuk memisahkan dia dari hidupnya dengan kekerasan. Apapun juga usaha yang dilakukan terhadapnya, dia akan diselamatkan oleh malaikat. Pencinta umat manusia. Terutama, Nabi Suci berseru terhadap ketidak-adilan terhadap manusia dan mengajak manusia dengan kasih-sayang untuk berbuat adil kepada setiap jiwa manusia. Ketika teraniaya dan terancam oleh kekuatan yang luar-biasa besar, maka dia, sebagaimana Ibrahim, Krishna, Musa dan Daud selalu dilawan oleh kekuatan fisik, meskipun itu merupakan perang yang tak seimbang. Tidak ada persamaannya dalam sejarah peperangan dimana seorang laki-laki bersama begitu sedikit sahabatnya melawan musuh yang berlipat dua, tiga, tidak, bahkan terkadang sepuluh kali lipat namun nyaris di setiap waktu dia selalu menang. Dalam sepuluh tahun diai menaklukkan 1.000.000 mil persegi wilayah. Namun, dalam seluruh pertempuran ini hanya 150 musuh yang terbunuh dan 125 orang mukmin yang menyerahkan jiwanya baginya. Ini adalah contoh yang tiada tandingannya dalam sedikitnya darah yang tertumpah. Tidak pernah dalam sejarah peperangan bahwa seseorang dengan begitu sedikit pertumpahan darah bisa menguasai satu juta mil persegi dalam sepuluh tahun. Ini adalah mukjizat besar atas kecintaan kepada kemanusiaan yang dipunyai oleh Nabi Suci Maitreya. Akibat kemurahan yang berupa sangat sedikitnya hilangnya jiwa manusia ini yang telah membuat kabilah Arab yang gemar berperang itu hilang kebenciannya. Tak bisa dicederai oleh racun. Di luar racun yang sangat fatal bagi manusia, maka Setan mengatasi yang lain dalam effektifitasnya. Dia tidak hanya menyerang tubuh kita, melainkan juga merasuk dalam pribadi spiritual dan menjadi penyebab dari keterasingan dan keruntuhan yang paling dalam. Mengapa Nabi Suci tidak takut oleh tambahan racun dari Setan atau kejahatan bisa dijawab oleh dirinya. Nabi menyatakan bahwa setiap orang mempunyai setan dalam dirinya, tetapi setan itu telah masuk Islam dan tidak perlu ditakuti lagi. Karena itu Setan tak pernah mengganggunya untuk melakukan perbuatan jahat. Terhadap racun yang biasa, dikatakan bahwa banyak orang mencampuri makanannya dengan racun, namun itu tidak akan merugikan kesehatannya. Seringkali terjadi bahwa Nabi tahu bahwa makanannya dicampuri racun dan beliau seketika tidak mau memakannya. Suatu anekdot dari seorang perempuan Yahudi dengan kisah yang semacam itu tercatat dalam hadist. Selamat dalam pertempuran. Lihat nomor enam. Terlindung dari bahaya api dan air. Ada banyak kisah tentang banyak nabi yang oleh musuhnya dimasukkan ke api atau atau dicoba ditenggelamkan dalam air tetapi api dan air itu tidak dapat mencederai mereka. Sesungguhnya ini bukanlah suatu mukjizat yang mengagumkan. Banyak orang yang berjalan di api dan bahkan mereka bukan orang suci. Namun, tanda-bukti ini digenapi sebaik-baiknya dalam pribadi Nabi Suci dengan secara ini: Dalam kehidupan beberapa nabi sendiri ketika bangsa-bangsa menulikan telinganya terhadap risalah Ilahi, badai api dan air datang menimpa mereka. Rahmat Nabi Suci tidak saja menyelamatkan dirinya dari setiap gangguan api atau air, tetapi juga seluruh bangsa dijaga keamanannya dari siksaan semacam itu. Al-Quran merujuknya sebagai berikut: “Dan tatkala mereka berkata: Ya Allah, jika ini sungguh-sungguh kebenaran dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau timpakanlah kepada kami siksaan yang pedih. Dan Allah tak akan menyiksa mereka selagi engkau berada ditengah-tengah mereka; dan Allah tak akan menyiksa mereka selagi mereka memohon ampun (Q.S. 8: 32-33). Betapa agungnya keputusan Tuhan ini. Dalam perang Badar suatu hujan yeng lebat membuat kerusakan besar terhadap musuh, sedangkan hujan yang sama terbukti menjadi rahmat yang besar bagi Nabi dan para sahabatnya. Keberhasilan sepenuhnya di dunia ini dan di akhirat. Tidak ada sukses yang lebih baik bagi seseorang yang terpenuhi di hadapan gigi para penentangnya. Ketika Nabi naik ke mimbar dengan missi sucinya maka tak ada teman ataupun seseorang yang bersimpati kepadanya. Jika kejayaan dari rancangannya, kekurangan dalam sarananya, dan demikian besar hasilnya adalah tiga ukuran yang memperlihatkan ke-genius-an seseorang, lalu siapa yang berani membandingkannya dalam kemanusiaan orang besar dalam sejarah modern yang bisa melebihi Muhammad? Tidak kurang dari suatu mukjizat bahwa seseorang yang tidak mempunyai teman ataupun simpatisan, yang pada saat wafatnya tak seorangpun musuhnya yang tersisa di jazirah itu. Dia menemukan bangsanya seluruhnya dalam penyembahan berhala. Beliau meleburnya menjadi kaum Muslimin, yang membenci tuhan palsu dan hanya berhasrat untuk Tuhan Yang-esa dan Ghaib. Dia merubah suatu kaum yang penuh kejahatan menjadi satu yang terpuji dan tulus. Seorang dapat memperkirakan kebesaran ruhani Nabi Suci di alam mendatang dengan keberhasilan yang dicapainya di dalam kehidupan ini. Kata-kata Buddha bahwa: “Yang paling berhasil di dunia dan setelah wafatnya dekat kepada Tuhannya” (atau dia yang berangkat ke Brahma Loka). Bandingkanlah kata-kata ini dengan ayat-ayat dari al-Quran: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan dikau, dengan perasaan ridla, amat memuaskan di hati Masuklah di antara hama-hamba-Ku, Dan masuklah ke Taman-Ku! (Q.S. 89:27-30). Kata-kata terakhirnya adalah: “Subhana Rabbiyyal A’la”, “Maha-berkah Allah Yang Maha-tinggi”, Dan ruh dari Nabi besar itu terbang ke haribaan Sahabatnya Yang Maha-tinggi. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) PENGAJAR AKHLAK DAN GABUNGAN MORAL YANG SUBLIM “(Demi) tempat tinta, dan pena, dan apa yang mereka tulis! Demi kenikmatan Tuhan dikau, engkau tidaklah gila. Dan sesungguhnya engkau mendapat ganjaran yang tak ada putus-putusnya. Dan sesungguhnya engkau mempunyai akhlak yang agung” (Q.S. 68:1-4). Kebesaran Buddha adalah dalam cahaya yang bersinar dari akhlak yang diajarkannya kepada umat. Dia percaya bahwa penampakan mukjizat itu bukanlah suatu kriteria dari seorang pembaharu agama, seorang pengajar ataupun seorang nabi. Adalah moral dan akhlaknya yang membuktikan kebenaran atas ketulusannya. Bangsa-bangsa tidak dapat dibangun dengan penampakan mukjizat, melainkan dengan ajaran ruhani. Kesucian akhlak Muhammad, sebagai pemilik dari moral yang sublim, tidak saja dipuji oleh Buddha, melainkan ini bisa ditaksir dari effektifitasnya terhadap umat yang hendak diperbaharui oleh nabi itu. Bagi seorang pengajar, mungkin dia seorang pengajar yang elok tetapi mungkin hanya sedikit dari semua ajarannya yang bisa didaya-gunakan, atau bahwa semua fatwanya yang muluk-muluk itu tidak dapat dipraktekkan. Nabi dari Nazareth kelihatannya ajarannya sangat muluk, sehingga tidak ada pengaruhnya bagi para pengikutnya; tetapi Nabi Suci dengan keluhuran dari ajaran akhlaknya, telah berhasil dengan gemilang dalam meningkatkan umatnya kepada tujuan yang lebih tinggi dan sublim. Akhlak inilah yang merekatkan partikel pasir yang terpisah-pisah itu menjadi tembok yang kokoh. Kehidupan bangsa itu tergantung seberapa besar potensi individualnya. Kemampuan adalah bentuk luar dari kejujuran, yang berkaiatan dengan evolusi dari segenap kemampuan serta enersi yang diamanatkan kepadanya oleh Tuhan. Buddha menggambarkan yang dijanjikan sebagai gabungan dari duabelas kemuliaan akhlak, dan dalam kehormatan ini Nabi tidak terkalahkan maupun tertandingi. Ketulusannya yang unik. Sesungguhnya manusia itu amanah. Dan umumnya, sampai dia dipaksa oleh kesesatan, panik atau ketakutan, dia akan selalu jujur. Bagi semua nabi adalah yang menjadi tanda pertama dan terutama adalah di atas segala pamrih pribadi dan takut. Dan ini adalah perkara yang menggembirakan bahwa kebenaran dan ketulusan itu diterima oleh semua agama. Buddha telah berkata: “Jangan berkata dusta, berkatalah yang benar, berbicara benar dengan bebas, Tanpa takut, dan penuh pengabdian”. Jadi kebenaran dan ketulusan adalah akar kehidupan dari semua agama. Tetapi Muhammad, seorang tulus yang dijanjikan, menurut Buddha, adalah yang sangat jujur, karena dia adalah gabungan dari akhlak yang luhur. Sebagai fakta nyata, dalam berbagai kitab suci seperti Weda, Zend Avesta, Taurat dan Perjanjian Baru juga, banyak ditekankan kepada berbicara benar, tetapi beberapa peristiwa yang dikecualikan telah diakui dalam berkata bohong, yang lebih disukai dibanding mengungkap kebenaran. Dan dusta semacam ini dilakukan pada saat: Memuji Tuhan dengan berlebihan. Mencari keuntungan pribadi demi kerugian agama yang lain. Memuja para peramal, nabi dan orang-orang suci. Karena pamrih pribadi dan karena ketakutan. Para agamawan telah memberikan nama palsu terhadap dusta semacam itu. Sedangkan kehidupan Nabi Suci, pengutukannya yang heroik terhadap takhayul di negerinya, keberaniannya dalam menghadapi kemarahan para penyembah berhala, ketegarannya dalam menahan serangan mereka selama limabelas tahun di Mekkah, pengajarannya yang tiada henti, keterlibatannya dalam peperangan yang tak seimbang, ketabahannya dalam kemenangan, pengabdiannya yang utuh kepada prinsip hidup, semuanya menjadi saksi bahwa beliau dalam segala standar adalah seorang yang tulus. Dan inilah kesaksian dari para musuhnya: Cesar Roma menanyakan kepada Abu Sufyan di majelisnya. “Apakah engkau telah temukan dia (Muhammad itu) telah berbohong sebelumnya?” Abu Sufyan menjawab: “Tidak”. Cesar berkata: “Jika ia berdusta tentang Tuhan, mengapa dia tidak berbuat demikian kepada kaumnya?” Ketika Nabi Suci mendaki bukit dan menyeru kepada para pemimpin Quraish dan bertanya: “Jika kukatakan kepadamu bahwa sepasukan besar datang dari balik bukit, akankah kalian percaya?” Mereka serentak menjawab: “Ya, karena kami tidak pernah menemukan kamu berkata bohong sedikitpun juga”. Seorang musuh besar Islam seperti Abu Jahal suatu hari berkata kepada nabi: “Sesungguhnya mereka tak mendustakan engkau, tetapi orang-orang lalimlah yang mendustakan ayat-ayat Allah” (Q.S. 6:33). Dalam perjanjian damai Hudaibyah nabi setuju bahwa seseorang dari Mekkah yang msuk Islam dan minta perlindungan kepada nabi, harus dikembalikan. Sebagai kenyataan, ini berarti mengirim orang Mekkah yang baru masuk Islam kembali ke neraka musuh setelah mereka minta perlindungan kepada kaum Muslimin. Tetapi nabi begitu tulus dan jujur dalam memegang kata-katanya, sehingga dia mengikuti perjanjian itu dengan sangat ketat dan keras. Sifat manusia itu terlihat bila dia sedang dalam keadaan lemah. Seorang yang mengatakan tentang akhlaknya dan tidak mengakui kelemahannya tidak bisa disebut jujur. Orang-orang telah memuja-muji para nabi dan peramal mereka sehingga meningkatkan derajat mereka persis dengan status yang sama sebagai Tuhan. Tetapi Nabi Muhammad secara eksplisit berkali-kali mengumumkan: “Katakanlah saya ini manusia biasa seperti kalian”. Ada suatu peristiwa yang menyentuh bagaimana seorang buta telah menginterupsi pembicaraan Nabi Suci dengan beberapa kepala dari kabilah Quraish. Nabi Suci mengambil sikap kurang senang atas interupsi ini dimana beliau lalu menerima wahyu ini: “Ia bermuka masam dan berpaling, Karena orang buta datang kepadanya. Dan apakah yang membuat engkau tahu, bahwa ia boleh jadi akan menyucikan dirinya? Atau ia mau ingat, sehingga Peringatan itu berguna bagi dia? Adapun orang yang menganggap dirinya tak memerlukan apa-apa, Kepadanya engkau menaruh perhatian. Dan tak ada cacat bagi engkau jika ia tak mau menyucikan dirinya. Adapun orang yang datang kepada engkau dengan usaha keras, Dan ia takut, Kepadanya engkau tak menaruh perhatian. (Q.S. 80: 1-10). Kurang-perhatiannya nabi kepada yang memotong perkataan, sedangkan beliau belum selesai bicaranya, sesungguhnya adalah sangat alami. Lagi, dia tidak meremehkan pemotong pembicaraan itu atas interupsinya; melainkan hanya kurang senang. Pada setiap kesempatan, bila pilihan itu diserahkan kepada masing-masing orang, pastilah dia akan menjadi orang terakhir yang tidak setuju dengan tindakannya sendiri semacam itu. Apa yang melebihi dalam kejujuran seseorang adalah bahwa beliau, tidak mau menyembunyikan suatu wahyu yang menunjukkan kurang perhatiannya terhadap orang buta itu, dan karena ini ditulis dalam al-Quran serta diulang-ulangi dan dibaca selama-lamanya. Buddha, ketika meramalkan bahwa Dia yang Dijanjikan itu sungguh jujur, berarti bahwa dia memang luar biasa dalam hal itu, sebagaimana telah kita tunjukkan. Percaya diri. Kita hidup bekerja-sama dan tergantung satu sama lain.Tetapi, meminta pengurbanan orang lain, sedang kita sendiri tidak mau melakukannya, adalah bertentangan dengan percaya diri. Suatu sifat yang menonjol dari karakter Nabi Suci Muhammad adalah kebaikannya kepada orang lain, tetapi dia tidak pernah mengharap kebaikan orang lain terhadapnya. Jika kebetulan ada seseorang yang berbuat baik kepadanya maka dia akan berterimakasih, bila tidak maka dia tidak cocok disebut orang yang percaya diri. Ada suatu perintah baginya dalam al-Quran: “Dan janganlah memberi sesuatu untuk mencari keuntungan” (Q.S. 74:6). Ini mencederai keduanya, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Seperti halnya bagi fihak penerima, bila dia menolak untuk membayar kembali atau membalas budi yang diberikan kepadanya, maka itu adalah penolakan terhadap rasa percaya diri dan memalukan di mata orang-orang lain. Percaya diri adalah bagian yang penting dari sikap yang baik. Anekdot ini mengungkap betapa percaya dirinya Nabi Muhammad itu: Abu Bakar adalah seorang kawan intim dan sahabat nabi di gua Bukit Tsur. Dia setia dan taat, dan selalu siap-sedia untuk apa pun dan segalanya bagi kawannya yang mulia. Meskipun demikian, ia dibayar kembali oleh Nabi ketika dia menghadiahkan seekora unta ketika Nabi hijrah ke Madinah. Tempat duduk yang dirasa paling nyaman dan cocok untuk masjid di Madinah, dibayar ongkosnya kepada pemiliknya, meskipun yang belakangan ingin memberikannya tanpa beaya. Setiap kali nabi menerima hadiah maka biasanya dia membalasnya kembali. Raja Yaman suatu kali mengirim jubah sebagai hadiah kepada nabi, dan sebaliknya beliau juga menghadiahakan jubah lain untuk Raja tersebut. Sesuai dengan gambaran atas karakter Nabi ini maka beliau menolak zakat bagi dirinya, keluarga dan anak-anaknya. Sopan-santun dalam pembicaraan: Sopan santun dan lemah lembut adalah gambaran besar dari keturunan yang baik. Tuhan telah menggambarkan dia sebagai rahmat-Nya. Nabi adalah seorang yang sangat sopan, lemah-lembut dan dermawan. Al-Quran berkata: “Jadi dengan rahmat Allah itulah engkau bertindak lemah-lembut terhadap mereka” (Q.S. 3:158). Sepanjang hidupnya, nabi tidak pernah memaki orang. Dia tidak pernah memperlakukan orang dengan kata-kata kasar. Dia akan meyakinkan orang dengan paling sopan, lemah-lembut dan penuh kehangatan, dan dia menghentikan orang dari menggunakan bahasa yang kasar. Orang Yahudi biasa mengata-ngatainya dengan kata-kata yang paling kasar tetapi nabi selalu menahan diri dari membalasnya, dan dia mengajarkan yang lain sesopan dan selemah-lembut dirinya. Berjiwa ksatria dan berwibawa. Nabi itu kesatria dan wibawa sejak lahirnya maupun naluriahnya. Dia berasal dari kabilah yang menonjol yakni Quraish dan kekesatriaannya itu dibabarkan dalam moralnya yang sublim. Rumah dari Dia Yang Maha-suci di mekkah adalah di bawah penjagaan dari kabilah ini. Melintasi jazirah Arab para kafilah yang kaya-raya dirampok; tetapi kaum Quraish sangat berpengaruh dan terkemuka sehingga kafilah mereka tidak takut apa-apa. Kebal dari kebanggaan: Quran Suci menyeru kepada kaum Muslimin pada umumnya dan Nabi khususnya agar tidak berjalan dengan bangga hati di muka bumi: “Dan janganlah berjalan di bumi dengan bersorak-sorai” (Q.S. 17:37). Dan lagi: “Adapun hamba Tuhan Yang Maha-pemurah ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang bodoh menegur mereka, mereka berkata: Damai!”. (Q.S. 25:63). Betapapun tingginya kedudukan Nabi yang diembannya di kalangan umatnya, namun dia tak pernah menyukai kebanggan ataupun pembedaan terhadap dirinya. Orang-orang Quraish yang paling dihormati biasa naik haji dan menginap di Muzdalifah, dimana orang lain tak boleh menikmati privilese ini. Tetapi Nabi sendiri, meskipun seorang Quraish, tidak pernah mau menerima pembedaan semacam itu Bahkan sebelum dan sesudah pengakuan kenabiannya, dia selalu tinggal bersama orang-orang kebanyakan, dan dia tidak senang akan suatu tempat khusus yang disediakan buatnya, atau suatu tenda khusus penahan panas matahari, sedangkan yang lain juga sama-sama menolak. Para sahabatnya memberi persediaan kursi kepadanya tetapi beliau menyatakan bahwa siapa yang datang pertama dialah yang layak atas keistimewaan itu. Dia biasa berperan-serta dalam segala pekerjaan; yang sedang dikerjakan oleh yang lain-lain juga. Ketika masjid di Madinah sedang dibangun, dia sendiri yang bekerja sebagai tukang biasa. Di samping itu beliau juga biasa menggali parit pada perang Uhud. Dan inilah kejadian yang dikutip Dalam hadist bahwa beliau terlihat penuh debu dalam peperangan ketika dia bekerja. Dalam segala pekerjaan beliau satu peringkat dengan para sahabatnya. Dia tidak pernah memakai mahkota atau tempat duduk yang lebih tinggi, tetapi duduk bersama para sahabatnya di hambal yang sama, sedemikian sehingga seorang yang baru datang tidak dapat membedakan di antara mereka yang mana Nabi itu dan seringkali menanyakannya: Siapakah di antara kalian yang bernama Muhammad? Di atas segala tipu daya. Ada banyak peristiwa dimana aNabi memberikan suatu bukti atas kejujurannya yang mutlak. Suatu kejadian atau dua bisa dikutip di sini. Sebelum beliau diangkat sebagai nabi di Mekkah suatu kali Abdullah bin Abil’amsa menutup perjanjian dengan Nabi dan memintanya menunggu di suatu tempat serta menyelesaikan masalahnya. Namun dia lupa akan kata-katanya. Setelah tiga hari dia teringat akan hal itu, dia dapati Nabi, tepat dimana dia telah meninggalkannya. Nabi, waktu melihatnya, menyatakan bahwa beliau telah menunggu dia selama tiga hari terus-menerus. Dalam perang Badar, kaum Muslimin sangat sedikit jumlahnya dan mereka sangat membutuhkan pasukan. Dua dari sahabat nabi, Abu Hudzaifah dan Abu Hassal, ketika tiba dari Mekkah di tahan dalam perjalanan oleh musuh namun kemudian dibebaskan dengan syarat mereka tidak boleh ikut berperang di fihak Nabi. Mereka menceriterakan seluruh kisah kepada Nabi dan beliau menyatakan, Kita harus menepati janji, silahkan kalian pergi dan biarlah kata-kata itu dipenuhi; kita tidak membutuhkan sesuatu kecuali pertolongan Tuhan. Bebas dari dipermalukan. Quran Suci menyatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang lain; barangkali (kaum lain) itu lebih baik daripada mereka; dan jangan pula kaum perempuan yang satu (memperolok-olok) kaum perempuan yang lain; barangkali (kaum perempuan lain) itu lebih baik daripada mereka. Dan janganlah mencela orang-orang kamu sendiri, dan jangan pula saling memanggil dengan nama ejekan. Buruk sekali nama jelek itu sesudah beriman; dan baranagsiapa tak bertobat, mereka orang lalim” (Q.S. 49:11). Bahkan para nabi lain tidak menyeru orang agar tidak merendahkan orang lain, tetapi hanyalah nabi Islam ini yang mengajar kepada seluruh negeri agar tidak memandang rendah bangsa lain. Dia memberi kepada seluruh umat manusia status persamaan sepenuhnya dan membunyikan lonceng kematian kepada segala jenis perbedaan akibat kasta, iklim, warna kulit dan ras. Dia merekatkan seluruh kaum Muslmin sebagai saudara. Dia telah mengakui kedatangan semua juru ingat, rasul, dan para nabi di pelbagai bangsa serta menyatakan bahwa semua negara adalah kreasi dari Tuhan Yang­esa. Tidak dikuasai oleh rasa balas dendam. Ini adalah satu dari sifat nabi yang paling menonjol. Dalam masa dama begitu juga di saat peperangan, dia itu tahan uji dan sabar. Pada situasi biasa, manusia itu bisa tahan uji, tetapi membabarkan kualitas yang menonjol ini pada saat dia memiliki tongkat komando dan mahkota adalah lebih jarang. Kemudian yang sering adalah membalas kepada mereka yang dari tangannya dia mengalami penganiayaan ketika masa susah. Nabi mempunyai kisah yang lain untuk diceriterakan. Ketika beliau sedang meramu kekuasaan kerajaan yang besar sesudah penaklukan Mekkah, dia mengampuni semua musuh Islam yang terkalahkan. “Katakan, wahai orang-orang Mekkah, apakah yang kauharapkan dariku hari ini?” adalah kata-kata Nabi kepada kabilah yang dikalahkannya sesudah selama ini menganiaya dia. Dan dia memaafkan semuanya atas apa yang mereka perbuat terutama pada saat ketika dia dengan segenap sarana yang dimilikinya bisa membalas kepada mereka karena dialah yang memegang Pemerintahan. Hindun, isteri dari lawan Islam yang besar Abu Sufyan, yang demikian brutal karena merobek dada paman nabi, Hamzah dan mengunyah jantung, hati dan ginjalnya serta memotong buah zakarnya dan mengalungkannya, karena kebenciannya yang sangat. Pada waktu penaklukan Mekkah, dia muncul dengan tabir di hadapan nabi, tetapi dikenali karena tingkah-lakunya yang menyakitkan. Tetapi Nabi tidak mau mengungkit peristiwa yang sangat menyedihkan dan menyiksa itu. Seketika itu juga Hindun menangis: “Nabi dari Tuhan Yang-benar, tendamu terlihat menjadi kediaman orang yang paling dicintai sekarang, meskipun sebelumnya sangat saya benci”. Nabi mengampuni dia. Umumnya dalam keadaan semacam itu, manusia akan bangkit marahnya dan tak ada lain yang menghalanginya untuk membalas apa yang telah dilakukan kepadanya sebelumnya. Orang Arab buas yang membunuh Hamzah adalah seorang Mekkah. Ketika Mekkah ditaklukkan keum Muslimin, dia lari untuk menyelamatkan jiwanya dan tiba di Taif. Namun di sana dia tidak dapat hidup tenteram. Akhirnya, dia datang kepada Nabi. Sesungguhnya, siapapun yang tidak dapat menemukan kedamaian di manapun juga, hanya bisa menemukannya di bawah bayangan Muhammad. Ada banyak kejadian seperti ini dalam sejarah Nabi yang paling sabar ini, yang tidak saja mengungkapkan betapa nabi itu bisa mengendalikan kemarahan dan amukannya, melainkan juga rahmatnya bisa mendinginkan kemarahan dan amuk orang-orang lain. Sedih atas kesusahan orang lain. Mekkah adalah tempat kelahiran Nabi, tetapi penduduk Mekkah adalah musuhnya yang besar. Selama tiga tahun mereka mendiamkan beliau. Mereka memutuskan tak boleh ada sebutir biji-bijianpun makanan yang sampai ke tangan beliau. Setelah banyak penderitaan Nabi terpaksa meninggalkan Mekkah. Setelah beliau hijrah maka suatu wabah kelaparan yang menakutkan menimpa kota itu, sedemikian rupa sehingga orang-orang terpaksa makan tulang dan bangkai. Maka datanglah Abu Sufyan ke hadapan beliau, dan berkata: “Wahai Muhammad! orang-orangmu akan binasa”. Seketika itu juga, Nabi mengangkat tangannya dan mendoakan agar musuhnya dibebaskan dari penderitaan ini. Dalam perang Uhud Nabi dilempari batu sedemikian banyak sampai giginya berdarah-darah. Tetapi orang yang penyabar ini tidak membalas kutukan sedikitpun. Sebaliknya dia berdoa: “Wahai Tuhan! Ampunilah orang-orang ini karena mereka tidak tahu”. Berbeda dengan Raja-raja dunia yang lain, nabi tidak pernah senang dengan kesusahan orang lain, ataupun bangga atas kemenangan yang diperoleh. Kasih-sayang kepada umat seperti seorang ibu. Semua filantropis mencintai kemanusiaan sepanjang hidupnya. Tetapi suatu kecintaan yang alami dan naluri seperti seorang ibu kepada anak-anaknya patut dipertimbangkan. Perlakuan para lawan nabi dan musuh Islam di Mekkah, bisa dibandingkan dengan anak yang nakal dan tidak patuh kepada ibunya. Betapa orang-orang Mekkah memperlakukan Nabi tak disembunyikan pada siapapun. Namun cara dimana Nabi menunjukkan naluri cinta, kehangatan dan penuh perhatiannya demi kebaikan mereka adalah bukti yang jelas dari perasaannya yang penuh rahmat. Dia menaruh simpati yang sebesar-besarnya kepada fakir-miskin, budak yang hina. Suatu kisah bisa dikutip di sini. Zaid bin Harits adalah seorang budak, yang dibebaskan oleh Nabi. Ayah Zaid datang untuk membawanya pulang, tetapi cintanya kepada Nabi begitu kuat di hatinya sehingga dia lebih cinta dan simpati kepada Nabi di bandingkan bapaknya sendiri. Lagi, seseorang suatu kali muncul ke hadapan Nabi dan berkata: Wahai Nabi yang paling ditinggikan Tuhan, berapa kali saya harus memaafkan seorang budak? Nabi lama berdiam diri. Dia mengulangi pertanyaannya namun Nabi tetap terdiam. Ketika dia bertanya untuk ke tiga kalinya, maka jawaban Nabi adalah: “Tujuhpuluh kali”. Memaafkan suatu kesalahan dan apalagi itu adalah kesalahan seorang budak, dan di atas itu memaafkan tujuhpuluh kali sehari, sesungguhnya adalah sesuatu yang mustahil dicapai. Hanyalah jiwa yang seperti ibu, yang bisa memiliki begitu besar cinta dan kasih untuk melakukan ini semua. Nabi telah meletakkan semuanya ini dalam praktik. Anas yang adalah pembantu Nabi, mengatakan bahwa Nabi Suci dalam sepanjang hayatnya tidak pernah berteriak, apalagi mengatakan seperti ‘Cih’, kepadanya. Selalu berfikir positif. Quran Suci mengatakan: “(Yaitu) orang yang mengingat-ingat Allah sambil berdiri dan sambil duduk dan sambil berbaring di atas lambung mereka, dan mereka merenungkan tentang terciptanya langit dan bumi: Tuhan kami, Engkau tak menciptakan itu sia-sia!” (Q.S. 3:190). Dan lagi Dia memerintahkan Nabi agar berkata: “Katakanlah: Sesungguhnya salatku dan pengurbananku dan hidupku dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan sarwa sekalian alam” (Q.S. 6:163). Seorang yang ingat kepada Tuhan sewaktu duduk dan berdiri tak akan pernah lalai terhadap kewajibannya dan beramal salih kepada sesama manusia. Adalah kegelisahannya kepada perbaikan kemanusiaan yang memaksanya untuk bersujud dan bermohon dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan serta ber-rendah-hati dalam doanya. Di samping segala perlawanan, dia berdoa dan sangat gelisah serta cemas demi perbaikan dan ketulusan akan umatnya. Suatu contoh-teladan bagi yang lain: Nabi Muhammad adalah satu-satunya nabi di seluruh galaksi, yang kehidupannya telah ditulis dalam rincian yang sangat ketat. Orang-orang bisa menemukan keselamatan dalam mengikuti jalan kehidupannya. Ini sesuai dengan perintah Quran Suci: “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah kamu mempunyai teladan yang baik bagi orang yang mendambakan Allah dan Hari Akhir, dan yang ingat sebanyak-banyaknya kepada Allah” (Q.S. 33:21). BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) NUBUATAN TENTANG MAITREYA YANG TERKENAL DI DUNIA Jika nubuatan itu mengandung kesaksian baik dari kawan maupun lawan, ini merupakan bukti terbesar tentang penting dan keasliannya. Ini berbeda bila misalnya bila ada perselisihan pendapat atas asal­usulnya yang tepat. Keotentikan dari prognosis ini jelas dari fakta bahwa misionaris Kristen, Teosofi dan pakar Hindu telah mencoba melekatkannya kepada para orang suci dan nabinya sendiri. Tidak berapa lama yang lalu ketika saya di Madras dimana pusat Teosofi Adyar mengadakan suatu konferensi agama yang dihadiri oleh kaum Teosofi dari seluruh dunia. Pada peristiwa ini sejumlah besar kepustakaan telah diterbitkan dimana obyeknya adalah datangnya guru dunia, Maitreya, yang didiskusikan secara rinci. Maitreya yang dijanjikan telah disebutkan dalam buku-buku Kristen dan Teosofi dengan kata-kata berikut ini : “Maitreya Buddha yang ke lima belum datang. Yang belakangan ini adalah Kabbalistic Raja Almasih, utusan cahaya, Sosiosh juru-selamat Iran, yang akan datang dengan seekor kuda putih. Ini juga menjadi kedatangan Kristus yang kedua”. Lihat apokripa St. Yohanes. (“Isis Unveiled” oleh Madame Blavatsky, halaman 156). “Kaum Buddhis menunggu kedatangan Maitreya Buddha di abad mendatang, demikian pula umat Hindu menunggu Kalki Avatar dari Wisnu yang akan datang dengan seekor kuda dengan pedang di tangan”. Avatara terakhir ini akan disebut Kalki. Dalam Bhagawat disebutkan bahwa Resi Maitreya, guru dunia masa kini yang disebut kawan Dwipayn Vyas Muni, yang akan menjadi guru terakhir dari Buddha yang dijanjikan. Pada saat Maitreya muncul untuk kedua kali dalam bentuk Almasih, dia menyeru kepada para muridnya untuk saling mencintai sama seperti dia mencintai mereka. Otoritas yang sama menulis selanjutnya bahwa Kalki Avatara dan Maitreya adalah dua Almasih, sebagaimana tulisnya: Dalam Wisnu Purana ditulis bahwa Resi Maitreya akan mengembangkan cahaya ruhani di abad kegelapan dan akan meletakkan landasan peradaban yang terbaik, berdasarkan persaudaraan, kasih­sayang dan harmoni. Namun, nabi ini bukanlah Kalki Avatara, yang akan datang belakangan, tetapi Maitreya ini telah didefinisikan sebagai pembimbing ruhani masa depan. Dalam buku lain dari kaum Teosofi “The Master of the Path” oleh Lead Beater halaman 51, “seseorang yang bernama Krishna Murti telah didefinisikan sebagai Dia Yang Dijanjikan dan telah ditulis bahwa: Pangeran Maitreya mengambil arah yang sama ketika dia mengunjungi Palestina, 2.000 tahun yang lalu”. Dalam “Buddha and Christ” oleh Jinarja Dass, halaman 8, telah ditulis: “Pada hari-hari itu ada dua di antara jutaan manusia yang berdiri sebagai menara di atas yang lain dalam kekuatan berkah dan cinta. Sumedha dan lainnya, di hari-hari belakangan kita kenal mereka sebagai Gautama Buddha dan Kristus”. Seorang orientalis yang terkenal di dunia, Prof. Max Muller menulis dalam “Chips from a German Workshop” jilid I halaman 452-453 : “Pernahkah kaum Buddhis mencoba mengetahui bahwa Buddha yang Dijanjikan itu tiada lebih daripada Maitreya yang diharapkan, guru Hukum, namun dia timbul sebagai utusan cinta (Almasih)”. “Maitreya, nama dari Budhisatva yang merupakan Buddha di masa depan. Agama Buddha berpegang bahwa kebenarannya secara berulang-ulang telah diajarkan oleh Buddha, yang muncul dalam suksesi dan doktrin setelah kemerosotan dan menghilangnya, akan sekali lagi terlaksana dan diajarkan oleh Buddha di masa depan. Suatu siklus dimana tiada Buddha yang muncul disebut kosong (Shunya). Tetapi dalam siklus ini ada lima, empat telah muncul, dan yang kelima adalah Maitreya. Teori Buddha yang datang kembali ini bukannya primitif, tetapi sudah pasti timbul sebelum kanon Pali, karena Metteya disebutkan dua kali di sana” (Digha Nikaya, No.26. Buddhavansha bab 2) dan kepercayaan itu menjadi mapan di semua aliran (E. Leuman, “Maitreya Samiti”). “Ada satu makhluk , wahai saudaraku, yang lahir ke dunia demi kebaikan dan kemakmuran dari sebagian besar manusia, karena rahmat-Nya kepada dunia, demi kemaslahatan dan kebajikan dan kesejahteraan dewata dan manusia. Dan apakah makhluk itu? Seorang Tathagata, dan Arhat Buddha, Yang Utama”. (Digha Nikaya, 26). “Dia yang menaklukkan tidak akan ditaklukkan lagi” (Dhammapada). Edmund dan Pavri mendefinisikan Almasih Yang Dijanjikan yang disebutkan dalam Yohanes, sebagai Maitreya dan Almasih sebagai pribadi yang satu dan sama. (“Buddhist and Christian Gospels”, jilid II hal. 164; “The Coming of Christ”, hal. 106). Beberapa penulis Hindu telah mencoba melekatkan nubuatan ini kepada orang suci mereka sendiri Shankaracharya. Ini adalah pribadi yang sama, yang melakukan segala macam kesulitan terhadap kaum Buddhis di India karena dia berpandangan bahwa Buddha itu menentang Weda (Telah kita sebutkan sebelumnya, pandangannya terhadap Weda). Dia membantai kaum Buddhis sedemikian besar jumlahnya hingga tak seorangpun yang tersisa di India, entah terbunuh atau melarikan diri dari India. Betapapun dengan semuanya ini, adalah sungguh melukai hati bila Shankaracharya inidihubungkan dengan Maitreya Yang Dijanjikan. Juga klaim kaum Teosofi bahwa Krishna Murti adalah Maitreya setelah beberapa waktu mereka gagal mempropagandakannya, sekarang hanya menunggu akan datangnya Maitreya. Ini adalah pelajaran Tuhan kepada kaum Teosofi dan kepada mereka yang mengira bahwa nabi itu seorang yang dibuat oleh manusia atau rekaan orang belaka. Tuhan memenuhi nubuatan Buddha dalam pribadi Muhammad 1400 tahun yang lalu. Mengenai klaim dari kawan-kawan Kristiani kita, bisa dicatat bahwa atribut Maitreya itu tidak bisa didapati dalam pribadi Kristus dan cukuplah kita mintakan perhatian terhadap buku Monier Williams tentang Buddhisme, dimana dia mengungkapkan hal yang paling memalukan dalam mengaitkan Messiah dan Buddha. Dalam suatu bab khusus dia menulis: “Adalah rupanya suatu kenaifan, dalam menyimpulkan pelajaran ini; Siapakah yang akan kita pilih sebagai pedoman kita, harapan kita, juru selamat kita. “Cahaya Asia” atau cahaya dunia? (Buddhism and Christianity). “Buddha atau Kristus? Adalah sekedar suatu ejekan untuk mengajukan pertanyaan ini kepada orang-orang yang rasional dan mau berfikir dalam abad ke sembilanbelas; kitab mana harus kita peluk dalam hati kita pada jam terakhir, kitab yang memberi tahu kita tentang orang mati, ketiadaan, Buddha yang menyerahkan kematiannya atau Kitab yang mengungkapkan kepada kita tentang yang hidup, kehidupan abadi yang diberikan oleh Kristus “. (Monier Williams, hal.536-563). Sebagai kenyataan bab ini berjudul: Nubuatan tentang Maitreya yang dikenal luas di dunia. Klaim dari kaum Kristen, Teosofi dan Hindu telah membuktikan bahwa nubuatan ini terkenal dalam istilah yang paling jelas tanpa kebingungan lagi dalam kitab-kitab agama Buddha. Suatu kesimpulan ringkas dari tema mereka ini bisa diberikan di bawah ini: Kaum Buddhis, begitu pula Persia, Hindu dan Kristen, telah menunggu seorang yang dijanjikan. Namanya adalah Maitreya. Dia kelak akan benar-benar seorang Maitreya dalam arti maupun kata. Dia adalah gabungan dari rahmat dan penuh kehangatan. Dia akan menjadi pemilik pedang, yakni pedang kebenaran, dan dia akan mempertahankan diri, sebagaimana kata Quran Suci: “(Perang) diizinkan kepada orang-orang yang diperangi, karena mereka dianiaya. Dan sesungguhnya Allah itu kuasa untuk menolong mereka. (Yaitu) orang-orang yang diusir dari rumah mereka tanpa alasan yang benar, kecuali hanya karena mereka berkata: Tuhan kami ialah Allah” (Q.S. 22:39-40). Maitreya yang akan datang, Wishnu Avatara dan Sosiosh dengan seekor kuda putihnya merujuk kepada kehidupan yang murni serta paling sublim, yang akan dipimpin oleh orang yang dijanjikan itu. Ini juga menunjukkan tertekannya nafsu jahat dengan pribadi yang tulus. Sebagai kenyataan, para sejarawan mengungkapkan kuda nabi yang disebut Buraq yang berwarna putih. Teka-teki ini dengan indahnya telah ditafsirkan dalam Wahyu kepada St. Yohanes, yang terbaca: “Lalu aku melihat sorga terbuka; sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya bernama “Yang Setia dan Yang Benar”, Ia menghakimi dan berperang dengan adil” (Wahyu 19:11). Pedang di tangan dan seekor kuda putih yang ditungganginya diikuti pernyataan bahwa bahwa Dia yang Dijanjikan itu adalah seorang yang jujur dan benar, dan ia akan mengadili dengan pertolongan kebenaran dan berjuang untuk penyebarannya. Setiap kata dalam wahyu ini membuktikan Muhammad sebagai dia yang dijanjikan seperti yang dirujuk di atas. Dia diakui terkenal sebagai yang terpercaya (Al-Ameen) dan yang benar (Siddiq) oleh para musuhnya. Wahyu kepada Santo Yohanes itu ditulis pada tahun 96 M. Setelah Almasih maka giliran Nabi Suci yang telah berperang dan berjihad untuk menyebarkan kebenaran. Dan tidak ada sesuatupun yang membingungkan tentang kuda putih yang dimilikinya untuk berkendaraan. Nama dari dua kudanya adalah “Luhuf” dan “Sanjah”. Adalah aneh bahwa tak seorangpun nabi Bani Israil yang boleh mengendarai kuda. Tuhan melarang berdagang dengan Mesir yang terkenal akan perdagangan kudanya (Ulangan 17:16), dan hanya Sulaiman yang empunya kuda. Para hakim dan pangeran Bani Israil biasanya menggunakan keledai dan bihar sebagai kendaraan. Karena itu nubuatan tentang seorang penunggang kuda adalah Muhammad dan pengendara keledai adalah Kristus. Bahwa Maitreya adalah teman Viasji adalah terang dari nubuatan, yang telah diramalkan tentang Nabi Suci oleh Vyasji dalam Bhavishya Purana (didiskusikan dalam “Prophet Muhammad in Hindu Scriptures” di tempat lain dalam buku ini). Maitreya adalah Buddha yang terakhir dan Nabi; sebagaimana juga telah dikatakan dalam al-Quran: “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang kamu, melainkan dia itu Utusan Allah dan segel (penutup) para Nabi”. (Q.S. 33:40). Maitreya akan menjadi utusan dari rahmat serta kasih-sayang ke seluruh lama semesta. Kedatangannya akan terjadi pada abad kegelapan (Kaliyuga). Dalam terminologi Hindu abad di dunia ini dibagi dalam empat abad (yugas). 1. Krutayuga, 2. Tretayuga, 3. Dwaparyuga, 4. Kaliyuga. Semua resi Hindu (utusan) muncul dalam ketiga abad pertama (periode) dan Muhammad muncul pada abad Kaliyuga. SUMBER NUBUATAN TENTANG MAITREYA Perkara lain yang menunjukkan keaslian akan pentingnya nubuatan ini tentang kedatangan Nabi Yang Dijanjikan terdapat dalam daftar sumber yang diberikan di bawah ini: Nubuatan ini diberikan oleh murid Buddha yang terkenal dan terkemuka. Disebutkannya adalah oleh percakapan Buddha sendiri. Raja Buddhis membuat patung-patung dari Maitreya yang akan datang di pelbagai kota di Asia, semacam Kandhara, Gaya, Benares, di Provinsi Frontier, Deccan, Burma, Cina, Jepang, dan tempat-tempat yang terjauh di Asia Tengah. Beberapa dari patung ini setinggi 120 kaki. Tidak saja Gautama Buddha melainkan juga semua Buddha yang terdahulu darinya mengharapkan kedatangan Dia yang Dijanjikan. Dalam Kitab-kitab agama Buddha yang paling otentik dan standar, lukisanan sosok Dia yang Dijanjikan itu digambarkan dengan terang, supaya orang-orang tidak tertipu dalam mengenalinya. Beberapa gambaran atas sifat-sifat khususnya yang menonjol juga telah diberikan. Kualitas moralnya digambarkan dalam pujian yang ditulis dengan istilah yang jelas dan istimewa. Masa kedatangannya telah disebutkan, tetapi tidak dalam istilah yang persis. Ada perbedaan pandangan tentang pertanyaan ini. Maitreya, Dia yang Dijanjikan, telah digambarkan sebagai pembimbing dari seluruh umat manusia. Disebutkan dalam istilah yang terbuka bahwa dia adalah akhir dari para nabi, bahwa tidak ada Buddha lagi yang muncul sesudahnya. Dalam kepustakaan sejarah kaum Buddhis, disebutkan sebagai suatu fakta bahwa Dia Yang Dijanjikan ditunggu dimana-mana dengan sangat. Nama “Maitreya” sendiri berhubungan dengan seorang yang dikenal tanpa suatu keraguan. Buddha menyebut Dia yang Dijanjikan adalah seorang Buddha dan digambarkan pelariannya itu sama dengan Buddha yang Dijanjikan kelak. Buddha menekankan nubuatan ini sedemikian kuatnya sehingga para muridnya semuanya lupa akan kesedihan atas kematiannya. Kaum Buddhis sangat ingin tahu tentang Maitreya sehingga mereka menyangka setiap dan masing-masing pembaharu sebagai dia yang dijanjikan. Ada banyak kejadian semacam ini dalam sejarah kaum Buddhis. Dalam Kitab-kitab suci agama Buddha disebutkan tidak saja tentang akhlaknya yang mulia dan patung­patung yang didirikan untuknya, melainkan juga tanda-bukti dan akhlak para muridnya, kaum mukmin dan para pengikutnya, yang diberikan secara rinci. Dia digambarkan sebagai gabungan dari akhlak semacam itu yang belum pernah ada pembaharu lain yang menyamainya. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) TRADISI DARI MURID-MURID BUDDHA YANG TERKENAL Ada suatu kitab berjudul “Anagat Vansha” (Sejarah dari peristiwa di masa depan). Yang berikut ini disalin dari “Journal of the Pali Textbook Society” tahun 1886 M. halaman 33 di Museum Library Colombo, Sri Lanka. Satu copy lagi dari ini terdapat di M.G.P.O. Hinayana Library, Rangoon. Aham etrahi sumbudho Metteyo capy hessati idheva bhaddake kappe asamjate vassakotiye Metteyo namena sambuddho dvipaduttamo Kattam bhavissati mama ceayena rathaman panca anatara dhanai. Dalam kitab itu tertulis: Puji kepada Dia yang Diberkahi, Buddha yang suci dan agung itu, yang saya telah mendengar pada suatu peristiwa tertentu. Yang Diberkahi tinggal di Kapilavastu dalam suatu gua di pohon beringin di tepi sungai Rohani. Kemudian seorang yang dihormati, Sariputta bertanya kepada Dia yang Diberkahi mengenai Penakluk di masa depan. Pahlawan yang akan mengikutimu adalah sebagai Buddha, apapun juga keadaannya. Peristiwa seutuhnya akan dipelajari. Nyatakanlah kepadaku. Engkau Yang-esa dan Melihat. Ketika dia mendengar pembicaraan para tetua. Yang Diberkahi memberikan jawaban: Aku akan katakan kepadamu, Sariputta; berdoalah agar kaupasang telingamu karena aku akan bicara. Lingkaran kita adalah sesuatu yang membahagiakan. Tiga pemimpin telah hidup: Kaku-Sandha, Konagamana, dan pemimpin tambahan Kasapa. “Buddha yang utama adalah saya, tetapi setelahku Metteya akan datang, pada saat lingkaran yang bahagia ini berakhir. Sebelumnya, kisah tentang tahun-tahun ini akan lenyap, kemudian Metteya disebut Yang Utama dan menjadi pemimpin dari seluruh umat manusia”. (“Buddhism in transition” diterjemahkan oleh Warren Pages, halaman 480-482). Kisah ini berasal dari seorang murid besar Buddha dan sahabatnya. Kata-kata ini berbicara mengenai keagungan sang nabi. Dan karena inilah maka Dia yang Dijanjikan itu dipandang sebagai pendiri agama kemanusiaan. KISAH DARI MURIDNYA YANG LAIN, ANANDA Ananda adalah perawi yang lain dari nubuatan ini. Dia selalu menyukai rombongan Buddha. Kata-katanya dikutip dari “Milinda Prashnah”, suatu kitab dengan otoritas, yang telah lama merupakan kitab populer dalam bentuk bahasa Pali, telah diterjemahkan ke bahasa Sinhala, dan memiliki suatu posisi yang unik kedua hanya sesudah Pali Pitaka. Kitab ini diterbitkan di Colombo pada tahun 1877; ini mengungkapkan justru dalam Kata Pengantarnya bahwa kitab ini berisi percakapan antara Raja Milinda dengan seorang misionaris Buddha Nagsena, 500 tahun sesudah Buddha. Rev. T.W.Rhys Davids telah menerjemahkannya ke Bahasa Inggris. Mengenai otentisitasnya, dia menulis: Kitab ini telah datang ke rumahnya yang di selatan ini sebagai kitab dengan standar otoritas…… Prof. T.W.Rhys Davids menerjemahkan: Nagsena yang suci, telah dikatakan oleh dia yang diberkahi. Sekarang Tathagata tidak mengira Ananda adalah dia yang harus memimpin persaudaraan, atau bahwa pesan itu tergantung kepadanya. Tetapi sebaliknya ketika menggambarkan kemuliaan dan sifat dari Metteya, dia yang diberkahi, dia berkata demikian ini: - Dia akan menjadi pemimpin suatu persaudaraan dari beberapa ribu orang jumlahnya seperti halnya saya sekarang yang menjadi pemimpin dari beberapa ratus orang jumlahnya. (T.W. Rhys Davids, “Milinda Prashnah” halaman 225). Raja Milinda berkata kepada Nagsena, ujarnya: - Wahai Nagsena yang terhormat! Buddha yang diberkati telah meramalkan…Buddha tidak berfikir bahwa hanya dialah yang memimpin komunitas. Tetapi dengan mendefinisikan atribut dari Metteya, Buddha yang diberkati berkata: Dia akan memimpin seluruh kemanusiaan, sama seperti saya yang memimpin ratusan orang. (“Milinda Prashnah”, halaman 229). WASIAT BUDDHA DI TEMPAT WAFATNYA Dalam kitab yang terkenal dari agama Buddha, Maha pri Nibhan Sutta dan T.W.Rhys Davids, J.Eitel, Carlongen Newman telah menulis berdasarkan otoritas dari kitab-kitab Buddhis dalam bahasa Sanskrit dari bahasa Cina yang paling berwenang; bahwa Buddha yang Diberkahi maju ke depan dengan suatu rombongan besar dari para pengikutnya ke tempat tinggal Malla yang ada di Koshinagar di seberang sungai Harinyvati. Setelah sampai dia berbicara kepada Ananda, ujarnya: Bawakan aku sebuah bantal. Kepalanya harus menghadap ke utara di antara dua pohon cemara. Wahai Ananda, saya merasa lemah; saya ingin berbaring. Bantal dibawakan kepadanya, dan Buddha berbaring atasnya. Kemudian ketika dia kembali kesadarannya dan telah terbangun, beberapa tanda istimewa muncul di pepohonan dan di langit serta di bumi. Ananda menganggap hal ini menunjukkan hormat. Tetapi Buddha mengatakan tanda-tanda ini tidak ada kaitannya dengan penghormatan terhadap dirinya, tetapi penghormatan besar adalah kesadaran akan dirinya, ikatan kewajiban dan pengikut yang tulus. Buddha melanjutkan kata-katanya: “Wahai Ananda, jadi, bisakah engkau menghormati tuanmu?” Mendengar hal ini, air mata mengalir di pipi Ananda. Ini karena ia merasa bahwa ia masih belum apa-apa kecuali pencari kebenaran, dan dia masih begitu jauh dari tujuan yang sempurna: tetapi tuannya, tuannya yang baik hati, akan segera wafat. Kemudian Buddha bertanya kepada para muridnya: Saudara-saudaraku, dimanakah Ananda? Seseorang memanggil Ananda. Ananda menghampiri dan berkata kepada Tuan yang dihormatinya: Kegelapan dan kegalauan sedang mencari kebijaksanaan. Orang-orang yang terbenam dalam dengan emosi, dan nafsu, dan buta, sangat mendambakan cahaya. Wahai engkau yang begitu sempurna, “pencetus cahaya kebijaksanaan”. Dengan kata-kata ini Ananda duduk di sampingnya, dan Buddha berkata: Ananda, hentikanlah; jangan bersedih hati atau berurai air mata seperti ini. Bukankah telah kuberitahukan berulang-kali kepadamu sebelum ini, bahwa adalah fitrah kita untuk berpisah dengan yang kita kasihi dan barang-barang yang disukai. Seorang yang tidak bijak akan mengira bahwa dirinya adalah segalanya, tetapi seorang yang sadar mengenal bahwa ego-nya itu bukanlah realitas. Dia menyadari khayalan alam semesta ini, dan yakin bahwa semuanya akan lenyap kecuali kebenaran dan ketulusan. Saya menyerahkan diri jasmaniku ini yang berupa daging dan tulang. Ruh dari alam ini akan terus hadir. Saya telah memutuskan untuk mencari peristirahatan dan kedamaian, karena saya telah menyelesaikan karya risalah saya. Hanya inilah apa yang kucari sekarang. Wahai Ananda, engkau sangat dekat kepadaku karena pengabdian dan kecintaanmu yang takkan musnah. Apapun yang kaukerjakan itu sudah benar, teruslah berusaha dengan sekuat mungkin tenagamu. Hanya dengan demikian kemudian kamu akan menemukan pembebasan dari nafsu rendahmu, takhayul dan kebodohan. Kemudian Ananda menahan tangisnya dan bertanya siapakah yang kelak akan mengajar mereka setelah (Buddha) tiada. Untuk ini Gautama Buddha menjawab: Saya bukanlah satu-satunya Buddha yang datang ke dunia ini, ataupun saya bukanlah kereta yang terakhir. Pada saatnya yang tepat, Buddha yang lain akan bangkit – seorang yang suci, cahaya di atas cahaya, dan seorang yang akan menyebarkan kebijaksanaan dan ilmu. Dia akan mengetahui rahasia alam, dan akan dengan seluruh keagungannya, dia akan menjadi pemimpin yang mengungguli seluruh manusia dan menjadi pengajar umat manusia dan jin. Dia akan menggelar kebenaran Ilahi dengan cara yang sama seperti yang saya kerjakan. Dia akan menyiarkan agamanya dan ini dalam kenyataannya akan menjadi yang terbaik. Dia akan mencapai puncak kejayaan dan kemuliaan. Dia akan menikmati kehidupan bersama orang-orang yang tulus, seperti yang saya lakukan. Murid-muridnya akan berkali-lipat menjadi ribuan sedangkan saya hanya beberapa ratus. Ananda merasa tenteram dengan kata-kata ini lalu berkata: Doakan, Tuan, bagaimana kita bisa tahu akan hal itu? Untuk ini Buddha yang diberkahi berkata: Dia kelak adalah Maitreya yang seutuh-utuhnya. (“Gospel of Buddha” oleh Carus P. halaman 215-218). Menarik kesimpulan dari kutipan ini yakni bahwa Buddha tidak hanya mengakui para Buddha sebelumnya, melainkan juga merujuk dalam istilah yang ditekankan akan kedatangan seorang Buddha yang belakangan, yang digambarkannya sebagai orang suci. Quran Suci berbicara tentang Nabi Muhammad dengan istilah yang tidak ke sana-sini sebagai: “Dan Allah akan melindungi engkau dari manusia jahat” (Q.S. 5:67). Lagi dia digambarkan sebagai seorang yang menampakkan cahayanya di tanah yang penuh kegalauan dan kegelapan. Karena kepemimpinannya yang diberikan ke segenap bangsa di dunia maka dia adalah segala cahaya; al-Quran mengungkapkannya: “Cahaya di atas cahaya” (Q.S. 24:35). Kitab yang diusung olehnya dikatakan dalam al-Quran: “Ini adalah ayat-ayat Kitab yang penuh Hikmah” (Q.S. 10:1). Dia yang dijanjikan akan mengetahui semua rahasia alam itu dimanifestasikan dari al-Quran, dimana kitab ini menggambarkan nabi sebagai yang mengetahui rajhasia alam yang paling dalam. Lagi dia menyebutnya sebagai pembimbing seluruh umat manusia dan guru baik manusia maupun jin. “Engkau hanyalah juru-ingat, dan tiap-tipa bangsa mempunyai seorang pemimpin” (Q.S. 13:7). Ini adalah sifat beliau satu-satunya yakni menjadi pembimbing dari seluruh dunia sedangkan para nabi yang lain datang membimbing masing-masing kaumnya. Sebagai nubuat, dikatakan bahwa beliau akan memperagakan kebenaran Ilahi seperti yang diajarkan olehnya. Al-Quran telah membenarkannya dengan kata-kata: “Utusan dari Allah, yang membacakan halaman-halaman yang suci. Yang didalamnya berisi Kitab-kitab yang benar” (Q.S. 98: 2-3). Bahwa semua tujuan yang benar ini diperlukan sebagai petunjuk bagi manusia, baik yang sebelumnya sudah diturunkan ataupun belum, semuanya ditemukan dalam Quran Suci. Dia akan menyiarkan agamanya sebaik mungkin dari seluruh agama yang ada, kata Quran Suci: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku lengkapkan nikmat-Ku kepada kamu dan Aku pilihkan untuk kamu Islam sebagai agama” (Q.S. 5:3). “Dia akan mencapai puncak kejayaannya”, dibenarkan oleh al-Quran: “Boleh jadi Tuhan dikau akan menaikkan engkau pada kedudukan yang amat mulia” (Q.S. 17:79). Seorang lelaki yang para lawannya berencana untuk menyingkirkannya dari kota sebagai orang yang tak berdaya telah ditingkatkan ke suatu kedudukan yang luhur dan berwibawa. Demikianlah para pakar yang besar dan terkemuka telah menulis tentang dia: “Yang paling sukses dari semua Nabi serta segenap pribadi keagamaan” (17). Kata-kata Buddha : Bahwa dia akan memimpin kehidupan orang-orang tulus dipraktekkan seratus prosen oleh Nabi. Dia tidak saja memimpin kehidupannya sendiri yang paling tulus melainkan dia meramu ribuan umat menjadi bebas dari dosa. Lagi bahwa dia akan menikmati persahabatan dengan ribuan pengikutnya serta muridnya telah jelas dari fakta historis bahwa pada saat penaklukan Mekkah, Nabi memimpin sepuluh ribu bangsa Arab. Dan segera setelah wafatnya jumlah itu berkembang menjadi lebih dari tujuhpuluh ribu. Betapa besar mukjizat semacam ini bagi seorang laki-laki, yang dilawan oleh berpuluh ribu orang dan dia menjadi magnet bagi mereka semua, untuk memasukkannya menjadi mereka yang berniat baik dan kawan serta pengikutnya. Tidak ada kemungkinan sukses yang lebih baik dari ini. Jadi, dia telah memerintah mereka tidak saja secara fisik melainkan juga spiritual, karena kehangatan dan kecintaan kepadanya telah terpateri dalam hati mereka. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) NUBUATAN DALAM NASKAH SUCI YANG LAIN Sulit didapatkan satu Kitab agama Buddha yang tidak menyebutkan kedatangan Maitreya yang dijanjikan. Sir Charles Eliot, mantan Dutabesar Britania Raya di Jepang, dalam bukunya “Japanese Buddhism” menulis pada halaman 119-120: “Maitreya itu khusus penting bagi sejarah ajaran karena ini berkaitan dengan sifat dan keadaan dari seorang Bodhisatva baik yang lebih lama maupun yang lebih baru”. ‘Dia disebutkan, dalam teks Pali dengan sedikit rincian – Seluruh aliran Buddhisme mengenalnya dan dia kerap kali disebut dalam kepustakaan Pali belakangan dan di dalam teks Buddhist Sanskrit sebagai “Lalit vistara” dan “Mahavastu”. Lagi, cendikiawan terkemuka dari Madras, Pandit Kumar Swamy, dalam bukunya: “Buddha and the Gospel of Buddhism”, pada halaman 225 menulis: “Buddha di masa depan hanyalah Boddhisatva Maitreya, penjelmaan dari kasih-sayang dan kebaikannya disebutkan”. R.S. Hardy dalam bukunya “Manual of Buddhism” menulis: “Selama Buddha menetap di Weluwana maka ayahnya Sudhodana, yang telah mendengar pencapaiannya menjadi Buddha, mengirim kepadanya seorang bangsawan – yang menyerahkan pesan ini atas nama raja: “Adalah kehendakku untuk melihatmu; maka datanglah ke mari; yang lain telah memperoleh manfaat dari Dharma, tetapi ayahmu atau kerabatmu yang lain, belum. Sekarang sudah tujuh tahun sejak terakhir aku melihatmu”. Setibanya di taman, Buddha duduk di atas sebuah singgasana – Pangeran Sakya itu berkata: “Siddharta (Buddha) ternyata lebih muda daripada kita-kita ini; dia itu kemenakan kita; kita pamannya dan kakeknya”. Karena itu mereka mengatakan kepada pangeran yang lebih muda itu untuk menyembahnya, sedangkan mereka duduk berjarak yang agak jauh. Buddha mengerti jalan fikiran mereka dan berkata: “Sanak-kerabatku tidak mau menghormati aku, tetapi aku akan mengatasi keengganan mereka” – Setelah Saryut menyembah Buddha. Kemudian Buddha meramalkan kepada mereka kedatangan Maitreya”. Dalam kisah lain diriwayatkan: “Suatu kali ayah dari Gautama Buddha mengungkapkan keinginannya untuk melihatnya. Dia mengirimkan beberapa utusan, yang berkata kepada Buddha; ayahmu ingin sekali melihatmu sebagai kembang Leli dari matahari itu; dan demikian pula ratu sangat mendambakanmu seperti malam pekat yang merindukan rembulan baru. Istananya berjarak 960 mil dari Kapilawastu. Buddha melakukan perjalanannya selama dua bulan, dengan berjalan kaki enambelas mil setiap hari. Seorang pengajar agama menyampaikan berita atas kedatangan Buddha kepada ayahnya. Lebih dari 500 pemuda dan pemudi mengelu-elukan dia dengan harum bunga-bungaan dan manisan. Orang-orang berkata bahwa mereka adalah sesepuh dan pamannya, dan bahwa dia adalah keponakannya. Maka mereka tidak suka untuk menghormatinya. Buddha yang membaca fikiran mereka; mengapa orang-orang yang dekat dan saya sayangi ini tidak mau menghormatiku, tetapi aku akan atasi penolakan mereka itu. Kemudian setelah itulah dia menceriterakan kepada mereka kedatangan dari Maitreya yang dijanjikan”. (“Manual of Buddhism”, oleh R.S. Hardy, halaman 203). Kedatangan Maitreya juga disebutkan dalam Kitab-kitab suci Hindu. Ada suatu kitab terkenal bernama “Buddha charit” dari “Ashva ghosha” dimana terbaca: “Brahmin dan dewata yang lain dengan para pengawalnya dipanggil bersama-sama dari langit. Dan Maitreya yang diberkahi datang bersama para malaikat untuk menyegarkan kembali hukum Ilahi di bumi” (15:118). Dalam kutipan ini peristiwanya telah diamati dalam suatu wahyu. Kaum Buddhis menangkap bahwa Maitreya, dia yang dijanjikan itu, berkaitan dengan langit Tushita. Tushita berarti ketenteraman sejati dan kepuasan. Ini mendorong kita untuk menarik kesimpulan, bahwa dia yang dijanjikan itu akan mencapai tingkat yang tertinggi dalam perdamaian, ketenteraman, dan kenikmatan. Quran Suci menyatakan tentang Nabi Suci: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan dikau, dengan perasaan ridla, amat memuaskan di hati. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke Taman-Ku!” (Q.S. 89: 27-30). Ini tiada lain adalah istirahat dan tenteramnya fikiran yang membuatnya tetap bisa melayani bahkan ketika menghadapi cobaan yang paling berat di tangan para lawannya. Dia tak pernah mengeluh di hadapan Tuhan atas penderitaannya. Sebaliknya, dia berdoa dan bersujud di hadapan Tuhan malam dan siang. Dari sini kita dapat lebih membayangkan akan kedamaian fikirannya yang sudah sangat berkembang. Kitab Sanskerta yang lain, naskah suci yang otoritatif dari sekte Buddhis Mahayana adalah Lalita vistara, yang mengungkapkan peristiwa kehidupan Buddha. Kaum Buddhis Cina sangat menghormati dan memiliki keyakinan kuat terhadap kitab ini. Ini berisi nubuatan tentang Maitreya dalam istilah yang sangat istimewa. (“Nidan prevritah”, Adhyay 26:8,10; Adhyay 5:39). Kitab Sanskrit yang lain yakni Sadhna Mala jilid I dan II, diterbitkan oleh Oriental Institute dari Baroda State (India) berbicara tentang jejak utama dari dia yang dijanjikan (Maitreya Sadhuam, halaman 50). Dalam “Buddhist Philosophy in India and Ceylon” oleh Bridal Keith, ditulis: “Kedatangan Buddha yang dinamai Metteya, telah dikenal dalam kanun”. (“Digha Nikaya” 3:76, diterjemahkan oleh Sir Charles Eliot). Ada delapan baris tentang Maitreya dalam Ekottra berbahasa Cina (Bridal Keith’s “Buddhist Philosophy in India and Ceylon”). PARA SAHABAT NABI DALAM PULUHAN RIBU Seperti halnya Quran Suci yang telah diramalkan sebagai mukjizat dari Nabi yang terakhir, begitu pula pencapaian dari puluhan ribu sahabatnya adalah fakta yang sudah diperkirakan. Jika Quran Suci adalah mukjizatnya yang lisan, maka kumpulan sahabatnya adalah keajaiban spiritualnya yang tertinggi. Inilah sebabnya mengapa banyak nabi pendahulunya memanggil mereka orang-orang suci. Sebagai fakta nyata, ini adalah suatu kisah yang hidup dan suatu tanda yang menakjubkan atas kesuciannya yang luar-biasa. Buddha telah menyatakan bahwa Buddha Maitreya yang akan datang akan seperti dia. Ada banyak kemiripan antara Buddha dengan Nabi Muhammad. Persamaannya adalah kecintaannya akan budi-pekerti yang luhur dan kebenciannya kepada kejahatan; sebagaimana Quran Suci telah menyatakan: “Tetapi kepada kamu, Allah telah menimbulkan kecintaan kepada iman, dan menampakkan indah (iman) itu di dalam hati kamu, dan kepada kamu, Ia telah menimbulkan benci kepada kekafiran, melanggar batas, dan mendurhaka. Demikian itulah orang-orang yang terpimpin pada jalan yang benar” (Q.S. 49:7). Dan mereka dikatakan seperti bintang yang memberi petunjuk kepada umat: “Para sahabatku ibarat bintang; siapapun dari mereka yang kauikuti, engkau akan mengikuti arah yang benar” (Mishqat 27:12). Mereka juga disucikan dari dosa: “Seorang Utusan di antara mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan menyucikan mereka” (Q.S. 62:2). Suatu kemiripan lainnya yang diramalkan oleh Buddha adalah bahwa Dia Yang Dijanjikan ini akan menjadi “Pemimpin dari kumpulan puluhan ribu orang, sama seperti dirinya yang menjadi kepala dari ratusan di antara mereka”. Kebesaran para sahabat Nabi Suci tidak hanya dalam jumlah melainkan juga dalam keluhuran yang sejati dari kemuliaan akhlak dan kesucian hidup. Le Comte de Bouillanvilliers berkata: “Dan sejujurnya kita boleh katakan bahwa tak ada peristiwa sejarah yang patut dibanggakan, yang telah mengejutkan khayalan kita dengan keadaan yang lebih hidup, atau itu sendiri bisa lebih merupakan kejutan yang menyenangkan, bila dibandingkan dengan yang kita temukan dalam kehidupan kaum Muslimin pada awalnya”.(18) Ada beberapa ratus kaum Buddhis pada saat Buddha wafat tetapi dengan sangat cepat mereka telah kehilangan ajaran dari tuannya: “Agama Buddha seluruhnya berubah dalam jangka pendek selama sepuluh tahun” (“Primitive Buddhism” oleh Elizabeth A. Reed, halaman 25). Sebaliknya, para pengikut Nabi Suci menghayati seluruh risalah Ilahi dalam hatinya, dan melaksanakannya dalam praktik. Mereka mencintai risalah-Nya dan Utusan-Nya sedemikian besar sehingga mereka siap sedia untuk menyerahkan segalanya baginya. Dalam jumlah mereka ribuan tetapi dalam amal perbuatan mereka tak ada tandingannya, baik dalam pelayanan maupun kesucian, dan mereka adalah kunang-kunang dari cahaya Nabi Suci. Dan jasa ini mengalir kepada Nabi Suci yang telah bisa menghasilkan kelas pengikut yang merupakan kesatuan dari ketulusan, kebenaran, kecintaan kepada Kebenaran Ilahi dan kehormatan. Buddha benar ketika meramalkan tentang mereka: “Bersiap-siaga dan berfikirlah sebaik-baiknya; berpegang tanganlah kalian, dia yang baik budi dan penuh rahmat kepada dunia ini (Rahmat-an-lil-alamien) akan berbicara, akan mencurahkan hujan Hukum yang tiada henti dan menyegarkan bagi mereka yang menunggu pencerahan. Dan jika ini akan menyingkirkannya demi anak-anaknya, Buddhisatva di sini, berjuang untuk pencerahan”. “Dan saat itu fikiran berikut muncul dalam jiwa Buddhisattva Maitreya….Kita tidak pernah melihat, begitu besarnya kerumunan, begitu besarnya jumlah Buddhisattva, kita tidak pernah mendengar begitu besarnya kerumunan manusia yang setelah muncul dari celah bumi, telah berdiri hadir di hadapan Tuhannya untuk menghormati, menghargai, mengagungkan dan menyembahnya serta menyalaminya dengan pekik penuh kegembiraan. Kapankah mereka akan datang di sini dalam bentuk kumpulan yang sebesar itu? Semuanya adalah perukyah yang besar, bijaksana dan kuat ingatannya, yang tampak luarnya sedap dipandang, kapankah mereka akan datang?” (Saddharam Pundrik 14: 4, 6, 7). H.G. Wells, menulis: “Dapatkah seseorang yang tidak bersifat baik itu mempunyai teman? Karena mereka yang kenal Muhammad beriman kepadanya dengan sebenar-benarnya. Khadijah bisa jadi beriman kepadanya sepanjang hari tetapi itu bisa dikatakan karena mencintainya. Abu Bakar adalah seorang saksi yang lebih baik, dan dia tak pernah goyah dalam pengabdiannya. Abu Bakar beriman kepada Nabi, dan adalah sulit bagi seseorang yang membaca sejarah masa itu untuk tidak percaya kepada Abu Bakar. Ali juga membahayakan jiwanya demi nabi dalam hari-harinya yang penuh kegelapan”. (“The Outline of History”, halaman 325). BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) PATUNG-PATUNG MAITREYA Islam mengharamkan pembuatan patung para nabi. Dan kaum Muslimin khususnya tidak dapat mentolerir patung dari Nabi Muhammad. Tetapi adalah suatu fakta bahwa kita percaya Maitreya yang disebut dalam Kitab-kitab suci Buddhis adalah nabi Islam. Patung-patung Maitreya didirikan oleh kaum Buddhis di seluruh benua Asia, dan mereka mengerjakan itu semuanya semata karena kecintaan dan perhatian mereka kepadanya. Dalam Quran Suci, Tuhan, ketika menggambarkan anugerah-Nya kepada Sulaiman, mewahyukan berikut ini: “Dan di antara jin ada yang bekerja di hadapan dia dengan izin Tuhannya. Dan barangsiapa di antara mereka berpaling dari perintah Kami, Kami akan membuat dia merasakan siksaan yang menghanguskan. Mereka bekerja untuk dia apa yang ia sukai, berupa kanisah-kanisah, dan patung­ patung, dan mangkuk-mangkuk (besar) seperti bak air dan periuk-periuk yang tetap. Berbuatlah syukur, wahai keluarga Dawud! Dan sedikit sekali di antara hamba-Ku yang syukur”. (Q.S. 34:12-13) Dalam ayat-ayat ini jinn itu tiada lain adalah orang-orang asing yang dipekerjakan Sulaiman dalam pemerintahannya dan dicatat dalam pelayanannya, lihat Tawarich; dan patung atau arca dari para malaikat juga disebutkan. (2 Tawarich 2:2-18, 3:10-13). Mengenai arca atau patung yang dibuat untuk Sulaiman yang disebutkan dalam al-Quran beberapa mufasir berpendapat bahwa mereka adalah patung binatang dan beberapa orang lagi berpendapat bahwa mereka adalah arca para malaikat dan orang-orang lain. Karena itu, para mufassir ini telah mengemukakan pandangannya bahwa, menurut Sulaiman, penegakan patung itu bukanlah dosa atau bertentangan dengan doktrin akidah. Mereka berpendapat, bahwa patung semacam itu hanya haram kalau digunakan untuk keperluan ibadah. Ibrahim adalah seorang mukmin yang teguh dalam keesaan Tuhan dan dia dengan keras menentang berhala. Al-Quran menceriterakan tentang dia: “Tatkala ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya: Arca-arca apakah ini, yang kamu setia menyembahnya?” (Q.S. 21:52). Betapa pun, suatu bukti yang jelas atas kedatangan Maitreya yang dijanjikan bisa diberikan oleh adanya patung-patung ini. Mereka mendirikannya dengan tujuan mulia dan demi penghormatan kepadanya di negara seperti Afghanistan, Cina, India, Jepang, Sinkiang, Burma dan Sri Lanka. Mereka mengungkapkan kecintaan umat itu kepadanya. Pastilah mereka telah bersusah-payah dalam memahat patung-patung ini, dan ini selanjutnya mengungkapkan kecintaan mereka yang tulus kepada seorang yang mereka harapkan pada suatu masa. Ratusan dan ribuan kaum Buddhis tetap menunggu dia. Sebagai fakta nyata, adalah sungguh luar biasa dan raksasa, betapa kaum Buddhis memahat patungnya di perbukitan batu besar di celah gunung.Di sinilah bangsa Buddhis itu menunjukkan keunikannya dalam kebebasan dan pencapaiannya. Sesungguhnya, agama mereka itu satu dari yang miris dan mengecewakan. Dan inilah sebabnya mengapa tujuan mereka di dunia ini adalah penolakan terhadap segala keinginan tanpa meninggalkan sedikitpun kecintaan kepada sesuatu atau seseorang, cinta, yakni, dalam cita-rasa kata yang tepat. Mereka, seperti yang mereka yakini, tidak punya harapan untuk pembebasan di dunia ini. Tujuan utama seorang Buddhis adalah penolakan terhadap pertimbangan dan membawa besertanya penindasan terhadap segala hasrat pribadi atau penindasan terhadap pribadinya itu sendiri. Bagi seorang yang tujuan utamanya adalah harapan untuk memusnahkan dirinya, sungguh aneh bahwa dia masih hadir di dunia ini. Kita telah mendengar bahwa hidup ini sia-sia kecuali harapan untuk hidup. Namun kaum Buddhis mengharapkan hidup dan berdegup kencang untuk suatu perkara, bahkan setelah tujuannya yang memamah habis semua harapan, dan meskipun ini adalah agama yang mengecewakan dan miris. Harapan ini adalah penantian terhadap Maitreya yang dijanjikan. Dan ini bisa menjadi jaminan klaim kaum Buddhis bahwa mereka hidup itu hanya untuk menunggu datangnya Maitreya. Harapan dan ramalan atas kedatangan Maitreya dalam fikiran kaum Buddhis adalah sedemikian mendalam sehingga setiap orang dari mereka siap untuk mengurbankan segalanya demi itu. Kecintaan mereka kepada Dia Yang Dijanjikan telah mengambil giliran yang tak akan musnah dan merasuk ke lubuk hatinya yang paling dalam. Ini jelas tidak saja dari kitab-kitabnya melainkan dari transformasi yang melelahkan bertahun-tahun dalam memahat batu menjadi patung, patung-patung yang indah dari nabi yang dijanjikan itu. Para pematung Buddhis agaknya benar-benar mencurahkan ekpsresinya yang utuh kepada perasaannya yang paling mendalam waktu memahat patung dari dia yang paling dicintai ini, sehingga mereka membuatnya dengan sebaik-baiknya, yang menambah keindahannya. Demikianlah, fakta ini tidak dapat dilewati ataupun diremehkan, bahwa patung-patung dari Maitreya atau Dia yang Dijanjikan, seperti yang dibangun para pematung Buddhis, bukanlah sekedar batu atau mainan yang dipahat dari batu, tetapi memberi mereka bentuk dari seorang yang sungguh-sungguh dinantikan,; ratusan dan ribuan jiwa yang penuh perasaan pastilah telah mencurahkan citra dan rasanya. Suatu gambaran pendek dari kehangatan dan kasih-sayang ini bisa diberikan di bawah ini: Kira-kira sepuluh mil di sebelah selatan Beijing ada kuil yang luar biasa besar di Peuansi. Dia mempunyai sebuah balai pertemuan yang besar dengan enam galeri. Pintu kuil itu menghadap ke utara. Di sini terdapat banyak patung, dan bagi setiap orang yang melalui pintu utama, yang paling menarik dari semua patung itu yakni Maitreya (“Chinese Buddhism”, halaman 254). Tidak hanya di Beijing kita bisa menemukan patung-patung semacam itu, tetapi di seluruh negeri. Ada banyak kuil di mana terdapat Maitreya. Belum tentu apakah para sahabat Nabi mengetahui sesuatu tentang patung dan nubuatan Buddha ini; tetapi adalah fakta bahwa mereka semuanya pertama-tama memutuskan untuk menyiarkan cahaya Islam di Cina. Mereka diperintahkan oleh Nabi Suci “untuk mencari ilmu sejauh mungkin sampai ke Cina”. Sesungguhnya ini mendorong mereka untuk datang ke negeri itu dan karenanya mereka mencapai keberhasilan yang besar dalam menyiarkan Islam di sana. CINTA HEUN TSANG KEPADA MAITREYA Heun Tsang, seorang musafir Cina, dilahirkan pada tahun 608 M. Dia melakukan perjalanan dari Cina ke India pada saat dimana dia harus menyusuri rute yang nyaris tak bisa ditembus melalui gunung dan gurun. Sakit yang dideritanya dalam menjalani semua kesulitan dalam perjalanan itu dengan segala cobaan dan hambatan bisa dengan jelas dibayangkan. Dia berjalan kaki sepanjang dan seluas India. Namun mengapa dia mau menempuh segala duka-derita ini? Pastilah ada beberapa cita-cita yang besar. Dia mulai dari Nalanda, Bengal dan mencapai Kaputa. Ini adalah tempat yang penuh dengan kuil. Di pusat kuil-kuil ini ada satu patung raksasa yang dibuat dari sandal wood, yang sangat dihormati karena kebesarannya. Ini diyakini mengatasi hati umat. Dengan keyakinan ini namanya adalah Avlochit Eshvara yang meramalkan masa depan umat. Orang-orang datang dengan bunga-bungaan yang paling harum berwarna-warni yang menarik dan dengan sangat rendah hati mereka merebahkan diri mereka di hadapannya. Dengan mengingat obyek dimana mereka mendatanginya untuk mohon pertolongan Ilahi, orang-orang melempar rangkaian kembang ke tangan patung itu. Jika rangkaian itu masuk ke tangan dan tetap di sana, maka orang yang menghadiahkannya diperkirakan akan berhasil dalam tujuannya. Sebaliknya, bila seorang makhluk yang malang berdegup kencang hingga tak dapat mencapai tangan dari patung itu, dan tak bisa menempatkan rangkaian bunganya di sana, ini diperkirakan menunjukkan kemalangan, kekecewaan dan masa depan yang kabur dari peziarah itu. Peziarah Cina Heun Tsang muncul di hadapan patung, dan sebagian besar maksud tujuannya dalam perjalanan yang jauh dan panjang itu diungkapkannya dalam tangisnya yang terbit dari lubuk hatinya yang paling dalam, akankah saya bangkit lagi di dunia ini di antara dewa-dewa untuk melayani Maitreya yang diberkahi? Dengan keinginan inilah dia melemparkan rangkaian bunganya ke tangan sang patung, berkata: “Bila hasratku terpenuhi, dewa akan menerima rangkaian kembangku” Dengan keberuntungannya yang besar patung itu menerima rangkaian bunganya”. (“In the footsteps of Buddha” oleh Grousset French, halaman 174). Dan dengan tuntasnya keseluruhan perjalanan itu sang musafir melupakan semua kesakitan dan penderitaannya di sepanjang jalan. Dia menemukan ketenteraman yang luar-biasa. Lagi, karena kecintaan dan perhatiannya kepada Maitreya yang mendorongnya ke Kuil Sarnath di Benares. Dia datang untuk melihat tempat yang disebut Bara Singa. Ini adalah tempat suci dimana Buddha ditunjukkan suatu rukyah tentang Maitreya. Dan raja Ashoka membangun satu tugu untuk menghormati tempat suci tersebut (“In the footsteps of Buddha” oleh Grousset F. halaman 154). Suatu kali dia berkata: Saya sungguh-sungguh ingin memberikan hadiah dari perbuatan tulusku kepada beberapa orang lain, sedangkan sebaliknya saya bisa dibalas dengan dibangkitkan lagi secara baru di antara dewa pada saat Maitreya yang agung, dan karenanya mempunyai kesempatan untuk melayaninya, karena Maitreya adalah gabungan dari rahmat dan kasih. Dia selanjutnya berkata: Wahai, engkau yang diberkati, semua sujud dan sembahyangku adalah bagimu, dan engkau sendirilah, kepada siapa segenap ilmu itu dianugerahkan. Wahai Tathagata, saya begitu sungguh-sungguh ingin melihat wajahmu, yang penuh kasih, kebajikan dan simpati. Saya ingin bangkit lagi setelah kematianku sebagai sahabatmu. Dengan doa ini Heun Tsang menyerahkan jiwanya. (“In the footsteps of Buddha”, halaman 256). Ini membawa penjelasan atas kasih yang mendalam yang berkobar di hati musafir Cina itu terhadap nabi yang dijanjikan dan yang mengurbankan seluruh jiwa-raganya demi cinta ini. Seorang pengembara yang lain, Iching, mengungkapkan cintanya kepada Maitreya sebagai berikut ini: Saya sungguh-sungguh tak mengharap sesuatu lagi dalam hidupku kecuali empat pemenuhan bagi Cina dan dunia Buddhis: Ilmu dan Kitab-kitab suci. Berkumpulnya segenap manusia di bawah satu pohon. Bertemunya dengan Nabi yang Dijanjikan. Pencapaian atas kesadaran-diri yang Sempurna. (In the footsteps of Buddha” oleh Grousset F. halaman 273). BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) SEORANG PANGERAN CINA MENDAMBAKAN MAITREYA Seorang pangeran Cina jatuh cinta dengan Maitreya yang tidak nampak. Dia berusaha mengungkapkan perasaan cintanya. Dia Yang-dijanjikan yang tercinta belum tiba dan tak kepada seorangpun dia bisa sujud di kakinya ataupun menyerahkan seluruh harta kekayaannya. Dalam wasiatnya segera sebelum dia meninggal dunia, dia mengungkapkan cintanya kepada Nabi yang dijanjikan itu dengan kata-kata yang sangat memukau. Dia menyatakan hasratnya untuk membelanjakan seluruhnya kepada Maitreya yang sangat dicintainya. Dia menyatakan: Saya, abdi Buddha, Si-Shant, tinggal sebatang-kara setelah kematian kedua orang-tua saya. Sebelum memindahkan sebatang pohon, saya menaruh perhatian yang sangat besar kepada orang tua saya. Berkali-kali saya memohon ke Langit, tetapi tak ada tanda-tanda yang ditunjukkan sebagai balasan. Saya ingin memberikan diri saya kepada ruh yang murni dan suci, sehingga saya bisa lepas dari kesunyian ini. Saya ingin membelanjakan seluruh harta kekayaan yang diwariskan kepada saya, sehingga patung itu, bisa dipahat dengan segala daya. Di tengah mereka biarlah patung Maitreya diukir dan di belakangnya Kshiti Garbha (seorang Buddha kuno). (“In the footsteps of Buddha”, halaman 326-327). Kata-kata dari pangeran yang dikisahkan ini mengungkapkan dalamnya kecintaan dan perhatiannya kepada nabi yang dijanjikan. Dia mengurbankan seluruh harta bendanya untuk memberikan ekspresi kepada cintanya yang berurat­berakar itu dalam bentuk patung-patung. FAHIAN DALAM PENCARIANNYA ATAS MAITREYA Seorang musafir Cina terkenal yang lain, Fahian, mengatur perjalanannya dari Cina untuk mencari Maitreya. Dia mencapai India, dan kemudian melintasi hutan serta gurun yang belum pernah dirambah orang sampai di Provinsi Frontier. Di sana dia melihat sebuah patung Maitreya di sebuah kuil kuno. Kaum Buddhis sungguh-sungguh tertarik akan kebenaran Dia yang Dijanjikan, dan sebabnya mengapa mereka sanggup menjalani cobaan dan kesulitan hidup dalam pengembaraannya ke negeri-negeri yang sangat jauh, ribuan mil dari rumah, lebih lanjut dikomentari oleh Sir Charles Elliot sebagai berikut: “Peziarah Cina menyebut patung-patung dan situs yang berkaitan dengan Maitreya tetapi rupanya, juga, penuh dengan suatu pengabdian pribadi kepadanya dan menganggap dia berwenang melindungi keimanannya di saat menunggu penampakannya di bumi”. Dan lagi dalam “Hinduism and Buddhism” dia menulis: Setelah Avlochit dan Manjusri menurut akidah Buddha Maitreya adalah pribadi yang penting, bahkan disebut “Ajeeta” yang berarti mustahil ditaklukkan. Menurut kitab suci Pali Dia adalah satu-sanya yang Dijanjikan. Dia tidak satu peringkat dengan para Buddha yang lain, tetapi akan di atas semuanya. Mengenai sifatnya, semua Buddha adalah yang terpilih dari ras manusia. Namun, Maitreya adalah seorang yang diberi status istimewa karena kecintaannya kepada umat manusia. Dia yang Dijanjikan dianggap sedang berbaring untuk menunggu turunnya dari ketinggian. Mengenai warnanya, wajahnya adalah keemasan. Patungnya, tinggi dan sangat berkesan, telah dipilih sedemikian seolah mengungkapkan kebiasaan orang barat yang tidak seperti Buddha dimana kedua kakinya bersila. Patung-patungnya diketemukan mula pertama di Kandhara. Satu patung yang sangat terkenal ada di Udian Nagar (sekarang Provinsi Northwest, Pakistan) yang telah disebutkan oleh Fahian, musafir Cina, dalam buku harian perjalanannya. Ini adalah satu patung yang sangat tua. Dia menulis: Saya melihat satu patung Maitreya yang luar biasa besarnya di India utara, setinggi kira-kira 120 kaki. Pada festival khusus cahaya bersinar darinya. Raja-raja sekitar menyerahkan kurban kepadanya. Seorang pengembara Cina yang lain, Huen Tsang, menulis lebih lanjut dengan menggambarkan bahwa ini adalah karya seorang murid terkemuka Buddha, yang bernama Ananda. Aslinya ini adalah tugu yang dibangun di sana sebagai peresmian atas nubuatan Buddha bahwa dia akan digantikan oleh Maitreya dan dia ini kelak akan menjadi tuan dari Langit setelah memperoleh titel Buddha yang tercerahkan. Kelihatannya Fahian salah di sini. Sesungguhnya patung tinggi itu terdapat di Udian Nagar, sedangkan tugu itu terdapat dekat Benares, seperti yang telah kita sebutkan di atas. Cinta, kehangatan, pengabdian, perasaan dan pengurbanan dari para pencinta Maitreya ini jelas bisa dibayangkan. Betapa tidak kenal lelahnya para pematung dan orang-orang yang gila agama ini yang memahat gunung-gunung raksasa untuk memberikan ekspresi atas cinta mereka yang mendalam terhadap Dia yang Dijanjikan. Ini bukanlah tugas yang mudah. Ini memerlukan segenap kecerdasan, kerja keras dan harta kekayaan. Untuk membikin sebuah patung berkilauan pada zaman itu, dari mana cahaya itu bisa bersinar pasti merupakan eksperimen dari nalar yang sangat cerdas. Pengurbanan yang dilakukan oleh raja dan pangeran mengungkap cinta mereka terhadap laki-laki, atas mana dibayangkan patung yang akan dibuatnya. Sebagai fakta nyata, tak ada bangsa lain yang demikian bersungguh-sungguh dan penuh pengabdian dalam mempersiapkan kedatangan Dia yang Dijanjikan kecuali umat ini. Dalam biara dan kuil di Cina ada ukiran di kayu dan dinding batu yang luar biasa dan mengagumkan. Nyaris semua kuil di Cina menghadap ke selatan, dan semuanya kelihatannya dibangun dengan suatu bentuk yang mirip. Di tengah dari kuil itu adalah satu patung yang mengagumkan, dimana orang-orang menyebutnya: Mi-li-fo, yang berarti “Buddha yang akan datang”. Patung itu rupanya dari seorang pribadi yang berani dan sangat tulus. Dadanya lebar dan terbuka. Ada senyum di wajahnya. Ini adalah wakil dari bayangan Maitreya yang mengagumkan, yang diungkap oleh kuil Buddhis di Cina. Beberapa peramal Buddhis Cina berpendapat bahwa Dia yang Dijanjikan, yang dirujuk oleh patung yang mengagumkan itu, akan muncul 3,000 tahun setelah Buddha wafat, dan bahwa dia adalah benar-benar satu penjelmaannya yang asli. (“Chinese Buddhism”, oleh Edkins, halaman 240). MAITREYA DI PULAU JAWA Patung-patung di Jawa terkenal karena tingginya. Selanjutnya, mereka itu yang paling indah dan menarik. Ini terutama di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yang terkenal diantara ini adalah tiang di kiri-kanan yang merupakan galeri dari setiap patung. Diriwayatkan bahwa ini dibangun pada tahun 850 M. Dalam bentuknya tidak ada sentuhan dari arsitektur Hindu. Ini benar-benar seni Buddhis. Pada galeri ke tiga, terlihat patung Maitreya, yang agaknya sedang mengajar para sahabatnya. Peziarah dan pengabdi mengelilinginya dan memberikan ungkapan cinta dan pengabdian. Di samping ini, di mana terdapat lima patung Buddha yang menarik, ada satu Maitreya, yang dibuat mengatasi yang lain. Adalah suatu kebetulan yang mengagumkan bahwa gambaran fisik Maitreya yang dilukiskan dalam kitab Buddhis berbahasa Sanskerta “Lalit vistara” persis sama dengan potret Maitreya yang ada di galeri pertama dari candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi ini dibangun pada tahun 750 M. MAITREYA DI CEYLON Pada waktu merosotnya Buddhisme, Ceylon diperintah oleh seorang raja bernama Dhatusen. Dia membangun satu patung besar untuk mengenang Maitreya. Untuk rincian sepenuhnya silahkan melihat “Buddhism Primitive and Present in Magadha Ceylon”, oleh S.R. Compleston A.D. Musafir Cina Fahian, menulis dalam catatan perjalanannya bahwa dia menemukan patrung Maitreya di banyak tempat di Ceylon, meskipun negeri itu dihuni oleh kaum ateis dan non-religius. Ini mengungkap fakta, bahwa apapun keyakinan orang dalam agamanya, mereka dengan sungguh­sungguh menunggu nabi yang dijanjikan itu. MAITREYA DI TIBET Seperti negeri-negeri Buddhis lain, Tibet yang bergunung-gunung tidak lepas dari patung Maitreya. Dalam bahasa Tibet atau dalam istilah keagamaan dari bangsa Tibet dalam kata ‘Champa’ yang menunjuk kepada kembang kuning yang harum. Dan ini disebutkan dalam kitab sucinya sebagai “Bardo”. Bangsa Tibet sangat berharap akan kedatangannya seperti umat dari negeri Buddhis lainnya. (“Tibetan Book of the Dead”, oleh Evens Wentz, halaman 101) Karena itu atas perintah Dalai Lama, sebuah patung yang luar-biasa besar setinggi sekitar 80 kaki dibangun di Tibet mewakili Maitreya. Ini dilapis emas, sehingga semoga Maitreya bisa menerimanya dan segera datang ke dunia. (“Manual of Buddhism”, oleh S.R.Hardy). Dalam “Cyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I, halaman 98-99, ditemui di sana, bahwa: “Amita-bha, berarti cahaya yang tak ternilai. Di antara Buddha yang tak terhitung ada satu, yakni Amita-bha, Buddha dari terbenamnya matahari, dewa dari cahaya yang tak terbatas, yang bersyukur atas janji lamanya, dia telah memenangkan bagi dirinya kebahagian dalam mengendalikan alam semesta, di mana tiada lagi tujuan yang jahat. Orang-orang dari negeri itu, sama dengan dewata kita. Tiada yang lain kecuali Boddhisatva dan hanya sedikit Arhat; dunia itu benar-benar tanah yang bahagia (suatu Sukhavati), atau seperti yang dikatakan Vishnupurana suatu Sukha. Meskipun Maitreya mempunyai suatu surga di tanah di mana Amita-bha memanggil orang-orang pilihannya, dan kepada siapa dia memberi mereka pertolongan dari dua Bodthisatva yang Besar. Amita-bha pada suatu saat nyaris berbeda dari Sakyamuni yang abadi (teratai dari hukum yang benar); datang dan dianggap sebagai Buddha yang setengah-abadi, yang berinkarnasi di bawah munculnya bayangan Sakyamuni yang manusiawi”. (19). MAITREYA DI ASIA TENGAH Di samping India dan negeri yang disebut di atas, patung-patung Maitreya juga didapati sampai sejauh Asia Tengah. Sebagai fakta nyata, nubuatan atas kedatangan Dia yang Dijanjikan itu diukir di negeri yang kelak menjadi lapangan penyiaran Islam. Sir Charles Eliot menulis: “Suatu kuil Maitreya telah diketemukan di Turfan, Asia Tengah, dengan suatu inskripsi Cina yang menyatakan dia sebagai dewa yang aktif dan dermawan, yang menampakkan dirinya dalam banyak sifat mulia”. Inilah Muhammad. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) BUDDHA YANG AKAN DATANG. SATU DAN TERAKHIR. Dalam kepustakaan Pali dan Sanskerta tentang Buddhisme, ada perbedaan pendapat mengenai jumlah Buddha; ini antara enam hingga tigapuluh. Menurut suatu kitab Pali ada enam Buddha sebelum Gautama Buddha. Buddha Maitreya mendatang yang dijanjikan hanyalah satu. Semuanya ini disebutkan dalam Maha Padan Sutta, Digha Nikaya (ii)2. Semua kitab suci ini sepakat bahwa Buddha mendatang atau Maitreya yang Dijanjikan, adalah satu dan hanya satu. Mungkin ada perbedaan pendapat tentang jumlah sesungguhnya dari Buddha yang datang sebelum Gautama Buddha, tetapi adalah suatu fakta yang mapan bahwa tidak akan ada Buddha lagi sesudah Maitreya. Dalam bukunya “Manual of Buddhism”, Prof. R.S.Hardy menulis: Dalam masa yang panjang jahiliyah yang tak terobati, maka datang berturutan, menurut Maha Bhadru Kalpa, dimana akan muncul lima Buddha: Kaku Sandha. Konagamna. Kasyapa. Gautama. Maitreya. Yang pertama dari empat ini telah muncul dan Maitreya akan menjadi Buddha yang akan datang yang bangkit untuk memberkahi dunia.(“Cyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I halaman 98). Begitulah nubuatan ini merujuk hanya kepada satu yang Dijanjikan, yang namanya adalah Metteya atau Maitreya. Tidak ada alurnya kepada orang yang lain. Dan rujukan yang diberikan juga secara eksplisit nampak, bahwa dia yang kelak datang sebagai yang dijanjikan itu adalah Nabi terakhir atau Buddha yang terakhir. KECINTAAN KAUM BUDDHIS KEPADA MAITREYA Putera Adam di setiap abad dibimbing untuk mencintai Nabi dan pembaharunya, setelah umat melihat mereka teguh dalam amal perbuatannya, menderita kesakitan dan tidak tergoyahkan dalam membimbing umat ke arah yang benar. Bangsa-bangsa akhirnya tergerak untuk melihat itu semua. Mereka sangat menghormati dan mencintai mereka. Tetapi peran kaum Buddhis dalam cinta ini sungguh unik. Mereka sangat mencintai Maitreya yang akan datang, meskipun mereka tidak melihatnya dalam masa hidup mereka sendiri. Mereka menjadi pencinta yang mengabdi kepada dia yang Dijanjikan. Cinta meliputi hatinya bagi seorang yang belum akan tiba setelah beraabad-abad. Tak ada keraguan lagi bahwa bila seseorang itu melihat kawannya yang ganteng dan memikat maka dia bisa mabuk cinta habis-habisan; dan seorang filantropis mungkin dicintai oleh orang lain; tetapi kaum Buddhis mabuk cinta kepada dia yang belum nampak dan belum akrab dengannya. Memahat dan mereka model suatu patung yang indah dengan tangan mereka sendiri, dan kemudian jatuh cinta dengannya, sesungguhnya, merasuk dalam hati mereka dari ajaran Buddha. Kehidupan sejati dari seorang Buddhis yang saleh adalah teka-teki. Dia hidup di dunia, tetapi dia percaya bahwa semua keinginan duniawi itu tipu-daya, dan dia ingin kebal dari tipuan itu. Musnah dan musnah selamanya adalah puncak tujuan hidupnya. Supaya bisa hidup di dunia, maka ada kebutuhan untuk mencinta dan ketertarikan kepada barang-barang duniawi, tetapi baginya ini membawa siksaan yang besar. Di dunia yang gelap dan melenakan ini bagi kaum Buddhis ada satu cahaya yang berkilauan. Ini adalah kepercayaan kepada Maitreya. Dalam mendambakan dia, kaum Buddhis telah mengurbankan semuanya dan mencarinya dengan sekuat tenaga. Mereka membelah gunung-gunung dan batu cadas raksasa serta membentuknya menjadi patung. Mereka menyeberangi sungai dan hutan yang belum dirambah orang, dan mencarinya serta tanda-tanda buktinya, seperti pencinta yang mabuk. Mereka mengumumkan bahwa tujuannya tiada sesuatu kecuali melihat Maitreya. Dalam “The Law of Christ”, Jinarja Das menulis: “Menurut tradisi Buddha, pahala utama dari amal perbuatan manusia adalah bahwa dia akan tetap ada pada zaman Dia yang Dijanjikan dan bergerak kesana-kemari seperti orang-orang lainnya. Pada waktu seorang Buddhis yang tulus dan saleh, ketika menyerahkan kembang, mereka mengungkapkan segenap hasrat dan keinginannya dalam satu kalimat tunggal ini: “wahai Buddha, semoga saya bisa muncul di bumi di antara manusia ketika Maitreya hidup di antara mereka”.(halaman 191). “Musafir Cina, Huen Tsang, yang berangkat dari Cina dengan api cinta kepada Maitreya yang menyinari hatinya dengan sangat berkilauan, suatu kali jatuh sakit dalam perjalanannya. Dalam keputus­asaan akan kesembuhannya, dia memimpikan suatu rukyah dimana ada tiga dewa yang berdiri di hadapannya. Wajahnya sangat rupawan, badannya gagah, utuh dan berwibawa. Ketiganya berselimutkan pakaian yang bercahaya. Salah seorang darinya berkulit keemasan, satunya biru kehitaman, dan satu lagi putih keperakan. Mereka masing-masing adalah Manjushri, Avlochit Ishwara, dan Maitreya. Mereka semua menyerunya agar tetap hidup dan menyiarkan risalah kepada orang-orang yang tulus”. (“In the footstep of Buddha”, oleh Grousset, halaman 168). Impian Huen Tsang ini mengungkapkan bahwa hatinya meluap dengan kecintaan kepada Maitreya sedemikian hingga dia melihat gambarnya di mana saja dan kapan saja, baik sedang terjaga ataupun sedang tertidur. KRISTUS DALAM WARNA BUDDHA Ada beberapa pembela Kristen yang memajukan syi’arnya dengan merugikan fihak lain. Mereka menyinarkan Kristen dengan menggelapkan agama-agama lain. Mereka mencari sumber-sumber Islam dan al-Quran dalam Kitab-kitab suci agama-agama lainnya. Mereka tidak menyadari bahwa di atas segalanya, moralitas adalah harta kita yang paling berharga. Mereka mestinya tahu bahwa sebagian besar khutbah di atas bukit adalah gema dari masa lalu. Buddha dan Yesus memberi resep yang sama ke dunia ini; banyak perumpamaan dari Isa Almasih adalah terjemahan dari perumpamaan dalam kepustakaan Buddhis. Kami percaya, bahwa Yesus tidak berhutang atas pencerahannya itu kepada kisah dan ceritera dari agama Buddha, semua ilmunya itu langsung datang dari Tuhan. Suatu studi yang cermat terhadap agama akan menjadikan manusia bisa mengapresiasi kebenaran al-Quran bahwa tak ada suatu bangsa yang ditinggalkan tanpa suatu risalah Ilahi. Tetapi orang-orang yang sezaman dengan para nabi itu tidak mencatat dengan lengkap kata-kata dari Tuannya. Generasi penerusnya diberi suatu agama yang tidak pernah diajarkan oleh Tuannya, yang bahkan tidak pernah terbayangkan oleh para pendirinya yang dihormati. Di sini ada beberapa aspek kehidupan Kristus yang kita dapati diceritakan dalam kitab-kitab Jataka dari agama Buddha: Maha Maya, dikatakan telah mengandungnya setelah suatu mimpi, dimana dia akan melahirkan Buddha yang akan datang, yang turun dari langit dan memasuki rahimnya. Maya sendiri, menurut riwayat, wafat dan diusung ke langit Indra, dari mana Buddha sendiri akan turun belakanagan. Ketika waktu semakin mendekat baginya untuk masuk dalam dunia rahim guna saat kelahirannya, para dewata sendiri mempersiapkan jalan baginya dengan alamat dan tanda bukti dari langit. Gempa bumi dan mukjizat penyembuhan terjadi, bunga-bunga berkembang di luar musimnya, musik dari langit terdengar. Sebelum kelahirannya juga ada nubuatan yang diucapkan mengenai dirinya. Bahwa dia tidak menjadi raja dunia… dan menjadi Buddha yang dicerahkan sempurna, demi keselamatan umat manusia. Dia juga, menurut kisah itu, di kandung dalam rahim ratu Maha Maya dan dia melahirkan seorang putera di Semak Lumbini, di bawah bayangan sebatang pohon Sal, satu cabang darinya menjulur kepadanya, sehingga dia bisa meraihnya dengan tangannya. (“Cyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid 2 halaman 881). Satu teks mengatakan, bahwa dikandungnya Sakya Muni itu bukanlah karena persetubuhan yang mandiri antara ayah dan bundanya. Ini di dalam Mahavastu, dimana dinyatakan keperawanan ibunda dari Buddha. Buddhisatva tidak melalui bentuk umum dari indung telur, kelahirannya melalui samping bundanya. Seorang penulis Kristiani terkemuka berkata: “Adalah benar bahwa banyak kata-kata yang diletakkan di mulut Almasih oleh para penginjil telah didapati dalam tulisan para filsuf Yunani dan legenda Cina. Adalah benar, untuk mengambil contoh yang paling mengejutkan dari setiap peristiwa dalam kehidupan Sakya Muni yang menyajikan kepada kita kemiripan yang paling mengejutkan dengan riwayat hidup Kristus; bahwa dia lahir dari ibunda yang perawan, bahwa kelahirannya dirayakan oleh putera-putera makhluk langit, bahwa dia digoda oleh setan dan kemudian berubah bentuk. Tidak perlu diperkirakan bahwa yang satu adalah salinan dari yang lain, ataupun bahwa rangkaian ceritera itu rekayasa iblis atau tipu-daya ataupun bahwa keduanya adalah ciptaan yang kabur dari bagian abad kegelapan. Faktor yang mempersatukannya bukanlah inkarnasi, atau kelahiran perawan, atau mukjizat dalam kenaikannya ke langit. Mengambil tempat duduk di sebelah kanan Tangan Tuhan. Faktor pemersatunya adalah kata-kata bijak dan risalahnya yang penuh kasih kepada sesama. Kisah keperawanan Maya (Ibunda Buddha) itu dicantumkan dalam ‘Mahavastu’”. Kepala para dewa termasuk Indra (Jibril) menghadirinya dan anak lelaki itu diterima oleh empat malaikat Brahma. Seketika itu dia juga mengucapkan teriakan kemenangan. BUDDHA MERAMALKAN MUHAMMAD SAW BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN NABI MUHAMMAD S.A.W. ( / ) BEBERAPA RUJUKAN PENTING DARI BERMACAM KITAB “Maitreya akan menjadi cahaya yang terakhir dan sempurna” (“Saddharam Pundrik” bab 94). “Dalam sejarah Buddhisme disebut ada 15 Buddha, yang paling akhir adalah Maitreya. (“Bartem and Yewasef” oleh E.W. Wallis Budge). Spratt dalam “Pilgrimage of Buddhism”-nya, menulis: “Kebangkitan Buddhisme itu rekayasa yang menyusup diam-diam dan dibangun di atas pasir. Agama Buddha telah terhapus dari muka bumi. Menurut ramalan, Maitreya akan muncul dan menyiarkan pembaharuan agamanya dari barat”. “Maitreya akan menjadi nabi yang menghapus beberapa syariat dan doktrin dari agama kuno mengingat keadaan sekitarnya” (“Sacred Books of the East”, jilid 49). “Buddhism”, oleh T.W.Rhys Davids, halaman 183; di sana tertulis: “Keindahan Buddha Maitreya itu di atas segala pujian. Patungnya tidak berbeda dari kita”. “Wahyunya akan lebih elok. Mereka yang mendengarnya tidak kenal bosan dalam mendengar; mereka ingin mendengar lebih lagi dari situ”. Maitreya akan dikenal oleh semuanya kecuali oleh lima kelompok pendosa: Mereka yang menyekutukan tuhan lain selain Tuhan. Para pembuat kejahatan. Pembunuh dari sahabat yang suci. Orang-orang yang bugil dan penuh nafsu seksual. Mereka yang menolak demokrasi. “Ibunda Maitreya kelak seorang bangsawan dan rupawan. Dia adalah puteranya yang pertama” (Maha Vastu I:197, Lalit Vistar 25:5, 23:10). Meskipun ada ratusan patung Maitreya, namun ini adalah suatu mukjizat, sebagaimana ditulis, bahwa dia sendiri sangat menentang patung dan peribadatan kepadanya. Tertulis di sana: “Kebiasaan di dunia ini membentuk dari segumpal tanah liat, dan dengan roda menjadikannya patung porselen. Bagaimana bisa patung ini dibandingkan dengan tokoh yang dimaksud atau dilanjutkan oleh generasi penerus. Arhan tidak dapat memecahkan masalah ini, pergi ke surga para dewa, dan bertanya kepada Maitreya yang menjawabnya”. (“Chinese Buddhism”, oleh Rev. Joseph Edkins, halaman 80). Ini dengan jelas menunjukkan, bahwa menurut nubuatan ini, tak seorangpun kecuali Nabi Muhammad yang akan menjadi Dia yang Dijanjikan. Dalam “Chinese Tripitaka”, Buddha, yang menjawab Sariputra, berkata: “Setelah ini seorang raja yang tulus akan menggantikan, dan Maitreya akan menurunkan 300 remaja, yang lahir secara gaib di antara manusia. Mereka akan melingkupi Hukum dari 500 Arhats dan pergi di antara manusia untuk memerintah mereka, sehingga sekali lagi, kitab-kitab suci yang sudah ditarik ke langit akan disebar-luaskan lagi oleh Maitreya, di dunia”. Lagi Buddha berkata: “Atas alasan apa sehingga saya terus akan menampakkan diri saya kembali? Ketika manusia menjadi ingkar, tak bijak, bodoh, tak peduli, senang mengumbar nafsu seksual, dan pengecut, maka mereka terjun ke kemalangan hidup. Kemudian Aku, yang tahu arah dunia ini, akan mengumumkan: Aku begini dan begitu (dan Aku mempertimbangkan): bagaimana bisa Aku membuat mereka condong kepada pencerahan? Bagaimana bisa mereka ikut ambil bagian dalam menikmati Hukum Buddha”. (Saddharam Pundrik, 15:22, 23). Terjemahan kitab Buddhis “Jataka” dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam Harvard University Studies, jilid 3. Ini berbicara tentang Tanda-tanda atas kedatangan dari Dia yang Dijanjikan. Ini mengungkapkan, bahwa Maitreya itu tidak saja Dia yang Dijanjikan oleh Gautama Buddha melainkan bahwa seluruh duapuluh empat Buddha telah meramalkan kedatangannya. Sebagaimana Quran Suci telah menyatakan: “Dan tatkala Allah membuat perjanjian melalui para Nabi: Sesungguhnya apa yang kami berikan kepada kamu berupa Kitab dan Kebijaksanaan – lalu Utusan datang kepada kamu, membenarkan apa yang ada pada kamu, seharusnya kamu beriman kepadanya dan membantu dia.: Apakah kamu membenarkan dan menerima perjanjian-Ku dalam (perkara) ini? Mereka berkata: Kami membenarkan. Ia berfirman: Maka saksikanlah dan Aku pun golongan yang menyaksikan bersama kamu”. (Q.S. 3:80). Major Arhur Glyn Leonard menulis: “Sesungguhnya Muhammad itu seorang yang luar biasa besar. Perbedaannya (yang nampak bagiku) antara orang besar yang lain dengan dirinya sangat besar. Type biasa dari orang besar, seorang John Knox, misalnya, adalah seorang patriot, pada dasarnya. Pertama dia berjasa bagi negaranya, baru demi Tuhan dan kemanusiaan. Seperti telah saya tunjukkan, bagi Muhammad, ini kebalikannya. Meskipun aslinya dia seorang bangsa Arab, tetapi beliau meletakkan Tuhan dan alam di atas segalanya. Hal inilah yang membuat dia seorang humanis, ini yang menempatkan dirinya di depan zamannya. Muhammad, tanpa sedikitpun keraguan, berdiri berabad-abad di depan zamannya. Dan inilah arti sejati dari Maitreya ,“Rahmat bagi segenap bangsa-bangsa”. “Buddha meramalkan kedatangan Muhammad s.a.w.” diselesaikan oleh pengarang Maulana Abdul Haque Vidiarthy pada tanggal 25 Maret 1954 di Paramaribo, Suriname, Amerika Selatan. “Buddhist and Christian Gospels”, oleh Edmunds, jilid 2 halaman 160-161. “Sacred Books of the East”, jilid IV halaman 13-14. “Coming World Teacher”, oleh Pavri, halaman 23. “The Master of Path”, oleh Lead Beater. “Buddhism”, oleh Warren, halaman 481-482. Nubuatan ini ada dalam Kitab-kitab suci dari semua sekte Buddhis. Muir’s “A Life of Muhammad” bab VII. “Encyclopaedia Brittanica”, art. Lote-tree. “Gadens Studies”, catatan kaki halaman 223. Dan “History of Pali literature” oleh B.C.Lall,Ph.D. Kata pengantar dan bab 1. “Literary History of Sanskrit Buddhism”, oleh G.K.Nariman, halaman 5. Karya berikut ini harus dirujuk untuk penjelasan lebih lanjut dari subyek yang di tangan. Keith’s “Buddhist Philosophy”, halaman 31-32. “Dhammapad”, Pendahuluan, halaman 26. G. Buhlat’s “Three new edicts of Ashoka”, Bombay, 1877, halaman 29. “Sacred Books of the East”, jilid V. 25 halaman 172. “Buddhism” oleh Rhys Davids, “Amgandha Sutta”, halaman 131. “Outline of Buddhism”, halaman 58. H.C.Warren,”Buddhism in transition”, Cambridge, 1896, halaman 481-486. “Encyclopaedia Brittanica” edisi 11, art. “Maitreya”. Maitreya, “Encyclopaedia of America”, jilid 18 halaman 135. “Sanskrit-Chinese Dictionary”, oleh Eite I.E.J. bagian pertama halaman 92. “Sanskrit-English Dictionary” oleh Monier Williams, “Buddhism”, oleh pengarang yang sama hal.181. Ibid, hal.128. “Sanskrit English Dictionary”, oleh Monier Williams. “Encyclopaedia Brittanica”, edisi 11, art. ‘Koran’. Le Comte de Bouillainvilliers, “Le vil de Mohamet”, Amsterdam, 1731, halaman 134-144. Dalam Vishnupurana diramalkan bahwa ‘Amitabha’ akan muncul pada tahun ke-8 manvantra. “Encyclopaedia of Religion and Ethics”, jilid I halaman 98-99. Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt