Ulama-Ulama Pembela Dakwah Salafiyah Dahulu Hingga Sekarang (1)
Kategori: Manhaj Salaf
Sesungguhnya segala puji milik Allah subhanahu wa ta'ala. Kami memohon pertolongan, ampunan, dan perlindungan kepada Allah dari keburukan-keburukan diri kami dan kejelekan-kejelekan amal perbuatan kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah subhanahu wa ta'ala, maka tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberi petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kalamullah; sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (tidak ada dasarnya di dalam agama). Setiap perkara baru adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Amma ba'du:
Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki dakwah salafiyah yang penuh berkah ini adalah tegaknya dakwah tersebut di atas sunnah yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits-hadits lemah dan palsu. Pada keadaan seperti itu, para penuntut ilmu syar'i juga telah mengetahui secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syarat terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga syarat- syarat lain, yang sekarang tidak kami sebutkan. Karena termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke dalam dakwah salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih, harus memiliki silsilah dakwah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para masyayikh dan ulamanya yang terpercaya. Para masyayikhnya juga, adalah para ulama yang mengambil manhajnya dari para masyayikhnya dan begitu seterusnya. Orang yang datang kemudian mengambil dari orang yang sebelumnya, seorang murid mengambil dari syaikhnya, anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari kakek, dengan sanad yang bersambung dengan orang-orang yang terpercaya dari kalangan para ulama besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk syarat majelis kita ini, membahas secara panjang lebar masalah ini hingga keluar dari topik pembicaraan majelis.
Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana-sini, mengaku bermanhaj salaf dan mengaku menjalankan sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan, dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah-masalah manhaj dan perkara-perkara aqidah. Di samping sanad mereka munqathi' (terputus), bahkan mu'dhal (terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang-kadang mu'allaq mukhalkhal (terputus dari awal sanad seorang atau lebih). Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan mereka, sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan dan pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara- saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan sebaik- baiknya.
Memang dakwah kita berdiri di atas mata rantai para ulama yang terpercaya, ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama muta'akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya bahwa nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِّيْنَ وَ انْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَ تِأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
"Ilmu ini akan dibawa oleh orang- orang yang adil dari setiap generasi, mereka itu menentang perubahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan orang-orang yang berbuat kebatilan, penyimpangan makna orang-orang bodoh."
Sabda nabi shallallahu 'alaihi wa sallam يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَِ ; يَحْمِلُ adalah fi'il mudhari' (kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang dan akan datang), memberikan faidah terus- menerus dan berkesinambungan. Dan sabda nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: من كل خلف artinya من كل جيل (dari setiap generasi). Sifat keseluruhan ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya, pada setiap generasi umat ini, sejak dahulu dan sesudahnya, tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah, orang yang menolong agama Allah 'azza wa jalla dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan oleh sabda nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ وَ لَا مَن خَذَلَهُمْ اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
"Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang-orang yang menghinakannya sampai terjadi kiamat dan mereka tetap dalam keadaan demikian."
Sabda nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: لَا يَزَالُ (senantiasa) juga memberi faidah terus-menerus. Dan sabda nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ
"Sampai terjadi kiamat." menguatkan kepada faidah tersebut.
Di sini ada catatan, bahwa kata tha'ifah kadang-kadang diucapkan dengan makna jama'ah (sekelompok orang) dan kadang- kadang diucapkan dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang didakwahkan oleh ulama-ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar- pembesar kita di dalam dakwahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan kalimat Allah dan menegakkan kebenaran.
Wahai saudara-saudaraku, sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama-ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.
Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majelis yang panjang, bahkan beberapa majelis, berhari-hari, berbulan- bulan, dan bertahun-tahun. Tetapi, mukadimah di atas adalah petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian, bila kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan, pasti hal itu akan menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Tetapi kita akan membicarakan dalam waktu yang singkat ini beberapa petikan yang berkaitan dengan ulama-ulama dakwah salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam dakwah yang penuh berkah ini. Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka fondasi pertama dalam dakwah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh pensyair:
الضِّدُ يُظْهِرُ حُسْنَهُ ضِدُّهُ - وَبِضِدِّهَا تَتَمَيّزُ الْأَشْيَاءُ
Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas
Pertama, Imam Besar Ahmad Bin Hambal - rahimahullah-
Dia hidup di masa bergelombangnya akidah yang rusak dan bergeraknya pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat, dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah Khalqil Qur'an (fitnah aqidah yang menyatakan Al Quran adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Tetapi dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Tetapi dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah. Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya, "Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!" Dia berkata: "Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh?"
Ini adalah salah satu alamat dan pintu dakwah ini. Kesabaran dan keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari para imam kita dan mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal dunia, dan menjaga mereka untuk kita ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran, keimaman, dan amanahannya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan larangan dan perintah-Nya.
Pengaruh Imam Ahmad juga mempengaruhi imam Abul Hasan al Asy'ari. Di zaman ini banyak orang menisbatkan diri kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam kitabnya, Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin, setelah menyebut aqidah Ahlu Sunah Ashabul Hadits "Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal, saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya." Atau seperti apa yang dia katakan. Di sini kami akan mengingatkan suatu hal, yaitu banyak sekali orang-orang khusus maupun orang-orang umum yang menisbatkan dirinya kepada Abul Hasan al Asy'ari, tetapi penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi kenyataannya mereka tidak menisbatkan kepadanya dalam aqidah maupun manhaj.
Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham mu'tazilah. Kemudian sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata, "Aku bersaksi kepada Allah, kemudian besaksi kepada kalian bahwasanya saya melepas paham mu'tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku ini." Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam menaati Allah.
Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudaraku, kembali dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Kebersihan sesudah kotor, tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan, pasti masih terdapat pengaruh- pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham mu'tazilah atau setelah meninggalkan paham mu'tazilah, imam Abul Hasan Al Asy'ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya. Setelah itu, di dalam kitabnya al Ibanah fi Ushulid Diyanah, di dalam kitabnya Maqalat yang sudah saya isyaratkan tadi, dan di dalam kitabnya Risalah ila Ahli Tsaghar, di dalam ketiga kitab ini, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia di atas aqidah salafiyah.
Memang banyak orang dari kalangan Asy'ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan. Ya, mereka itu tidak berada pada jalan mu'tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak pada jalan salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan dari mu'tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul Hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abul Hasan dan menyelisihi aqidah salaf yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di atas aqidah tersebut. Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam cuplikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya, tetapi dia adalah ulama besar dakwah ini sepanjang sejarah ini di abad- abad pertama.
Kedua, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-
Adapun di abad-abad pertengahan, sebagaimana yang sudah saya katakan, di dalam waktu yang singkat ini saya tidak bisa menyebutkan setiap ulama untuk setiap abad. Akan tetapi saya hanya akan menyebutkan orang-orang yang memiliki tanda-tanda yang menonjol. Kami menyebutkan pada abad-abad pertengahan, pada abad ke delapan, Syaikhul Islam, seorang ulama besar, seorang imam, Abul Abbas, Ahmad bin abdul Halim bin Abdus Salam, Ibnu Taimiyah An Numairi Ad Dimasyqi Al Harrani rahimahullah. Beliau telah menulis kitab-kitab, menyusun tulisan- tulisan, menempatkan kaidah- kaidah dan menjawab masalah- masalah.
Demi Allah, demi Allah dan demi Allah, hampir saya bersumpah secara khusus, bahwasanya tidak ada syubhat yang kamu hadapi di masa-masa ini setelah delapan abad dari kematian Imam ini -wahai saudaraku yang mendapatkan taufik- di dalam masalah aqidah dan agama yang termasuk masalah-masalah ahli bid'ah lalu kamu mencarinya di dalam kitab-kitabnya, kamu teliti di dalam tulisan-tulisannya dan risalah-risalahnya, atau fatwa- fatwa dan jawaban-jawabannya, maka kamu akan mendapatkan jawabannya. Jika kamu tidak mendapatkannya maka hal itu disebabkan ketidakmampuan dalam mencarinya, bukan karena Ibnu Taimiyah tidak menyebutkan jawaban. Masalah ini saya harapkan agar dipahami secara baik sehingga nampak kemampuan Imam ini, kekuatan ilmunya, keluasan akalnya, kejeniusan otaknya -semoga Allah memberi rahmat kepadanya.
Apabila kamu ingin tahu kedudukan Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Ibnul Qayyim adalah muridnya. Apabila kamu ingin tahu ukuran kejeniusan yang diberikan oleh Allah kepada Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Imam Ibnu Katsir termasuk muridnya. Daftar nama-nama muridnya akan menjadi panjang dengan menyebutkan: Al Mizzi, Ibnu Rajab, Ibnu Abdil Hadi, yang termasuk murid-muridnya atau murid-murid sahabat-sahabatnya dari kalangan Imam-imam besar yang memenuhi sejarah Islam. Saya tidak hanya mengatakan, mereka memenuhi perpustakaan Islam saja, bahkan mereka memenuhi sejarah Islam dengan kesungguhan, perjuangan, ilmu, akhlak, adab, tingkah laku mereka dan banyak lagi hal-hal lainnya.
Imam Ibnu Taimiyah juga pada masanya, dia hidup di masa bergelombangnya fitnah-fitnah dan tersebarnya ujian-ujian. Mulai fitnah Tatar sampai fitnah Syiah, juga fitnah tersebarnya mazhab Asy'ariyah yang menyimpang dan lain-lainnya. Dia turun di setiap medan bagai tentara berkuda yang besar dengan membawa pedang, pena, dan mata lembing. Dia menulis, berjihad, dan membela. Dia diperdaya, dimusuhi, dan bersabar. Hingga pada suatu saat dia mendapat kehormatan dari sebagian sulthan (penguasa). Sulthan tersebut datang kepada Ibnu Taimiyyah dengan membawa musuh- musuhnya yang memfitnah tentang dirinya, memenjara, menyakiti, mengusir dan menzhaliminya. Sulthan berkata kepadanya, "Apa yang akan kamu lakukan kepada mereka?" Dia menjawab, "Saya memberi maaf kepada mereka." Maka mereka kagum kepadanya. Mereka berkata, "Wahai Ibnu Taimiyyah, kami menzhalimimu dan kamu mampu untuk membalasnya, tetapi kamu memberikan maaf?" Dia menjawab, "Ini adalah akhlak orang-orang beriman."
Memang, akhlak ini sebenarnya tidak di miliki kecuali oleh orang- orang istimewa saja. Yaitu, kamu memberi maaf, padahal kamu pada posisi yang tinggi, terlebih- lebih setelah banyak dizhalimi oleh orang yang diberi maaf. Oleh karena itu, apabila kita membaca di dalam sejarah, kita tidak mendengar seorang yang namanya Bakri dan Akhna'i kecuali karena Ibnu Taimiyyah te